Contoh Kasus Pajak
Dari sekian kasus yang membelit negeri ini, kasus pajak menduduki peringkat kedua setelah kasus korupsi yang sedang mewabah di semua kalangan saat ini. Dari sejak dahulu, Departemen yang satu ini memang terkenal sarat dengan permainan antara para pegawai yang terkait dengan para wajib pajak sehingga menyebabkan berkurangnya rasa percaya masyarakat terhadap departemen ini atau bahkan sudah menjalar ke rasa tidak percaya kepada pemerintah. Hal ini membuat masyarakat enggan untuk taat membayar pajak walaupun itu merupakan kewajiban sebagai warga negara yang baik.
Berikut ini adalah contoh beberapa kasus pajak yang sering terjadi di sekitar kita: #
Kasus
1
Harus diakui bahwa banyak orang asing yang mempunyai properti di Bali. Baik itu berupa hotel, home stay, villa, dll. Untuk menghindari besarnya pajak yang harus mereka bayar, tidak sedikit para pemilik yang warga negara asing tersebut melakukan transaksi di luar negeri untuk para tamu yang akan menginap. Jadi setelah terjadi kesepakatan rates kamar, para calon tamu akan melakukan pembayaran berupa transfer ke rekening bank di luar negeri milik owner dari tempat mereka akan menginap, Jadi pada saat mereka sampai di Bali tidak terjadi lagi transaksi pembayaran sehingga para pemilik tidak mempunyai bukti transaksi untuk diperlihatkan kepada petugas pajak. Hal ini bisa mengurangi jumlah pajak pendapatan yang harus mereka bayar kepada pemerintah.
#
Kasus
2
Bagi para pengusaha eksport barang berbahan dasar kayu, pemerintah Indonesia telah mewajibkan untuk memiliki sertifikat BRIK dan ETPIK yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Selain digunakan untuk memvalidasi jumlah kayu yang digunakan juga digunakan sebagai salah satu syarat dokumen eksport sehingga pemerintah bisa memantau berapa jumlah eksport yang dilakukan untuk mengetahui besarnya pajak yang harus dibayar para pengusaha. Namun, tidak sedikit pengusaha yang menyewa kedua dokumen tersebut (bahkan dokumen eksport yang lain) untuk menghindari membayar pajak kepada pemerintah. Dengan menyewa dokumen dari perusahaan lain (bahkan disinyalir ada perusahaan yang khusus menyewakan dokumen-dokumen eksport), semua transaksi eksport tidak bisa dipantau oleh pemerintah sehingga para pengusaha bisa terlepas dari kewajiban membayar pajak.
#
Kasus
3
Pada tahun 2008 yang lalu pemerintah mempunyai program sunset policy bagi para wajib pajak.Sunset Policy bisa dibilang sebagai pengampunan dari pemerintah terhadap para wajib pajak yang dianggap kurang taat. Pengampunan itu bisa berupa penghapusan sanksi administrasi yang berupa bunga dan sanksi administrasi atas pajak yang kurang atau tidak dibayar. Tidak sedikit pengusaha yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan pengampunan dari pemerintah. Seperti kasus Gayus, wajib pajak bekerjasama dengan pegawai pajak untuk membuat laporan fiktif atas besarnya pajak yang belum dibayar. Bagi perusahaan besar dengan asset yang besar pula tentu mempunyai kewajiban membayar pajak yang tidak bisa dibilang sedikit. Sehingga besarnya "pengampunan" yang mereka terima dari pemerintah juga jumlahnya besar. Hal ini tidak bisa dibenarkan karena telah menyalahi fungsi dari sunset policy itu sendiri
#
Kasus
4
Bila kita pernah bekerja di perusahaan perseorangan yang dikelola dengan manajemen yang kurang baik, pembuatan laporan keuangan ganda sudah merupakan hal yang biasa terutama pada perusahaan dagang. Jadi, pegawai bagian accounting / keuangan dituntut untuk membuat laporan keuangan ganda yang bertujuan untuk menghindari atau memperkecil besarnya nilai pajak yang harus dibayar. Laporan keuangan yang sesungguhnya disimpan oleh pemilik untuk kepentingan pribadi dan laporan keuangan yang fiktif disiapkan sedemikian rupa untuk laporan pajak. Hal ini berlaku juga untuk semua data penjualan yang berada di komputer kantor. Biasanya para pemilik akan kelabakan bila petugas pajak melakukan verifikasi / pengecekan di lapangan. Hal seperti ini sangatlah tidak terpuji mengingat slogan pemerintah "orang bijak taat pajak"
