BAB I PENDAHULUAN
Ensefalitis toksoplasma, merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai 30%-50%, sedangkan di Eropa mencapai 50% - 70%. Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi komputer (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan baku emasnya dengan dengan pemeriksaan histopatologi dari biopsy dan ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multipel yang menyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai ≤ 3 cm. Di seluruh dunia pada tahun ta hun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000 anak berusia <15 tahun. Di Indonesia, HIV AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/ kota di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai September 2014 sebanyak 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus AID sebanyak 55.799 orang. 1
Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi kelainan neurologis.3 Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV
adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis criptococcal , CMV ensefalitis dan progressive multifocal leukoencephalopathy.
Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah ensefalitis toxoplasma.5 Dari penelitian Terazawa dkk 6, didapatkan seroprevalensi IgG antibody Toxoplasma yang tinggi (70%) pada penduduk kota Jakarta.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.
TOKSOPLASMOSIS
A. Definisi Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenj ar getah bening, jantung, paru, ,mata, otak, dan selaput otak.
B. Klasifikasi Terdapat 2 macam bentuk dari Toxoplasma yaitu bentuk intraseluler dan bentuk ekstraseluler bulat atau lonjong, sedang bentuk ekstraseluler seperti bulan sabit yang langsing, dengan ujung yang satu runcing sedang lainnya tumpul. Ukuran parasit micron 4-6 mikron, dengan inti terletak di ujung yang tumpul. Jumlah parasit dalam darah akan menurun dengan terbentuknya antibodi namun kista Toxoplasma yang ada dalam jaringan tetap masih hidup. Kista jaringan ini akan reaktif jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi yang terjadi pada orang dengan kekebalan rendah baik infeksi primer maupun infeksi reaktivasi akan menyebabkan terjadinya Cerebritis, Chorioretinitis, pneumonia, terserangnya seluruh jaringan otot, myocarditis, ruam makulopapuler dan/ atau dengan kematian. Toxoplasmosis yang menyerang otak sering terjadi pada penderita AIDS. Infeksi primer yang terjadi pada awal kehamilan dapat men yebabkan terjadinya infeksi pada bayi yang dapat menyebabkan kematian bayi atau dapat menyebabkan Chorioretinis, kerusakan otak disertai dengan kalsifikasi
intraserebral, hidrosefalus, mikrosefalus, demam, ikterus, ruam, hepatosplenomegali, Xanthochromic CSF, kejang beberapa saat setelah lahir.
C. Etiologi Toxoplasmosis. Toxoplasmosis sendiri ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun 1909 yang menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara. Selanjutnya setelah diselidiki maka penyakit yang disebabkan oleh toxoplasmosis dianggap suatu genus termasuk famili babesiidae. Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan selsel endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.
D. Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis. Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, dan Ookista.
Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis trofozoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.
Bentuk yang ketiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus atau gametogeni dan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama f eces kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali eksresi akan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing a tau kucing maka pada berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk kelompokkelompok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.
E.Cara Penularan Toxoplasmosis
Infeksi dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor lalat, kecoa, tikus, dan melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi toxoplasma ke janin terjadi intr autero melalui placenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini. Infeksi juga terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan menggunakan hewan percobaan yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau melalui jarum suntik dan alat laboratorium lainn ya yang terkontaminasi dengan toxoplasma gondii. Melihat cara penularan diatas maka kemungkinan paling besar untuk terkena infeksi toxoplamosis gondii melalui makanan daging yang mengandung ookista dan yang dimasak kurang matang. Kemungkinan ke dua adalah melalui hewan peliharaan. Hal ini terbutki bahwa di negara Eropa yang banyak memelihara hewan peliharaan yang suka makan daging mentah mempunyai frekuensi toxoplasmosis lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal. F. Patologi dan Gambaran klinik
Pada manusia dewasa dengan daya tahan tubuh yang baik biasanya hanya memberikan gejala minimal dan bahkan sering tidak menimbulkan gejala. Apabila
menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti : demam, nyeri otot, sakit tenggorokan,kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sakit kepala, muntah, depresi, nyeri otot, pnemonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang. Sesudah terjadi penularan, parasit dengan perantara aliran darah akan dapat mencapai berbagai macam organ misalnya otak, sumsum tulang belakang, mata, paru-paru, hati, limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe dan otot jantung. Gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan patologi yang terjadi yang dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat. Gejala klinik toksoplasmosis kongenital.
Kelainan yang terjadi pada janin pada umumnya sangat berat dan bahkan bisa fatal oleh karena parasit tersebar di berbagai organ-organ terutama pada susunan sistem saraf. Kelainan yang terjadi sangat jelas terlihat dan yang patognomonik dan indikatif adalah kalsifikasi serebral, korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus dan psikomotor. Kalsifikasi serebral dan korioretinitis merupakan gejala yang paling penting untuk menentukan diagnosis toksoplasmosis kongenital.
