RULE OF LAW
Disusun Oleh : Adinda Aulia Larasati (131331003) Mochammad Praditia Juniawan (131331020) 1TcA
PROGRAM STUDI TEKNIK TELEKOMUNIKASI JURUSAN TEKNIK ELEKTRO POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2013
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari hukum, mulai dari norma, nilai, tata krama, hingga hukum perundang-udangan dalam peradilan. Sayangnya hukum di Negara Indonesia masih kurang dalam proses penegakannya, terutama penegakan hukum di kalangan pejabat-pejabat dibandingkan dengan penegakan hukum dikalangan menengah ke bawah. Hal ini terjadi karena di Negara kita hukum dapat dibeli dengan uang. Siapa yang memiliki kekuasaan, dia yang memenangkan peradilan.
Dengan melihat kenyataan seperti itu, pembenahan peradilan di Negara kita dapat dimulai dari diri sendiri dengan mempelajari norma atau hukum sekaligus memahami dan menegakannya sesuai dengan keadilan yang benar. Lewat makalah ini kita akan membahas bagaimana supaya keadilan dapat ditegakan, disertai juga dengan pembahasan semua aspek yang ada didalamnya yang dapat mempengaruhi dan menjadi penentu apakah keadilan dapat ditegakan atau tidak. 1.2
Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah: 1. Apa pengertian Rule of Law? 2. Bagaimana terbentuknya Rule of Law? 3. Apa pengertian negara hukum? 4. Apa ciri-ciri Rule of Law? 5. Apa prinsip pokok Rule of Law? 6. Bagaimana pengakan hukum di Indonesia? 7. Bagaimana pelaksanaan Rule of Law?
1.3
Tujuan Setelah mempelajari makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui dan menjelaskan : 1. Pengertian rule of law. 2. Cara menegakan keadilan dengan hukum yang berlaku. 3. Negara Indonesia adalah Negara yang baik atau buruk dalam peradilannya. 4. Hukum yang harus kita jalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB II KAJIAN TEORI
2.1
Pengertian Rule of Law Freidman (1959) membedakan rule of law menjadi dua yaitu pengertian secara formal dan pengertian secara materiil/hakiki. Pengertian secara formal (in the formal sense) diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power ), misalnya negara. Pengertian secara materiil/hakiki (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk ( just and unjust law). Rule of law terkait erat dengan keadilan sehingga harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Rule of law mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
2.2
Sejarah Rule of Law Aturan hukum adalah ideal kuno, dan telah dibahas oleh para filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles sekitar 350 SM. Plato mengatakan bahwa di mana hukum tunduk pada otoritas lain dan telah tidak sendiri, runtuhnya negara, dalam pandangan saya, tidak jauh, tetapi jika hukum adalah penguasa pemerintah dan pemerintah adalah budak, maka situasi penuh dengan janji dan laki-laki menikmati semua berkat yang para dewa mandi di suatu negara.
Demikian pula, Aristoteles mendukung aturan hukum, menulis bahwa hukum seharusnya mengatur, dan mereka yang berkuasa harus hamba hukum. Konsep kuno aturan hukum harus dibedakan dari pemerintahan oleh hukum, menurut profesor ilmu politik Li Shuguang, perbedaannya adalah bahwa di bawah kekuasaan hukum hukum unggul dan dapat berfungsi sebagai cek terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Di bawah pemerintahan oleh hukum, hukum dapat berfungsi sebagai alat semata-mata bagi pemerintah yang menekan dalam mode legalistik. Supremasi hukum bukan eksklusif gagasan Barat. Misalnya, dikembangkan oleh para ahli hukum Islam sebelum abad kedua belas, sehingga tidak ada klaim bisa resmi berada di atas hukum, bahkan sang khalifah. Namun, ini bukan mengacu pada undang-undang sekuler, tetapi hukum agama Islam dalam bentuk undang-undang Syariah. Pada tahun 1215 Masehi, perkembangan yang sama terjadi di Inggris: Raja John menempatkan dirinya dan masa depan Inggris penguasa dan hakim setidaknya sebagian dalam penegakan hukum, dengan menandatangani Magna Carta.
