ABSTRAK Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. Anemia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin, dan populasi. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Suatu anemia gravis dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis dapat dikarenakan kanker, malaria, thalassemia mayor, defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing. Akupunktur dapat menangani anemia, yaitu dengan menggunakan titik Zusanli (ST 36). Penelitian menunjukkan titik Zusanli (ST 36) dapat meningkatkan kadar ferritin serum dan mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity). Kata kunci : anemia gravis, anemia berat, Hemoglobin, eritropoetin A. Pendahuluan 1. Definisi anemia gravis Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia (SCA), talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala gangguan jantung-paru (Tramuz & Jereb, 2003).
1
2. Prevalensi anemia Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati 1.62 milyar penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut. Tabel 1. Pravalensi anemia di Indonesia Kelompok Populasi
Angka Pravalensi
Anak prasekolah (balita)
30-40%
Anak usia sekolah
23-35%
Wanita dewasa
30-40%
Wanita hamil
50-70%
Laki-laki dewasa
20-30%
Pekerja berpenghasilan rendah
30-40%
Sumber. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi
Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu sebanyak 50-70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak 20-30%. Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price et al, 1995 dalam Wulansari, 2006). Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi masyarakat. Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO mencapai angka lebih dari 40% dalam satu populasi (WHO, 2006). B. Fisiologi Eritrosit Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong kuning saat embrio pada minggu-minggu pertama. Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoesis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit terbentuk di dalam hati, limfa, dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang
2
oleh hormon eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang membranosa. Semakin bertambah usia seseorang, maka produktivitas sumsum tulang semakin turun (Hoffbrand, 2005). Pembentukan sel darah merah dimulai dari pluripotensial stem cell (PPSC) di dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi dan berkembang menjadi unipotensial stem sel. Eritrosit dibentuk melalui suatu proses pematangan yang terdiri dari beberapa tahap yaitu pembelahan dan perubahan-perubahan morfologi sel berinti mulai dari rubriblas, prorubrisit, rubrisit, metarubrisit. Setelah itu dilanjutkan dengan pembentukan eritrosit polikrom tidak berinti yang disebut retikulosit dan akhirnya menjadi eritrosit (Jain, 1993 dalam Nuraeni, 2006). Menurut Hoffbrand et al (2005), pronormoblas adalah sel besar dengan sitoplasma biru tua, dengan inti tengah dan nukleoli, serta kromatin yang sedikit menggumpal. Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas yang makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel. Normoblas mengandung hemoglobin yang makin banyak (yang berwarna merah muda) dalam sitoplasma. Warna sitoplasma makin biru pucat sejalan dengan hilang nya RNA dan appartus yang mensintesis protein, sedangkan khromatin inti menjadi makin pekat. Normoblas (sel darah merah berinti) tampak dalam darah apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum tulang (eritropoiesis ekstramedular) dan juga terdapat pada beberapa penyakit sumsum tulang (Hoffbran et al, 2005). Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik. Sel ini memiliki khromatin inti yang tampak kasar dan inti menghilang atau tidak jelas. Sitoplasma sudah mulai mengandung hemoglobin sehingga warna sitoplasma menjadi kemerah-merahan. Ukuran sel lebih kecil dibandingkan dengan rubriblas. Jumlah prorubrisit dalam keadaan normal sekitar 1-4%. Sel ini dapat diwarnai dengan warna basa dan sel ini akan mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin. Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik. Inti sel ini mengandung khromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur. Pada sel ini
3
sudah tidak terdapat lagi anak inti. Inti sel lebih kecil dibandingkan dengan prorubrisit, namun sitoplasma lebih banyak mengandung warna biru (kandugan asam ribonukleat) dan merah (kandungan hemoglobin), warna merah lebih dominan, sehingga lebih banyak mengandung hemoglobin. Metarubrisit disebut juga normoblas ortokromatik atau eritroblas ortokromatik. Inti sel ini kecil mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warna nya merah, meskipun masih kebiruan. Dalam keadaan normal jumlahnya sekitar 5-10% (Marshall, 2006). Pada proses pematangan eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan pelepasan inti sel masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di dalam darah tepi. Pada saat proses pematangan akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom, dimana konsentrasi hemoglobin sekitar 34%, sedangkan nukleus memadat dan ukurannya mengecil (Hoffbrand et al, 2005). Proeritroblas
Basofil eritroblas
Polikromatofil sel darah merah Retikulosit
