Type-type proses
Seleksi proses sangat diperlukan dalam merancang pabrik agar memperoleh proses pembuatan sorbitol yang optimal. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh tipe proses yang dapat memenuhi syarat baik dari segi operasi maupun ekonomi. Sorbitol dapat diproduksi dengan berbagai cara dengan jenis bahan baku, dan kondisi operasi serta konversi yang berbeda. Pembuatan sorbitol dari bahan baku tepung tapioka ini dilakukan dengan dua tahap proses utama yaitu :
Proses Pengubahan Starch Menjadi Glukosa
Hidrolisa dengan Asam
Hidrolisa dengan Enzim
Hidrolisa dengan Asam-Enzim
Proses Pengubahan Glukosa Menjadi Sorbitol
Proses Reduksi Elektrolit
Proses Hidrogenasi Katalitik
2.1.1 Proses Pengubahan Starch Menjadi Glukosa
2.1.1.1 Hidrolisa dengan Asam
Proses Hidrolisa ini menggunakan asam ditemukan pertama kali oleh Kirchoff pada tahun 1811, tetapi produksi secara komersial terlaksana pada tahun 1850. Prose hidrolisa ini Asam yang biasa digunakan untuk proses ini antara lain adalah asam sulfat, asam klorida, dan asam fosfat. Dalam proses ini asam berfungsi sebagai katalis yang dapat mempercepat terbentuknya produk. Mekanisme proses hidrolisa dengan asam sebagai berikut :
Proses hidrolisa dilakukan dalam tangki converter yang terbuat dari baja tahan karat dengan dilengkapi pipa saluran uap pemanas dan pipa saluran udara yang dihubungkan dengan kompresor untuk mengatur tekanan udara didalamnya.
Larutan suspense yang mengandung 30-40% tepung tapioka di dalam air dialirkan masuk ke dalam converter kemudian larutan asam berupa HCl ditambahkan untuk membentuk larutan dengan pH mencapai nilai = 2,3 sehingga dapat terjadi proses hidrolisis.
Kemudian larutan tersebut dipanaskan dalam converter hingga mencapai suhu 120-135 oC dan tekanan 3 kg/cm2. Proses ini memakan waktu antara 15-20 menit agar menghasilkan derajat hidrolisa yang diinginkan.
Setelah dicapai suhu yang diinginkan, kemudian hidrolisat ditampung pada tangki penahan agar proses hidrolisa berlangsung secara sempurna.
Ketika konversi yang diinginkan sudah tercapai, temperatur dan tekanan direduksi dan reaksi dihentikan dengan menambahkan neutralizing agent (biasanya Sodium carbonate) untuk menaikkan pH menjadi 4 – 5,5. Komponen yang tidak terlarut kemudian dihilangkan.
Reaksi yang terjadi pada reaksi hidrolisis pati dengan asam adalah sebagai berikut :
Reaksi utama
(C6H10O5)n + nH2O n(C6H10O5)
Reaksi samping
2(C6H10O5)n + nH2O C12H22O11
3(C6H10O5)n + nH2O C18H32O16
Hidrolisis asam memutus rantai pati secara acak yang memberikan komposisi Syrup glukosa dengan derajat hidrolisis tertentu. Syrup glukosa dengan hidrolisis asam mempunyai DE (dextrose equivalent) dibawah ca.30 yang cenderung berwarna gelap di bagian atas karena endapan polimer rantai linier terpanjang. Selain itu terdapat kemungkinan untuk mencapai DE lebih besar dari ca.55, tetapi dibutuhkan kondisi ekstrim sehingga dapat menaikkan degradasi glukosa terlalu banyak yang sulit dihilangkan selama pemurnian, akibatnya produk berwarna kuning. Menurut Lloyd dan Nelson (1984), Dextrose Equivalent (DE) adalah nilai yang menunjukkan total gula pereduksi yang dihitung sebagai D-glukosa dalam berat kering. Besarnya DE berbanding terbalik dengan derajat polimerisasi. Pati yang tidak terhidrolisis memiliki DE nol, sedangkan DE dari D-glukosa anhidrous adalah 100. DE umumnya untuk menyatakan tingkat kemanisan gula. Nilai DE yang paling umum pada hidrolisis dengan asam sekitar 40 – 45% karena keterbatasan konversi.