Video Kasus Mafia Pajak Dalam video ini menunjukkan pers release dari pihak kepolisian atas kasus mafia pajak yang pernah terjadi di Indonesia
(indahf /Carapedia)
Pencarian Terbaru (91)
Contoh kasus pajak. Contoh kasus pajak di indonesia. Contoh kasus. Contoh laporan keuangan perusahaan perseorangan. Contoh perusahaan yang terkait dengan kasus wajib pajak. Pajak. Contoh kasus paraa. Kasus wajib pajak bagi perusahaan. Contoh kasus korupsi pajak. Kasus perusahaan dagang perusahaan baru dan lama. Contoh kasus korupsi yang terjadi di indonesia. Artikel kasus pajak di indonesia. Kasus yang terjadi di perusahaan dagang. Contoh kasus manajemen produksi yang pernah terjadi di indonesia. Contoh pajak. Contoh kasus keuangan perusahaan. Laporan yang harus dibuat oleh karyawan bagian akunting pajak. Contoh perusahaan yang terkait wajib pajak. Kasus kasus keuangan. Penjelasan kasus npwp. Contoh kasus mafia pajak. Kasus kasus pajak yang berada di indonesia. Download makalah maslah yang terjadi di indonesia. Contoh laporan admin pajak. Artikel masalah pajak. Kasus kasus pajak. Masalah perusahaan yang sering terjadi. Kasus perpajakan di indonesia. Pajak yang di bayar warga negara di gunakan apa oleh negara. Cara agar orang mau membayar pajak. Cntoh kasus pajak. Kasus pajak ter. Laporan keuangan perusahaan ganda. Contoh kasus korupsi pajak terbesar di indonesia. Contoh kasus agensi yang terjadi saat ini#sclient=psy ab. Contoh korupsi yang terjadi di indonesia. Kumpulan masalah yang pernah terjadi di indonesia. Contoh contoh korupsi pajak. Contoh laporan keuangan perusahaan dagang. Artikel masalah perpajakan. Contoh management villa. Kasus kasus yang terjadi di indonesia. Cntoh kasus perpajakan. Contoh kasus dalam perusahaan perseorangan. Definisi kasus pajak. Kasus yang sering terjadi di hotel. Kasus hotel mengenai bisnis yang sering terjadi. Kliping tentang kasus pajak di indonesia. Contoh kasus perpajakan dalam perusahaan. Masalah yang terdapat dalam departemen perpajakan di indonesia. Kasus kasus pajak di indonesia. Contoh perusahaan yang sering korupsi. Bagiamana peranan pemerintah melakukan pajak terhadap perusahaan. Contoh kasus perpajakan. Contoh kasus paling hot yang terjadi di perusahaan sekarang ini. Kumpulan kasus korupsi pemerintah. Contoh kasus yang tidak. Contoh laporan keuangan wajib pajak. Kasus korupsi ketaatan. Kasus kasus perusahaan. Cara membuat pengumumuman tamu wajib lapor. Contoh laporan keuangan pajak. Contoh kasus orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Contoh kasus tentang orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Makalah tentang masalah perpajakan di indonesia. Contoh tindakan korupsi yang ada. Contoh perpajakan dalam
perusahaan. Arti ketaatan masyarakat membayar pajak. Contoh contoh kasus korupsi yang terjadi. Contoh contoh pajak. Kasus pajak yang ada di indonesia. Contoh contoh kasus. Faktor masyarakat enggan bayar pajak. Ketaatan masyarakat membayar pbb. Laporan perusahaan fiktif. Contoh kasus perpajakan untuk karyawan di indonesia. Contoh pajk wajib pajak. Contoh artikel kasus perpajakan dan pasal nya. Contoh artikel kasus perpajakan di indonesia dan pasal nya. Artikel tentang laporan keuangan ganda. Contoh maslah keuangan. Kasus departemen yg ada di indonesia. Makalah skripsi pajak penghasilan perusahaan dagang. Masalah pajak yang terjadi di indonesia. Contoh kasus sosial yang terjadi di dalam perusahaan. Contoh kasus keuangan bisnis. Contoh kasus sunset policy. Kasus kasus tentang keuangan bisnis. Contoh kasus tentang keuangan bisnis. Contoh kasus transaksi perusahaan dagang. Kasus pajak.