Selanjutnya, dua dari penulis modern pertama untuk memberikan fondasi teoretis prinsip itu Samuel Rutherford di Lex, Rex (1644) dan John Locke dalam Second Treatise of Government (1690). Kemudian, prinsip ini tertanam lebih lanjut oleh Montesquieu dalam The Spirit of the Laws (1748). Pada tahun 1776, gagasan bahwa tidak ada yang di atas hukum sangat populer saat pendirian Amerika Serikat, misalnya Thomas Paine menulis dalam pamflet Common Sense bahwa di Amerika, hukum adalah raja. Sebab seperti dalam pemerintah mutlak Raja adalah hukum, jadi di negara-negara bebas hukum seharusnya raja, dan harus ada orang lain. Pada tahun 1780, John Adams mengemukakan prinsip juga yang diabadikan dalam Konstitusi oleh Massachusetts yang ingin mendirikan ” pemerintahan hukum dan bukan manusia”. 2.3
Negara Hukum Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of Law. Rule of Law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis dari gagasan kostitusionalisme. Dalam arti sederhana rule of Law diartikan oleh Thomas Paine sebagai tidak ada satu pun yang berada di atas hukum dan hukumlah yang berkuasa. Oleh karena itu, konstitusi dan negara hukum merupakan dua lembaga yang tidak terpisahkan.
Secara sederhana yang dimaksud negara hukum adalah negara yang penyeleggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya negara dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum. (Mustafa Kamal Pasha, 2003). Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh karenanya negara dalam melaksakan hukum harus memperhatikan tiga hal tersebut. Dengan demikian hukum tidak hanya sekedar formalitas atau prosedur belaka dari kekuasaan. Apabila negara berdasarkan hukum maka pemerintahan negara itu harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi negara merupakan sarana pemersatu bangsa. Hubungan antar warga negara dengan negara, hubungan anatar lembaga negara dan kinerja masing-masing elemen kekuasaan berada pada satu sistem aturan yang disepakati dan dijunjung tinggi. Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu Rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo
Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah Rechtsstaat itu mencakup empat elemen penti ng, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Perlindungan hak asasi manusia. Pembagian kekuasaan. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. Peradilan tata usaha Negara.
Di samping perumusan ciri-ciri negara hukum seperti di atas, ada pula berbagai pendapat mengenai ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Me nurut Montesquieu, negara yang paling baik ialah negara hukum, sebab di dalam konstitusi di banyak negara terkandung tiga inti pokok, yaitu 1. Perlindungan HAM 2. Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara, dan 3. Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara. Menurut Mustafa Kamal Pasha (2003) menyatakan adanya tiga ciri-ciri khas negara hukum, yaitu 1. Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM 2. Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak. 3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Menurut Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. mengemukakan 3 ciri-ciri at au unsur-unsur dari negara hukum, yaitu: 1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa. 2. Azas Legalitas. Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya. 3. Pemisahan Kekuasaan. Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan 2.4
Ciri-Ciri Rule of Law Negara hukum yang muncul pada abad ke-19 adalah negara hukum formil atau negara hukum dalam arti sempit. Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of Law. Istilah Rechtsstaat diberikan oleh para ahli hukum Eropa Kontinental sedang istilah Rule of Law diberikan oleh para ahli hukum Anglo Saxon.
Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciriciri Rechtsstaat sebagai berikut. 1. Hak asasi manusia 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasai manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan. 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberikan ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut. 1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan. Ciri-ciri Rechtstaat atau Rule of Law di atas masih dipengaruhi oleh konsep negara hukum formil atau negara hukum dalam arti sempit. Dari pencirian di atas terlihat bahwa peranan pemerintah hanya sedikit, karena ada dalil bahwa “pemerintah yang sedikit adalah pemerintah yang baik”. 2.5
Prinsip Pokok Rule of Law Dua belas prinsip pokok Rule of Law yang berlaku di zaman sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, maka kedua-belas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan Negara Hukum modern. 1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law). Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum ( supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang „ supreme‟. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’ . Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law). Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan „affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan seta ra dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar. 3. Asas Legalitas (Due Process of Law). Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip „ frijsermessen‟ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri „beleid-regels’ atau „ policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah. 4. Pembatasan Kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “ Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara
vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenangwenangan. 5. Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen. Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan badan independen semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri, lebih dari 30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut sebagai „independent auxiliary state organs‟ (lembagalembaga negara yang independent dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi kewenangan regulatoris sehingga biasa disebut sebagai „self regulatory body‟. Di Indonesia, dapat disebut beberapa di antaranya, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), dan sebagainya. 6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak. Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai „mulut‟ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga „mulut‟ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara. Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court ) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip „independent and impartial judiciary’ tersebut di atas. 8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court). Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht ), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi „civil law’ , sejak tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht ). Jika pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’ abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20, adalah wajar pula jika keberadaann ya organ baru ini, baik keberadaan kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu negara mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme untuk mengontrol konstitusionalitas pembuatan undangundang ataupun konstitusionalitas penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan tidak sempurna untuk disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat ) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy). 9. Perlindungan Hak Asasi Manusia. Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya. 10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat). Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat ) yang dikembangkan bukanlah „ absolute rechtsstaat’ , melainkan „democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum. 11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat). Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’ , melainkan tetap ‘mission driven’ , tetapi „mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan. 12. Transparansi dan Kontrol Sosial. Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip „representation in ideas’ dibedakan dari „representation in presence‟, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran. 13. Berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham sekularisme yang memisahkan diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan sama sekali. Negara modern mengaku mampu bersikap netral dalam urusan-urusan agama dan keagamaan. Karena itu, dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar jangkauan kajian kenegaraan. Akan tetapi, Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena setiap produk hukum Indonesia di samping harus dibuat dan ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan tanpa melanggar hak-hak asasi manusia, juga mempersyaratkan adanya persesuaiannya dengan ataupun terbebas dari kemungkinan bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh para subjek warganegara Indonesia. Hukum Indonesia juga tidak boleh ditegakkan dengan semena-mena dengan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam konteks kehidupan umat beragama dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 2.6
Penegakan Hukum di Indonesia Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian pada orang lain. Penegakan Hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para aparat penegak hukum. Operasional dari konsep Negara hukum Indonesia dituangkan dalam konstitusi Negara, yaitu UUD 1945 yang merupakan hukum dasar Negara dan menempati posis i sebagai hukum tertinggi Negara dalam tertib hukum (legaloder) Indonesia. Di bawah UUD 1945 terdapat berbagai aturan hukum/peraturan perundang-undangan yang bersumber dan berdasarkan pada UUD 1945.
Proses penegakan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga – lembaga hukum yang terdiri dari : 1. Kepolisian 2. Kejaksaan
3. 4. 5. 6. 2.7
Komisi pemberantasan korupsi ( KPK ) Badan peradilan Mahkamah Agung ( MA ) Mahkamah Konstitusi ( MK )
Pelaksanaan Rule of Law Agar pelaksanaan rule of law bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka : 1. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakan hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa. 2. Rule of law yang merupakan institusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa. 3. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus ditegakkan secara adil juga memihak pada keadilan.
Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif (Setjipto Raharjo, 2004), yang memihak hanya pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi dasar hukum progresif bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Hukum progresif memuat kandungan moral yang kuat. Arah dan watak hukum yang dibangun harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang bersangkutan atau “back to law and order”, kembali pada hukum dan ketaatan hukum negara yang bersangkutan itu.
BAB III KAJIAN KASUS 3.1
Kasus Nenek Minah Mengambil Beberapa Buah Kakao Nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum hanya karena tiga biji kakao yang nilainya Rp 2.000. Memang, sampai saat ini Minah tidak harus mendekam di ruang tahanan. Sehari-hari ia masih bisa menghitung jejak kakinya sepanjang 3 km lebih dari rumahnya ke kebun untuk bekerja.
