Analisis Media dan Counter Issue Oleh Satrio Arismunandar
Pengantar Salah satu tugas utama petugas Humas adalah berhubungan dengan media dan jurnalis yang bertugas meliput berita di lapangan. Berhubungan dengan jurnalis dan media ini ”gampang-gampang susah.” Perlu kiat untuk memahami bagaimana jurnalis dan suatu institusi media bekerja, serta bagaimana cara berpikir mereka. Langkah pertama ke arah itu adalah memahami apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Setiap media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu, mereka juga memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy). Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain. Sedangkan kebijakan redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau ideologi yang dianutnya. Perbedaan visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau angle peliputan. Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang sama. Bandingkan, misalnya, cara pandang redaktur harian Kompas dan Republika terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang telah memancing kontroversi sengit di sejumlah kalangan beberapa waktu lalu.. Terakhir, tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda. Keinginan media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut secara tak langsung juga berarti melakukan seleksi terhadap apa yang layak dan tidak layak diliput. Trans TV, misalnya, memilih khalayak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas. Majalah Femina membidik pasar kaum perempuan berusia menengah ke atas, yang tinggal atau bekerja di perkotaan. Sedangkan Radio Hardrock FM mengejar pasar kaum muda di Jakarta.
Beberapa Kriteria Kelayakan Berita Berikut ini adalah sejumlah kriteria kelayakan berita yang bersifat umum: Penting. Suatu peristiwa diliput jika dianggap punya arti penting bagi mayoritas khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Tentu saja, media tidak akan rela memberikan space atau durasinya untuk materi liputan yang remeh. Kenaikan harga bahan bakar minyak, pemberlakuan undang-undang perpajakan yang baru, dan sebagainya, jelas penting karena punya dampak langsung pada kehidupan khalayak. Aktual. Suatu peristiwa dianggap layak diliput jika baru terjadi. Maka, ada ungkapan tentang berita “hangat,“ artinya belum lama terjadi dan masih jadi bahan pembicaraan di
1
masyarakat. Kalau peristiwa itu sudah lama terjadi, tentu tak bisa disebut berita “hangat,” tetapi lebih pas disebut berita “basi.” Namun, pengertian “baru terjadi” di sini bisa berbeda, tergantung jenis medianya. Untuk majalah mingguan, peristiwa yang terjadi minggu lalu masih bisa dikemas dan dimuat. Untuk suratkabar harian, istilah “baru” berarti peristiwa kemarin. Untuk media radio dan televisi, berkat kemajuan teknologi telekomunikasi, makna “baru” adalah beberapa jam sebelumnya atau “seketika” (real time). Contohnya, siaran langsung pertandingan sepakbola Piala Dunia. Unik. Suatu peristiwa diliput karena punya unsur keunikan, kekhasan, atau tidak biasa. Orang digigit anjing, itu biasa. Tetapi, orang mengigit anjing, itu unik dan luar biasa. Contoh lain: Seorang mahasiswa yang berangkat kuliah setiap hari, itu kejadian rutin dan biasa. Tetapi, jika seorang mahasiswa menembak dosennya, karena bertahun-tahun tidak pernah diluluskan, itu unik dan luar biasa. Di sekitar kita, selalu ada peristiwa yang unik dan tidak biasa. Asas Kedekatan (proximity). Suatu peristiwa yang terjadi dekat dengan kita (khalayak media), lebih layak diliput ketimbang peristiwa yang terjadi jauh dari kita. Kebakaran yang menimpa sebuah pasar swalayan di Jakarta tentu lebih perlu diberitakan ketimbang peristiwa yang sama tetapi terjadi