“TRAUMA MAKSILOFASIAL”
Disusun untuk Memenuhi Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kegawatdaruratan
Disusun Oleh : Budi Hilmansyah Isti Insani Amalia Jojoh Nurliah Reza Fahmi
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN KELAS B STIKes MUHAMMADIYAH CIAMIS 2013
BAB I PENDAHULUAN
Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan jaringan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia
21-30 tahun. tahun.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang yang fatal harus harus menjalani rawat rawat inap di rumah sakit
dan
dapat
mengalami cacat permanen. Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan
Terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal hal tersebut
terjadi mungkin mungkin
disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan batas kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi. Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial
(wajah).
Penatalaksanaan
kegawatdaruratan
pada
trauma
maksilofasial oleh dokter umum hanya mencakup mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang mengalami kegawat daruratan.
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak
usia
4-5
tahun,
besar
kranium
sudah
mencapai
90%
kranium
dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.
Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial
4
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian: a. Bagian hidung terdiri atas : Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti : Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot. 2.2 Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala. :
Trauma Jaringan lunak
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato. 2. Cedera saraf, cabang saraf fasial. 3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen. 4. Cedera kelopak mata. 5. Cedera telinga. 6. Cedera hidung.
Trauma Jaringan keras
1. Fraktura sepertiga atas muka. 2. Fraktura sepertiga tengah muka. a. Fraktura hidung (os nasale). b. Fraktura maksila(os maxilla). c. Fraktur zigomatikum(os zygomaticum dan arcus zygomaticus). d. Fraktur orbital (os orbita).
3. Fraktura sepertiga bawah muka. a. Fraktura mandibula (os mandibula). b. Gigi (dens). c. Tulang alveolus (os alveolaris).
2.3 Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%. Penderita fraktur maksilofacial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38% disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.
2.4 Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).
2.5 Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian. a. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab a. Ekskoriasi b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek(vulnus laceratum) , luka tusuk (vulnus punctum) c. Luka bakar (combustio) d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum) 2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan a. Skin Avulsion & Skin Loss 3. Dikaitkan dengan unit estetik Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.(Gambar 1)
Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut ( Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226)
4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi a. Luka Bersih.
Luka Sayat Elektif.
Steril Potensial Terinfeksi.
Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur genitourinarius.
b. Luka Bersih Tercemar.
Luka sayat elektif.
Potensial terinfeksi : Spillage minimal, Flora normal.
Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur genitourinarius.
Proses penyembuhan lebih lama.
c. Luka Tercemar.
Potensi terinfeksi Spillage traktur elementarius, dan traktur genitourinarius dan kandung empedu.
Luka trauma baru : laserasi,fraktur terbuka dan luka penetrasi.
d. Luka Kotor.
Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
Perforasi viscera,abses dan trauma lama.
5. Klasifikasi Lain. a. Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door ). b. Luka Tusukan ( puncture). c. Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung.
b. Trauma Jaringan Keras Wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat
dari
terminologinya
diklasifikasikan berdasarkan :
Trauma
pada
jarinagan
keras
wajah
dapat
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik. a. Berdiri Sendiri : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus. b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula.
Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks P. Fraktur mandibula (Killeys Fractures of the mandible). Alih bahasa, Lilian Yuwono, Jakarta: Hipokrates, 1990:2).
Gambar 3. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1996:255)
2. Dibedakan berdasarkan kekhususan. a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita). b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III. c. Fraktur segmental mandibula.
Gambar 4. (A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of injury and its surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5)
3. Berdasarkan Tipe fraktur. a. Fraktur simple.
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
b. Fraktur kompoun.
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
c. Fraktur komunisi.
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.
Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
d. Fraktur patologis.
Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar
dan
penyakit
tulang
sistemis
sehingga
dapat
menyebabkan fraktur spontan. 4. Perluasan tulang yang terlibat. a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang. b. Tidak komplit, seperti pada greenstik , hair line, dan kropresi ( lekuk ). 5. Konfigurasi ( garis fraktur ). a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. b. Oblique ( miring ). c. Spiral (berputar). d. Comuniti (remuk). 6. Hubungan antar Fragmen.