Ketika ditemui sepulang dari kebun, Rabu (18/11) kemarin, nenek tujuh cucu itu seolah tak gelisah, meskipun ancaman hukuman enam bulan penjara terus membayangi. “Tidak menyerah, tapi pasrah saja,” katanya. “Saya memang memetik buah kakao itu,” tambahnya. Terhitung sejak 19 Oktober lalu, kasus pencurian kakao yang membelit nenek Minah itu telah ditangani pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Dia didakwa telah mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Yakni memetik tiga buah kakao seberat 3 kg dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan 4. Berapa kerugian atas pencurian itu? Rp 30.000 menurut jaksa, atau Rp 2.000 di pasaran! Akibat perbuatannya itu, nenek Minah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Karena ancaman hukumannya hanya enam bulan, Minah pun tak perlu ditahan. Dalam surat pelimpahan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dikeluarkan Kejari Purwokerto, Minah dinyatakan sebagai tahanan rumah. Saat ini, Minah sudah menjalani persidangan kedua di Pengadilan Negeri Purwokerto. Kasus kriminal yang menjerat Aminah bermula dari keinginannya menambah bibit kakao di rumahnya pada bulan Agustus lalu. Dia mengaku sudah menanam 200 pohon kakao di kebunnya, tapi dia merasa jumlah itu masih kurang, dan ingin menambahnya sedikit lagi. Karena hanya ingin menambah sedikit, dia memutuskan untuk mengambil buah kakao dari perkebunan kakao PT RSA 4 yang berdekatan dengan kebunnya. Ketika itu dia mengaku memetik tiga buah kakao matang, dan meninggalkannya di bawah pohon tersebut, karena akan memanen kedelai di kebunnya. Tarno alias Nono, salah seorang mandor perkebunan PT RSA 4 yang sedang patroli kemudian mengambil ketiga buah kakao tersebut. Menurut Minah, saat itu Nono sempat bertanya kepada dirinya, siapa yang memetik ketiga buah kakao tersebut. “Lantas saya jawab, saya yang memetiknya untuk dijadikan bibit,” katanya. Mendengar penjelasan tersebut, menurut Minah, Nono memperingatkannya bahwa kakao di perkebunan PT RSA 4 dilarang dipetik warga. Peringatan itu juga telah dipasang di depan jalan masuk kantor PT RSA 4, berupa petikan pasal 21 dan pasal
47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Kedua pasal itu antara lain menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga menggangu produksi usaha perkebunan. Minah yang buta huruf ini pun mengamininya dan meminta maaf kepada Nono, serta mempersilahkannya untuk membawa ketiga buah kakao itu. “Inggih dibeta mawon. Inyong ora ngerti, nyuwun ngapura,” tutur Minah menirukan permohonan maafnya kepada Nono, dengan meminta Nono untuk membawa ketiga buah kakao itu. Ia tak pernah membayangkan kalau kesalahan kecil yang sudah dimintakan maaf itu ternyata berbuntut panjang, dan malah harus menyeretnya ke meja hijau. Sekitar akhir bulan Agustus, Minah terkaget-kaget karena dipanggil pihak Kepolisian Sektor Ajibarang untuk dimintai keterangan terkait pemetikan tiga buah kakao tersebut. Bahkan pada pertengahan Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto. 3.2
Analisis Solusi Kasus Kasus nenek Minah merupakan sebuah gambaran umum mengenai kejahatankejahatan yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah yang harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Dalam menganalisa kejahatan budaya kelas bawah, menurut Walter B Miller ada enam premis yang dapat diajukan menjadi acuan dalam menganalisa kejahatan budaya kelas bawah, dimana ke 6 premis tersebut bersifat alternatif serta tidak berkesinambungan. Adapun untuk kasus ini, Kami hanya memaparkan beberapa premis yang hanya berkaitan secara lansung. 