Gejala klinik toksoplasmosis di dapat.
Pada toksoplasmosis didapat, berbagai kelainan organ dan jaringan dapat terjadi yaitu pada jaringan serebrospinal yang mengakibatkan ensefalomielopati, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis, kelainan limfatik berupa limfadenitis disertai dengan demam, kelainan pada kulit yang berupa ruam kulit makulopapuler yang mirip ruam kulit pada demam tifus, kelainan pada paru-paru yang berupa pneumonia interstisial, pada
jantung terjadi miokarditis dan terjadi pula pembesaran hati dan limpa. Kelainan-kelainan pada jaringan serebrospinal umumnya menyerang bayi dan anak-anak sedangkan kelainan limfatik menyerang anak berumur antara 5-15 tahun. G.Diagnosis
Diagnosis untuk Toxoplasmosis sendiri dibagi menjadi 2 yaitu : • Diagnosis Klinik Toksoplasmosis hendaknya wajib dicurigai bila didapatkan klasifikasi serebral pada ventikulogram dan korioretinitis ditemukan pada pemeriksaan mata. Apalagi jika didapatkan kelainan-kelainan yang berupa hidrosefalus, mikrosefalus, mikroptalmus, pneumonitis, miokarditis, adenopati, hepatomegali atau splenomegali. • Diagnosis Spesifik Diagnosis spesifik ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan l aboratorium untuk menemukan Toxoplasma gondii yang berasal dari hasil biopsy atau pengambilan cairan dari organ dan jaringan penderita. Inokulasi hewan-hewan percobaan (tikus, mamot atau hamster) dengan hasil biopsi organ dan jaringan dapat meningkatkan hasil pemeriksaan.
H.Pencegahan Toxoplasmosis
Tindakan yang perlu dilakukan dalam mencegah penyakit t oxoplasmosis adalah sebagai berikut : 1. Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi at au yang sudah dimasak pada suhu 150°F (66°C), sedangkan pada da ging yang dibekukan mengurangi infektivitas parasit tetapi tidak membunuh parasit. 2. Ibu hamil yang belum diketahui telah mempunyai antibodi terhadap toxoplasma gondi, dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan te mpat sampah. Pakailah sarung tangan karet dan cucilah tangan selal u setelah bekerja dan sebelum makan.
3. Apabila memelihara kucing, maka sebaiknya kucing diberikan makanan kering, makanan kaleng atau makanan yang telah dimasak dengan baik dan jangan biarkan memburu makanan sendiri. 4. Cucilah tangan baik-baik sebelum makan dan sesudah menjamah daging mentah atau setelah memegang tanah yang terkontaminasi kotoran kucing. 5. Awasi kucing liar, jangan biarkan kucing tersebut membuang kotoran ditempat bermain anak-anak.
I.Pengobatan Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pirimetamin dengan sulfonamid. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam foist.
Dosis yang dianjurkan untuk pirimetamin ialah 50 - 75 mg/ kg per hari dibagi 2-3 dosis selama 3 hari pertama lalu dikurangi menjadi 25 mg/kg per hari. Dosis sulfonamid 50 -100 mg/ kg per hari. Lama pengobatan 3 minggu sampai dengan 1 bulan. Efek samping pirimetamin dan sulfonamid ialah penekanan hematopoiesis berupa leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan dengan dosis asam folinik 2-4 mg/ hari. Trimetoprim juga tenyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi antara pirimetamin dan sulfanamid, ternyata trimetoprim masih kalah efektifitasnya. Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu kemudian disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh. Jika terbukti infeksi Toxoplasma gondii pada janin maka regimen diganti ke sulfadiazin 4 gram per hari dan pirimetamin 25 mg per hari serta asam folat 15 mg per hari, dilanjutkan sampai masa persalinan. Jika bayi yang baru lahir terinfeksi toxoplasma gondii maka diberikan sulfadiazin 50mg/ kg per hari dibagi 2 dosis dan pirimetamin 1 mg/ kg per hari dan asam folat 5 mg/ kg perhari, pengobatan selama kurang lebih 6 bulan. Infeksi pada pasien imunokompromais, diberikan regimen pirimetamin dosis awal 200 mg dosis lanjutan 50-70 mg per hari dan sulfadiazin 4-6 gram per hari dibagi 4 dosis. Lama pengobatan 4-6 minggu sampai perbaikan radiologik. 2
II.
ENSEFALITIS TOKSOPLAMA
A. Ensefalitis toksoplasma
Disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat di temukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak menanggapi pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. B. Etiologi
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi ataukontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.