Keuntungan dari proses hidrolisa asam adalah :
Proses yang cepat dan sederhana.
Bahan pembantu yaitu berupa asam mudah didapatkan dan murah.
Kerugian dalam memakai proses hidrolisa asam :
Menghasilkan konversi yang cukup rendah
Biaya pembuatan peralatan yang mahal, karena dibutuhkan peralatan yang tahan terhadap korosif.
Penanganan asam sebagai bahan pembantu akan memakan resiko besar karena sifatnya yang eksplosif dan berbahaya bagi kesehatan pekerja serta lingkungan.
Menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra tertentu saja karena proses hidrolisis secara acak.
Dapat menyebabkan degradasi karbohidrat maupun kombinasi produk degradasi yang mempengaruhi warna, rasa, dan masalah teknis lainnya.
2.1.1.2 Hidrolisa dengan Enzim
Penggunaan enzim dalam industri gula dari pati mulai dirintis sejak penemuan enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis oleh Fukumoto pada tahun 1940. Hidrolisis pati dengan menggunakan enzim dilakukan dengan dua jenis enzim yaitu enzim α-amilase dan gluokoamylase (amilglukosidase).
Reaksi yang terjadi pada hidrolisis pati dengan enzim adalah sebagai berikut :
-[C6H10O5]n- n(C6H10O5)x
n(C6H10O5)x + xnH2O x nC6H12O6
Pembuatan sirup glukosa yang umumnya berbahan dasar dari pati, tahapan prosesnya meliputi likuifikasi, sakarifikasi, penjernihan, dan pemekatan. Proses diawali dengan pencampuran larutan pati dengan air pada tangki pencampur. Selanjutnya larutan pati yang telah dicampur dengan air ditambah dengan CaCl2. Penambahan ini bertujuan sebagai aktivator.
Selanjutnya dilakukan penambahan enzim amylase pada larutan pati dan dilakukan pemanasan dengan jet cooker sampai 105oC selama 5 menit. Enzim α-amilase digunakan pada proses likuifikasi, sedangkan enzim glukoamilase digunakan pada proses sakarifikasi. Enzim α-amilase tahan pada suhu tinggi yang dibutuhkan untuk proses gelatinasi pati secara sempurna. Enzim α-amilase yang tahan terhadap suhu tinggi ditambahkan pada slurry pati disertai kalsium sebagai stabilizer enzyme yang telah diatur pH nya (6 – 6,5). pH < 6,3 lebih dipilih untuk mencegah pembentukan maltosa yang tidak dapat dikonversi secara enzimatik menjadi glukosa, dimana pembentukan maltosa akan mengurangi yield glukosa. Selain itu, telah diperkenalkan kondisi operasi baru bahwa enzim α-amilase mampu melikuifikasi pati pada pH 4,5 tanpa membutuhkan penambahan kalsium, hal tersebut mampu mengurangi biaya bahan kimia dan pemurnian. Kemudian larutan pati dialirkan ke reaktor likuifikasi untuk mengalami proses hidrolisa selama ±2 jam. Pada proses likuifikasi ini terjadi pemutusan rantai ikatan panjang polisakarida menjadi dekstrin dan sejumlah kecil karbohidrat.
Untuk proses selanjutnya yaitu penambahan HCl pada larutan pati untuk menurunkan pH, agar kondisi optimum dari enzim glukoamylase tercapai. Proses hidrolisa dari dekstrin menjadi glukosa membutuhkan waktu 24-72 jam.