Eritrosit Diagram 1. Tahap pembentukan sel darah merah (Guyton, 1997 dalam Nuraeni, 2006)
4
Sel darah merah (SDM) atau eritrosit berbentuk cakram konkaf tidak berinti yang kira-kira berdiameter 8 µm, total bagian tepi 2 µm dan ketebalannya berkurang dibagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang. Komponen utama SDM adalah hemoglobin dan protein (Hb), yang mengangkut sebagian besar oksigen (O2) dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida (CO2) dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar intraselular (Price, 2006). C. Patofisiologi Anemia Gravis a) Sickle cell anemia Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan sabit (Miller, 1984 dalam Amri, 2006). Sickle cell anemia ditandai dengan adanya hemoglobin abnormal yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S mempunyai kelarutan dan bentuk molekul yang khas yang menyebabkan perubahan bentuk eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang berubah bentuk ini juga dengan cepat dihancurkan oleh sel-sel fagosit sehingga dalam jangka panjang terjadilah anemia. (Rask, 2004). b) Thalassemia Mayor Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan
tingkat
akumulasi
besi,
dan
dapat
mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. (Modell & Darlison, 2008) Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis rantai betha molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai gamma tetap aktif sehingga akan menghasilkan pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna (cacat). Rantai polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika terurai akan merusak sel darah merah
5
(hemolisis) sehingga terjadi anemia gravis. Untuk mengimbangi proses hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan jumlah yang sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi transfusi (Hockenberry & Wilson, 2009). c) Penderita Kanker Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh kanker sendiri. (Gillespie, 2003) d) Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan zat besi yang berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya pemasukan
zat
besi,
berkurangnya
sediaan
zat
dalam
makanan,
meningkatnya kebutuhan akan zat besi atau kehilangan darah yang kronis (Wijayanti, 2005). Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada kebanyakan negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam diet dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian anemia pada negara berkembang adalah akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya diakibatkan kehilangan darah melalui saluran cerna atau saluran kemih (McPhee, 2006). e) Leukemia Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia dan trombositopenia (Hidayat, 2006). Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik
6
yang disertai gangguan differensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansif progresif dari kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang. Pada leukemia terjadi proliferasi dari salah satu sel yang memproduksi sel darah yang ganas. Sel yang ganas tersebut menginfiltrasi sumsum tulang dengan menyebabkan kegagalan fungsi tulang normal dalam proses hematopoetik normal sehingga menimbulkan gejala anemia gravis. (Bakti & Made, 2006) f) Infeksi Cacing Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat cacing ini berada dalam usus manusia. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami anemia (Gandahasuda, 2000). Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat perdarahan saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat cacing tambang dan Schistosoma merupakan penyebab tertinggi terjadinya perdarahan saluran cerna dan seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi besi (Wijaya, 2007). g) Sferositosis herediter (SH) Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih protein sitoskleletal sel darah merah yang terdiri dari spektrin, ankirin, band 3 protein, dan protein. Defek pada beberapa protein skeletal membran yang berbeda dapat menyebabkan sferositosis herediter; semua ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan defisiensi spektrin yaitu protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan membran internal sel darah merah. Sel darah merah yang kurang mengandung spektrin memiliki membran yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi secara spontan. Berkurangnya luas
7
permukaan yang ditimbulkan menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk sferoid; sferosit semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa (Mitchell et al, 2008). h) Anemia Aplastik Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsur produksi eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler (Young, 2006). Penurunan sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejala-gejala anemia (Chan et al, 2008). Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan karena kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun karena fungsinya yang menurun (Segel et al, 2011). C. GAMBARAN KLINIS Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular (dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi O2 hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin mengalami kelemahan berat (Kasper, 2005).