1. Kesulitan (Trouble) Kesulitan merupakan cirri utama kebudayaan kelas bawah. Konsep ini punya aneka makna. Kesulitan merupakan situasi atau sejenis perilaku yang disukai untuk membingungkan petugas atau agen dari kelas menengah. Mendapatkan kesulitan dan keluar dari kesulitan mewakili isu utama bagi pria dan wanita, dewasa dan anak. Bagi nenek Minah mengambil buah kakau tersebut merupakan sebuah kesulitan kehidupan yang dialaminya berupa kemiskinan. Untuk keluar dari kemiskinan tesebut nenek Minah rela mengambil sesuatu yang bukan haknya, karena apapun kesempatan yang ada didepan mata diambilnya tanpa harus memikir panjang apa yang akan terjadi dikemudian hari. 2. Ketegaran Konsep ketegaran pada kebudayaan kelas bawah digambarkan dengan memiliki ketangguhan dan keberanian yang diukur dengan berani melawan aturan-aturan yang ada. Pranata-pranata kehidupan yang ada tidak lagi berfungsi secara maksimal sehingga untuk mendapatlkan tujuannya masyarakat kelas bawah sering melanggar aturan-aturan tersebut. Pada kasus nenek Minah, nenek Minah setelah mendapatkan teguran mengaku bersalah kepada Mandor perkebunan tersebut dan segera meminta maaf. Dari sini kita bisa melihat bahwa nenek Minah sadar bahwa yang dilakukannya adalah salah.
3. Nasib/Takdir ( Faith) Kelompok yang merasa kehidupannya dikuasai oleh suatu kekuatan besar merasa bahwa kehidupannya dikuasai oleh suatu kekuatan besar merasa b ahwa kehidupan ini sudah ditakdirkan sudah diatur kita tinggal menjalankannya saja. Nasib sial dan mujur bagi individu kelas bawah tidak lansung disamakan dengan kekuatan supernatural atau agama yang diorganisasikan secara formal. Pemikirannya lebih banyak bertalian dengan kekuatan megis, sedang bernasib mujur maka memang demikianlah adanya. Sikap pasrah dan menerima yang dilakukan oleh nenek Minah yang ditampakkan oleh ekspresi wajahnya, karena dia meyakini inilah takdir yang harus dijalaninya ketika mendapatkan kasus hukum tersebut. 4. Otonomi ( Authonomy) Kontrol terhadap perilaku individu merupakan suatu yang penting dalam kebudayaan. Bagi suatu kebuadayaan kelas bawah memiliki cirri khas tersendiri dengan pola yang berbeda-beda. Kesenjangan antara apa yang dinilai secara terbuka dengan apa yang diusahakan secara tertutup sering menonjol dibidang ini. Pada tingkat terbuka ada cara penyelesaian yang digunakan melalui control eksternal, sebagai pembatasan perilaku terhadap otoritas yang tidak adil. Pada tingkat yang tertutup keinginan akan kebebasan pribadi dikendalikan melalui kelembagaan. Hal ini menunjukkan disatu pihak mereka menghendaki kebebasan pribadi, dilain pihak mencari lingkungan sosial restriktif di mana ada control eksternal yang tetap terhadap perilaku mereka. Suatu kesenjangan yang sama antara apa yang diinginkan secara terbuka dan tertutup ditemukan dalam bidang dependensi dan independensi. Pada kasus nenek Minah terdapat kurangnya otonomi, yakni disatu sisi apa yang dilakukan oleh nenek Minah merupakan suatu yang hal yang wajar dan tidak menjadi masalah sedangkan disatu sisi yang lain perbuatan nenek Minah merupakan sebuah pelanggaran hukum, karena mengambil sesuatu yang bukan milikinya. Hal ini harus dilakukan penekanan yang tegas bahwa mengambil buah kakau yang terjatuh merupakan sebuah kejahatan karena mengambil bukan haknya. Namun, dalam penyelesaian kasus nenek Minah harus dilakukan dengan bijaksana. Kerisauan otonomi dependensi terurai dengan kesulitan yang dikontrol oleh kekuatan yang sering memaksa, sementara mereka itu berhadapan dengan kekuatan penentu untuk menghambat, sehingga mereka berusaha untuk menyelamatkan diri dengan bersikap acuh terhadap segala sesuatu yang ingin membatasi perilakunya. Solusinya adalah menata perilaku sedemikian rupa oleh seperangkat kontrol yang kuat untuk menghindari perlawanan. Salah satu penyebab banyaknya terjadi kejahatan dikelas bawah ialah kurang tegasnya aturan yang mengatur tentang kehidupan yang bermasyarakat, hal ini disebabkan oleh kekurang-tahuan yang disebabkan oleh kebodohan dan kurangnya sosialisasi dan penegakan hukum dari aparat penegak hukum. Sehingga masyarakat pada kelas bawah yang sedang terhimpit oleh kesulitan hidup sering melakukan kejahatan-kejahatan dan merasa bahwa kejahatan yang dilakukannya bukan merupakan sebuah perbuatan kejahatan.