Seputar Gayus Tambunan,Satgas Mafia Hukum,Tikus Korupsi Kolusi Perpajakan
Gayus Tambunan Sejak mencuatnya kasus mafia hukum dan makelar kasus, terbentuklah Satgas Mafia Hukum, Apalagi saat Susno Djuaji berbicara berani mengungkap adanya dugaan mafia hukum di tubuh POLRI khususnya masalah pajak yang di promotori oleh Gayus tambunan? Siapa Sebenarnya Dia? Apa Benar Bahwa GAyus dibelakang itu semua? Saya Pribadi nggak yakin kalo model seorang gayus bisa selihai itu,, Berikut ini artikel terbaik yang kami sajikan buat anda, Ditjen Pajak Berani Tegas, SBY Jangan Mau Kalah
JAKARTA — Kasus Gayus Tambunan adalah pintu masuk untuk serius tangani pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, Presiden SBY harus melakukan penguatan instrumen hukum yang ada. “Kepolsian dan kejaksaan harus dibenahi, Presiden jangan sekedar ultimatum. Itu bisa dengan pemberhentian Kapolri atau Jaksa Agung kalau tidak bisa selesaikan kasus-kasus korupsi pajak lain,” jelas Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM), Ismed Hasan Putro, k epada media Online, sesaat lalu (Kamis, 31/3).
Di dalam Ditjen Pajak, lanjut Ismed, sudah ada keberanian untuk menonaktifkan pegawai yang berada di bagian Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Seperti diungkapkan Dijen Pajak Mochammad Tjiptardjo, 10 orang pimpinan Gayus dinonaktifkan untuk proses pemeriksaan. “Nah, di tingkatan aparat hukum belum ada. Tapi tak bisa abaikan harus ada pembuktian terbalik dari Ditjen Pajak untuk membuktikan kekayaan para pegawai Ditjen Pajak,” katanya. Semua tingkatan yang sensitf, kecuali bagian adminisratif Ditjen Pajak, harus diselidiki. Begitu pula, proses remunerasi harus dievaluasi ulang. “Remunerasi itu berlaku pada mereka yang punya indeks prestasi kerja yang baik. Prestasi itu sesuai tanggungjawab diberikan, jangan semua dipukul rata. Gayus mengaku punya gaji Rp 300 juta per bulan padahal cuma Rp 12 juta. Praktek beternak wajib pajak, harus diberantas,” tegasnya. Ismed juga menandaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib turun ke Ditjen Pajak. “Wajib, kudu, KPK ikut tangani masalah ini. KPK kan tidak di bawah Presiden. Tidak cukup Sri Mulyani hanya undang MK dan KY,” terangnya. Seperti diberitakan kemarin, Sri Mulyani mengatakan Kementerian Keuangan akan segera melakukan pembenahan agar ke depan kecenderungan yang menang perkara adalah Ditjen Pajak. “Kami sudah minta Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisial Yudisial (YK) untuk membenahi Pengadilan Pajak,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (30/3). SATUAN Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) terlihat bergerak masuk ke sektor mafioso pajak.
