EPILEPSI ICD-X : G40
SOP
No. Dokumen
: 197/Pusk.Kuta II/UKP/2017
No. Revisi
: −
Tanggal terbit
: 16 Maret 2017
Halaman
: 1/2
PUSKESMAS KUTA II
1. Pengertian
2. Tujuan
3. Kebijakan
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak.
Prosedur ini bertujuan sebagai acuan pelayanan pelanggan dengan epileps Pemeriksaan Umum UPT. Puskesmas Kuta II
1. SK Kepala Puskesmas Nomor 800/001/Pusk.K.II/2017 tentang Penyusu Operasional Prosedur (SOP) 1. Permenkes no. 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat 2. Permenkes no. 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Dokter di Pertama
4. Referensi
3. Perda Badung no. 24 tahun 2012 tentang retribusi pelayanan kesehat 4. Keputusan Menteri Kesehatan no. 0701 tahun 1991 tentang Pedoman Darurat
5. Permenkes nomor 44 tahun 2016 tentang Pedoman Manajemen Puske
5. Alat & bahan
Tersedia Obat Anti Epilepsi Konseling dan Edukasi 1. Penting untuk memberi informasi kepada keluarga bahwa penyakit ini ti menular. 2. Kontrol pengobatan merupakan hal penting bagi penderita 3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi utamanya anak-anak perlu pendampingan sehingga lingkungan dapat menerima dengan baik 4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan baik Dilakukan untuk individu dan keluarga
Anamnesis (Subjective) Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu: 1. Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksism merupakan bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus, diagnosis ep dapat ditegakkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari anamnesis auto maupun allo-anamnesis dari orang tua maupun saksi mata yang l a. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ bebaring/ tidu berkemih. • Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasiawal/ speech arrest).
• Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerak antonik/klonik vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat berkeri deviasimata. • Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, ga gelisah, Todd’s paresis. • Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal. • Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan p bangkitan. b. Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat peny neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemi yang mungkin menjadi penyebab. c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar b d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (do OAE, kombinasiterapi). e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga. f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikitrik sistemik. g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam. i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP. 2. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentuk bangkitan tersebut bangkitan yang mana (klasifikasi ILAE 1981). 3. Langkah ketiga: menentukan etiologi, sindrom epilepsi,atau penyakit ep apa yang diderita pasien dilakukan dengan memperhatikan klasifikasi IL Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan responter hadap (Obat Anti Epilepsi).
Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tandadari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat ter kelainan pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal.
Pemeriksaan neurologis Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari antara dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir. 1. Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka tampak tanda pasca iktal terutama tanda fok alsepertitodds paresis ( paresis setelah kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic syndrome (afasiasesaat) yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi. 2. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlal utama adalah menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi system permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang apakah ada ta peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan Penunjang Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG, pemeriksaan pencitraan o pemeriksaan laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar OAE.
Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik mum dan neu
Diagnosis Banding Sinkop, Transient Ischemic Attack, Vertigo, Global amnesia, Tics dangeraka involunter
6. Langkah-langkah
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
6. Langkah-langkah
Sebagai dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, bila pasie terdiagnosis sebagai epilepsi, untuk penanganan awal pasien harus dirujuk kedokter spesialis saraf. 1. OAE diberikan bila: a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan b. Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang tid lain-lain) c. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun d. Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan terh tujuan pengobatan. e. Penyandang dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemung efek samping yang timbul dari OAE. 2. Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai den jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. 3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap samp efektif tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam darah dite bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif. Bila diduga ada eru farmakokinetik OAE (kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, ganggua absorpsi OAE), diduga penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobat Setelah pengobatan dosis regimen OAE, dilihat interaksi antar OAE atau lain. Pemeriksaan interaksi obat ini dilakukan rutin setiap tahun pada penggunaan phenitoin. 4. Bila pada penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol ba maka dapat dirujuk kembali untuk mendapatkan penambahan OAE ked Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama dituru bertahap (tapering off) perlahan-lahan. 5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan di layanan sekunder atau tersie terbukti tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua pertama. 6. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimula bila kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bila: a. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG. b. Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI Otak dijumpai lesi yang berkore dengan bangkitan: meningioma, neoplasmaotak, AVM, absesotak, ensephalitis herpes. c. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pad kerusakan otak. d. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang e. Riwayat bangkitan simptomatik. f. Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi). g. Riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, stroke, infeks h. Bangkitan pertama berupa status epileptikus. i. Namun hal ini dapat dilakukan di pelayanan kesehatan sekunder 7. Efek samping perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaks farmakokinetik antar OAE. 8. Strategi untuk mencegah efek samping: a. Mulai pengobatan dengan mempertimbangkan keuntungan dan keru pemberian terapi. b. Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang c. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu sindrom epilepsi dan karaktersitik penyandang epilepsi 9. OAE dapat dihentikan pada keadaan: a. Setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan. b. Gambaran EEG normal. c. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis se setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan. d. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 O bukan utama. e. Keputusan untuk menghentikan OAE dilakukan pada tingkat pelaya
sekunder/tersier. 10. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinann keadaan sebagai berikut: a. Semakin tua usia, kemungkinan kekambuhan semakin tinggi. b. Epilepsi simptomatik. c. Gambaran EEG abnormal. d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan. e. Penggunaan lebih dari satu OAE. f. Mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi. g. Mendapat terapi setelah 10 tahun.