Hidrolisis enzim-enzim dapat meningkatkan yield glukosa dan menurunkan kebutuhan pemurnian. Kandungan glukosa maksimum selama proses sakarifikasi juga ditentukan oleh kandungan solid pada slurry, dengan kandungan solid 30% wt biasanya glukosa yang dihasilkan adalah 96% db. Dengan menurunkan kandungan solid 10 – 12 % wt akan meningkatkan glukosa yang didapat menjadi 98 – 99% wt db.
Kelebihan dari hidrolisis enzim-enzim adalah sebagai berikut :
Menghasilkan konversi glukosa 97 %.
Dapat mengurangi kerusakan produk yang timbul dari reverse reaction selama proses konversi.
Tidak menyebabkan korosi pada peralatan.
Menghasilkan yield lebih tinggi dibandingkan dengan hasil menggunakan proses hidrolisis asam-enzim.
Kekurangan hidrolisis enzim-enzim adalah sebagai berikut :
Membutuhkan kondisi operasi yang berbeda untuk setiap enzim.
Kebutuhan enzim harus impor.
2.1.1.3 Hidrolisa dengan Asam-Enzim
Hidrolisis dengan katalis gabungan ini diperkenalkan pertama kali oleh Langlois & Dale pada tahun 1940. Dalam proses hidrolisis dengan katalis kombinasi ini, pada awalnya dilakukan hidrolisis parsial dengan menggunakan enzim amilolitik (Tjokroadikoesoemo,1986).
Hidrolisa menggunakan asam dan enzim ini memerlukan suhu dan pH yang sesuai dalam pengoprasiannya. Dalam proses ini, hidrolisa yang terjadi secara parsial di mana untuk pertama menggunakan asam, kemudian dilanjutkan dengan proses sakarifikasi dengan menggunakan enzim glukoamilase. Konversi enzim biasanya dilakukan pada pH 4,5-7 dengan suhu optimum 50-60 oC.
Untuk komposisi akhir dari hidrolisat bergantung pada pengaturan hidrolisa asam mula-mula, dan tipe enzim serta tingkat sakarifikasi enzim.
Reaksi menggunakan katalis asam (primary) :
(C6H10O5)n + nH2O nC6H12O6
2(C6H10O5)n + nH2O nC12H22O11
3(C6H10O5)n + nH2O nC18H32O16
Reaksi menggunakan katalis enzim (secondary) :
C12H22O11 + H2O C6H12O6
C18H32O16+ H2O C6H12O6
Keuntungan dari penggunaan katalis asam-enzim dari hidrolisa ini adalah :
Yield dextrose yang dihasilkan sekitar 95 %
Menggunakan 2 katalis hasil proses hidrolisa dapat berjalan lebih optimal
Kerugian dengan menggunakan hidrolisa asam enzim :
Penggunaan 2 buah katalis menaikkan biaya produksi
Pengaturan kondisi operasi yang sulit karena penyesuaian pH dan suhu optimum dari masing-masing katalis.
2.1.2 Proses Pengubahan Glukosa Menjadi Sorbitol
2.1.2.1 Proses Reduksi Elektrolitik
Industri sorbitol pertama kali dibangun pada tahun 1937 dan menggunakan proses elektrolitik. Larutan D-glukosa atau disebut juga dekstrosa, yang juga mengandung sodium sulfat dielektrolisis. Hidrogen yang berada pada katoda amalgam mereduksi dekstrosa menjadi sorbitol. Pemurnian dan recovery larutan sorbitol dilakukan dengan metode yang sama dengan yang saat ini digunakan. (Faith, 1975).
Pada bagian elektrolisis ini dilengkapi dengan sumber arus yang tidak berfluktuasi elektroda yang dipakai adalah amalgam sebagai katoda dan timbal sebagai anoda sedangkan larutan yang dipakai NaOH dan Na2SO4. Pada prinsipnya dextrosa akan direduksi dengan H2 sebagai hasil proses elektrolisis diatas. Dari proses diatas akan menghasilkan sorbitol dan produk samping mannitol yang terbentuk karena sebagian dextrosa pada kondisi basa akan berubah menjadi fruktosa dan mannose sehingga saat direduksi akan menjadi mannitol.