Lapas Narkotika, Cipinang, tempat Vincentius Amin menjalani hukuman atas tuduhan pencucian uang PT Asian Agri, bahkan sempat disafari oleh tim bentukan presiden itu. Mereka masuk dari dugaan praktik mafia hukum di balik sejumlah kejanggalan penjatuhan vonis t erhadap Vincent. Ditenggarai, hal itu berhubungan dengan posisi Vincent sebagai whistle blower . Sejumlah dokumen yang sempat dibuka mengarah ke dugaan penggelapan pajak hingga Rp 1,3 tr iliun. Banyak pihak menilai, itu adalah serangan balik terhadap manuver panitia khusus Pansus Angket Bank Century yang bergerak cepat dan nyaris mengancam eksistensi pemerintahan SBY. Namun, satgas membantah. Bahkan, mereka menyatakan bahwa para pengemplang pajak itu memang harus digertak. Seriuskah mereka? Atau, hanya sebatas ''gertak sambal''? Pertanyaan dan syak wasangka tersebut mudah ditepis jika satgas berhasil mendorong penuntasan skandal pajak hingga ke jalur hukum. Dalam artian, ia tidak semata menjadi komodifikasi politik murahan atau semacam alat meningkatkan posisi tawar pemerintah kepada partai koalisi di pansus Century. Dugaan penggelapan pajak Asian Agri, misalnya. Terutama karena kasus itu sudah diajukan penyidik
Dirjen Pajak kepada Kejaksaan Agung April 2008 dengan tuduhan penggelapan pajak. Dan, akan lebih baik jika satgas juga berani mendorong penggunaan delik korupsi untuk memerangi mafia pajak. Kerah Putih
Kejahatan pajak merupakan salah satu varian di antara kejahatan ''kerah putih'' ( white-collar crimes). Ia memiliki kerumitan tersendiri. Karena itulah, pendekan konvensional yang hanya menggunakan regulasi perpajakan, tanpa melapisi dengan undang-undang tindak pidana korupsi, diperkirakan tidak akan berhasil. Khusus polemik perpajakan di Asian Agri bermula dari informasi yang diberikan ke KPK oleh Vincentius, Dirjen pajak sebenarnya sudah memeriksa, menyita dokumen, hingga akhirnya menetapkan 12 tersangka. Perusahaan yang berada di bawah payung Grup Raja Garuda Mas (RGM) itu diduga melakukan pidana pajak pada 2002-2006. Hingga, pada pertengahan 2008 (25/4), Tim P ajak menyerahkan setumpuk alat bukti ke pada Kejaksaan Agung. Harapannya, kejaksaan menuntaskan tugasnya menyeret pelaku ke tingkat penuntutan di pengadilan. Sayang, hampir tiga tahun berselang informasi penanganan skandal pajak itu nyaris tenggelam. Kemudian, itu muncul kembali melalui sidak Satgas ke lapas Vincent. Karena itulah, Satgas seharusnya tidak hanya berbicara tentang praktik mafia hukum dalam proses peradilan Vincent, tetapi juga masuk lebih dalam ke jantung persoalan. Mungkin, mafia peradilan di balik penanganan kasus kasus Asian Agri jauh lebih penting. Konstruksi Hukum
Kacamata paling sederhana yang perlu digunakan adalah pasal 39 ayat (1) butif (d) dan (f) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Kete ntuan Umum Perpajakan (UU KUP). Poin yang perlu dibuktikan adalah surat pemberitahuan Asian Agri tidak benar dan ada upaya pemalsuan dokumen. Dengan logika bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara, manipulasi data surat pemberitahuan akan merugikan negara. Mafia pajak biasanya bermain di manipulasi data/pembukan agar tidak menyetorkan sejumlah biaya pajak kepada negara. Ada lima modus utama yang bisa digunakan untuk membaca kasus tersebut. Pertama, transfer pricing. Pengertian yang sederhana adalah upaya mengalihkan penghasilan kena pajak dari suatu negara dengan tarif pajak tinggi (Indonesia) ke negara lain dengan tarif pajak rendah atau neg ara Tax Haven (Misalnya: Singapura, Hongkong, dan Swiss). Pemindahan ter sebut dilakukan dengan cara penjualan perusahaan lintas negara, padahal perusahaan sebenarnya dimiliki atau dikuasasi orang yang sama. Dalam modus tersebut, Indonesia sangat dirugikan karena pajak yang seharusnya diterima negara dilarikan ke negara-negara tax haven. Padahal, sumber daya yang digunakan, sampah yang dibuang, dan bahkan sarana dan prasarana yang digunakan berasal dari uang rakyat Indonesia.