EPILEPSI ICD-X : G40
SOP
No. Dokumen
: 197/Pusk.Kuta II/UKP/2017
No. Revisi
: −
Tanggal terbit
: 16 Maret 2017
Halaman
: 1/2
PUSKESMAS KUTA II
7.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
8. Unit terkait
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Loket Pendaftaran Poli Umum Poli KIA/KB Poli Gigi Ruang Asoka Ruang Farmasi Laboratorium
9. Dokumen terkait
1. Rekam medis 2. Surat rujukan
No. 10.
Rekaman Historis perubahan
Yang diubah
Isi Perubahan
dr. I Wayan Darta NIP. 19671222 199903 1 006
ai oleh bangkitan epilepsi berulang Sedangkan yang dimaksud disebabkan oleh aktivitas listrik otak.
n dengan epilepsi di Ruang
tentang Penyusunan Standar
an Masyarakat k Klinis Dokter di Fasyankes
layanan kesehatan entang Pedoman Pelayanan Gawat
Manajemen Puskesmas
wa penyakit ini tidak
rita k-anak perlu dengan baik
ersifat paroksismal asus, diagnosis epilepsi h dari anamnesis baik aksi mata yang lain.
ri/ bebaring/ tidur/
h arrest).
ak antonik/klonik, git, pucat berkeringat,
i kepala, tidur, gaduh
apat perubahan pola
pun riwayat penyakit penyakit sistemik
erpanjang antar bangkitan. hadap terapi (dosis, kadar
penyakit psikitrik atau
n perkembangan bayi/anak.
psi, maka tentukan AE 1981). atau penyakit epilepsi tikan klasifikasi ILAE 1989. responter hadap OAE
jective)
ati adanya tanda-tanda i trauma kepala, infeksi hol atau obat terlarang,
tergantung dari interval khir. h bangkitan maka akan rtitodds paresis (hemi hasic syndrome njuk lokalisasi. an terakhir berlalu, sasaran disfungsi system saraf ng apakah ada tanda-
saan pencitraan otak, ar OAE.
sik mum dan neurologis.
a, Tics dangerakan
ertama, bila pasien sien harus dirujuk
tress, kurang tidur, dan
a penjelasan terhadap tentang kemungkinan
pilihan sesuai dengan
n bertahap sampai dosis dalam darah ditentukan a diduga ada erubahan t ginjal, gangguan h pada pengobatan. si antar OAE atau obat ap tahun pada
at mengontrol bangkitan, mbahan OAE kedua. E pertama diturunkan
under atau tersier setelah maksimal kedua OAE
kan untuk dimulai terapi
esi yang berkorelasi VM, absesotak,
ng mengarah pada adanya
ung (bukan orang tua).
ti JME (Juvenile
an, stroke, infeksi SSP.
an sekunder dengan interaksi
tungan dan kerugian
yandang erkecil mengacu pada psi
25% dari dosis semula
n dimulai dari 1 OAE yang
da tingkat pelayanan
ar kemungkinannya pada
akin tinggi.
kendalikan.
mulai terapi.
dr. I Wayan Darta NIP. 19671222 199903 1 006
Tanggal mulai diberlakukan