Proses ini berlangsung lambat, konversi produk rendah, serta mahal karena membutuhkan banyak tenaga (Faith, 1975). Faktor-faktor yang yang mempengaruhi hasil dan kualitas proses reduksi elektrolitik ini yaitu densitas arus, konsentrasi, temperatur, komposisi elektroda serta elektrolitik dan promotornya.
2.1.2.2 Proses Hidrogenasi Katalitik
Proses pembuatan sorbitol dengan hidrogenasi katalitik dilakukan dengan mereaksikan larutan dekstrose dan gas hidrogen bertekanan tinggi dengan menambahkan katalis nikel dalam reaktor (Reaktor Hidrogenasi). Gas hidrogen masuk dari bawah reaktor secara bubbling dan larutan dekstrose diumpankan dari atas reaktor sehingga kontak yang terjadi semakin baik.
Reaksi yang terjadi :
Dextrose + H2 Sorbitol
Proses ini menghasilkan overall yield 95 – 99%. Secara keseluruhan proses pembuatannya dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 Proses pembuatan sorbitol dengan proses hidrogenasi katalitik (Faith,1975)
Pemilihan proses
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan proses adalah proses pembuatan produk yang meliputi bahan baku, konversi reaksi, kuantitas produk, sedangkan dari kondisi operasi adalah mengenai temperatur dan tekanan operasi.
2.2.1Seleksi Proses Pengubahan Starch menjadi Glukosa
Dari berbagai macam proses pembuatan glukosa secara hidrolisa yang telah diuraikan sebelumnya, perbedaan masing-masing proses dari segi teknis maupun ekonomis ketiganya dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbedaan Teknis dan Ekonomis Proses pembuatan glukosa
Uraian
Proses Hidrolisa
Asam
Enzim
Asam-Enzim
Aspek Teknis
Operasi :
Tekanan (Kg/cm2)
Suhu (oC)
pH
Proses :
DE
Reaksi Samping
Daya Korosi
3
140-160
2,3
30-55 %
Ada
Tinggi
1
60-105
4,5-6
90-95%
-
Rendah
1-3
60-140
1,8-2
63-80 %
Ada
Tinggi
Aspek Ekonomis
Kebutuhan Asam
Biaya Peralatan
Energi
Investasi
Banyak
Mahal
Besar
Tinggi
Sedikit
Murah
Kecil
Sedang
Banyak
Mahal
Besar
Tinggi
Sumber : Tjokroadikoesoemo (1986)
Berdasarkan data perbandingan ditas maka proses yang dipilih ialah hidrolisa pati dengan katalis enzim-enzim dengan pertimbangan sebagai berikut :
Setelah mencermati kelebihan dan kekurangan proses hidrolisis pati di atas, maka dipilih proses hidrolisis dengan menggunakan enzim dengan pertimbangan – pertimbangan sebagai berikut :
Konversi glukosa tinggi, yaitu 97%.
Nilai DE tinggi, yaitu antara 95 – 98%.
Kondisi operasi pada suhu dan tekanan yang rendah sehingga membutuhkan energi yang lebih sedikit.
Tidak terjadi reaksi samping.
Kemungkinan korosi kecil.
