BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sistem pencernaan manusia adalah sistem pemproses makanan yang masuk ke tubuh menjadi energi untuk menjalani aktifitas kita sehari-hari. Sistem pencernaan berfungsi juga untuk menjaga metabolisme tubuh. Dengan adanya sistem pencernaan dalam tubuh kita, kita dapat menikmati berbagai makanan dan menghasilkan energi untuk beraktifitas. Pada sistem pencernaan terdapat colon atau usus besar. Usus Besar merupakan salah satu organ abdominal yang berperan untuk menyerap air, tempat tinggal bakteri coli, menyimpan dan eliminasi sisa makanan. Sehingga jika terjadi kelainan dapat mengganggu jalanya pencernaan. Berbagai Patologi dapat terjadi pada usus besar. Kelainan atau patologi yang sering muncul pada usus besar adalah colitis, diverticulum, volvulus, hemaroid interna, neoplasma, dan ileus. Setelah mengetahui patologinya, dokter akan melakukan tindakan colostomy. Hysterectomy adalah prosedur operasi dimana uterus diangkat dan prosedur operasi non-obstetrical ini adalah yang paling umum dari wanita-wanita di Amerika. Sebab yang paling umum hysterectomy dilakukan adalah fibroid-fibroid kandungan (uterine fibroids), perdarahan vagina, cervical dysplasia, endometriosis, dysplasia, endometriosis, dan uterine prolapsed. Dengan dilakukannya hysterectomy ini memungkinkan berdampak pada usus besar dikarenakan posisi uterus dengan colon bagian distal yang berdekatan. Dampak yang mungkin terjadi adalah terjadinya infeksi dan adanya massa yang menempel pada usus dan hal ini yang memugkinkan dilakukannya colostomy. Colostomy adalah lobang buatan pada daerah colon yang sengaja dibuat oleh dokter bedah setelah memotong dan mengangkat daerah usus yang terinfeksi. Colostomy dilakukan sementara waktu. Sebelum disambung kembali, dilakukan pemeriksaan radiologi lopografi untuk melihat anatomi dan fisiologis colon sehingga dapat membantu tindakan medis selanjutnya.
1
Teknik pemeriksaan lopografi pada pasien dengan kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Pusat Soeradji Tirtonegoro Klaten terdapat beberapa perbedaan dengan teori yang penulis dapatkan di perkuliahan. Dengan adanya perbedaan tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang pemeriksaan Lopografi di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Pusat Soeradji Tirtonegoro Klaten dan menjadikannya sebagai laporan kasus yang berjudul ”TEKNIK PEMERIKSAAN P EMERIKSAAN LOPOGRAFI PADA KASUS POST COLOSTOMY ETCAUSA POST HYSTERECTOMY DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengemukakan permasalahannya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana teknik pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten? 2. Apa tujuan dilakukanya pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten?
C. Tujuan Penulisan Dalam penulisan laporan kasus ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. 2. Untuk mengetahui tujuan dilakukanya pemeriksaan lopografi pada kasus post
colostomy etcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. 3. Memenuhi tugas mata kuliah PKL II.
2
Teknik pemeriksaan lopografi pada pasien dengan kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Pusat Soeradji Tirtonegoro Klaten terdapat beberapa perbedaan dengan teori yang penulis dapatkan di perkuliahan. Dengan adanya perbedaan tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang pemeriksaan Lopografi di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Pusat Soeradji Tirtonegoro Klaten dan menjadikannya sebagai laporan kasus yang berjudul ”TEKNIK PEMERIKSAAN P EMERIKSAAN LOPOGRAFI PADA KASUS POST COLOSTOMY ETCAUSA POST HYSTERECTOMY DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengemukakan permasalahannya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana teknik pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten? 2. Apa tujuan dilakukanya pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten?
C. Tujuan Penulisan Dalam penulisan laporan kasus ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. 2. Untuk mengetahui tujuan dilakukanya pemeriksaan lopografi pada kasus post
colostomy etcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. 3. Memenuhi tugas mata kuliah PKL II.
2
D. Manfaat Penulisan.
1. Penulis Hasil penulisan ini dapat memberi pengalaman dan menambah wawasan tentang pemeriksaan lopografi. 2. Institusi Hasil penulisan ini dapat menambah referensi tentang tent ang pemeriksaan lopografi. 3. Pembaca Dapat menambah wawasan dan memberikan pemahaman tentang teknik pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa e tcausa post hysterectomy di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. 4. Institusi Rumah Sakit Untuk menambah referensi tentang pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy. E.
Metode Pengumpulan Data
1. Observasi Penulis melakukan pengamatan secara langsung jalanya kegiatan pemeriksaan radiologi di Instalasi Radiologi RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten. 2. Wawancara Penulis mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak – pihak terkait yang berhubungan dengan penulisan laporan ini. 3. Studi Pustaka Penulis membandingkan pemeriksaan lopografi antara tinjauan teori dengan praktek di lapangan. F.
Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN Yang meliputi : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Pengumpulan Data dan Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Yang meliputi : Anatomi Usus Besar, Fisiologi Usus Besar, Patologi Usus Besar, Hysterectomy, Colostomy, Tinjauan Teori Pemeriksaan Lopografi, dan Proteksi Radiasi.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Terdiri dari Paparan Kasus dan Pembahasan. BAB IV PENUTUP Berisi Kesimpulan dan Saran. LAMPIRAN
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Usus Besar
Usus besar adalah sambungan dari usus halus yang merupakan tabung berongga dengan panjang kira-kira 1,5 meter, terbentang dari caecum sampai canalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus halus. Diameter rataratanya sekitar 2,5 inchi. Tetapi makin mendekati ujungnya diameternya makin berkurang (Prince, 1995). Usus besar ini tersusun atas membran
mukosa
tanpa
lipatan, kecuali pada daerah distal colon (Sylvia, 1992). Usus besar dibagi menjadi ; caecum, colon asenden, colon transversum, colon desenden, colon sigmoideum , rectum dan anus (Snell, 1995). a.
Caecum Caecum merupakan kantong dengan ujung buntu yang menonjol ke bawah pada regio iliaca kanan, di bawah junctura ileocaecalis. Appendiks vermiformis berbentuk seperti cacing dan berasal dari sisi medial usus besar. Panjang caecum sekitar 6 cm dan berjalan ke caudal ( Ballinger, 2002 ). Caecum berakhir sebagai kantong buntu yang berupa processus veriformis (apendiks) yang mempunyai panjang antara 8-13 cm ( Ballinger, 2002 ).
b.
Colon Asenden Colon asenden berjalan ke atas dari caecum ke permukaan inferior lobus kanan hati, menduduki regio illiaca dan lumbalis kanan. Setelah sampai ke hati, colon asenden membelok ke kiri, membentuk fleksura coli dekstra (fleksura hepatik). Colon asenden ini terletak pada regio illiaca kanan dengan panjang sekitar 13 cm ( Ballinger, 2002 ).
c.