8
a) Gejala Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek, khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat berat, khususnya yang awitannya cepat. (McPhee, 2006) b) Tanda Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung kongesti mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolitik lainnya, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat (Lissaeur, 2007).
9
c) Gambar Darah Tepi
Sickle cell anemia
Gambar 1. Bentuk sel sabit eritrosit yang abnormal (Rask, 2004).
Malaria
Gambar 2. Eritrosit penderita malaria, menunjukkan eritrosit yang diinvasi P. falciparum (Pusarawati & Tantanular, 2005) 1.A
Gambar skematik
P.
Falciparum
bentuk
cincin
(ring
forms),double dots dan marginal (applique) (Jeffrey & Leach, 1975). 1.B
Ring forms 10
1.C
Double dots dan double infection
1.D
Multiple infection
Thalassemia Mayor
Gambar 3. Abnormalitas (bizzare) sel darah merah, poikilositosis (bentuk eritrosit bermacam-macam) berat, hipokromi (eritosit tampak pucat), mikrositosis (ukuran eritrosit lebih kecil), sel target, basofil Stippling dan eritrosit berinti. (Hoffbrand et al, 2005)
Anemia defisiensi besi
Gambar 4. Anisokromasia. Adanya peningkatan variabilitas warna dari hipokrom dan normokrom dan terdapat poikilosit yang memanjang (Wickramasinghe & Jones, 1992 dalam Renova, 2003)
11
Leukemia
Gambar 5. Leukemia linfositik akut (LLA). Jumlah limfosit dan neutrofil yang lebih banyak dari jumlah normal (Simamora, 2009)
Sferositosis Herediter
Gambar 6. Eritrosit berbentuk sferoid. Sperosit adalah eritrosit yang berbentuk lebih bulat, lebih kecil dan lebih tebal dari eritrosit normal (Sari & Ismail, 2009). D. PENATALAKSANAAN MEDIS Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia dengan berbagai indikasi. 1. Farmakologi a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs) b) Epoetin Alfa c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
12
FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
Fereous Sulfate
Carbonyl Iron
Iron Dextran Complex
Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi transfusi (Anand et al, 2004). 3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma, Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik. Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik. Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan harapan hidup pada pasien yang berhasil transplantasi (Maakaron, 2013). 4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan a. Protein Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein yang adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan manusia dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi 13
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi. (Gallagher ML, 2008) b. Vitamin A Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate selama 12 minggu dapat meningkatkan rata – rata kadar hemoglobin sebanyak 7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia dari 54% menjadi 38%. (Zimmermann MB et.al, 2011) Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut dalam lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan derajat infeksi yang selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin kembali normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di tempat penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis (Subagio HW, 2008). Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumbersumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani diantaranya susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber makanan nebati seperti papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran seperti wortel. (Michael J et al, 2008) c. Vitamin C Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya
14
bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti kejadian anemia semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh. (Agus, 2004) Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati. (Gallagher, 2008) Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan anemia misalnya buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan lain dan sayuran hijau. (Marshall, 2004) d. Zat Besi Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh (Provan, 2004).
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacangkacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks hemeprotein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber zat besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya (Mozzafari et al,
2009). e. Asam Folat Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam paraaminobenzoat dan asam glutamat (Wardhini & Rosmiati, 2003). Sumber 15
makanan asam folat banyak terdapat pada hewan, buah-buahan, gandum, dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna hijau. Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan penting dalam pembentukan myelin yang berperan penting dalam maturasi inti sel dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast. Akibat dari sefisiensi asam folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar (megaloblast) (Underwood, 2003). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg (Matizih, 2007). 6) Vitamin B12 Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000. Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl), keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masingmasing terikat pada cobal (Robert & Brown, 2003). Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonylCoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinylCoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase (Gibson, 2005).