2.2.2 Seleksi Proses Pembuatan Sorbitol
Dari berbagai macam proses pembuatan glukosa secara hidrolisa yang telah diuraikan sebelumnya, keuntungan dan kerugian masing-masing proses dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Perbandingan antara Proses Reduksi Elektrolitik dengan Hidrogenasi Katalitik
Uraian
Reduksi Elektrolitik
Hidrogenasi Katalitik
Aspek Teknis
Operasi :
Tekanan (Kg/cm2)
Proses :
Konversi Starch
Reaksi Samping
Waktu Proses
125
85 %
Banyak
Lama
75
95-99%
Sedikit
Cepat
Harga
Mahal
Murah
Berdasarkan data perbandingan diatas terlihat bahwa pada proses hidrogenasi katalitik lebih menguntungkan dibanding proses reduksi elektrolitik. Dalam aplikasi di pabrik sendiri lebih banyak menggunakan proses hidrogenasi katalitik dibandingkan reduksi elektrolitik karena diihat dari segi ekonomi, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan dengan proses reduksi elektrolitik dan semua pabrik sorbitol diseluruh Indonesia menggunakan proses hidrogenasi katalitik. Hal ini menunjukkan bahwa proses reduksi elektrolitik kurang efisien untuk dipakai sebagai proses dalam pembuatan sorbitol. Sehingga dalam pemilihan proses lebih menguntungkan proses hidrogenasi katalitik dibandingkan dengan proses reduksi elektrolitik baik dari segi teknis maupun ekonomis.
Potensi dan Spesifikasi bahan baku
2.3.1 Tepung Tapioka
Tepung singkong dibagi menjadi 2, yaitu tepung murni dan tepung modifikasi. Produksi tepung murni relatif sederhana, dapat dilakukan pada berbagai skala, seperti di skala rumah tangga yang banyak dijumpai di beberapa desa di Vietnam bagian utara, Kamboja, dan di Pulau Jawa Indonesia. Sedangkan skala besarnya bisa dijumpai di Thailand, Vietnam bagian selatan dan di Provinsi Lampung (Howeler, 2002).
Produksi singkong nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari grafik di bawah ini dapat dilihat produksi singkong pada tahun 2013 mencapai 2,38 juta ton.
Gambar 2.2 Grafik perkembangan produksi singkong Indonesia, tahun 2010-2015
Berikut ini merupakan kandungan pati singkong yaitu :
Tabel 2.3 Kandungan Tepung Tapioka
Komponen
Komposisi
Karbohidrat
87.87%
Air
7.80%
Protein
1.60%
Lemak
0.51%
Abu
2.22%
Total
100.00%
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. 2003
Sifat – sifat Kimia dan Fisika Bahan Penunjang :
2.3.2 Hidrogen (H2)
Sifat Fisik :
Berat molekul : 2,016 g/ mol
Specific gravity : 0,06948
Specific volume : 193 cuft/lb (21.1 oC)
Boiling point : -252,7 oC
Auto – ignation temperature : 580 oC
Sifat Kimia :
Larut dalam air, alkohol dan eter
Tidak korosif
Mudah terbakar dan menimbulkan ledakan
2.3.3 Asam Klorida (HCl)
Sifat Fisik :
Berat molekul : 36,470 g/ mol
Density : 1,126 gr/cm3
Specific gravity : 1,1 – 1,9
Boiling point : 110 oC (larutan 20,2%), 48 oC (larutan 38%)
Melting point : -27,32 oC (larutan 38%)
Sifat Kimia :
Larut dalam air dan dietil eter
Sangat korosif
Cairan tidak berwarna hingga kuning pucat
2.3.4 Kalsium Klorida (CaCl2)
Sifat Fisik :
Berat molekul : 11,04 g/mol
Densitas : 2,15 g/ml
Titik didih : 1670 oC
Titik lebur : 772 oC
Sifat Kimia
Berbentuk putih solid
Bersifat higroskopis.