Colon Transversum Colon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura coli dekstra sampai fleksura coli sinistra. Colon transversum membentuk lengkungan seperti huruf U. Pada posisi berdiri, bagian bawah U dapat turun sampai pelvis. Colon transversum, waktu mencapai daerah limpa,
5
membelok ke bawah membentuk fleksura coli sinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian menjadi colon desenden ( Ballinger, 2002 ). d.
Colon Desenden Colon desenden terletak pada regio illiaca kiri dengan panjang sekitar 25 cm. Colon desenden ini berjalan ke bawah dari fleksura lienalis sampai pinggir pelvis membentuk fleksura sigmoideum dan berlanjut sebagai colon sigmoideum ( Ballinger, 2002 ).
e.
Colon Sigmoideum Colon sigmoideum mulai dari pintu atas panggul. Colon sigmoideum merupakan lanjutan colon desenden dan tergantung ke bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Colon sigmoideum bersatu dengan rectum di depan sacrum (Ballinger, 2002).
f.
Rectum Rectum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rectum merupakan lanjutan dari colon sigmoideum dan berjalan turun di depan sekum, meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Setelah itu rectum berlanjut sebagai anus dalam perineum. Menurut Pearce (1999), rectum merupakan bagian 10 cm terbawah dari usus besar, dimulai pada
colon
sigmoideum dan berakhir ke dalam anus yang dijaga oleh otot internal dan external.
6
Keterangan : 1.
Apendiks
2.
Sekum
3.
Persambungan ileosekal
4.
Apendises epiploika
5.
Colon asendens
6.
Fleksura hepatika
7.
Colon transversal
8.
Fleksura lienalis
9.
Haustra
10. Colon desendens 11. Taenia koli 12. Colon sigmoid 13. Kanalis Ani 14. Rectum Gambar 2.1. Anatomi Usus Besar (Silvia, 1990)
15. Anus
B. Fisiologi Usus Besar
1. Absorbsi air, garam, dan glukosa Penyerapan air dan elektrolit sebagian besar berlangsung diseparuh atas Colon. Dari sekitar 1000 ml kimus yang masuk ke usus setiap hari, hanya 100 ml cairan dan hampir tidak ada elektrolit yang disekresikan (Corwin, 2001). Dengan mengeluarkan sekitar 90% cairan, Colon mengubah 1000-2000 ml kimus isotonik menjadi sekitar 200-250 ml tinja semi padat (Ganong, 1995). Dalam hal ini Colon berfungsi sebagai reservior untuk dehidrasi masa faeces sampai defikasi berlangsung (pierce, 1999). 2. Sekresi mukus oleh kelenjar lapisan dalam. Mukus adalah suatu bahan yang sangat kental yang membungkus dinding usus. Fungsinya sebagai pelindung mukosa agar tidak dicerna oleh enzim-enzim yang terdapat di dalam usus dan sebagai pelumas makanan agar mudah lewat. Tanpa pembentukan mukus, integritas dinding usus akan terganggu, selain itu faeces akan menjadi sangat keras tanpa efek lubrikasi dari mukus(Corwin, 2001).
7
Sekresi usus besar banyak mengandung mukus. Dengan ini menunjukkan banyak reaksi alkali dan tidak mengandung enzim. Pada keadaan peradangan usus, peningkatan sekresi mukus yang banyak sekali mungkin menyebabkan kehilangan protein dan faeces (Price-Wilson, 1991). 3. Menghasilkan bakteri Bakteri usus besar melakukan banyak fungsi, yaitu sintesis vitamin K dan beberapa vitamin B (Price - Wilson, 1991).. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon di dalam tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayuran hijau, sisa protein yang belum dicernakan merupakan kerja bakteri guna ekskresi (Pearce, 1999). Mikroorganisme yang terdapat di Colon terdiri tidak saja dari escherecia koli dan enterobacter aeroganes tetapi juga organisme-organisme pleomorfik seperti bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar bersama tinja (Ganong, 1995).. 4. Defekasi. Defekasi terjadi karena kontraksi peristaltik rectum. Kontraksi ini dihasilkan sebagai respon terhadap ransangan otot polos longitudinal dan sirkuler oleh pleksus mienterikus. Pleksus mienterikus dirangsang oleh saraf parasimpatis yang berjalan dari segmen sacrum korda sanalis (Corwin, 2001). Defekasi dapat dihambat dengan menjaga agar spingter eksterrnus tetap berkontraksi atau dibantu dengan melemaskan spingter dan mengkontrasikan otot-otot abdomen (Ganong, 1995). C. Patologi Usus Besar
Berbagai patologi atau kelainan dapat terjadi pada sistem pencernaan kita, terutama pada usus besar, kelainan yang dapat terjadi a ntara lain : 1. Colitis Colitis adalah suatu penyakit peradangan pada rectum dan colon yang terutama mengenai lapisan mukosa colon dan menyebar secara kontinyu keseluruh daerah yang terkena.(Bontrager, 2001) 2. Divertikel
8
Divertikel adalah kantung-kantung yang menonjol pada dinding colon, terdiri atas lapisan mukosa dan muskularis mukosa.(Bontrager, 2001) 3. Volvulus Volvulus adalah bagian Colon yang membelit atau memutar pada Colon itu sendiri, ini dapat mengakibatkan obstruksi mekanik.(Bontrager, 2001) 4. Neoplasma adalah
massa
jaringan
yang
abnormal,
tumbuh
ganda
dan
tidak
terkoordinasi dan keberadaannya merupakan beban dan penyakit yang mengkhawatirkan bagi tubuh.(Bontrager, 2001) 5. Hemoroid interna Hemoroid interna adalah iritasi atau infeksi jaringan disekitar rectum, yang disebabkan
oleh
pembesaran
pembuluh
darah
atau
pembengkakkan
jaringan.(Bontrager, 2001) 6. Ileus Ileus adalah obstruksi usus, dapat terjadi secara mekanis atau fungsional (paralitis) yang menimbulkan mulas yang hebat dan muntah-muntah tanpa disertai rasa nyeri.(Bontrager, 2001) D. Hysterectomy
1. Definisi Hysterectomy Hysterectomy adalah prosedur operasi dengan mana kandungan (uterus atau womb) dikeluarkan atau diangkat. Histerektomi dapat dilakukan melalui sayatan di perut bagian bawah atau vagina, dengan atau tanpa laparoskopi. Histerektomi lewat perut dilakukan melalui sayatan melintang seperti yang dilakukan pada operasi sesar. Histerektomi lewat vagina dilakukan dengan sayatan pada vagina bagian atas. Sebuah alat yang disebut laparoskop mungkin dimasukkan melalui sayatan kecil di perut untuk membantu pengangkatan rahim lewat vagina. Histerektomi vagina lebih baik dibandingkan histerektomi perut karena lebih kecil risikonya dan lebih cepat pemulihannnya. Namun demikian, keputusan melakukan histerektomi lewat perut atau vagina tidak didasarkan
9
hanya pada indikasi penyakit tetapi juga pada pengalaman dan preferensi masing-masing ahli bedah. Histerektomi adalah prosedur operasi yang aman, tetapi seperti halnya bedah besar lainnya, selalu ada risiko komplikasi. Beberapa diantaranya adalah pendarahan dan penggumpalan darah (hemorrgage/hematoma) pos operasi, infeksi dan reaksi abnormal terhadap anestesi. (majalahkesehatan.com/sekilastentang-histerektomi/)
Gambar 2.2 Hysterectomy 2.