Displacement , disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat.
Undisplacement , bisa terjadi berupa : o
Angulasi / bersudut.
o
Distraksi.
o
Kontraksi.
o
Rotasi / berputar.
o
Impaksi / tertanam.
2.5.1 Facial danger zones (Zona bahaya wajah)
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.
Gambar 5. Facial danger zone
Berikut pengklasifikasian dari facial danger zone : 1. Facial danger zone 1 ( N. Auricularis ).
N. Auricularis, terletak 6,5 cm dibawah meatus acusticus eksternus. Terletak di posterior SMAS ( Superficial musculoaponeurotic system ).
Gambar 6. Facial danger zone 1
Gambar 7. Superficial Muscular Aponeurotic System (SMAS)
2. Facial danger zone 2 ( cabang dari n.VII ).
Terletak 1,5 cm di sisi lateral dari alis mata.
Gambar 8. Facial danger zone 2
3. Facial danger zone 3 ( cabang marginal mandibular dari n.VII ).
Terletak di regio mandibular.
Gambar 9. Facial danger zone 3
4. facial danger zone 4 (cabang buccal & zygomaticus dari n.VII)
Terletak di daerah buccal & zygomaticus.
Gambar 10. Facial danger zone 4
5. facial danger zone 5 ( nn.Supraorbita & nn.Supratrochlearis ).
Gambar 11. Facial danger zone 5
6. Facial danger zone 6 ( n.infra orbita )
Terletak tepat dibawah mata.
Gambar 12. Facial danger zone 6
7. Facial danger zone 7 (n. Mentalis).
Terletak di mandibula, 1,5 cm dibawah bibir.
Gambar 13. Facial danger zone 7
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa : 1. Dislokasi,berupa perubahan posisi yg menyebabkan mal oklusi terutama pada fraktur mandibula. 2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur. 3. Rasa nyeri pada sisi fraktur. 4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas. 5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur. 6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur. 7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur. 8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan 9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah nervus alveolaris. 10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus. 2.7 Diagnosis
Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur Maksilofasial, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut : a. Anamnesa
Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain yang melihat langsung kejadian. Yang harus ditanyakan adala h :
Penyebab pasien mengalami trauma :
kecelakaan lalu lintas.
Trauma tumpul.
Trauma benda keras.
Terjatuh.
Kecelakaan olah raga.
Berkelahi.
Dimana kejadiannya.
Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di rumah sakit.
Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa lama pasien tidak sadarkan diri.
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah : a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. b. luka tembus. c. Asimetris atau tidak. d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. e. Otorrhea / Rhinorrhea f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. g. Cedera kelopak mata. h. Ecchymosis, epistaksis i. defisit pendengaran. j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil. 2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi. 3. Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi, dan mati langkah, terutama di daerah
pinggiran
supraorbital
dan
infraorbital,
tulang
frontal,
lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas. 4. Periksa
mata
untuk
memastikan
adanya
exophthalmos
atau
enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual,
kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual. 5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis. 6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi. 7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema. 8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal. 9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak. 10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial. 11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan Krepitasi. 12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan Rhinorrhea cairan cerebrospinal. 13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas
membran
timpani,
hemotympanum,
perforasi,
atau
ecchymosis daerah mastoid (Battle sign). 14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda Krepitasi atau mobilitas. 15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III. 16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi .
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit. 18. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis. 19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur. 20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf. Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut : a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya. b. Adanya Krepitasi. c. Fraktur. d. Deformitas, kelainan bentuk. e. Trismus (tonik kontraksi rahang) f. Edema. g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.
Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII 1. N. Opticus (I I ), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya. 2. N. Occulomotori us (I I I ), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek
motorik tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis. , 3. N. occulomotoriu s (I I I ), N. Tr ochl ear (I V), N. Abducens (VI ) diplopia. 4. N. Tr igeminal (V)
1. tes sensorik , Sentuh di dahi, bibir atas, dan dagu di garis tengah, Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit sensorik. 2. tes motorik , merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral. 5. N. Facial (VII )
1. area Temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan. 2. area Zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.