Larut dalam asam asetat, etanol, dan aseton
2.3.5 Kabon Aktif
Sifat Fisik :
Melting point : 3500 oC
Specific gravity : 3,51
Berat molekul : 12,01 gram/mol
Berat jenis : 0,2 – 0,6 gram/cc
Sifat Kimia :
Tidak mudah larut dalam air
Padatan berwarna hitam
2.3.6 Katalis Raney Nikel
Katalis adalah substansi yang berfungsi untuk meningkatkan laju reaksi kimia, pada temperatur tertentu, namun tidak menimbulkan reaksi kimia terhadap katalis tersebut. Katalis membuat reaksi menjadi lebih cepat karena perubahan yang mereka lakukan pada reaktan, yaitu dengan cara menurunkan energi aktivasi (energi terkecil yang dibutuhkan untuk membuat suatu reaksi terjadi). Ada dua jenis katalis yang dikenal, yaitu katalis heterogen dan katalis homogen. Katalis heterogen berada dalam fasa yang berbeda dengan reaktannya, sedangkan katalis homogen berada dalam fasa yang sama dengan reaktannya. Katalis homogen secara umum bereaksi dengan satu atau lebih reaktan untuk membentuk senyawa kimia "intermediate" yang akan bereaksi untuk membentuk reaksi yang diinginkan.
Raney Nikel adalah sejenis katalis padat yang terdiri dari butiran halus alloy nikel-alumunium yang digunakan dalam berbagai proses industri. Ia dikembangkan pada tahun 1926 oleh insinyur Amerika Murray Raney sebagai katalis alternatif untuk hidrogenasi minyak nabati pada berbagai proses industri. Baru-baru ini, ia digunakan sebagai katalis heterogen pada berbagai macam sintesis organik, umumnya untuk reaksi hidrogenasi. Nikel Raney dihasilkan ketika alloy nikel-aluminium diberikan natrium hidroksida pekat. Perlakuan yang disebut "aktivasi" ini melarutkan keluar kebanyakan aluminium dalam alloy tersebut. Struktur berpori-pori yang ditinggalkan mempunyai luas permukaan yang besar, menyebabkan tingginya aktivitas katalitik katalis ini.
Katalis ini pada umumnya mengandung 96% nikel berdasarkan massa, berkorespondensi dengan dua atom nikel untuk setiap atom aluminium. Aluminium membantu menjaga stuktur pori katalis ini secara keseluruhan. Secara makroskopis, nikel Raney terlihat sebagai bubuk halus yang berwarna kelabu. Secara mikroskopis, setiap partikel pada bubuk ini terlihat seperti jaring tiga dimensi, dengan ukuran dan bentuk pori-pori yang tidak tentu yang dibentuk selama proses pelindian. Nikel Raney secara struktural dan termal stabil, serta mempunyai luas permukaan BET yang besar. Sifat-sifat ini merupakan akibat langsung dari proses aktivasi, yang juga mengakibatkan aktivitas katalitik katalis yang relatif tinggi (Welsh, 2005).
Menurut Othmer (1989) kandungan dari nikel Raney adalah sebagai berikut :
Komposisi kimia : Ni 96 % wt, Al 4 % wt (seperti Al2O3)
Densitas pada fase solid : 8.1 g/cm
Densitas partikel : 3.32 g/cm
Porosity : 0.59 cm
Pure Vol : 0.178 cm3/g
2.3.7 Enzim
Enzim adalah kompleks protein yang terdiri atas rantai peptida dan mampu secara efisien mengkatalis reaksi biokimia yang secara kolektif membentuk metabolisme perantara. Kata enzim berasal dari istilah Yunani yang berarti harfiahnya"didalam sel" disamping kata enzim dikenal pula kata fermen yang berarti ragi atau cairan dalam.
2.3.7.1 Enzim α-amilase
Enzim α-amilase merupakan enzim amilase endospliting yang memutuskan ikatan glikosidik pada bagian dalam rantai pati secara acak. Enzim α-amilase hanya spesifik untuk memutuskan atau menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik tetapi mampu melewati titik percabangan (ikatan α-1,6-glikosidik) untuk memutuskan ikatan ikatan α-1,4-glikosidik disebrangnya sehingga menghasilkan isomaltase. Hasil hidrolisis pati dan glikogen oleh α-amilase adalah oligosakarida (maltodekstrin), maltosa, dan sejumlah kecil glukosa yang mempunyai konfigurasi gula α, seperti substrat awal.