Penyebab Hysterectomy Histerektomi memang sesuatu yang sangat tidak diharapkan, terutama bagi wanita yang masih mendambakan memiliki anak. Namun demikian, seringkali dokter tidak memiliki pilihan lain untuk menangani penyakit secara permanen selain dengan mengangkat rahim. Beberapa jenis penyakit yang mungkin
mengharuskan
histerektomi
antara
lain:
(majalahkesehatan.com/sekilas-tentang-histerektomi)
Fibroids (tumor jinak yang tumbuh di dalam dinding otot rahim)
Kanker serviks, rahim atau ovarium
Endometriosis, kondisi berupa pertumbuhan sel endometrium di bagian lain dari rahim
Adenomyosis, kelainan di mana sel endometrium tumbuh hingga ke dalam dinding rahim (sering juga disebut endometriosis interna) 10
Prolapsis uterus, kondisi di mana rahim turun ke vagina karena ligamen yang kendur atau kerusakan pada otot panggul bawah
Inflamasi Pelvis karena infeksi Setelah menjalani histerektomi, seorang wanita tidak lagi mendapatkan
ovulasi dan menstruasi. Hal ini juga berarti berkurangnya produksi hormon estrogen dan progesteron yang dapat menyebabkan kekeringan pada vagina, keringat berlebihan, dan gejala-gejala lain yang umumnya terjadi pada menopause normal. Wanita yang menjalani salpingo-oporektomi bilateral atau pengangkatan kedua ovarium biasanya juga diberi terapi pengganti hormon untuk menjaga tingkat hormon mereka. 3.
Tipe-Tipe Hysterectomy Sekarang ada keberagaman teknik-teknik operasi untuk melakukan hysterectomies. Prosedur operasi yang ideal untuk setiap wanita tergantung pada kondisi medis tertentunya. Dibawah, tipe-tipe yang berbeda dari hysterectomy didiskusikan dengan petunjuk-petunjuk umum tentang teknik mana yang dipertimbangkan untuk tipe yang mana dari situasi medis. (libersiahaan.blogspot.com/2011/03/hysterectomy.html) a. Total Abdominal hysterectomy
Ini adalah tipe yang paling umum dari hysterectomy. Selama total abdominal hysterectomy, dokter mengeluarkan/mengangkat kandungan (uterus), termasuk serviks. Bekas luka mungkin horizontal atau vertikal, tergantung pada sebab dilakukannya prosedur, dan ukuran dari area yang sedang dirawat. Kanker dari indung telur dan kandungan, endometriosis, dan fibroid-fibroid kandungan yang besar dirawat dengan total abdominal hysterectomy. Total abdominal hysterectomy mungkin juga dilakukan pada beberapa kasus-kasus yang tidak biasa dari nyeri pelvis yang sangat parah, setelah evaluasi yang sangat menyeluruh untuk mengidentifikasi penyebab dari nyeri, dan hanya setelah beberapa percobaan-percobaan pada perawatan-perawatan yang bukan operasi. Dengan jelas wanita tidak dapat
11
melahirkan anak-anak sendiri setelah prosedur ini, jadi ia tidak dilakukan pada wanita-wanita dari umur yang dapat melahirkan anak kecuali ada kondisi yang serius, seperti kanker. Total abdominal hysterectomy mengizinkan
seluruh
perut
dan
pelvis
diperiksa,
yang
adalah
menguntungkan pada wanita-wanita dengan kanker atau penyelidikan pertumbuhan-pertumbuhan dari penyebab yang tidak jelas. b. Vaginal Hysterectomy
Selama prosedur ini, kandungan dikeluarkan melalui vagina. Vaginal hysterectomy adalah tepat hanya untuk kondisi-kondisi seperti uterine prolapse (turunnya kandungan), endometrial hyperplasia, atau cervical dysplasia. Ini adalah kondisi-kondisi dimana kandungan tidak terlalu besar, dan
dimana
seluruh
perut
tidak
memerlukan
pemeriksaan
yang
menggunakan prosedur operasi yang lebih ekstensif. Wanita akan perlu menaikan kedua tungkai-tungkainya pada alat stirrup sepanjang prosedur. Wanita-wanita yang telah tidak mempunyai anak-anak mungkin tidak mempunyai kanal vagina yang cukup besar untuk tipe prosedur ini. Jika wanita mempunyai kandungan yang terlalu besar, tidak dapat menaikan kedua tungkai-tungkainya pada alat stirrup untuk periode-periode yang berkepanjangan, atau mempunyai sebab-sebab lain mengapa seluruh perut bagian
atas
harus
diperiksa
lebih
jauh,
dokter
akan
biasanya
merekomendasikan abdominal hysterectomy (liha atas). Pada umumnya, laparoscopic vaginal hysterectomy adalah lebih mahal dan mempunyai angka-angka
komplikasi
yang
lebih
tinggi
daripada
abdominal
hysterectomy. c. Laparoscopy-Assisted Vaginal Hysterectomy (LAVH)
Laparoscopy-assisted vaginal hysterectomy (LAVH) adalah serupa pada prosedur vaginal hysterectomy yang digambarkan diatas, namun ia menambahkan penggunaan laparoscope. Laparoscope adalah tabung penglihat yang sangat tipis dengan alat seperti kaca pembesar pada ujungnya. Wanita-wanita tertentu akan paling baik dilayani dengan
12
mempunyai laparoscopy yang digunakan selama vaginal hysterectomy karena ia mengizinkan perut bagian atas diperiksa dengan seksama selama operasi. Contoh-contoh dari penggunaan-penggunaan dari laparoscope adalah
kanker
endometrisis
dini
(untuk
memverifikasi
kekurangan
penyebaran dari kanker), atau jika oophorectomy (pengangkatan dari indung-indung telur) direncanakan. Dibanding pada vaginal hysterectomy atau abdominal hysterectomy sederhana, ia adalah prosedur yang lebih mahal, lebih cendrung pada komplikasi-komplikasi, memerlukan waktu lebih lama untuk melakukannya, dan berhubungan dengan rawat inap yang lebih lama. Tepat seperti dengan vaginal hysterectomy sederhana tanpa laparoscope, kandungan harus tidak besar berlebihan. Dokter akan juga meninjau ulang situasi medis untuk memastikan tidak ada risiko-risiko khusus yang melarang penggunaan prosedur, seperti sebelum operasi yang dapat meningkatkan risiko untuk luka parut yang abnormal (adhesions). Jika wanita mempunyai sejarah dari operasi sebelumnya seperti ini, atau jika ia mempunyai massa pelvis yang besar, abdominal hysterectomy reguler mungkin adalah yang terbaik. d. Supracervical Hysterectomy
