APLIKASI UUD 1945 PASAL 29 AYAT 2 DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI INDONESIA DISUSUN OLEH MARIO O H M SIPIL 1C POLMED 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) (1)
Seti etiap orang ang
agam agaman anya ya… … kepe keperc rcay ayaa aan, n,
(2) (2)
beba bebas s
memel emelu uk
Seti Setiap ap
orang ang
meny menyat atak akan an
agam gama
ber berhak hak
piki pikira ran n
dan dan
dan dan
atas atas sika sikap, p,
beri eribada badatt
keb kebebas ebasan an sesu sesuai ai
menu enurut meya eyakin kini
deng dengan an
hati hati
nuraninya Persoa Persoalan lan kebeba kebebasan san beraga beragama ma dan berkey berkeyaki akinan nan di Indone Indonesia sia hing hingga ga kini kini masi masih h menj menjad adii prob proble lem m yang yang sang sangat at seri serius us dan dan bany banyak ak mendatangkan konflik di tengah masyarakat. Wacana Wacana kebebasan kebebasan beragama beragama sesungguhn sesungguhnya ya sudah berkemban berkembang g sejak sejak bangsa bangsa ini akan akan dipro diprokla klami mirka rkan n tahun tahun 1945 1945 silam silam,, bahkan bahkan jauh jauh seb sebelu elum
itu. tu.
Melal elalui ui
Badan adan
Peny Penyel eliidik
Usah saha-u a-usah saha
Per Persiap siapan an
Kemerd Kemerdeka ekaan an Indone Indonesia sia (BPUPK (BPUPKI), I), wacan wacana a ini ini hangat hangat diper diperdeb debatk atkan an founding father , khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Setua persoa persoalan lan ini muncu muncul, l, masal masalah ah kebeba kebebasan san beraga beragama ma mema memang ng tidak tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang. B. Pengertian 1
UUD UUD
1945 19 45
diam diaman ande dem men. en.
dap dapat
diart artikan kan
Peng Penger erti tian an
UUD UUD
menur enuru ut 1945 19 45
sesu sesud dah
Sebe Sebelu lum m
dan dan
sebel ebelu um
aman amande deme men n
iala ialah h
keseluruhan naskah yang terdiri dari 3 (tiga) bagian: I. Pembuakaan yang terdiri dari 4 alinea II. Batang
tubuh UUD 1945 yang berisi pasal 1 s.d. 37 yang
dikelompokkan dalam 16 Bab, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan III. III. Penj Penjel elas asan an UUD UUD 19 1945 45 yang yang terb terbag agii dala dalam m Penj Penjel elas asan an Umum Umum dan dan Penjelasan Pasal demi pasal sedangkan setelag amandemen pengertian UUD 1945 ialah keseluruhan naskah yang terdiri dari 2 (dua) bagian: I. Pembukaan yang terdiri atas 4 alinea II. Pasal-pasal yang terdiri atas 20 Bab, 73 Pasal, 170 ayat, 3 Pasal aturan peralihan, dan 2 Pasal Aturan Tambahan C. Ruang Lingkup Makalah ini membahas seputar kehidupan beragama yang terjadi di lingkunagan kehidupan bermasyarakat di Indonesia. D. Metode Pendekatan Indonesia adalah negara yang tergolong demokrasi soal kebebasan bera beraga gam ma.