3. area Buccal , mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi. 4. area Marjinal mandibula, mengerutkan bibir. 5. area Cervical , menarik leher (saraf otot platysma, Namun, fungsi ini tidak terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari). 6. N. Vestibul ocochl eari s (VI I I ), pendengaran, keseimbangan, Gosok jari
atau berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif, akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu meliputi : 1. Periksa Kesadaran pasien. 2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada Hematoma : a. Fraktur Zygomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?
Apakah sejajar atau bergeser ?
Apakah pasien bisa melihat ?
Apakah dijumpai diplopia ?
Hal ini karena : o
Pergeseran orbita
o
Pergeseran bola mata
o
Paralisis saraf ke VI
o
Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala. Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri
tekan, deformitas, iregularitas dan krepitasi. Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang
hidung, pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas
(saraf gigi atas).
f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya.
a. Keadaan Darurat Trauma Maksilofasial
Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani secara sistematis, dititik beratkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma.
1. Apakah Pasien dapat bernapas ?
jika sulit :
Ada obstruksi.
Palatum mole tertarik ke bawah lidah, curiga adanya fraktur Le Fort.
Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak, curiga adanya Fraktur Mandibula.
2. Palatum Mole tertarik ke arah lidah
Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.
Untuk
melepaskan
himpitan
tulang
pegang
alveolus
maksilaris dengan forcep khusus ( Rowe’s) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan.
3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang
Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya, dan secara lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi.
Catatan : jika pernapasan membahayakan dan perlu dirujuk maka sebaiknya dilakukan tracheostomi, tetapi jika perlu dilakukan pembebasan airway segera dilakukan krikotirodotomi.
4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan
Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepala pada salah satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut diantara pegangan.
5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk
Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya.
Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah.
Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.
6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah
Hisap bersih ( suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebal yang sejenis ke satu sisi.
Indikasi dilakukan Tracheostomi Jika :
1. Tidak dapat melepaskan himpitan fraktur atau mereduksi fraktur pada sepertiga wajah pasien. 2. Tidak dapat mengontrol perdarahan yang berat. 3. Edema glotis. 4. Cedera berat dengan kehilangan banyak jaringan.
Jika terjadi Perdarahan :
Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan, Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.
Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial : 1. Memperbaiki jalan napas. 2. Mengontrol perdarahan. 3. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna. 4. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.
7. Pemeriksaan Intra Oral.
Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :
Mandibular floating.
Maxillar floating.
Zygomaticum floating.
Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang ters ebut.
Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal.22
Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi dalam 2 kelompok :
Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat darurat.
Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat darurat : 1. Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area diikuti dengan teknik ATLS.
2. Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher. a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika penderita perlu melakukannya. b. Jaw trush dan chin lift. c. Traksi lidah : Dengan jari,O-slik suture atau dengan handuk 3. Endotrakel
intubasi
:
oral
intubasi
sadar
atau
RSI
atau
krikotiroidotomi 4. Berikan oksigenasi yang adekuat . 5. Monitor tanda vital setiap 5 – 10 menit, EKG, cek pulse oximetry. 6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan. 7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum / elektrolit / kreatinin. 8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung. a. Penekanan langsung. Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan. b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 – 10 menit.
Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan luka pada wajah :
Asepsis. Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing. Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah dijahit.
Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka.
Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.
Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti.
Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang hanya berfungsi sebagai pemegang.
Eksposur,
luka
sesudah
dijahit
sebaiknya
dibiarkan
terbuka
karena
penyembuhan dan perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus ditekan (pressure). 20
Perawatan Cedera maksilofasial
a. Jika pasien sadar. Dudukkan pasien menghadap ke depan sehingga lidahnya, saliva dan darah mengalir keluar. b. Jika pasien tidak sadar Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recovery, hati – hati bila ada cedera lain yang membahayakan. Bila akan dilakukan operasi tetap siapkan sebagai operasi dengan
general anestesi. Kebersihan dan desinfeksi. Jika sadar suruh untuk kumur – kumur
dengan : o
Cairan kumur clorheksidin 0,5 %
o
larutan garam 2 %
o
jika tidak mungkin kumur dengan air bersih.
c. Obat-obatan Tergantung dokter yang merawatnya,dengan pertimbangan kondisi dan keparahan traumanya :
Antibiotika, diberikan golongan penisillin selama seminggu, harus diberikan segera.