Supracervical hysterectomy digunakan untuk mengangkat kandungan sementara
menyelamatkan
serviks,
membiarkannya
sebagai
"stump
(tunggul)". Serviks adalah area yang membentuk dasar dari kandungan, dan duduk pada paling ujung dari kanal vagina. Prosedur kemungkinan tidak secara total menyampingkan kemungkinan mengembangkan kanker pada bekas atau sisa "stump" ini. Wanita-wanita yang telah memunyai Pap smears yang abnormal atau kanker serviks dengan jelas adalah bukan caloncalon yang tepat untuk prosedur ini. Wanita-wanita lain mungkin mampu untuk mempunyai prosedur jika tidak ada sebab untuk diangkat serviksnya. Pada beberapa kasus-kasus serviks sebenarnya lebih baik ditinggalkan ditempat, seperti beberapa kasus-kasus dari endometriosis yang parah. Ia adalah prosedur yang sederhana dan memerlukan lebih sedikit waktu untuk melakukannnya. Ia mungkin memberikan beberapa dukungan tambahan dari
13
vagina, mengurangi risiko perkembangan dari tonjolan keluar dari isi-isi vagina melalui mulut vagina ( vaginal prolapse). e. Laparoscopic Supra Cervical Hysterectomy
Prosedur laparoscopic supra cervical hysterectomy dilakukan seperti prosedur LAVH, meskipun biasanya cautery digunakan untuk memotong serviks keluar pada tunggul serviks (cervical stump), dan jaringan seluruhnya dikeluarkan/diangkat melalui alat laparoscopic. Pemulihan adalah sangat cepat. Pemeliharaan serviks kurang mungkin berakibat pada mens-mens (menstruasi) karena endocervix biasanya dibakar (cauterized). f.
Radical Hysterectomy
Prosedur radical hysterectomy melibatkan operasi yang lebih ekstensif daripada
total
abdominal
hysterectomy
karena
ia
juga
termasuk
pengangkatan/pengeluaran jaringan-jaringan yang mengelilingi kandungan dan pengangkatan dari vagina bagian atas. Radical hysterectomy paling umum dilakukan untuk kanker serviks dini. Ada lebih banyak komplikaskomplikasi dengan radical hysterectomy dibanding pada abdominal hysterectomy. Ini termasuk luka pada usus-usus dan sistim kencing (urinary system). g. Oophorectomy Dan Salpingo-Oophorectomy (Pengangkatan Dari Indung-Indung Telur Dan/Atau Tabung-Tabung Fallopian)
Oophorectomy adalah pengangkatan/pengeluaran dari indung(-indung) telur secara operasi, sementara salpingo-oophorectomy adalah pengangkatan dari indung telur dan tabung Fallopian yang berdekatan dengannya. Dua prosedur-prosedur ini dilakukan untuk kanker indung telur, pengangkatan dari tumor-tumor indung telur yang dicurigai, atau kanker tabung Fallopian (yang adalah sangat jarang). Mereka mungkin juga dilakukan yang disebabkan oleh komplikasi-komplikasi dari infeksi, atau dalam kombinasi dengan hysterectomy untuk kanker. Adakalanya, wanita-wanita dengan tipetipe yang diwariskan dari kanker indung telur atau payudara akan mempunyai oophorectomy sebagai operasi pencegahan ( prophylactic)
14
dalam rangka untuk mengurangi risiko dari kanker indung telur atau payudara masa depan. E. Colostomy
1.
Pengertian Colostomy Colostomy adalah suatu operasi untuk membentuk suatu lubang buatan antara colon dengan permukaan kulit pada dinding perut. Hubungan ini dapat bersifat sementara atau menetap selamanya. (llmu Bedah, Thiodorer Schrock, MD, 1983). Sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan faeces (M. Bouwhuizen, 1991). Colostomy dapat berupa secostomy, colostomy transversum, colostomy sigmoideum, sedangkan colon asenden sangat jarang dipergunakan untuk membuat colostomy karena kedua bagian tersebut terletak retroperitoneal. Colostomy pada bayi dan anak hampir selalu merupakan tindakan gawat darurat, sedang pada orang dewasa merupakan keadaan yang pathologis. Colostomy pada bayi dan anak biasanya bersifat sementara.
Gambar 2.3 Colostomy 2. Jenis-jenis Colostomy Colostomy dibuat berdasarkan indikasi dan tujuan tertentu, sehingga jenisnya ada beberapa macam tergantung dari kebutuhan pasien. Colostomy dapat dibuat secara permanen maupun sementara. a. Colostomy Permanen Pembuatan colostomy permanen biasanya dilakukan apabila pasien sudah tidak memungkinkan untuk defekasi secara normal karena adanya
15
keganasan, perlengketan, atau pengangkatan colon sigmoideum atau rectum sehingga tidak memungkinkan faeces melalui anus. Colostomy permanen biasanya berupa colostomy single barrel ( dengan satu ujung lubang). b. Colostomy Temporer / Sementara Pembuatan colostomy biasanya untuk tujuan dekompresi colon atau untuk mengalirkan faeces sementara dan kemudian colon akan dikembalikan seperti semula dan abdomen ditutup kembali. Colostomy temporer ini mempunyai dua ujung lubang yang dikeluarkan melalui abdomen yang disebut colostomy double barrel. Lubang colostomy yang muncul dipermukaan abdomen berupa mukosa kemerahan yang disebut Stoma. Pada minggu pertama post colostomy biasanya masih terjadi pembengkakan sehingga stoma tampak membesar. Pasien dengan pemasangan colostomy biasanya disertai dengan tindakan laparotomy (pembukaan dinding abdomen). Luka laparotomy bersebelahan
sangat
beresiko
dengan
mengalami
lubang
stoma
infeksi
yang
karena
kemungkinan
letaknya banyak
mengeluarkan faeces yang dapat mengkontaminasi luka laparotomy, perawat harus selalu memonitor kondisi luka dan segera merawat luka dan
mengganti
balutan
jika
balutan
(www.topengcinta.blogspot.com)
Gambar 2.4 Stoma
16
terkontaminasi
faeces.
F. Tinjauan Teori Pemeriksaan Lopografi
1.