16
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel berlangsung
cepat,
terutama
jaringan
sum-sum
tulang
yang
bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi defisiensi vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia (Carmel, 2006). Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil. Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari, pada usia 4 –12 tahun sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun sampai dewasa 2,4 μg/hari. Sedangkan ibu hamil dan menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2 μg/hari dan 0,4 μg/hari. Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging, susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain (Setiawan & Rahayuningsih, 2004). 5. Pembatasan Aktivitas Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian anemia dapat disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed rest, terapi dapat dilakukan untuk pasien dengan anemia yang dapat disembuhkan (misalnya anemia pernisiosa). E. KOMPLIKASI 1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental. Ada bukti menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan pada perilaku dan fungsi intelektual anak (Lissauer, 2007). Anemia gravis akibat defisiensi besi menyebabkan gangguan perkembangan neurologik pada bayi dan menurunkan prestasi belajar pada anak usia sekolah karena zat besi telah dibuktikan berperan penting dalam fungsi otak dan penelitian pada hewan coba menunjukkan berlakunya perubahan perilaku dan fungsi
17
neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak yang diberikan suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ (Intelligent Quotient) pada anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan dengan jelas lebih rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia defisiensi besi (WHO, 2001). Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif pada anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan pembentukan myelin. Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung baik bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin mengalami kekurangan besi. Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang. Penyebab yang kedua ialah gangguan metabolisme neurotransmitter. Hal ini terjadi karena gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi dan kontrol motorik. Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme energi protein. Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada ribonukleotida reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak dan energi otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia dan semakin luas otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin permanen dan sulit diperbaiki (Lubis, 2008). 2. Penyakit Kardiovaskular Pada
keadaan
anemia
dengan
kadar
hemoglobin
<
7g/dL
mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya faktor hemodinamik yaitu cardiac output dan distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen di darah yaitu
18
konsentrasi hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena (Dyer & Fifer, 2003). Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin. Mekanisme nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen extraction. Ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor nonhemodinamik berperan dan terjadi peningkatan cardiac output serta aliran darah sebagai kompensasi terhadap hipoksia jaringan. (Done & Foley, 2002) Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara lain terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vaskular sistemik, peningkatan preload akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatetik dan faktor inotropik. Pada anemia kronik, terjadi peningkatan kerja jantung menyebabkan pembesaran jantung dan hipertrofi ventrikel kiri. (Bridges, 2008) Data longitudinal menunjukkan bahwa anemia merupakan predisposisi terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi yang dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi sistolik. Manifestasi kardiovaskular pada pasien dengan anemia kronis yang berat tidak terlihat jelas kecuali pada pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien biasanya mengalami pucat, bisa terlihat kuning, denyut jantung saat istirahat cepat, prekordial aktif dan dapat terjadi murmur sistolik. Pada keadaan anemia, venous return jantung akan meningkat. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri, dengan miofibril jantung yang memanjang dan ventrikel kiri dilatasi, akibatnya akan memperbesar stroke volume sesuai dengan mekanisme Starling. (Brannon, 1945) Secara fisiologis akibat dari hal ini terjadi dilatasi ventrikel khususnya terjadi peningkatan tekanan dinding jantung yang mengakibatkan peningkatan
19
konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap terjadi dilatasi yang progresif dinding ventrikel kiri menebal yang disebut dengan eccentric hipertrofi yang bermanfaat sebagai mekanisme adaptasi untuk melindungi jantung dari peningkatan tahanan dinding jantung. (Zilberman, 2007) 3. Hipoksia Anemik Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen (dan substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil metabolik lain) dari sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada sistem respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat. Perubahan teganagan oksigen dan karbon diaoksida serta perubahan konsentrasi intraeritrosit dari komponen fosfat organik, terutama asam 2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen. Bila hasil hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan, PaCO2 biasanya meningkat dan kurva disosiasi bergeser kekanan. Dalam kondisi ini, persentase saturasi hemoglobin dalam darah arteri pada kadar penurunan tegangan oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan. (Baliwati, 2004) Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan penurunan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2 tetap normal, tetapi jumlah absolut oksigen yang diangkut perunit volume darah akan berkurang. Ketika darah yang anemik melintas lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah yang normal dikeluarkan dari dalam darah tersebut, maka PaCO2 di dalam darah vena akan menurun dengan derajat penurunan yang lebih besar daripada yang seharusnya terjadi dalam keadaan normal. (Almatsier, 2004) E. PROGNOSIS Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun, keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan peranan penting dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien dan faktor penyerta lainnya.