Terb Terbuk ukti ti,,
Depa Depart rtem emen en
Agam Ag ama a
dibe dibent ntuk uk
dala dalam m
rang rangka ka
memenuhi kewajiban pemerintah untuk melaksanakan isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Pasal tersebut berbunyi, ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam UUD 1945 pasa pasall 29 terc tercan antu tum m kali kalima matt “aga “agama many nya a dan dan kepe keperc rcay ayaa aann nnya ya itu” itu”.. Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan Bung Hatta bahw bahwa a kata kata-k -kat ata a “itu “itu” ” di bela belaka kang ng kata kata “kep “keper erca caya yaan an” ” dala dalam m pasa pasall
2
tersebut
menunjukkan
makna kesatuan
di antara agama
dengan
kepercayaan. Namun yang terjadi hidup beragama masih diwarnai dengan berbagai tindakan radikalisme, kurang toleransi muncul dalam bentuk aksi-aksi kekerasan massa. Ambil contoh, pembakaran Yayasan Doulos sampai hari ini tidak pernah disidangkan, atau kekerasaan terhadap pendeta HKBP di Rajek, Tangerang beberapa waktu lampau tidak jelas keadilan pemerintah. Di tingkat masyarakat, terjadi pembrondongan terhadap kebebasan beragama karena fanatisme yang mengharamkan pluralisme. Dan menghalalkan penutupan dan pengrusakkan rumah ibadah. Herannya, kasus-kasus seperti ini selalu dipetieskan. Yang berarti demokrasi belum berdiri tegak di santero Nusantara. Padahal, hak menganut dan mendirikan ibadah adalah hak hakiki yang dijamin undangundang. Perubahan SKB Dua Menteri diganti dengan Peraturan Bersama (Perber) pun tidak memberikan solusi, malah menyuburkan perusakan rumah ibadah. Gejala lain yang juga mengganggu prinsip (demokrasi) kebebasan beragama adalah dikeluarkan-nya apa yang disebut perdaperda syariah, mengharusan bagi pegawai perempuan pemerintah daerah untuk memakai jilbab. Kasus di beberapa daerah menjadi sumber konflik. Di Sumatera Barat misalnya, siswi Kristen disuruh pakai kerudung. Masalahnya
bukan
anti
peraturan,
melainkan
peraturan
produk
kebudayaan Arab tidak bisa dipakai, di Indonesia yang berdasarkan masyarakat majemuk. Jacques Rousseau, seorang satrawan dan filsuf Prancis (1712-1778). Menurut Rousseau, ketika pertama kali lahir, manusia dalam keadaan baik. Namun setelah bermasyarakat ia menjadi jahat karena ada persaingan,
percekcokan
dan
lainnya. Untuk
mengembalikan
pada
keadaan baik dan damai, maka harus ada kesepakatan bersama untuk mengatur kehidupan bersama. Kesepakatan bersama terjadi jika setiap orang menyerahkan pribadinya dan seluruh kekuatannya bersama-sama 3
dengan yang lain di bawah pedoman tertinggi dari kehendak umum; pada tubuh manusia, kita menganggap setiap organ adalah bagian yang tak terpisahkan dari organ lainnya secara keseluruhan. Demikian pula demokrasi,
kebebasan
terbanyak
yang
semua
orang
mencerminkan
adalah keputusan
demokrasi.
dari suara
Sebaliknya
kebebasan
seseorang tidak mencerminkan kehendak umum. Walau kebebasan pribadi harus dihargai negara demokrasi. Maka, disinilah pentingnya toleransi umat beragama. Fanatisme terhadap kepercayaan pribadi tidak bisa dipaksakan pada orang lain BAB II PERMASALAHAN Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia hingga kini masih menjadi problem yang sangat serius dan banyak mendatangkan konflik di tengah masyarakat. Hal ini misalnya tampak pada problem eksistensi Ahmadiyah yang hingga
kini
masih
menggantung.