Pengertian Pemeriksaan Lopografi adalah teknik pemeriksaan secara radiologis pada daerah colon dari colostomy dengan memasukkan kateter Foley beberapa centimeter pada daerah stoma ( Stephen, 1986 ).
2.
Tujuan Pemeriksaan Tujuan pemeriksaan Lopografi adalah untuk melihat
anatomi dan
fisiologi colon sehingga dapat membantu menentukan tindakan medis selanjutnya ( Stephen, 1986 ) 3.
Persiapan Pasien Menurut Rasad ( 1999 ) pemeriksaan Lopografi tidak memerlukan persiapan khusus. Hanya saja pada saat pemeriksaan diharuskan untuk membebaskan
daerah
yang
diperiksa
dari
benda-benda
yang
menimbulkan artefak. 4.
Persiapan Alat dan Bahan ( Ballinger, 2002 ) a.
Persiapan alat pada pemeriksaan Lopografi, meliputi : 1). Pesawat x-ray yang dilengkapi bucky kaset dan fluoroscopy. 2). Kaset dan film sesuai dengan kebutuhan. 3). Marker 4). Standar irigator dan irigator set lengkap dengan kanula rectal . 5). Sarung tangan atau handskun 6). Penjepit atau klem 7). Kain kassa 8). Kateter Faley 9). Bengkok 10). Apron 11). Plester 12). Tempat mengaduk media kontras 13). Pengaduk media kontras.
17
dapat
b.
Persiapan bahan (Rasad, 1999) 1). Media kontras, yang sering dipakai adalah larutan barium sulfat dengan konsentrasi antara 70 – 80 W/V % Weight /Volume. Banyaknya larutan (ml) tergantung pada panjang pendeknya
colon
distal. 2). Air hangat untuk membuat larutan barium. 3). Vaselin atau jelly, digunakan untuk menghilangi rasa sakit saat kanula dimasukkan kedalam anus. 5.
Teknik Pemeriksaan, ( Ballinger, 1999 ) Proyeksi Radiograf yang digunakan pada pemeriksaan lopografi adalah sebagai berikut : 1). Proyeksi Antero posterior Posisi pasien : Supine diatas meja pemeriksaan Posisi objek :
MSP (Mid Sagital Plane) tubuh berada pada pertengahan meja pemeriksaan.
Kedua tangan lurus disamping tubuh atau dilipat ke arah dada.
Batas atas
: Processus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : Vertikal terhadap kaset Central point : Pertengahan kedua crista iliaka FFD
: 100 cm
Eksposi pada saat ekspirasi kemudian tahan nafas. Kriteria
:menunjukkan seluruh kolon terlihat, termasuk
fleksura dan kolon sigmoid.
18
Gambar 2.5 Posisi Pasien Pada Proyeksi Antero Posterior 2). Proyeksi Postero Anterior Posisi pasien : Prone diatas meja pemeriksaan Posisi objek :
MSP tubuh berada tepat di garis tengah meja pemeriksan.
Kedua tangan lurus di samping atas tubuh dan kaki lurus ke bawah.
Batas atas
: Processus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset Central point : Pertengahan kedua crista iliaka FFD
: 100 cm
Eksposi pada saat ekspirasi kemudian tahan nafas. Kriteria
:seluruh kolon terlihat termasuk fleksura dan
rektum.
Gambar 2.6 Posisi Pasien Pada Proyeksi Postero Anterior
19
3). Proyeksi LPO Posisi pasien : Supine di atas meja pemeriksaan lalu pasien diposisikan 350-450 tehadap meja pemeriksaan. Posisi objek :
MSP tubuh berada tepat di garis tengah meja pemeriksan. Kedua tangan lurus di samping atas tubuh dan kaki lurus ke bawah.
Tangan kiri digunakan untuk bantalan dan tangan kanan di depan tubuh berpegangan pada tepi meja pemeriksaan.
Kaki kiri lurus sedangkan kaki kanan ditekuk untuk fiksasi.
Batas atas
: Processus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset Central point : Titik bidik 1-2 inchi ke arah lateral kanan dari titik tengah kedua crista illiaca Eksposi pada saat ekspirasi kemudian tahan nafas.
Gambar 2.7 Posisi Pasien Pada Proyeksi Left Posterior Obliq 4). Proyeksi RPO Posisi pasien : Supine di atas meja pemeriksaan kemudian pasien diposisikan 350-450 tehadap meja pemeriksaan Posisi objek :
20
MSP tubuh berada tepat di garis tengah meja pemeriksan. Kedua tangan lurus di samping atas tubuh dan kaki lurus ke bawah.
Tangan kanan lurus di samping tubuh dan tangan kiri menyilang di depan tubuh berpegangan pada tepi meja.
Kaki kanan lurus ke bawah dan kaki kiri sedikit ditekuk untuk fiksasi.
Batas atas
: Processus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset Central point : 1-2 inchi ke arah lateral kiri dari titik tengah antara kedua krista iliaka Eksposi dilakukan saat pasien ekspirasi penuh dan tahan nafas. Kriteria
: menunjukkan tampak gambaran fleksura lienalis
dan kolon asenden.
Gambar 2.8 Posisi Pasien Pada Proyeksi Right Posterior Obliq 5). Proyeksi RAO Posisi pasien : Prone di atas meja pemeriksaan lalu pasien diposisikan 350-450 tehadap meja pemeriksaan Posisi objek :
MSP tubuh berada tepat di garis tengah meja pemeriksan. Kedua tangan lurus di samping atas tubuh dan kaki lurus ke bawah.
21
Tangan kanan lurus di samping tubuh dan tangan kiri menyilang di depan tubuh berpegangan pada tepi meja.
Kaki kanan lurus ke bawah dan kaki kiri sedikit ditekuk untuk fiksasi.
Batas atas
: Processus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset Central point : Titik bidik pada 1-2 inchi ke arah lateral kiri dari titik tengah kedua krista illiaka Ekposi dilakukan pada saat pasien ekspirasi dan tahan napas. Kriteria : menunjukkan gambaran fleksura hepatika kanan terlihat sedikit superposisi bila di bandingkan dengan proyeksi PA dan tampak juga daerah sigmoid dan kolon asenden.
Gambar 2.9 Posisi Pasien Pada Proyeksi Right Anterior Obliq 6). Proyeksi LAO Posisi pasien : Prone di atas meja pemeriksaan kemudian pasien diposisikan 350-450 tehadap meja pemeriksaan Posisi objek :
MSP tubuh berada tepat di garis tengah meja pemeriksan. Kedua tangan lurus di samping atas tubuh dan kaki lurus ke bawah.
22
Tangan kiri lurus di samping tubuh dan tangan tangan menyilang di depan tubuh berpegangan pada tepi meja.
Kaki kiri lurus ke bawah dan kanan sedikit ditekuk untuk fiksasi.