20
Anemia akibat pendarahan dari vasises esophagus Sekitar 30% pasien dengan sirosis meninggal akibat pendarahan visceral. Pasien dengan penyakit hati kelas Child C memiliki tingkat kematian 50%. Tingkat perdarahan ulang pada pasien yang diobati secara medis adalah lebih dari 70%. (Gultom, 2003)
Anemia akibat Ruptur Aorta Prognosis dari ruptur traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat kematian prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian besar pasien meninggal dalam 2 minggu. Ruptur anuerisma nontraumatik juga memiliki prognosis yang buruk dan berakibat fatal jika tidak diobati. Tindakan bedah yang segara pun masih memiliki tingakt kematian tinggi, seringkali lebih dari 80%. (Maakaron, 2013)
Sickle cell anemia Pasien dengan homozigot (Hgb SS) memiliki prognosis yang buruk, karena mereka cenderung sering mengalami keadaan kritis. Pasien dengan heterozigot (Hgb AS) memiliki sifat-sifat sel sabit, dan meraka hanya mengalami keadaan kritis pada kondisi yang ekstrim. (Young et al, 2008)
Thalasemia Pasien dengan homozigot thalasemia beta (Cooley anemia atau talasemia mayor) memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan thalasemia lainnya (thalasemia intermediet dan thalasemia minor). Beberapa tahun terakhir telah ditemukan kemajuan dalam pengobatan thalassemia, terutama dengan terapi khelasi zat besi, yang memungkinkan pasien thalassemia untuk hidup sehat sampai dewasa. (Stefano et al, 2004)
Hiperplasia Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan produksi RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang lainnya tidak merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki prognosis buruk. Termasuk pasien dengan kerusakan relatif sumsum tulang akibat defisiensi nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin B12, asam folat atau zat 21
besi mengarah pada penyembuhan anemia jika etiologi yang tepat ditetapkan. Obat-obatan bekerja sebagai antagonis antifolic atau inhibitor sintesis DNA dapat menimbulkan efek yang sama. Kelompok kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang dapat merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis farmakologi namun lebih sering tidak merespon. Pasien ini memiliki sideroblas lingkaran di sumsum tulang, mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di mitokondria untuk sintesis heme (Pignatti, 2004). Pasien tertentu dengan hiperplasia sumsum dapat memiliki anemia refrakter bertahun-tahun, namun beberapa kelompok akhirnya berkembang menjadi leukimia myelogenous akut (Young et al, 2008).
Anemia aplastik Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia karena chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika kemungkinan etiologi adalah hemoglobinuria nokturnal paroksismal atau anti-insektisida. Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim, tanpa pengobatan tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun diagnosis. Tingkat kematian untuk anemia aplastik berat selama 2 tahun adalah 70% tanpa tranplantasi sumsum tulang atau respon terhadap terapi imunosupresif (Young, 2006).
Sferosidosis Herediter Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat drastic, memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk mempertahankan tingkat hemoglobin normal (Perrotta & Gallagher, 2008).
F. PERAN AKUPUNKTUR MEDIS Sebuah penelitian terbaru menunjukkan fakta bahwa akupunktur dapat meningkatkan kadar besi dalam darah. Akupunktur dapat meningkatkan Ferritin Serum dan mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity). Ferritin merupakan protein intraseluler yang menyimpan, melepaskan dan mentransportasikan besi ke dalam darah. TIBC merupakan tes laboratorium yang mengukur kemampuan
22
tubuh untuk mengikat besi dengan transferrin, pengikat besi glokoprotein plasma darah (Acta, 2007). Pada percobaan acak terkontrol, sebuah riset menerapkan akupunktur pada 60 kelinci putih pada titik akupunktur ST 36 Zusanli dengan metode manipulasi lifting-thrusting. Kelinci – kelinci tersebut dibatasi jumlah makanannya sehingga pada gambaran simulasi, darah mengalami defisiensi dimana terjadi kondisi penurunan ferritin serum dan peningkatan TIBC. Akupunktur diberikan setiap beberapa hari sekali, dengan total 10 kali. Kadar Ferritin serum dan TIBC diukur menggunakan
radio immuno assay (RIA).