di Ghana, Afrika. Perlu dijelaskan di sini bahwa “kedekatan” itu tidak harus berarti kedekatan fisik atau kedekatan geografis. Ada juga kedekatan yang bersifat emosional. Agresi Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, misalnya, secara geografis jauh dari kita, tetapi secara emosional tampaknya cukup dekat bagi khalayak media di Indonesia. Asas Keterkenalan (prominence). Nama terkenal bisa menjadikan berita. Sejumlah media pada Juni-Juli 2006 ramai memberitakan kasus perceraian artis Tamara Bleszynski dan suaminya Teuku Rafli Pasha, serta perebutan hak asuh atas anak antara keduanya. Padahal di Indonesia ada ratusan atau bahkan ribuan pasangan lain, yang bercerai dan terlibat sengketa rumah tangga. Namun, mengapa mereka tidak diliput? Ya, karena sebagai bintang sinetron dan bintang iklan sabun Lux, Tamara adalah figur selebritas terkenal. Magnitude. Mendengar istilah magnitude, mungkin mengingatkan Anda pada gempa bumi. Benar. Magnitude ini berarti “kekuatan” dari suatu peristiwa. Gempa berkekuatan 6,9 skala Richter pasti jauh lebih besar dampak kerusakannya, dibandingkan gempa berkekuatan 3,1 skala Richter. Dalam konteks peristiwa untuk diliput, sebuah aksi demonstrasi yang dilakukan 10.000 buruh, tentu lebih besar magnitude-nya ketimbang demonstrasi yang cuma diikuti 100 buruh. Kecelakaan kereta api yang menewaskan 200 orang pasti lebih besar magnitude-nya daripada serempetan antara becak dan angkot, yang hanya membuat penumpang becak menderita lecet-lecet. Semakin besar magnitude-nya, semakin layak peristiwa itu diliput. Human Interest. Suatu peristiwa yang menyangkut manusia, selalu menarik diliput. Mungkin sudah menjadi bawaan kita untuk selalu ingin tahu tentang orang lain. Apalagi yang melibatkan drama, seperti: penderitaan, kesedihan, kebahagiaan, harapan, perjuangan, dan lainlain. Topik-topik kemanusiaan semacam ini biasanya disajikan dalam bentuk feature. Unsur konflik. Konflik, seperti juga berbagai hal lain yang menyangkut hubungan antarmanusia, juga menarik untuk diliput. Ketika pahlawan sepakbola Perancis, Zinedine Zidane, “menanduk” pemain Italia, Marco Materrazzi, dalam pertandingan final Piala Dunia, Juli 2006 lalu, ini menarik diliput. Mengapa? Ya, karena sangat menonjol unsur konflik dan kontroversinya. Bahkan, kontroversi kasus Zidane ini lebih menarik daripada pertandingan antara kesebelasan Perancis dan Italia itu sendiri. Trend. Sesuatu yang sedang menjadi trend atau menggejala di kalangan masyarakat, patut mendapat perhatian untuk diliput media. Pengertian trend adalah sesuatu yang diikuti oleh 2
orang banyak, bukan satu-dua orang saja. Misalnya, suatu gaya mode tertentu yang unik, perilaku kekerasan antar warga masyarakat yang sering terjadi, tawuran antarpelajar, dan sebagainya. Dalam memilih topik liputan, bisa saja tergabung beberapa kriteria kelayakan. Misalnya, kasus mantan anggota The Beatles, John Lennon, yang pada 1980 tewas ditembak di depan apartemennya di New York oleh Mark Chapman. Padahal beberapa jam sebelumnya, Chapman sempat meminta tanda tangan Lennon. Chapman mengatakan, ia mendengar “suara-suara” di telinganya yang menyuruhnya membunuh Lennon. Mari kita lihat kriteria kelayakan berita ini. Pertama, Lennon adalah seorang selebritas yang terkenal di seluruh dunia (unsur keterkenalan). Kedua, penembakan terhadap seorang bintang oleh penggemarnya sendiri, jelas peristiwa luar biasa dan jarang terjadi (unsur keunikan). Ketiga, meskipun peristiwa itu terjadi di lokasi yang jauh dari Indonesia, para penggemar The Beatles di Indonesia pasti merasakan kesedihan mendalam akibat tewasnya Lennon tersebut (unsur kedekatan emosional). Dan seterusnya.