Batas atas
: Processus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset Central point : Titik bidik pada 1-2 inchi ke arah lateral kanan dari titik tengah kedua krista illiaka Ekposi dilakukan pada saat pasien ekspirasi dan tahan napas. Kriteria : menunjukkan gambaran fleksura lienalis tampak sedikit superposisi bila dibanding pada proyeksi PA, dan daerah kolon desenden tampak.
Gambar 2.10 Posisi Pasien Pada Proyeksi Leftt Anterior Obliq 7). Proyeksi Lateral Posisi pasien : Lateral di atas meja pemeriksaan Posisi objek :
MCP tubuh berada tepat di garis tengah meja pemeriksan.
Genu sedikit di flexikan untuk fiksasi,
Batas atas
: Processus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset
23
Central point :: Mid Coronal Plane setinggi spina illiaca anterior superior (SIAS). Ekposi dilakukan pada saat pasien ekspirasi dan tahan napas Kriteria : daerah rectum dan sigmoid tampak jelas, rectosigmoid pada pertengahan radiograf.
Gambar 2.11 Posisi Pasien Pada Proyeksi Lateral 8). Proyeksi AP Axial (Butterfly Positions) Posisi pasien : Supine diatas meja pemeriksaan Posisi objek :
MSP (Mid Sagital Plane) tubuh berada pada pertengahan meja pemeriksaan.
Kaki diluruskan, tangan diletakan di dada pasien.
Batas atas
: Processus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : 300 – 400 chepalad Central point : Titik 2 inchi inferior pertengahan kedua crista iliaka pada MSP FFD
: 100 cm
Eksposi pada saat ekspirasi kemudian tahan nafas. Kriteria
:memperlihatkan daerah rectosigmoid lebih jelas,
dengan superposisi yang berkurang dibandingkan proyeksi AP.
24
Gambar 2.12 Posisi Pasien Pada Proyeksi AP Axial G. Proteksi Radiasi Proteksi radiasi adalah usaha-usaha atau tindakan-tindakan dalam lingkungan kesehatan yang bertujuan memperkecil penerimaan dosis radiasi yang diterima baik bagi pasien, radiografer, dokter radiologi, dan masyarakat umum ( Akhadi, 2004 ). Ada 3 Prinsip Proteksi Radiasi menurut Ulum MF dan Noviana D (2008) antara lain yaitu : 1) Menggunakan Pelindung ( Shielding) Penggunaan perisai/pelindung berupa apron berlapis Pb, glove Pb, kaca mata Pb dsb yang merupakan sarana proteksi radiasi individu. Tidak menghandle hewan secara langsung, hewan dapat disedasi atau bila perlu dianestesi. Proteksi terhadap lingkungan terhadap radiasi dapat dilakukan dengan melapisi ruang radiografi menggunakan Pb untuk menyerap radiasi yang terjadi saat proses radiografi. 2) Menjaga Jarak Radiasi dipancarkan dari sumber radiasi ke segala arah. Semakin dekat tubuh kita dengan sumer radiasi maka paparan radiasi yang kita terima akan semakin besar. Pancaran radiasi sebagian akan menjadi pancaran hamburan saat mengenahi materi. Radiasi hamburan ini akan menambah jumlah dosis radiasi yang diterima. Untuk mencegah paparan radiasi tersebut kita dapat menjaga jarak pada tingkat yang aman dari sumber radiasi
25
3) Mempersingkat Waktu Paparan Sedapat mungkin diupayakan untuk tidak terlalu lama berada di dekat sumber radiasi saat proses radiografi. Hal ini untuk mencegah terjadinya paparan radiasi yang besar. Pengaturan mAs yang tepat, dengan waktu paparan 0,0.. detik lebih baik dari pada 1 detik. Nilai kVp yang digunakan cukup tinggi sehingga daya tembus dalam radiografi cukup baik. dengan demikian maka pengulangan radiografi dapat dicegah.
26
BAB III PAPARAN KASUS DAN PEMBAHASAN
A. PAPARAN KASUS
1. Profil Pasien Nomor RM
: 758756
Nama
: Nn. E
Umur
: 44 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Cabakan, Sengon, Prambanan
Poli / Ruang
: Poli Bedah Umum / VIP CENDANA
Nomor Register Rontgen
: 4471
Dokter Pengirim
: dr. Suharto, Sp. B
Diagnosa
: Post Colostomy etcausa Post Hysterectomy
Klinis Singkat
: Kesulitan BAB
2. Riwayat Pasien. Pasien datang pada tanggal 4 Mei 2014 di Instalasi radiologi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten untuk melakukan pemeriksaan lopografi distal. Sebelumnya pasien memiliki riwayat telah melakukan hysterectomy atau operasi pengangkatan rahim dikarenakan terdapat myoma pada uterus pasien. Setelah dilakukan hysterectomy terdapat gangguan yang menyebabkan terjadinya sumbatan yang mengakibatkan pasien mengalami kesulitan buang air besar selama beberapa waktu. Dokter pengirim memutuskan melakukan colostomy atau pembuatan lubang stoma buatan sebagai pengganti anus. Setelah itu, pasien diminta dokter untuk melakukan pemeriksaan lopografi distal supaya dapat melihat anatomi dan fisilogis usus besar normal atau tidak dan untuk memastikan tindakan medis yang tepat selanjutnya. Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien mendaftarkan diri di bagian pendaftaran Instalasi Radiologi. Setelah mendapatkan nomor antrian radiologi, pasien menunggu untuk
27
dilakukan pemeriksaan. Sebelum dilakukan pemeriksaan pasien diwajibkan mengisi blangko persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan. 3. Inform Consent Inform Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhdap pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan konsekuensinya. Setelah dipastikan bahwa pemeriksaan bisa dilanjutkan, maka pasien atau keluarga diharuskan menandatangani surat persetujuan sebagai inform consent yang menyebutkan bahwa pasien tersebut secara tertulis menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan (Lopografi). Ini dapat digunakan sebagai hukum legal yang seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan, kita (radiographer) dapat terlepas dari jeratan hukum, kecuali jika memang ada unsur kesengajaan. B. PROSEDUR PEMERIKSAAN
1.
Tujuan Pemeriksaan Adapun tujuan dari pemeriksaan Lopografi ini adalah untuk melihat anatomi dan fisiologi dari colon sehingga dapat membantu menentukan tindakan medis selanjutnya.
2.
Persiapan Pemeriksaan a.
Persiapan Pasien Tujuan
persiapan
pasien
sebelum
dilakukan
pemeriksaan
Lopografi adalah untuk membersihkan colon dari feases, karena bayangan dari feases dapat mengganggu gambaran radiograf. Sehingga persiapan pasien lopografi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten adalah puasa pada malam hari sehari sebelum pemeriksaan. Saat sebelum pemeriksaan pasien dipersilakan mengganti baju dengan baju pasien yang akan dikenakan selama proses pemeriksaan. Selain itu juga menghindarkan pasien dari benda-benda
28
yang dapat mengganggu pemeriksaan dan menimbulkan artefak pada radiograf. b.