C. Daur Hidup
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: tachyzoite, tissue cyst (yang mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah transformasi menjadi tachyzoites, organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67 oC, didinginkan sampai – 20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun.
4,7
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh
yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
4,7,8
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii, dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
D. Patofisiologi
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T CD4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan
sel
reseptor
CD4,
yang
menyebabkan
kematian
sel
dengan
meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf
Mekanisme
bagaimana
HIV
menginduksi
infeksi
oportunistik
seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFNgamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV. Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%) 9. Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus. 5 Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.7 Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
E. Tanda dan gejala
Presentasi klinis pada pasien dapat berupa perubahan status mental (75%), demam (10-72%), kejang (33%), sakit kepala (56%) dan temuan fokal neurologi (60%) termasuk defisit motorik, gangguan nervus kranialis, gangguan gerak, dismetria, hilang lapang pandang, dan afasia. Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh invasi langsung parasit tetapi juga oleh efek sekunder dari invasi langsung yaitu vaskulitis, edema, dan hemorrhage. Onset infeksi dapat dari proses yang tersembunyi sampai presentasi akut dengan defisit fokal fuminan termasuk hemiparesis , hemiplegia, defek lapang pandang, nyeri kepala lokal, dan kejang fokal.
Meskipun lesi bisa di bagian mana saja dari sistem saraf pusat, bagian yang paling sering yaitu batang otak, ganglia basalis, kelenjar pituitari, dan corticomedullary junction. Keterlibatan batang otak menyebabkan berbagai disfungsi neurologis yaitu gangguan nervus kranialis, dismetria dan ataksia. Infeksi ganglia basalis, hidrosefalus, gerakan koreiform dan choreoathetosis. Keterlibatan kelenjar pituitari dapat menyebabkan panhipopituitari dan hiponatremia karena sekresi berlebihan hormon antidiuretik. Pada gangguan neurokognitif asosiasi HIV dapat mempresentasikan gangguan kognitif, perhatian berkurang, dan perubahan memori. 10
F. Diagnosa
Toksoplasmosis serebri sering pada pasien dengan positif HIV/ AIDS dan menyebabkan manifestasi sangat serius. Oleh karena itu, diagnosis definitif toksoplasmosis serebri sangat penting. Kemungkinan diagnosis dapat ditetapkan berdasarkan presentasi klinis, temuan radiologi, PCR, tes serologi dan juga respon pada terapi. Diagnosis klinis dapat dibuat pada pasien dengan positif HIV dengan hitungan CD4 < 100 sel/uL yang presentasi klinis fokal neurologis. Jika kasus toksoplasmosis serebri, ada peningkatan klinis dan gambaran radiologi setelah 2-3 minggu terapi empiris. 11
Pemeriksaan Serologi :didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan
IgM. Deteksi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mulai meningkat setelah 1-2 minggu dan mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
Pemeriksaan cairan serebrospinal : menunjukkan adanya pleositosis ringan
dari mononuklear predominan dan elevasi protein.
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) : mendeteksi DNA
T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena kista jaringan dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.
CT scan : menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens
multiple disertai dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik padajaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
Biopsi otak : adanya takizoit dan kista jaringan untuk diagnosis pasti
ditegakkan melalui biopsi otak. 11
G. Diagnosis banding
Toksoplasmosis serebri harus dibedakan dari infeksi oportunistik lain atau tumor di sistem saraf pusat pada pasien AIDS. Diagnosis banding mencakup ensefalitis herpes simpleks, sitomegalovirus, aspegilus dan nocardia spp, meningitis kriptokokus, abses otak, progressive multifocal oencephalopathy dan limfoma primer sistem saraf pusat.10,11
H. Penatalaksanaan
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
Toxoplasma Gondii membutuhkan vitamin B9 (asam folat) untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B9 oleh toksoplama gondii. Sulfadiazin menghambat penggunaannya.
kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam.
pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
pemberian
asam
folinic
5-10
mg
perhari
untuk
mencegah
supresi
hematopoiesis.
pasien alergi terhadap
sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan
Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total kurang dari 1200 sel/ ml. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV .
I. Pencegahan toksoplasmosis pada pasien HIV/AIDS
Semua pasien HIV harus di tes konsentrasi antibodi IgG untuk toksoplasma untuk mendeteksi infeksi laten. Semua pasien HIV harus dikonsul walaupun belum terinfeksi toksoplasma. Hindari makan daging mentah atau setengah matang. Cuci tangan setelah kontak langsung dengan daging mentah, berkebun atau kontak langsung dengan tanah. Buah dan sayuran mentah harus dicuci baik sebelum dimakan. Hindari membuang kotoran kucing. Peliharaan seperti kucing harus diberi
makan makanan kaleng atau makanan yang dimasak bukan daing mentah atau setengah matang. 11
CASE REPORT 1. Identitas pasien a. Nama
:
b. Usia
:
c. Jenis kelamin
:
d. Alamat
:
e. Pekerjaan
:
f.