Beberapa
ormas
Islam
konservatif,dengan semangat yang atraktif,meminta agar Presiden segera mengeluarkan keputusan (keppres) yang melarangAhmadiyah. Bahkan,mereka mengeluarkan fatwa kepada seluruh umat Islam berjihad
untuk
memurnikan
ajaran
Islam
yang
telah
dicemarkan
Ahmadiyah.Yang lebih ironis, di berbagai daerah, yang terbaru di Sumatera Selatan, pemerintah daerah mengeluarkan surat keputusan yang melarang Ahmadiyah dan aktivitas para pengikutnya. Meski pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan SKB No 3 Tahun 2008 pada bulan Juni lalu mengenai eksistensi Ahmadiyah,namun menurut sebagian kalangan Islam itu belum cukup dan sama sekali tidak tegas.Dalam SKB itu Ahmadiyah tidak secara jelas dinyatakan dilarang dan harus dibubarkan. Karenanya, sampai hari ini banyak ormas Islam konservatif yang terus-menerus berdemonstrasi menuntut pembubaran Ahmadiyah. Bagi 4
mereka,pembubaran Ahmadiyah adalah harga mati yang tidak bisa ditawartawar lagi.Tidak jarang jalan kekerasan menjadi cara mereka untuk membubarkan jamaah Ahmadiyah ini. Setelah SKB keluar,semakin banyak warga Ahmadiyah di berbagai daerah yang menjadi korban anarkisme. Bahkan, tragedi penyerangan massa AKKBB oleh FPI pada Hari Jadi Pancasila juga didasarkan alasan bahwa mereka (AKKBB) membela Ahmadiyah. Jadi, seperti apakah kehidupan beragama dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia? BAB III PEMBAHASAN Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi:
“Negara
berdasar
atas
ketuhanan
dengan
kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lantas diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan
kewajiban
menjalankan
syari’at
Islam
bagi
pemeluk-
pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalisIslam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002. Itu tidak berarti
tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan
Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha tersebut. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan
apapun;
kedua,
mengubah
ayat
1
pasal
29
dengan
memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti rumusan hasil siding BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: 5
“Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar); “Negara melarang
penyebaran
faham-faham
yang
bertentangan
dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran
agamanya
masing-masing”
(diusulkan oleh Partai Reformasi). Menarik pula dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, pasal 29 akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan dalam siding PPKI. Maka tidak berlebihan untuk mengatakan, di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan. Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil. Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi, pengadilan, dll); kedua, ranah hukum. Terkait isu kebebasan beragama isu-isu hukum yang muncul diantaranya tentang penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah ibadah, pendidikan keagamaan, dan perda-perda bernuansa syariat Islam. Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga didaerah. Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormasormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih toleran. Kebebasan Beragama di Era Orde Baru
6
Selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde Baru memang seperti nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama di tanah air. Intervensi ini setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua tahun masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah melarang lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri. Namun begitu, tidak berarti masalah kebebasan beragama tidak memiliki payung konstitusi yang kukuh. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 jelas menegaskan masalah ini: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan manaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut. Untuk pemerintah pencegahan
menunjang kemudian
pelaksanaan mengeluarkan
penyalahgunaan
dan
pasal 29 UU atau
No.
(2)
UUD
1/PNPS/1965
penodaan
1945
itu
tentang
agama
yang
dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dikungan umum, untuk 7
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan
kegiatan-kegiatan
keagamaan
yang
menyerupai
kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”. Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar mengingatkan warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965, dan kemudian dukukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, membawa implikasi luas
dalam
kebebasan
beragama
di
Indonesia
pada
masa-masa
berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan”
agama-agama
resmi
yang
diakui
Negara
(Islam,
Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan Negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa. Dalam
perkembangan
berikutnya,
pemerintah
mengeluarkan
kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang
terdapat dalam UUD 1945. Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak
dapat
sebagaimana
dikurangi
dalam
keadaan
apapun
(non-derogable)
dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X
mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak 8
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi dalam keadaan apapun (non-derogable). ”Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-agama resmi. Ini membuktikan bahwa di masa-masa itu negara ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan. Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat Edaran Menteri
Dalam
Negeri
No.