Persiapan Alat Persiapan alat pada pemeriksaan Lopografi, meliputi : 1) Pesawat x – ray yang disertai dengan bucky. Dengan spesifikasi : Merk
: Allengers 525 FC ( Toshiba )
Type
: E7239
No Seri
: 1D0227
Kapasitas
: kV maksimum :150kV dan mA maksimum : 500mA
2) Kaset dan film sesuai ukuran 30 x 40 cm 3) Marker ID pasien ( R/L) 4) Kateter faley. 5) Vaseline atau jelly 6) Spuit 7) Sarung tangan 8) Penjepit atau klem 9) Kain kassa 10) Bengkok 11) Baju pasien 12) Plester 13) Tempat mengaduk media kontras c.
Persiapan Bahan Bahan kontras yang digunakan pada pemeriksaan lopografi adalah Barium Sulfat yang dicampur dengan air hangat yang dimasukkan kedalam stoma. Larutan barium dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1:4. Barium Sulfat yang digunakan pada pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Instalasi Radiologi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten adalah ± 180 cc
29
3.
Teknik Pemeriksaan Pada pemeriksaan lopografi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menggunakan pesawat sinar X konvensional pada ruang pemeriksaan B. Pemeriksaan lopografi distal ini dilakukan dengan tata laksana sebagai berikut a.
Foto polos BNO (Plain foto) Foto polos ini bertujuan untuk melihat persiapan pasien sudah maksimal atau belum, seandainya sudah maksimal maka pemeriksaan dapat dilanjutkan, tetapi seandainya persiapan pasien kurang baik ditandai dengan masih banyaknya gambaran feases yang mengganggu radiograf maka pemeriksaan ditunda, selain itu juga untuk menentukan Faktor Eksposi sehingga pada saat kontras telah dimasukkan Faktor Eksposi bisa optimal. Foto polos ini juga bertujuan untuk melakukan positioning pasien yang tepat. Posisi pasien : Supine diatas meja pemeriksaan Posisi objek : 1)
MSP (Mid Sagital Plane) tubuh berada pada pertengahan meja pemeriksaan.
2)
Kedua tangan lurus disamping tubuh.
Batas atas
: Prosessus Xypoideus
Batas bawah : Sympisis pubis Central Ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset Central point:
: Pertengahan kedua crista iliaka
FFD
: 100 cm
Kv
: 72
mAs
: 24
kaset
: 30 x 40 cm
Eksposi pada saat ekspirasi kemudian tahan nafas. Kriteria gambar
:
Tampak diafragma dan vertebrae thoracal XII sebagai batas atas dan symphisis pubis sebagai batas bawah
30
Tampak musculus psoas mayor
Tampak kontur ginjal kanan dan kiri
Tampak vertebrae lumbal dipertengahan radiograf
Gambar 3.1. Hasil Radiograf Proyeksi Antero Posterior Plain Foto b. Pemasukan Media Kontras Setelah
dilakukan
Plain
Foto,
kemudian
media
kontras
dimasukkan lewat stoma. Teknik pemasukan media kontras sebagai berikut: 1)
Masukkan kateter yang ujungnya telah diolesi dengan jelly atau vaselin ke dalam lubang bersih atau stoma.
2)
Isi spuit dengan larutan media kontras sebanyak 60 cc (3 spuit).
3)
Sambungkan spuit dengan kateter.
4)
Pemasukan media kontras dilakukan sedikit demi sedikit dengan cara disuntikan.
5)
Setelah media kontras mengisi kolon sigmoid sampai anus, aliran kontras dihentikan untuk pengambilan radiograf dengan proyeksi AP dan dilajutkan untuk pengambilan proyeksi lateral.
31
d. Proyeksi Pemotretan 1)
Proyeksi Antero Posterior Posisi pasien
: Supine diatas meja pemeriksaan
Posisi objek
:
a)
MSP (Mid Sagital Plane) tubuh berada pada pertengahan meja pemeriksaan.
b)
Kedua tangan lurus disamping tubuh.
Batas atas
: Prosessus Xypoideus
Batas bawah
: Sympisis pubis
Central Ray
: Vertikal tegak lurus terhadap kaset
Central point
: Pertengahan kedua crista iliaka
FFD
: 100 cm
Kv
: 72
mAs
: 24
kaset/ukuran film : 30 x 40 cm Eksposi pada saat ekspirasi kemudian tahan nafas. Kriteria radiograf :
Tampak marker R dan nomor rontgent pasien
Pasase kontras lancar
Mukosa colon tampak licin
Tidak tampak tampak penyempitan pada colon sigmoid dan rectum.
Media kontras dapat mengisi daerah sigmoid, rectum, dan dapat keluar melalui anus.
32
Gambar 3.2 Hasil Radiograf Proyeksi Antero Posterior post Kontras 2) Proyeksi Lateral Posisi pasien : Lateral atau tidur miring diatas meja pemeriksaan Posisi objek : a)
Mid Coronal Plane (MCP) diatur pada pertengahan meja pemeriksaan.
b)
Genu sedikit fleksi untuk fiksasi.
Batas atas
: Prosessus Xypoideus
Batas bawah
: Sympisis pubis
Central Ray
: Vertikal tegak lurus terhadap kaset
Central point : Pada Mid Coronal Plane setinggi spina illiaca anterior superior (SIAS) FFD
: 100 cm
Kv
: 87
mAs
: 30
kaset/ukuran film : 30 x 40 cm Eksposi pada saat ekspirasi kemudian tahan nafas. Kriteria :
Pasase kontras lancar
Mukosa colon tampak licin
33
Tidak tampak tampak penyempitan pada colon sigmoid dan rectum.
Media kontras dapat mengisi daerah sigmoid, rectum, dan dapat keluar melalui anus.
Gambar 3.3 Hasil Radiograf Proyeksi Lateral post Kontras
e. Hasil Pembacaan Radiograf Adapun hasil pembacaan hasil radiograf pemeriksaan lopografi oleh dokter radiolog adalah sebagai berikut :
-
Pasase kontras lancar
-
Mukosa colon tampak licin
-
Tidak tampak tampak penyempitan pada colon sigmoid dan rectum.
-
Media kontras dapat mengisi daerah sigmoid, rectum, dan dapat keluar melalui anus.
