Sejarah Desentralisasi di Indonesia asa
en a a an an
n
a
e an a an Jepang)
Materi Kuliah POLITIK LOKAL DAN OTONOMI DAERAH [sri budi eko wardani] Program Sarjana Departemen Ilmu Politik FISIP UI Februari 2010
Perkembangan Konsep Desentralisasi Desentralisasi di negara-negara berkembang merupakan fenomena baru an berkemban ada 1950an. Konse n a pun mengalami perkembangan sesuai kebutuhannya. Gelombang pertama (1950an): desentralisasi mulai
memberdayakan pemerintah daerah (diarahkan untuk demokrasi). Gelombang kedua (1970an): merupakan koreksi berbagai kelemahan dari konsep desentralisasi sebelumnya diarahkan untuk emban unan . Gelombang ketiga (1990an): desentralisasi diarahkan untuk good governance dan pembangunan. 2
Politik Lokal, SBEW
Sampai 1903, sistem penjajahan Belanda di Indonesia dilaksanakan secara sentralistik dan monopolistik.
Semua kekuasaan bertumpu pada Gubernur-Jenderal se aga wa ra a e an a.
Pedoman yang dipakai sebagai landasan, semacam “ ” “ ” Reglement (RR), dibuat tahun 1854 di Negeri Belanda.
Sampai 1903, tidak ada ketentuan dalam RR yang mengatur otonomi daerah atau asas desentralisasi.
3
Politik Lokal, SBEW
Masa Hindia Belanda
Hindia Belanda sebelum 1903 dibagi dalam wilayah
dikenal dengan sebutan gewesten, afdelingan dan onderafdelingan. Masing-masing wilayah berada di bawah , , asisten residen, kontrolir. Selain itu masih ada Kabupaten (regent) dipimpin bupati, daerahnya merupakan swapraja; dan kecamatan dipimpin camat yang merupakan wilayah terkecil. ‘ ’ adat yang mengakui kedaulatan Belanda atas daerah mereka. Tetapi pengawasannya ketat.
4
Politik Lokal, SBEW
Masa Hindia Belanda
Lihat Pasal 67 RR: “Sepanjang keadaan mengijinkan maka rakyat Bumiputera dibiarkan berada di bawah pimpinan langsung kepalakepalanya baik yang diangkat oleh Pemerintah maupun yang diakui, berada di bawah pengawasan sesuai dengan ketentuan-ketentuan umum atau khusus yang telah ditetapkan atau yang akan ditetapkan oleh Gubernur Jenderal ”. Daerah tersebut tetap dapat menjalankan pemerintahan sendiri berdasarkan er an ian olitik an ra a-ra a lakukan. Misaln a Kesunanan Solo, Kesultanan Yogyakarta Kesultanan Deli, Kesultanan Goa.
daerahnya berdasarkan adat setempat. Misalnya Desa (Jawa), Huta, Nagari, Gampong. Kepala adat juga menjalankan urusan. 5
Politik Lokal, SBEW
Politik Etis: Pembuka Jalan UU Cara pemerintahan kolonial memperlakukan daerah jajahan mendapat kritik tajam dari para intelektual dan partai oposisi di Belanda. Muncul tuduhan cara-cara pemerintahan Hindia Belanda tidak etis tanam aksa mono oli diskriminasi terhada enduduk pribumi). Para tokoh gerakan ini menghendaki perubahan RR karena . Inilah yang disebut berkembangnya ‘Politik Etis’. Lahirlah UU Desentralisasi tahun 1903 (Decentralisatie Wet) yang merupakan hasil proses perjuangan pelopor perubahan sistem pemerintahan Hindia Belanda. UU ini diundangkan pada 23 Juli 1903.
6
Politik Lokal, SBEW
UU Desentralisasi 1903 Secara substansi merupakan penambahan (amandemen) tiga ayat baru pada “peraturan dasar” atau RR, yaitu pasal 68a, 68b, . Pasal 68a: diatur pemisahan keuangan dana untuk gewest, digunakan memenuhi kebutuhan khusus daerah itu, asa : enge o aan an per anggung awa an euangan gewest diawasi oleh BPK. Pengelolaan akan diserahkan sebanyak mungkin kepada Dewan yang dibentuk dengan ordonansi. asa c: ewan- ewan erwenang mema u an an memperhatikan kepentingan daerah. Dewan dibentuk di hadapan Gubernur Jenderal. , membentuk daerah otonom (di luar daerah otonom yang sudah ada yaitu swapraja dan desa hukum adat) berikut Dewan
7
Politik Lokal, SBEW
Kritik terhadap UU Desentralisasi 1903 Prakteknya tidak berjalan baik. Kritik banyak diberikan oleh intelektual Belanda dan ban sa Indonesia sendiri. Misalnya pada 20 Mei 1908 muncul pergerakan nasional yang menuntut agar kepada Hindia Belanda diberikan , yang mempunyai kekuasaan ikut serta menetapkan peraturan pemerintah pusat. Sistem desentralisasi dalam UU 1903 dianggap gagal dan perlu amandemen.
Ketatanegaraan Hindia Belanda yang isinya memperbarui UU Desentralisasi 1903. 8
Politik Lokal, SBEW
Bestuurshersvormingswet 1922
Berdasarkan aturan baru tersebut, keluarlah beberapa pemerintahan daerah. Diantaranya:
9
1.
Ordonansi Propinsi, mengatur daerah otonom propinsi yang luas daerahnya sama dengan daerah administrasi gewest. Diikuti dengan pembentukan propinsi Jawa Barat (1925), Jawa Timur (1927), Jawa Tengah (1929).
2.
Ordonansi Kabupaten, mengatur daerah otonom Regentschap yang menjadi dasar pembentukan dewan-dewan kabupaten di .
3.
Ordonansi Kotapraja, mengatur otonomi Staatsgemeenten.
Politik Lokal, SBEW
Catatan
Pada daerah otonom bentukan Hindia Belanda, disamping kepala daerah dibentuk pula Dewan-dewan Daerah. Cara , memilih harus memenuhi persyaratan membayar pajak dan tingkat pendidikan. 1903 dan 1922). Titik berat otonomi melalui dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan.
otonom berdasarkan hukum adat. UU desentralisasi yang berlaku puluhan tahun ini memberi . Sistem pemerintahan daerah pada awal kemerdekaan merupakan tiruan sistem jajahan dengan aroma dekonsentrasi yang kuat (daerah tidak mandiri, tergantung pusat). 10
Politik Lokal, SBEW
Desentralisasi Masa Jepang
Jepang pada intinya meneruskan sistem pemerintahan
Perubahan tidak mendasar, seperti penamaan daerah diganti dengan bahasa Jepang.
Wilayah propinsi dengan gubernur dan dewan propinsinya dihapus. Dengan demikian asas desentralisasi yang mulai tum u pa a masa n a e an a, ca ut ag .
Hanya eksistensi kabupaten dan kotapraja yang berjalan .
Jepang memang tidak berniat memberi asas desentralisasi ada Indonesia. 11
Politik Lokal, SBEW
Menjelang berakhirnya pendudukan, penguasa Jepang Kotamadya sebagau bagian taktik politiknya untuk memperluas dukungan.
Namun dewan-dewan tersebut tidak berfungsi dan tidak menghasilkan produk apapun. Dewan ini hanya bertugas .
Masa pendudukan Jepang dapat dikatakan sebagai masa ela dalam ertumbuhan otonomi daerah di Indonesia. Apa yang sudah dirintis sejak 1903, dirusak pada 3 tahun masa pendudukan Jepang. 12
Politik Lokal, SBEW