477/74054/1978
yang
antara
lain
menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Keloempok-kelompok yang jelas menjadi korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dan komunitas Kaharingan di Kalimantan. Pada saat yang sama kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan
penyalahgunaan
dan
atau
penodaan
agama
yang
dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama
resmi
untuk
mengontrol
tumbuhnya
kelompok
“pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru. Tidak heran jika kemudian muncul lembaga-lembaga seperti MUI, WALUBI, PGI, KWI dan HINDUDHARMA. Kelompok-kelompok inilah yang diberi
wewenang
mengontrol
bentuk-bentuk
kegiatan
dan
tafsir
keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan keshahihan tafsir yang benar pada
gilirannya
akan
dijadikan
dalih
untuk
mengontrol
dan
mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau dikatakan sebagai induk agama.
9
Dalam
Islam
misalnya,
kasus
penyimpangan
terhadap
tafsir
mayoritas ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hakhak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka. Dengan pola intervensi ini tak heran berbagai varian dalam kelompok-kelompok keagamaan tidak muncul ke permukaan. Yang mampu bertahan adalah yang mampu menyiasati kekuasaan Orde Baru. Sebut saja kehidupan kelompok sempalan seperti Darul Hadis Islam Jamaah yang dianggap menyimpang dari arus maenstream. Dengan mendukung partai penguasa dan merubah nama menjadi Lemkari (Lembaga Karyawan Islam) atau LDII (Lembaga dakwah Islam Indonesia), kelompok ini mampu bertahan sampai hari ini. Ini berbeda dengan yang dialami Darul Arqam. Kelompok tersebut dinyatakan sebagai kelompok “terlarang”. Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agamaagama lokal sebagai dampak dari kebijakan dari pendefinisian “agama resmi”. Beberapa kelompok seperti komunitas Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari kolonisasi agama resmi melalui islamisasi atau kristenisasi. Sistuasi ini mendapat legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan
pemahaman bahwa
kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang 10
diakui oleh Negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam UUD 1945. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundangundangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama. Jaminan Konstitusi Secara
terperinci
jaminan
kebebasan
beragama
dan/atau
berkeyakinan dapat kita simak pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini: 1 1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. 2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama. Hak
ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal 1
Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan di Indonesia, (Jakarta; Komnas HAM, 2006) hal 4-5.
11
18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 5. UU
No.
1/PNPS/1965,
jo.
UU
No.
5/1969
tentang
Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hokum tentang agama yang diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”. Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang.
12
Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:2 1. Restriction for the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk
Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan
memanifestasikan
agama di public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi
kebebasan
individu-individu
(hidup,
integritas,
atau
kesehatan) atau kepemilikan. 2. Restriction for the Protection of Public Order (Pembatasan untuk
Melindungi
Ketertiban
Masyarakat).
Pembatasan
kebebasan
memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan masyarakat,
mendapatkan
ijin
untuk
melakukan
rapat
umum,
mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana. 3. Restriction for the Protection of Public Health (Pembatasan untuk
Melindungi
Kesehatan
Masyarakat).
Pembatasan
yang
diijikan
berkaitan dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada
pemerintah
melakukan
intervensi
guna
mencegah epidemic atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah atau melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adapt-istiadat tertentu di Afrika. 4. Restriction
Melindungi
for Moral
the
Protection
Masyarakat).
of
Morals
Untuk
(Pembatasan
justifikasi
untuk
kebebasan
memenifestasikan agama atau kepercayaan yang terkait dengan 2
Ibid . , h. 6-7. Lihat juga http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=240, diakses pada 2 Juli 2008
13
moral dapat menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan turunan
dari
berbagai
tradisi
keagamaan,
filsafat,
dan
social.
Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu. 5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and
Freedom
of
Others.
(Pembatasan
untuk
Melindungi
Kebebasan
Mendasar dan Kebebasan Orang Lain) 5.1
Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap
tindakan
proselytism,
pemerintah
mencampuri
kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan. 5.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas.
Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen, yaitu:3 1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya. 3
Kedelapan komponen ini disarikan dari berbagai instrument internasional yang memuat tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 18; Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18.1 s.d. 18.4. dll. Lihat, Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Facilitating Freedom of Religion or Belief : A Deskbook, Netherland, Martinus Nijhoff Publishers, 2004, pp. xxxvii-xxxix. Lihat juga Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), op.cit., 3-4.