34
C. Pembahasan
Selama Praktek Kerja Lapangan II dari tanggal 21 April 2014 s.d. 31 Mei 2014 di Instalasi Radiologi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten , penulis melakukan beberapa pengamatan. Maka penulis menemukan dua permasalahan beserta pembahasan sebagai hasil pengamatan penulis selama mengikuti Praktek Kerja Lapangan II di Instalasi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten sebagai berikut. Pemeriksaan Lopografi adalah teknik pemeriksaan secara radiologis pada daerah kolon distal dengan memasukkan kateter Foley beberapa centimeter pada daerah stoma Teknik pemeriksaan lopografi yang digunakan pada kasus post hysterectomy di Instalasi Radiologi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten terdapat
perbedaan
dengan
teori
yang
ada.
Penulis
membandingkan
pemeriksaan lopografi di Instalasi Radiologi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten dengan teori menurut Ballinger (1999) yaitu menggunakan Proyeksi Anteroposterior, Posteroanterior, LPO, RPO, RAO, LAO, Lateral dan AP Axial untuk memperlihatkan anatomi dan kelainan pada colon. Pada pemeriksaan lopografi digunakan proyeksi Anteroposterior, lateral dan AP Axial untuk memperlihatkan daerah rectum. Dengan menggunakan teknik pemeriksaan di atas dapat lebih jelas untuk menampilkan adanya indikasi kelainan pada Colon bagian distal. Dengan menggunakan Proyeksi AP dapat memperlihatkan seluruh Colon, termasuk fleksura hepatica. Proyeksi lateral dapat memperlihatkan rectum. Proyeksi AP Axial dapat memperlihatkan daerah
rectosigmoid
lebih
jelas,
dengan
superposisi
yang
berkurang
dibandingkan proyeksi AP. Pada pemeriksaan Lopografi pada kasus post colostomy etcusa post hysterectomy di Instalasi Radiologi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten hanya dibuat 3 foto yaitu Foto Polos (Plain Foto), Proyeksi AP post kontras dan Lateral post kontras. Foto pertama adalah plain foto yang tujuannya adalah untuk melihat persiapan pasien sudah maksimal atau belum, apabila sudah
35
maksimal maka pemeriksaan dapat dilanjutkan, tetapi seandainya persiapan pasien kurang baik ditandai dengan masih banyaknya gambaran feases yang mengganggu radiograf maka pemeriksaan ditunda, selain itu juga untuk menentukan faktor eksposi sehingga pada saat kontras telah dimasukkan faktor eksposi bisa optimal. Selain itu tujuan lain dari foto polos ini adalah untuk menentukan positioning pasien dan objek yang tepat. Setelah hasil foto polos (plain foto) dirasa cukup, dilanjutkan pemasukan media kontras. Media kontras yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah Barium Sulfat bubuk yang dilarutkan dengan air hangat dengan perbandingan 1:4. Media kontras yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah ± 180 cc. Tujuan digunakan air hangat adalah karena barium lebih mudah larut, pasien akan lebih nyaman, dan yang paling penting madia kontras akan lebih cepat melapisi mukosa usus. Media kontras dimasukan melalui stoma dengan kateter yang telah disambungkan dengan spuit. Setelah media kontras dimasukkan kemudian dilakukan foto AP dan Lateral post kontras. Untuk melihat bagian rekto-sigmoid diperlukan minimal 2 proyeksi yaitu AP dan Lateral. Proyeksi AP dapat dilihat pada foto full filling, tetapi pada proyeksi ini bagian rekto-sigmoid saling superposisi. Sehingga diperlukan proyeksi lateral, pada proyeksi ini dapat memperlihatkan bagian ini dengan jelas. Sehingga menurut dokter radiolog dengan menggunakan tiga foto tersebut sudah dapat memperlihatkan bagian yang diinginkan dengan jelas. Pada pemeriksaan lopografi di RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten tidak menggunakan fluoroscopy. Dengan tidak menggunaknnya fluoroscopy ini tentu tidak dapat melihat pergerakan media kontras secara real-time pada saat pemeriksaan. Pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten bertujuan untuk mengetahui anatomi dan fisiologis dari colon. Pemeriksaan ini dilakukan karena sebelumnya memiliki riwayat telah melakukan hysterectomy atau operasi pengangkatan rahim (uterus) dikarenakan terdapat myoma pada uterus pasien. Setelah dilakukan hysterectomy terdapat gangguan pada sistem
36
pencernaan pasien dimana pasien mengalami kesulitan dalam BAB, sehingga oleh dokter bedah daerah melakukan colostomy dan membuat lobang anus buatan (stoma) pada colon distal pasien. Media kontras dimasukan melalui stoma yang tidak mengeluarkan fecal material, lalu dilihat dimana berhentinya media kontras. Dengan melihat jalur jalanya media kontras dan mengetahui muara akhir dari jalanya media kontras, maka dapat diketahui kelainan pada daerah colon bagian distal tersebut. Dengan begitu tindakan medis yang tepat dapat dilakukan kepada pasien, biasanya untuk melihat apakah stoma sudah dapat ditutup atau belum, atau tindakan medis lainya yang tepat untuk pasien.
37
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan lopografi pada kasus post colostomy etcausa post hysterectomy di Instalasi Radiologi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten menggunakan tiga foto yaitu Foto Polos (Plain Foto), foto AP dan Lateral post kontras. Pada pemeriksaan lopografi ini menggunakan media kontras barium sulfat bubuk yang dilarutkan dengan air hangat sebanyak ± 180 cc dengan perbandingan 1:4 yang dimasukan melalui lubang stoma. Dengan melihat radiograf tersebut dokter radiolog sudah dapat melihat ada tidaknya kelainan pada colon pada pemeriksaan lopografi tersebut. 2. Teknik pemeriksaan Lopografi adalah teknik pemeriksaan secara radiologis pada
daerah kolon dengan memasukkan kateter Foley beberapa centimeter pada daerah stoma. Tujuan pemeriksaan Lopografi adalah untuk melihat anatomi dan fisiologi colon sehingga dapat membantu menentukan tindakan medis selanjutnya. Dengan melihat jalur dan dimanana muara dari media kontras dapat diketahui adakah kelainan pada colon atau tidak. Dengan begitu maka dapat diketahui apakah stoma dapat ditutup kembali atau tindakan medis yang tepat untuk dilakukan kepada pasien selanjutnya. B. Saran
Saran penulis untuk pemeriksaan lopografi di Instalasi Radiologi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten adalah sebagai berikut : 1. Sebaiknya digunakan proyeksi AP Axial untuk memperlihatkan daerah rectum dengan lebih jelas agar radiograf dapat memberikan informasi yang lebih optimal. 2. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan flouroscopy karena dapat melihat trek atau jalur dari jalanya media kontras secara real-time sehingga tidak kehilangan
38
momen – momen yang penting yang tentunya sangat membantu dalam menegakkan diagnosa.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadi, Ahmad. 2004. Proteksi Radiasi. Jakarta : Balai Pustaka Ballinger, Philips W. 1995. Merril of Atlas Radiographic Positioning and Radiologic Prosedures, Eight Edition Vol. II Missouri : Mosby, Inc
39