Gambar sebagai kekuatan media televisi Semua yang saya uraikan di atas merupakan kriteria-kriteria yang bisa dibilang bersifat universal, yakni berlaku sama untuk media cetak ataupun elektronik. Namun, ada kriteria yang khusus berlaku untuk media televisi. Hal ini disebabkan oleh sifat televisi sebagai sebuah media audio-visual (ada suara dan gambar). Dari segi suara (audio), ada kemiripan televisi dengan media radio. Namun, unsur gambar (visual) inilah yang menjadi ciri khas, sekaligus kekuatan, media televisi. Kalau seorang reporter dari suatu suratkabar baru pulang dari tugas liputan, redaktur biasanya langsung bertanya: “Kamu dapat berita apa?” Sesudah jelas, informasi apa yang diperoleh dan mau ditulis, baru si redaktur bertanya: “Ada fotonya?” Di banyak media suratkabar di Indonesia, foto (gambar) lebih sering diposisikan sebagai pelengkap berita, bukan yang utama. Artinya, tanpa satu foto pun, berita itu tetap bisa dimuat. Hal yang kebalikannya justru terjadi di media televisi. Jika seorang reporter dengan camera-person-nya baru pulang liputan, si producer (sama dengan redaktur di media cetak) akan bertanya: “Kamu dapat gambar apa?” Aspek gambar lebih diperhatikan karena memang pada gambar inilah letak kekuatan media televisi. Penulisan narasi untuk paket berita di media televisi tergantung pada ketersediaan gambar. Bahkan tak jarang, alur narasi itu sendiri menyesuaikan dengan alur gambar. Ketersediaan gambar ini mutlak diperlukan, karena pemirsa tidak mungkin disuguhi layar yang kosong. Ketiadaan gambar baru bisa ditoleransi untuk kasus-kasus khusus. Dalam hal ini, presenter-lah yang akan muncul di layar dan langsung membacakan berita, tanpa diiringi gambar lain. Karena gambar (dan suara) menjadi kekuatan media televisi, seorang producer sering mengeksplorasi dua aspek tersebut, khususnya untuk liputan-liputan yang menghasilkan gambar dinamis dan dramatis. Misalnya, liputan tentang kerusuhan massal, yang disertai dengan perusakan, penjarahan dan pembakaran. Tanpa banyak narasi, gambar peristiwa itu sendiri sudah cukup informatif dan menarik perhatian pemirsa. Narasi hanya bersifat menuturkan hal-hal yang tidak bisa diceritakan lewat gambar. Para producer berita televisi biasanya menyukai gambar-gambar dinamis dan dramatis. Di sisi lain, mereka kurang bersemangat meliput acara yang (sudah bisa diperkirakan) akan 3
menghasilkan gambar-gambar mati, monoton, statis, atau membosankan. Misalnya, acara seminar, simposium, diskusi, ceramah, serah-terima jabatan, peresmian ini dan itu, dan sebagainya. Gambarnya biasanya hanyalah: orang bicara, pengguntingan pita, hadirin yang duduk dan mendengarkan ceramah, dan seterusnya.
Tip Menghadapi Jurnalis dan Media Pertama, terlepas dari Anda suka atau tidak suka dipublikasikan, atensi atau perhatian dari media adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi. Apalagi jika bisnis atau kantor yang kita wakili sebagai Humas sangat berkaitan dengan kepentingan publik. Misalnya, perusahaan air minum, pembangkit tenaga listrik, penyalur bahan bakar minyak, gas elpiji, penyedia jasa transportasi umum, dan sebagainya. Lembaga yang berkaitan dengan hukum dan hak asasi manusia, seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, jelas bukan kekecualian. Kedua, kita jangan menghindari media, karena media justeru bisa menguntungkan kita atau institusi yang kita wakili. Jika lembaga atau perusahaan Anda memproduksi komoditi tertentu, media bisa mensosialisasikan/mempromosikan produk kita. Dalam menghadapi isu/masalah tertentu, media bisa menjelaskan posisi/sikap kita terhadap suatu hal. Media juga berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap praktik bisnis kita. Artinya, media bisa memberi koreksi jika ada langkah yang keliru, dan ini seharusnya dipandang positif untuk perbaikan lembaga kita. Media yang bersahabat adalah aset kita untuk jangka panjang. Dalam berhubungan dengan jurnalis dan media, tentunya Humas harus selalu bersiap menghadapi wawancara dengan media. Jurnalis biasanya menginginkan jawaban atas lima pertanyaan dasar, plus penjelasan tambahan. Persiapkan pemahaman Anda tentang setiap isu/masalah yang ditangani lembaga Anda dengan rumus 5W + 1H. Rumus itu dijabarkan sebagai: What (apa), Who (siapa), Why (mengapa), When (kapan), Where (di mana), dan How (bagaimana). Dalam berbicara dengan jurnalis, sebagai petugas Humas, Anda harus berbicara jelas, tidak terburu-buru, dan bersikap langsung. Anda juga harus bersikap terus terang, meyakinkan, dan ucapan Anda harus bisa dipahami. Berperilaku secara ramah, bersahabat, dan hindari bersikap defensif. Meskipun berhubungan baik dengan jurnalis, jurnalis tetap berbeda dengan petugas Humas. Ketika mau diwawancarai oleh jurnalis, Anda harus tahu dengan siapa Anda berhubungan. Meskipun jurnalis bersikap ramah, mereka bukan sekutu Anda. Mereka sedang menjalankan tugas, dan mereka digaji untuk untuk menggali informasi dari Anda. Wawancara adalah bentuk diskusi yang penting bagi bisnis Anda atau urusan lain yang terkait dengan lembaga yang Anda wakili. Maka Anda harus tetap fokus pada butir-butir informasi, yang ingin Anda sampaikan kepada publik. Sebelum wawancara, ada baiknya Anda menyiapkan daftar pertanyaan yang kemungkinan besar akan diajukan oleh jurnalis. Siapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Buatlah jawaban yang masuk akal. Jika ada problem-problem dalam bisnis atau lembaga Anda, akuilah dan jelaskan langkah-langkah yang sudah Anda lakukan untuk memperbaikinya. Hal ini akan memberi gambaran positif pada pihak Anda dan institusi yang Anda wakili.