14
2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya. 3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya. 4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul. 5. Hak
dari
Orang
Tua
dan
Wali.
Negara
berkewajiban
untuk
menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri. 6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya. 7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain. Non-Derogability .
Negara
tidak
boleh
mengurangi
kebebasan
beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun. Tidak hanya dalam konstitusi, prinsip kebebasan dan toleransi beragama juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan. Pada tradisi Islam, misalnya, prinsip-prinsip tersebut ditegaskan dalam al-Quran dan Hadis, termasuk dalam kitab fikih, tafsir, dan bukti sejarah keislaman. 15
Dalam al-Quran prinsip-prinsip tersebut termuat dalam QS. Al-Baqarah, 2: 256 (tidak ada paksaan dalam beragama); Yunus 99 (larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapaai “kalimatun sawa”); alMumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi dan mengusir mereka). Dalam tradisi fikih, prinsip ini termuat dalam konsep “maqashid alsyariah”: kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs); kebebasan beropini dan berpendapat (hifz al-‘aql); menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nasl); kebebasan memiliki properti (hifz al-nasl); kebebasan beragama (hifz aldin).4 Dalam tradisi Katholik dan Protestan, prinsip ini terdapat Kitab Galatia: Kasihilah sesama manusia seperti kamu mengasihi diri sendiri, Injil Matius 22: 37-40 (Hukum Kasih), atau dalam Advent – Matius 7 : 12Advent: “Apa yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat padamu, perbuatlah demikian juga, karena inilah isi kitab hukum Taurat dan kitab para nabi; Hindu dalam Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, Pelemahan), Tat Twam Asi (Aku adalah Kau, Kau adalah aku); Budha dalam kitab Falisuta dan Kalamasuta (jangan mencela agama lain karena dengan mencela agama lain, berarti telah mencela atau mengubur agamanya; Khonghucu dalam ajaran “di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara”. Sementara itu dalam tradisi kepercayaan dan komunitas lokal, prinsip-prinsip ini memiliki akar kuat. Misalnya petuah Ura’ngi Rua, Kaluppai Rua (ingatlah kejahatan kepada orang lain dan ingat kebaikan orang-orang kepadamu serta lupakanlah kebaikanmu kepada orang lain serta lupakanlah kejahatan orang kepadamu dalaam falsafah BugisMakasar atau “to kamase-kamase” (saling mengasihi sesamaa manusia) dalam tradisi komunitas Kajang.
4
Siti Musdah Mulia “Menuju Kebebasan Beragama” dalam Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), hal 48
16
UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di Indonesia setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, dan Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia banyak
juga
meratifikasi
berbagi
konvenan
Internasional
seperti
Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU 12/2005. Dalam masa reformasi UUD 45 paling tidak
telah mengalami empat kali
amandemen, sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di Indonesia. Banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok masyarakat baik ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan berbagai produk hukum. Bercampur dengan situasi politik dan ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya reformasi telah menghasilkan sejumlah produk hokum, mulai dari UU sampai dengan Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hokum atau peraturan yang ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga yang melihat sebagai produk-produk multitafsir. Sebut saja Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Undangundang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan
Presiden No.
11/2003 tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Peraturan Daerah (Perda) tentang penerapan Syariat Islam di beberapa daerah, PBM No. 8/9 Tahun 2006 dll. Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini, yang terjadi baik dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ; 1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia,
para pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat . Misalnya,
di kabupaten
Cianjur,
beberapa kabupaten
maupun 17
kotamadya Sumatera Barat, Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah mengharuskan semua pegawai pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian Muslim. Beberapa penduduk mengatakan bahwa pihak berwenang mencampuri urusan pribadi mereka. Bahkan praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat memberikan waktu untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah. Contoh lain adalah munculnya Rancangan Perda (raperda) Kota Injil di Monokwari Papua. 2. Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang ada
sangat
diskriminatif
dan
membatasi
hak
ekonomi
kaum
perempuan untuk bekerja mencari nafkah. 3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang
perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei 2005 dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk Kristen.