Jika terjadi kebocoran CSS diberikan sulfadimidin 1 gr setiap 6 jam s/d 48 jam. Kebocoran berhenti secara spontan. Kebocoran tidak boleh di hentikan.
Jika gelisah berikan diazepam.
Berikan anti tetanus jika diperlukan.
2.9 Pencegahan
Kendati teknologi bedah memberi hasil yang baik, pencegahan trauma merupakan langkah yang bijak. Pengendara motor yang berisiko tinggi terjadi trauma hendaknya lebih memperhatikan keselamatan, terutama dibagian kepala. Dari suatu penelitian, disimpulkan bahwa ternyata tidak ada perbedaan berarti pada frekuensi kejadian trauma maksilofacial sebelum dan sesudah era wajib helm. Hal ini kemungkinan disebabkan karena masih sangat sedikit pengendara sepeda motor yang mengenakan helm dengan benar. Oleh karena itu, peran serta pemerintah sangat diperlukan untuk memaksimalkan upaya preventif, sedangkan kuratifnya kita serahkan pada ahli bedah. 2.10
Pemeriksaan Penunjang
Wajah Bagian Atas :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT-scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala.
Wajah Bagian Tengah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwell’s), Submentovertek (Jughandle’s).
Wajah Bagian Bawah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
Panoramic X-ray.
Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
Posteroanterior (Caldwell’s).
posisi lateral (Schedell).
posisi towne.8
Gambaran CT-scan
Gambar 14. (A) Gambaran CT-scan koronal, (B) CT scan 3D, ( C) CT scan aksial
Gambaran CBCT-scan 3D.
Gambar 15. CBCT-scan 3D
Gambar 16. CBCT-scan 3D
Gambaran Panoramic X-ray
Gambar 17. Panoramic X-ray
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa: 8 a. Aspirasi. b. Gangguan Airway. c. Scars. d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat. e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah, bau, rasa. f. Kronis sinusitis. g. Infeksi. h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan. i.
Fraktur non union atau mal union.
j.
Mal oklusi.
k. Perdarahan.
2. 12 Prognosis
Bila pengobatan diperoleh dengan tepat dan cepat setelah trauma maksilofasial, prognosis bisa menjadi baik. Penyembuhan juga tergantung pada trauma yang timbul. Kecelakaan mobil atau luka tembak, misalnya, dapat menyebabkan trauma wajah berat yang mungkin memerlukan beberapa prosedur pembedahan dan cukup banyak waktu untuk proses penyembuhan. Trauma maksilofasial yang berat sering dikaitkan dengan trauma pada angota tubuh lain yang mungkin mengancam nyawa. Trauma jaringan lunak yang luas atau avulsi dan fraktur tulang wajah comuniti jauh lebih sulit untuk diobati dan mungkin memiliki prognosa yang buruk. Perdarahan berat dari trauma yang
luas dari wajah dapat menyebabkan kematian. Obstruksi jalan napas, jika tidak diobati atau dideteksi, dapat menyebabkan resiko kematian yang tinggi.
BAB III KESIMPULAN
a. Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan jaringan lunak wajah. b. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. c. Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial (wajah). d. Penderita fraktur maksilofacial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun. e. Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. f. Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur Maksilofacia, dapat dilakukan hal-hal pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. g. Penatalaksanaan penderita fraktur maxilofacial dengan cara terapi pembedahan. h. Tujuan pengelolaan trauma maksilofasial dalam gawat darurat bedah, walaupun prioritas pertama meyelamatkan hidup (life saving) penderita, tetapi tindakan yang tepat dan mantap pada awal kedaruratan akan sekaligus menyelamatkan kehidupan (life saving) penderita di kemudian hari. i.
Bila pengobatan diperoleh dengan tepat dan cepat setelah trauma maksilofasial, prognosis bisa menjadi baik.