Kedua, transaksi hedging fiktif. Tujuan yang sederha, perusahaan tercatat rugi sehingga tidak ada
kewajiban membayar pajak. Penyiasatan seperti itulah yang dapat dibidik oleh tim pajak dan kejaksaan dimulai dari indikasi adanya upaya penipuan data ke uangan. Sama halnya dengan poin kedua, tiga modus lain adalah dugaan management fees yang fiktif, mark up pembelian aset, dan tambahan biaya fiktif lainnya. Tujuan dari tiga modus terakhir, agar seolah-olah perusahaan mengeluarkan sejumlah biaya sehingga keuntungan/penghasilan menurun jauh. Konsekuensi logis sederhana dari ini bahwa jumlah pajak yang harus dibayarkan berkurang drastis. Delik Korupsi
Adanya kerugian negara seperti disebutkan di atas menjadi dasar kasus manipulasi pajak dapat dijerat dengan korupsi. Karena itulah, ICW menyarankan penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo 20/2001) untuk menjerat pihak yang diduga mafia pajak secara berlapis. Hal itu bertujuan nanti pelaku tidak dibebaskan di pengadilan karena berlindung di balik sejumlah kelemahan Undang-Undang Perpajakan. Sangat memungkinkan sebuah kasus pidana pajak dialihkan ke sekadar pertanggungjawaban administratif dan perdata. Penegak hukum dapat menggunakan hasil rakernas Mahkamah Agung pada 2007 di Makasar, yang menyatakan bahwa sepanjang sebuah kejahatan atau bahkan pelanggaran administrasi memenuhi unsur UU Korupsi, maka ia bisa dijerat dengan delik korupsi. Setidaknya, unsur kerugian keuangan negara, melawan hukum, dan menguntungkan pihak lain diduga sangat mungkin terpenuhi dalam kasus Asian Agri tersebut. Satgas sepatutnya secara serius menempatkan analisis hukum tindak pidana korupsi untuk mem bongkar skandal pajak. Baik untuk kasus Asian Agri maupun perkara lain yang merugikan keuangan negara secara signifikan. Kemudian, mengawal dan memastikan penggelapan pajak atau korupsi pajak diajukan ke persidangan. Setidaknya untuk membuktikan kepada publik bahwa Satgas tidak main-main. Satgas bukan sekadar ''dayang-dayang'' dan ''pentungan politik'' kekuasaan untuk membungkam kekuatan yang kritis terhadap pemerintah. Itulah indikator apakah Satgas patut dipercayai, atau sebaliknya disimpan di dalam laci.(*)
Oleh : Joko Susanto Penyelesaian kasus pajak yang belum tuntas memancing respon orang nomor satu di negeri ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kejaksaan Agung untuk segera mengusut tuntas kasus kejahatan pajak. Gol akhirnya yaitu agar keuangan negara bisa diselamatkan. Pesan khusus itu disampaikan Presiden SBY saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kejaksaan di Istana Negara beberapa waktu lalu. Secara kasat mata, pernyataan kepala negara menyiratkan makna bahwa eksistensi dan kontribusi pajak sebagai pilar keuangan negara tidak diragukan lagi. Sumbangan pajak pada instrumen pendapatan negara cukup dominan karena mencapai sekitar 75%. Karenanya, kondisi "atmosfer"