Keduanya pada hari ke 17 penelitian dan selama 32 hari pengujian hasil setelah penyelesaian studi, akhirnya disimpulkan bahwa kelinci yang di akupunktur menunjukkan peningkatan signifikan kadar ferritin serum dan penurunan TIBC dibandingkan kelompok kontrol. (Jiu, 2012). G. KESIMPULAN Suatu anemia berat yang kronis (anemia gravis) dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis. Faktor resiko anemia gravis seperti jenis kelamin, penghasilan (status ekonomi), pendidikan, usia, gaya hidup, keturunan. Anemia gravis juga dapat disebabkan oleh komplikasi yang sering terjadi pada penderita keganasan (kanker), Infeksi cacing pada manusia baik oleh cacing gelang, cacing cambuk maupun cacing tambang dapat menyebabkan perdarahan yang menahun yang berakibat menurunnya cadangan besi tubuh dan akhirnya menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi. Pada penyakit malaria, anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah sampai dibawah normal disebabkan penghancuran sel darah merah yang berlebihan oleh parasit malaria. Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin, dan kekurangan zat besi. Beberapa pengobatan medis anemia
23
dengan berbagai indikasi seperti, erythropoiesis-stimulating agents (ESAs), Epoetin alfa, Fresh Frozen Plasma (FFP), cryoprecipitate, produksi besi, transfusi, transplantasi sumsum tulang dan stem sel, terapi nutrisi dan pertimbangan
pola
makan,
dan
pembatasan
aktivitas.
Sebuah
studi
menyimpulkan bahwa akupunktur dapat meningkatkan Ferritin Serum dan mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity). Titik akupunktur ST 36 Zusanli dengan metode manipulasi lifting-thrusting dapat membantu dalam kasus anemia.
24
DAFTAR PUSTAKA Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Adebisi OY, Strayhorn G. Anemia in pregnancy and race in the United States: blacks at risk. Fam Med. Oct 2005;37(9):655-62. Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu Hamil Penderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol. XXX; 2004.p. 496 – 499. Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.p.75, 185-188, 249-254. Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to clinical outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149–154. Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Jakarta. Baradero M. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine. Haematologica. Oct 2004;89(10):1187-93. Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York: Mc Graw-Hill Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Ed ke10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.
Casale M, Perrotta S. Splenectomy for hereditary spherocytosis: complete, partial or not at all?. Expert Rev Hematol. Dec 2011;4(6):627-35. Dhar R, Zazulia AR, Videen TO, et al. Red blood cell transfusion increases cerebral oxygen delivery in anemic patients with subarachnoid hemorrhage. Stroke. Sep 2009;40(9):3039-44. Fleischman G. 2006. Healthcare solution with acupuncture. Bloomington: iUniverse 25
Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In : Mahan LK, EscottStump S. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 12th edition. Philadelphia: Saunders. Ganong W. F. 2003. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Bab 27 Sirkulasi Cairan Tubuh hal. 513-515 Edisi 20. EGC : Jakarta Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University Press.