Stabilitas enzim dalam larutan meningkat dengan pembubuhan sejumlah senyawa tertentu, di antaranya garam dapur, garam –garam kalsium, pati dan produk-produk hidrolisa pati. Pengaruh ini sangat penting pada suhu di atas 65 oC. Pengaruh ion kalsium terhadap stabilitas enzim sangat jelas, meskipun pada pembubuhan yang amat rendah.
Nama Dagang : Optitherm L – 420
Berat Molekul : 28.000 daltons
Kofaktor : Ca2+ max 400 ppm
Temperatur Optimum : 90 – 95 oC
Dosis : 0,5 – 0,8 kg/kg DS
2.3.7.2 Enzim Glukoamilase
Enzim-enzim yang tergolong di dalam kelompok glukoamilase ini dapat diperoleh dari berbagai strain aspergillus dan rhizopus. Tergantung pada organisme asalnya, enzim-enzim tersebut memiliki sifat-sifat kimia enzim yang berbeda-beda, namun pada kondisi yang tepat, semua enzim tersebut dapat menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa.Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutus rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian tak mereduksi dari molekul tersebut. Baik ikatan α-1,4 maupun α-1,6 dapat diputuskannya, walaupun dewasa ini sudah ditemukan enzim yang bekerjanya khusus memotong ikatan α-1,6 yaitu Pullunase yang dihasilkan oleh Aerobacter aerogenes, namun pemanfaatannya secara komersial, masih terbatas karena kurang ekonomis.
Berikut ini adalah sifat fisik enzim glukoamilase dari Aspergillus niger (Uhlig, 1998):
Nama : Optidex-L 300 [SOEG] atau Diazyme-L [SOE]
Fase : cair
Dosis : 0,6 – 0,7 liter/ton pati
Densitas : 1,25 gr/ml
Suhu optimal : 60 oC
Lama operasi : 48 - 72 jam
pH optimum : 4,0
Target produk (kualitas)
2.4.1 Produk Utama Sorbitol
Sorbitol, suatu poliol (alkohol gula), bahan pemanis yang ditemukan dalam berbagai produk makanan. Sorbitol adalah golongan alkohol polyhidrat dengan rumus kimia C6H8(OH)6 struktur molekulnya mirip dengan glukosa, hanya gugus aldehide pada glukosa diganti menjadi gugus alkohol. Kemanisan sorbitol sekitar 60% dari kemanisan sukrosa (gula tebu) dengan ukuran kalori sekitar sepertiganya. (wikipedia, 2015).
Tabel 2.3 Grade Sorbitol
Grade
Konsentrasi
Kristal komersial
99%
Sorbitol syrup noncrystallizing
70% (sirup dalam air)
Sorbitol Liquid
83-85% sirup
Sumber : Faith, 1975
Produk yang dihasilkan adalah sorbitol syrup noncrystallizing dengan grade 70%. Produk sorbitol syrup noncrystallizing dihasilkan dari hidrolisis larutan dekstrosa 50%, sedangkan sorbitol kristal dihasilkan dari hidrolisis larutan dekstrosa dengan kemurnian 97 – 100%. Produk sorbitol syrup noncrystallizing rata – rata mengandung solid content 69% (minimal), sorbitol 50% (minimal) berdasarkan berat kering.
Sifat Fisika Sorbitol :
Berbentuk kristal pada suhu kamar
Berwarna putih, tidak berbau dan berasa manis
Larut dalam air, glycerol dan propylene glycol
Sedikit larut dalam methanol, etanol, asam asetat dan phenol
Tidak larut dalam sebagian besar pelarut organic
Sifat Kimia Sorbitol (Perry, 1950) :
Specific gravity : 1.472 (-5 oC)
Melting point : 93 oC
(Metastable form) : 97.5 oC (Stable form)
Kelarutan dalam air : 235 gr/100 gr H2O
Panas pelarutan dalam air : 20.2 kJ/mol
Panas pembakaran : 3025.5 kJ/mol
2.4.2 Produk Samping Mannitol
Hasil dari proses hidrogenasi maltosa. Banyak digunakan dalam pembuatan makanan dan minuman bebas gula, karena memiliki daya serap tinggi. Mannitol digunakan untuk membuat makanan dan minuman untuk penderita diabetes, sedang menjalani diet, dan untuk membuat makanan yang tidak merusak gigi.