pajak yang belum pulih benar akibat digoyang kasus oleh oknumnya pantas bila dikhawatirkan. Bahkan, seharusnya memang demikian agar ada kepastian hukum dan menopang masa depan reformasi perpajakan. Apalagi, pada 2011 ini tantangan Ditjen pajak untuk mewujudkan target penerimaannya tidak kalah hebat. Sebenarnya, jauhari sebelumnya Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumberdaya Aparatur (KITSDA) Ditjen Pajak, Wahyu Karya Tumakaka meminta kasus Gayus segera diusut tuntas. Menurutnya, tak hanya masyarakat awam, jajaran Ditjen Pajak pun mengaku heran mengapa Gayus Tambunan bisa memiliki duit puluhan miliar. Karena rasa penasaran hebat itulah, mereka meminta kasus ini segera diusut tuntas. Pernyataan itu disampaikannya usai memaparkan makalah "Upaya Pemberantasan Korupsi melalui mekanisme Whistle Blower" dalam rangkaian Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, di Jakarta. Menkeu Agus Martowardojo pun ingin segera ada kejelasan kasus pajak. Menurutnya, bila melibatkan orang dalam pun harus ditindak. Akan tetapi, seharusnya, tidak boleh ada kendala (penyidikan) dalam kasus pajak. Kementerian Keuangan mendukung penuh penegakan hukum pajak agar tak hanya sistem yang berjalan dengan baik dan jelas, melainkan juga prinsip sebagai negara hukum. Bola panas kasus itu memang telah berbulan-bulan berada di tangan penegak hukum. Bukan di Ditjen Pajak. Sidang telah berkali-kali dilakukan bahkan diikuti dengan gelar perkara meski menimbulkan kritikan. Namun, ending story-nya hingga kini seakan masih misteri. Bahkan beberapa pihak khawatir unsur politik turut mencampurinya. Kalau benar demikian rasanya amat memprihatinkan. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi di negara hukum. Diakui atau tidak, kasus heboh tersebut hampir-hampir menyebabkan demotivasi jajaran pajak. Betapa tidak, meski tidak turut terlibat pun, publik tanpa ampun langsung menuduhnya bahwa mereka semua yang berjumlah lebih dari 32.000 orang itu sama saja. Memang, wajar bila para wajib pajak geram dengan fenomena itu. Namun kita perlu menilai secara adil, bukan terus mengedepankan tendensi. Kemarahan Publik Kemarahan publik pun seakan makin menjadi-jadi. Terakhir, ketika pemerintah DKI Jakarta berencana memajaki Warteg yang melewati omset tertentu, Ditjen Pajak kembali menjadi sasaran pelampiasan emosi. Menurut penelusuran penulis, tidak sedikit komentar di berbagai situs internet yang „asal bunyi‟ dan mengaitkannya secara langsung dengan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Padahal, pajak atas warteg adalah salahsatu pajak daerah yang dikelola Dinas Pendapatan Daerah atau sejenisnya. Serupa dengan pajak restoran atau pajak kendaraan bermotor yang masuk dalam APBD. Artinya, jelas tidak ada korelasinya. Efek buruk lain yang terjadi adalah sebagaimana rilis dari Transparency International Indonesia (TII) yang melansir Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010. Hasilnya menunjukkan bahwa bagi kalangan usaha, kepolisian, pajak, dan pengadilan, serta kejaksaan merupakan lembaga yang perlu diprioritaskan dalam pemberantasan korupsi. Padahal, Ditjen Pajak tahun sebelumnya berada pada posisi atas hanya dikalahkan dengan LPPOM dan MUI. Demi kepastian hukum, penegak hukum harus benar-benar serius dalam mengusut kasus pajak. Sangat disayangkan bila dibiarkan terkatung-katung dan tak kunjung tuntas. Hal tersebut memberikan kesan bahwa kasus pajak ditangani setengah hati. Oleh karenanya, kali ini aparat penegak hukum harus membuktikan keseriusannya dan membuktikan bahwa munculnya kasus ini bukan sebagai alat tawar menawar politik. Pada rubrik Opini harian ini, 27 Desember lalu, berjudul : "Mengejar Realisasi Pajak dengan mendahulukan Realisasi Pembangunan" Ketua STIE,STT,STKIP Pelita Bangsa Drs.John Foster