:
Pendidikan
g. Masuk rumah sakit
:
h. Keluar rumah sakit
:
2. Sacred seven: a. Keluhan utama
:
b. Onset
:
c. Kualitas/ kuantitas
:
d. Kronologis
:
e. Memperberat
:
f.
Memperingan
:
g. Keluhan tambahan
:
3. Riwayat penyakit sekarang 4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga 6. Pemeriksaan fisik a. Status generalis i. Kesadaran umum ii. Kesadaran iii. GCS b. Tanda vital i. Tekanan darah ii. Nadi iii. Suhu iv. Pernapasan c. Status neurologis i. Rangsang meningeal 1. Kaku kuduk 2. Brudzinski I 3. Brudzinski II 4. Kernig 5. Laseque ii. Nervus I olfaktorius 1. Penciuman iii. Nervus II optikus 1. Visus 2. Lapang pandang 3. Buta warna 4. Funduskopi
iv. Nervus III, IV, VI okulomotorius, troklearis, abdusen 1. Sikap bola mata 2. Pergerakan bola mata 3. Ptosis 4. Strabismus 5. Eksoptalmus 6. Enoptalmus 7. Deviasi konjugae 8. Pupil 9. Refleks cahaya langsung 10. Refleks cahaya tidak langsung 11. Daya akomodasi 12. Diplopia v. Nervus V trigeminus 1. Buka tutup mulut 2. Gerak rahang 3. Menggigit 4. Raba 5. Nyeri 6. Suhu 7. Refleks kornea 8. Refleks maseter vi. Nervus VII fasialis 1. Sikap wajah 2. Angkat alis
3. Kerut dahi 4. Kembung pipi 5. Lagoftalmus 6. Menyeringai 7. Rasa kecap 2/3 lidah 8. Chovstek vii. Nervus VIII vestibulokokhlearis 1. Vertigo 2. Nistagmus 3. Tes berbisik 4. Tes gesekan jari 5. Rinne 6. Weber 7. Schwabach viii. Nervus IX, X glosofaringeus, vagus 1. Arcus faring 2. Uvula 3. Palatum mole 4. Disartria 5. Disfagi 6. Disfoni 7. Refleks sinus okulokardia 8. Refleks sinus karotikus ix. Nervus XI aksesorius 1. Angkat bahu
2. Menoleh x. Nervus XII hipoglosus 1. Sikap lidah 2. Julur lidah 3. Atrofi 4. Tremor 5. Fasikulasi 6. Tenaga otot lidah xi. Motorik 1. DKO 2. Trofi 3. Tonus 4. Gerakan spontan abnormal xii. Sensibilitas 1. Sikap 2. Getar 3. Raba 4. Nyeri xiii. Fungsi luhur 1. Kognitif 2. Memori 3. Afek dan emosi 4. Vegetatif 5. Visiospasial xiv. Koordinasi
1. Duduk-berdiri 2. Romberg test 3. Romberg dipertajam 4. Jari-jari 5. Disdiadokokinesis xv. Refleks fisiologis 1. Biceps 2. Triceps 3. Brachioradialis 4. Brachioulnaris 5. KPR 6. APR xvi. Refleks patologis 1. Hoffmann tromner 2. Babinski 3. Chaddock 4. Gordon 5. Gonda 6. Openheim 7. Mendel 8. Rosolimo 9. Schaefer 10. Klonus lutut 11. Klonus kaki FOLLOW UP PASIEN
DAFTAR PUSTAKA 1. Kemenkes RI. 2014. Infodatin AIDS. Jakarta: Kemenkes RI 2. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Pen yakit Dalam. Jilid III. Edisi VI.Jakarta: Interna Publishing, 2014 3. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. J akarta: EMS. 2006 4. Profesor.dr.H.Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. N eurologi. Jakarta: PerhimpunanDokter Spesialis Saraf Indonesia 2006. 5. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90. 6. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and AcquiredImmunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003:955-89 7. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine. Januari 2003. 8. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC. 2001 9. HIV and Hepatitis. 2008. Di unduh dari http://www.hivandhepatitis.com/recent/2008/09c.html 10. Kasper Dennis L, hauser Stephen L, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine 19th Edition. Nepal: 2015; 1401-1402. 11. Basavaraju, Anuradha. 2016. Toxoplasmosis in HIV infection: a n overview. Tropical Parasitology. 2016 Jul-Dec; 6(2); 129-135. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5048699/?report=reader#__ffn_sectitle
CASE REPORT TOKSOPLASMOSIS SEREBRI
PENGUJI:
DISUSUN OLEH: nama NIM
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI PERIODE FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA
2017