Kapasitas
Untuk menentukan kapasitas pabrik, analisa pasar sangat penting. Apabila kapasitas telah ditentukan maka dapat ditentukan pula volume reaktor, perhitungan neraca massa, neraca panas dan lain-lain. Untuk menentukan kapasitas pabrik diperlukan data-data produksi dan pemakaian bahan, yang bisa diperoleh dari data Biro Pusat Statistik (BPS).
Pabrik Sorbitol ini akan direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2016, dengan mengacu pada pemenuhan kebutuhan impor. Dengan analogi dari persamaan untuk menghitung bunga, maka perkiraan volume produksi, ekspor dan impor sorbitol (dalam ton) pada tahun 2015 dapat dihitung. Berikut persamaan (Peter&Timmerhauss,2003) yang digunakan:
F = Fo(1+i)n …………………………. (1)
Dimana :
F = Perkiraan kebutuhan sorbitol pada tahun 2020
Fo = Kebutuhan sorbitol pada tahun terakhir
i = Perkembangan rata-rata
n = Selisih waktu
Berikut ini adalah data impor, ekspor, ekonomi dan produksi sorbitol untuk tahun 2010 – 2015 :
Tabel 2.4 Produksi Sorbitol Indonesia tahun 2010-2015
Tabel 2.5 Konsumsi Sorbitol Indonesia tahun 2007-2011
Tabel 2.6 Ekspor Sorbitol Indonesia tahun 2007-2011
Tabel 2.7 Impor Sorbitol Indonesia tahun 2010-2015
Hasil perhitungan proyeksi produksi, konsumsi, ekspor impor pada tahun 2020 dengan menggunakan persamaan diatas berdasarkan data-data diatas adalah sebagai berikut :
Tabel 2.8 Proyeksi produksi, konsumsi, ekspor dan impor pada tahun 2020
Impor tahun 2020Impor tahun 2020
Impor tahun 2020
Impor tahun 2020
Produksi pada tahun 2020Produksi pada tahun 2020Konsumsi pada tahun 2020Konsumsi pada tahun 2020INDONESIAINDONESIA
Produksi pada tahun 2020
Produksi pada tahun 2020
Konsumsi pada tahun 2020
Konsumsi pada tahun 2020
INDONESIA
INDONESIA
Ekspor tahun 2020Ekspor tahun 2020
Ekspor tahun 2020
Ekspor tahun 2020
Gambar 2.2
Dari keterangan diatas, dapat ditentukan kebutuhan sorbitol yang belum terpenuhi pada tahun 2020, sebagaimana dalam perhitungan berikut :
Kebutuhan sorbitol (2016) = [F(konsumsi) + F(ekspor)] – [F(produksi) + F(impor)] (2020)
=
=
Pabrik yang akan berdiri direncanakan akan memenuhi 50% dari kebutuhan sorbitol nasional. Sehingga kapasitas pabriknya menjadi :
Kapasitas Pabrik = 50% x 58.778,54 ton = 29.389,27 ton
basis perhitungan
Dalam perancangan pabrik, diperlukan basis perhitungan yang nantinya akan digunakan dalam proses penghitungan neraca massa. Dalam menentukan perhitungan neraca massa, maka dibutuhkan basis perhitungan. Basis perhitungan pada pabrik sorbitol ini adalah sebagai berikut :
Basis perhitungan : 1 hari operasi
Waktu operasi : 320 hari/tahun
Suhu referensi : 25 oC = 298 K
Satuan operasi : kg/hari dan kJ
basis desain data (kelembaban, suhu, curah hujan, gempa, angin)