Grace RF, Mednick RE, Neufeld EJ. Compliance with immunizations in splenectomized individuals with hereditary spherocytosis. Pediatry Blood Cancer. Jul 2009;52(7):865-7. Harrison. 2004. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed. 13 Vol.4. Jakarta: EGC Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC. Hung M, Besser M, Sharples LD, Nair SK, Klein AA. The prevalence and association with transfusion, intensive care unit stay and mortality of pre-operative anaemia in a cohort of cardiac surgery patients. Anaesthesia. Sep 2011;66(9):812-8. Jiu, Z. C., 2012. Effect lifting-thrusting reinforcing-reducing manipulations of acupuncture on serum ferritin content and total iron binding capacity in blooddeficiency syndrome rabbits. Acupuncture, 37(1):41-5. Kaufman M, Rubin J, Rai K. Diagnosing and treating chronic lymphocytic leukemia in 2009. Oncology (Williston Park). Nov 15 2009;23(12):1030-7. Kuku I, Kaya E, Yologlu S, Gokdeniz R, Baydin A. Platelet counts in adults with iron deficiency anemia. Platelets. Aug 3 2009;1-5. Mardiana L, Agustina, N. Riris, Djarismawati dan Sukijo.2000. Telur Ascaris lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta Tanah di Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Maj. Parasitol Ind. 13(1-2): 28-32 Matizih, 2007. Diet Atkins. Jakarta : PT Elex Media Komputindo .
26
Mozaffari-Khosravi H, Noori-Shadkam M, Fatehi F, Naghiaee Y. Once weekly lowdose iron supplementation effectively improved iron status in adolescent girls. Biol Trace Elem Res. Aug 4 2009;epub ahead of print. Nelwanti, Nurlina., 2004. Hubungan Faktor Internal Ibu Hamil dalam Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Fe dengan Status Anemia. Ners jurnal keperawatan Universitas Andalas 1.(1).14-18 Passweg JR, Pérez WS, Eapen M, Camitta BM, Gluckman E, Hinterberger W, et al. Bone marrow transplants from mismatched related and unrelated donors for severe aplastic anemia. Bone Marrow Transplant. Apr 2006;37(7):641-9. Perrotta S, Gallagher PG, Mohandas N. Hereditary spherocytosis. Lancet. Oct 18 2008;372(9647):1411-26. Perrotta S, Della Ragione F, Rossi F, et al. {beta}-spectrinBari: a truncated {beta}chain responsible for dominant hereditary spherocytosis. Haematologica. Jul 16 2009;epub ahead of print Potts, N. L. & Mandleco, B. L. 2007. Study guide to accompany pediatric nursing (Second Edition). Canada: Thomson. Price, S. A. 2005. Patofiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6 Vol.1&2. Jakarta: EGC. Radich JP. How I monitor residual disease in chronic myeloid leukemia. Blood. Oct 15 2009;114(16):3376-81. Raspati H, Reniarti L, Susanah S., 2005. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: Badan penerbit IDAI Robert C, Brown DL. 2003. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician 67: 979-986, 993-994.
Ronald A, R. A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC. Sari, T. T., & Ismail, I. C. 2009. Sferositosis Herediter: laporan kasus. Sari Pediatri , 11 (4), 298-303. 27
Servilla KS, Singh AK, Hunt WC, et al. Anemia management and association of race with mortality and hospitalization in a large not-for-profit dialysis organization. Am J Kidney Dis. Sep 2009;54(3):498-510. Setiawan B dan Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. LIPI.
Tarwoto, Warnidar., 2007. Buku Saku Anemia Pada Ibu Hamil, Konsep dan Penatalaksanaan. Jakarta : Trans Info Media Wahidiyat I., 2007. Masalah anemia pada anak di Indonesia. Dalam: Abdulsalam M, Trijono PP, Kaswandani N dan Endyarni B. Pendekatan praktis pucat: masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: FKUI/RSCM Wang L, Lawrence MS, Wan Y, et al. SF3B1 and other novel cancer genes in chronic lymphocytic leukemia. N Engl J Med. Dec 29 2011;365(26):2497-506. Wolter M, Hermann S, Hahn A. 2003. B vitamin status and concentrations of homocysteine and methylmalonic acid in elderly German women. Am J Clin Nutr 78(4): 765-772.
World Health Organization., 2006. Worldwide prevalence of anaemia 1993-2005. World Health Organization global database on anaemia. Atlanta Young NS, Scheinberg P, Calado RT. Aplastic anemia. Curr Opin Hematol. May 2008;15(3):162-8. Young NS. Pathophysiologic mechanisms in acquired aplastic anemia. Hematology pAm Soc Hematol Educ Program. 2006;72-7.
28