4
Menghadapi Wawancara yang Berpotensi Negatif Sebagai pihak yang akan diwawancarai, dan jurnalis membutuhkan Anda untuk diwawancarai, sedikit-banyak posisi Anda memiliki kekuatan. Maka manfaatkanlah posisi ini. Jika ada butir tertentu yang penting bagi bisnis atau lembaga Anda, ulangi beberapa kali butir penting itu selama wawancara. Jika menghadapi wawancara yang berpotensi negatif, bersiaplah untuk bicara terbuka, jujur, dan penuh kasih. Serta, dengan apologi, jika dibutuhkan. Jelaskan dan ajukan, bagaimana rencana bisnis Anda, atau penanganan yang sudah disiapkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi lembaga Anda. Tangani hal tersebut dengan menyatakan, misalnya: ”Yang dapat saya katakan pada Anda adalah ....” ”Kami merasa terganggu oleh tuduhan-tuduhan ini dan kami akan berusaha sebaikbaiknya untuk ...” Perlakukan para jurnalis dengan hormat. Tidak ada gunanya Anda sesumbar, menggertak, atau menjahili jurnalis. Jika hasil wawancara itu dimuat atau ditayangkan di media, sikap kita yang keliru justru akan mempermalukan kita. Hindari penggunaan jargon-jargon spesifik, yang hanya Anda sendiri pahami, tetapi tak akan dipahami khalayak pembaca umumnya. Sedapat mungkin, hindari penggunaan ”off the record.” Di era serba internet saat ini, terkadang penggunaan “off the record” tidak efektif. Jika Anda tidak ingin informasi tertentu digunakan oleh media, tidak usah diungkapkan ke jurnalis bersangkutan. Jangan pernah meminta untuk membaca suatu konsep berita, sebelum berita itu disiarkan. Media yang baik tidak akan pernah mengabulkan permintaan semacam itu. Menghindari jurnalis/media tidak akan menyelamatkan kita dari pemberitaan negatif, malah bisa sebaliknya. Maka, hindari jawaban ”no comment” (tak ada komentar). Jawaban ini membuat kita terkesan arogan, atau malah membuat khalayak curiga bahwa kita memang menyembunyikan sesuatu. Jawaban ”no comment” bukan berarti jurnalis tidak mendapat berita. Jawaban ”no comment” itu justru akan dijadikan berita (baca: berita negatif terhadap kita). Atau, berita tetap dimuat/disiarkan tanpa pengimbang informasi dari sisi pandang kita, yang justru merugikan posisi kita sendiri. Jika informasi yang dimuat/disiarkan media itu keliru, Anda memiliki hak jawab. Kontaklah redaktur media bersangkutan. Siapkan surat tanggapan, yang menjelaskan posisi Anda dan menjelaskan secara rinci di bagian-bagian mana pemberitaan itu keliru. Awali dan akhiri surat tanggapan Anda dengan sesuatu yang positif. Demikian sedikit tip tentang cara berhadapan dengan jurnalis dan media. Dengan makin bertambahnya ”jam terbang” Anda berhubungan dengan media, mungkin Anda akan menemukan berbagai tip lain dari pengalaman tersebut. Selamat berhubungan dengan media!
Jakarta, Juni 2012
5
Biodata Penulis: * Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (199597), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (19972000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.
Kontak Satrio Arismunandar: E-mail:
[email protected];
[email protected] Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com Mobile: 081286299061
6