BAB IV PENUTUP 4.1
Kesimpulan Agar terciptanya kedamaian dalan suatu Negara, perlu adanya suatu konsekuensi dalam menjalani sebuah peraturan hukum yang ada dalam suatu Negara, yang berdasarkan pada prinsip Rule of Law, Sehingga sistem hukum kita bisa mencapai suatu tujuan yaitu keadilan sosial bagi masyarakatnya.
4.2
Saran Sebagai warga negara yang baik, kita seharusnya perlu menegakan hukum sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, agar terciptanya keamanan, ketertiban dan keselarasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Adakah keterkaitan antara HAM, Demokrasi dan Rule of Law dalam bermasyarakat? (Fidhli Kusumah Disastra) Didalam sistem pemerintahan yang demokratis yang menjunjung tinggi arti kebebasan, Hak Asasi Manusia menjadi hal yang sangat vital dalam pelaksanaanya, karena sesuatu yang menyangkut kedalam sebuah kebebasan sangatlah mudah untuk dilanggar atau pun melakukan kebebasannya secara sewenang-wenang, oleh karena itu bisa saja Hak Asasi Manusia yang seharusnya dijunjung tinggi dapat terancam apabila memang tidak ada standar hukum yang jelas dalam membentengi kebebasan yang diberikan, disinilah peran penegakan hukum dibutuhkan. Rule of Law dalam rangka membatasi kekuasaan pemerintahan yang absolut ma ka diperlukanlah pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan itu, sehingga kekuasaan tersebut ditata agar tidak melanggar kepentingan hak-hak asasi dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat terhindar dari tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Dan pada hakekatnya Rule of Law adalah memposisikan hukum sebagai landasan bertindak dari seluruh elemen bangsa dalam sebuah negara. 2. Apa maksud dari pembagian kekuasaan secara vertikal dan horizontal? (Sofyan Maulani) Pembagian kekuasaan secara vertikal dapat diartikan bahwa kekuasaan dibagi secara teritorial atau wilayah kekuasaan. Sebagai contoh, adanya pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah untuk sebuah negara kesatuan. Sedangkan, pembagian kekuasaan secara horizontal dapat diartikan bahwa kekuasaan dibagi menurut fungsifungsi tertentu. Sebagai contoh, adanya sebuah badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di negara kesatuan. 3. Sudah pantaskah Indonesia menjadi negara hukum, sedangkan penegakan hukumnya masih berantakan? (Lusi Damayanti) Sudah karena Indonesia sebagai negara demokrasi telah memantapkan konsep Negaranya sebagai Negara hukum sebagaimana tertuang di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “ Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Berpijak dari landasan yuridis tersebut, maka Indonesia menempatkan hukum sebagai “panglima”, huk um
bertindak sebagai alat kontrol terhadap kerja-kerja kenegaraan, agar dengan menjadikan hukum patron maka kesewenang-wenangan yang akan terjadi mampu diminimalisir dan berangsur-angsur lenyap dalam Negara yang mendasarkan citanya kepada cita hukum. Walaupun, pengalaman menujukan, terkait dengan keadilan, maka masih banyak penegakan hukum di negara ini yang belum berpihak kepada rakyat kecil