Para
perempuan
tersebut
ditangkap
setelah
anggota
komunitas mengeluhkan bahwa pada saat dilakukannya program sekolah Minggu di rumah mereka, mereka memberikan kotak pensil dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-anak Muslim. 4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk bantuan itu sendiri, personil, maupun keuangan) kepada kelompokkelompok keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah tidak melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa pemerintah menerapkannya lebih sering kepada kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas Muslim. 5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9 dan 8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi secara serentak dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi kekerasan yang terjadi di depan aparat keamanan pemerintah dan ada 18
kesan pembiaran terhadap aksi kekerasan, terjadi dalam aksi penutup tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi (sampai tulisan ini dibuat aksi ketidakadilan masih terjadi, pembongkaran rumah ibadah oleh pemerintah kabupaten Bekasi). 6. Pada tanggal 8 Maret 2007,
200 anggota FPI dan Forum Betawi
Rempug, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin. 7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008 di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa kekerasan terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah keadaan yang memalukan dalam negara Pancasila. Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan apa yang terjadi dan bila mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan
bahwa
negara
menjamin
kebebasan
beragama
dan
berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya. BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 1. Bahwa negara Indonesia menjamin kemerdekaan untuk beragama bagi rakyat nya 19
2. Indonesia bukan negara agama tetapi negara yang beragama 3. Marilah kita menjaga persaudaraan walaupun berbeda agama dengan mengormati dan menghargai satu sama lain.
BAB V PENUTUP Dalam suasana reformasi yang menuntut perubahan paradigma segala bentuk ketentuan perundangan berbagai aras yang diskriminatif perlu diganti. SKB Menag-Mendagri 1969 amat merugikan semua agama di Indonesia, terutama sekali gereja-gereja telah mengalami penderitaan yang amat dalam sehubungan dengan SKB tersebut. Secara hukum, konstitusional, material, teologis, SKB itu amat kontraproduktif dan diskriminatif. Tak ada pilihan lain kecuali pemerintah mencabutnya dan mengupayakan agar ada penyamaan izin pembangunan rumah ibadah dengan izin bangunan-bangunan yang lain. Penyusunan suatu ketentuan baru tentang pembangunan rumah ibadah
harus
menjadikan
hal
berikut
sebagai
referensi
utama:
a) Ketentuan tersebut harus berangkat dari kondisi realistik bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganut berbagai agama, dana agama-agama itu mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak boleh diperlakukan
dengan
bertolak
dari
jumlah
penganut.
b) Ketentuan tersebut harus mengacu serta mencerminkan jiwa dan semangat Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, GBHN, Wawasan Nusantara yang memberi posisi sentral bagi kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia dan yang di dalamnya kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
dijamin
oleh
negara.
c) Ketentuan tersebut harus memberi peluang bagi penambahan saranasarana rumah ibadah sebagai bagian padu dari pembinaan mentalspiritual. d) Ketentuan tersebut memberikan penegasan tentang peranan negara 20
(sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945) sehingga pembangunan rumah ibadah tidak seakan-akan tergantung dan atau merupakan belas kasihan dari seorang pejabat atau suatu kelompok/golongan tertentu di dalam masyarakat. e) Ketentuan tersebut tidak boleh membatasi/menghalangi hak setiap makhluk untuk mengekspresikan keberagamaannya kepada Sang Khalik. Artinya jika oleh karena satu dan hal, rumah-rumah ibadah belum dapat dibangun,
maka
hak
umat
beragama
untuk
mengungkapkan
keberagamaannya kepada Allah Yang Esa itu tetap dijamin, walaupun untuk sementara tidak dilaksanakan di dalam ruang gereja/ ruang ibadah yang khusus.
21