Marpaung MA yang mengomentari tulisan saya di rubrik yang sama beberapa hari sebelumnya berharap agar alangkah baiknya kita belajar kepada semua negara maju, pajak itu benar-benar menyentuh pembangunan dan membawa masyarakat keluar dari kemiskinan. Akibatnya, masyarakat semuanya bangga menjadi wajib pajak. Harapan demikian tentu sangatlah mulia. Pemerintah tidak saatnya lagi alergi terhadap kritikan atau masukan yang membangun demi kesejahteraan bangsa. Munculnya kasus pajak yang terus menjadi berita empuk sepuluh bulan terakhir ini tentunya melukai perasaan para wajib pajak. Perasaan itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pihak terkait harus mengambil tindakan tegas untuk memulihkan kepercayaan wajib pajak. Pun, agar Ditjen Pajak tidak terus menjadi bulan-bulanan yang kadang kurang proporsional. Sepengetahuan penulis memang belum pernah ada seorang pun yang mengatakan bahwa Ditjen Pajak sejak berdiri mempunyai track record masa lalu yang sangat bersih dan 100% bebas dari unsur korupsi. Justru, yang mengemuka adalah pengakuan tulus sebagaimana tertuang dalam buku "Berkah Modernisasi Pajak" bahwa beberapa tahun lalu sebelum reformasi pajak, dengan terpaksa atau dipaksa, korupsi masih terjadi. Pengakuan itu harus dijadikan modal untuk perbaikan ke depan. Berangkat dari ketulusan itu, berbagai pembenahan internal dilakukan. DJP sadar bahwa institusi penopang keuangan negara ini tidak mungkin dibiarkan terus-menerus dalam kondisi sakit. Sangat riskan akibatnya. Maka, mereka bertekad meriah mimpi mewujudkan hari ini lebih baik dari kemarin. Karena seperti diungkapkan seorang filosof dunia : "Kemuliaan kita yang terbesar bukanlah terletak pada kenyataan bahwa kita tidak pernah jatuh, tetapi terletak pada kenyataan bahwa kita selalu berhasil bangkit setiap kali kita jatuh". Wallahu a‟lam.*** Penulis adalah kontributor Buku "Berkah Modernisasi Pajak" Ditjen Pajak Jakarta. Opini Analisa Daily 7 Januari 2011
Blog Redaksi Donatur Profil Penerbit Cara Kirim Artikel Kemitraan Pembaca Menulis
« Gugatan Publik untuk Koruptor SJSN Pro Rakyat Bukan lewat Asuransi »
Solusi UU Pajak di Tengah Ironi Korupsi Diterbitkan Agustus 30, 2010 Artikel Pengamat Ditutup Tag:Arles Ompusunggu, korupsi, UU Pajak
Oleh Arles Ompusunggu Posisi Indonesia yang masih berada dalam kelompok negara-negara terkorup di dunia, sekaligus peringkatnya di bawah Tunisia, Ghana, Kolombia, Gabon, Guatemala, sungguh mengenaskan. Negara serumpun, sesama ASEAN, Singapura dan Malaysia, Brunei Darusalam dan Thailand telah jauh meninggalkan Indonesia. Sesuai Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception
Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International tahun 2009, Indonesia menempati posisi 111 dari 180 negara yang disurvei, sehingga masih belum mampu mengangkat Indonesia dari julukan negara terkorup di dunia. Perilaku korupsi telah menjadi penyakit kronis masyarakat di segala aspek kehidupan bangsa ini. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang atau imbalan, sehubungan dengan jabatan, tanpa ada catatan administrasinya sebagai bukti transaksi. Proses pengungkapan kasus korupsi hingga peradilan membutuhkan waktu yang cukup panjang, sejak penyidikan sampai dengan pemberkasan, hingga penuntutan dan vonis dijatuhkan. Ditambah lagi masa persidangan yang dapat berlarut-larut dan jika tuntutan jaksa menang dalam perkara, masih dibutuhkan waktu sampai keluar keputusan tertinggi yang mempunyai ke- kuatan tetap. Sehingga tujuan utama pemberantasan korupsi untuk menyelamatkan aset negara yang hilang tidak berhasil dilakukan melalui pengungkapan kasus pidana korupsi oleh aparat hukum. Penerimaan negara yang berhasil diselamatkan relatif kecil, sehingga pengungkapan kasus korupsi belum mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku. Dibutuhkan suatu terobosan aturan dan undang-undang yang mampu mendorong sistem pengungkapan kasus korupsi yang mengutamakan upaya penggantian kerugian negara yang hilang. Di sinilah Undang-Undang Perpajakan dapat memberi kontribusi untuk kepentingan penyelamatan kerugian negara. Pelaku korupsi dapat dijerat dengan Undang-Undang Pajak sebagai pelaku pidana pajak, sehingga lebih mudah untuk langkah penyelamatan kerugian negara. Peran UU Pajak
Pelanggaran pidana korupsi dapat ditinjau sebagai pelanggaran UU Perpajakan dengan menggunakan UU Pajak Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Penentuan apakah suatu jenis penghasilan merupakan objek pajak diatur UU PPh, sedangkan ketentuan yang mengatur tentang prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya, diatur UU KUP. Sesuai dengan salah satu tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari KPK berdasarkan UU No 20 Tahun 2001 di antaranya adalah meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait, yang dapat dijadikan alat untuk meneliti ketaatan pemenuhan pajak. UU PPh tidak membedakan apakah suatu jenis penghasilan diperoleh secara halal atau tidak. Sepanjang memenuhi kriteria Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka pada dasarnya, dari sudut pandang peraturan perundang-undangan perpajakan, orang yang korupsi dapat dijerat melalui pembuktian bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana fiskal. Permasalahan utama adalah bagaimana menerapkan ketentuan UU Perpajakan supaya uang hasil korupsi tersebut dapat menjadi sumber penerimaan negara? Melalui koordinasi yang baik di antara aparat penegak hukum baik KPK, Kejaksaan, Polri dengan Ditjen Pajak, dapat dicapai suatu mekanisme penanganan kasus pidana korupsi yang
bernuansa pidana pajak. Begitu kasus korupsi yang menyangkut subjek pajak baik orang pribadi maupun badan mencuat maka segera diteliti pemenuhan kewajiban perpajakan oleh subjek pajak bersangkutan. Terlebih dahulu Ditjen Pajak meneliti status terdaftar sebagai wajib pajak sehingga mempunyai hak dan kewajiban dari sisi perpajakan. Apabila wajib pajak misalnya Mr X (perorangan) yang tersangkut kasus pidana korupsi ternyata dari sisi UU Perpajakan terbukti tidak memenuhi kewajiban, di antaranya tidak mendaftarkan diri, tidak mengisi SPT atau mengisi SPT tetapi isinya tidak benar maka dengan segera DJP melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil selaku Penyidik Pajak, segera bisa menjerat ke dalam kasus pidana pajak tanpa menunggu proses penyelesaian kasus pidana korupsi yang ditangani KPK. Pasal 38 dan 39 UU No 28 Tahun 2007 tentang KUP telah memberi ruang yang cukup untuk menjerat kasus pidana pajak dengan ancaman penjara maksimal enam tahun dan denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang. Proses penanganan kasus pidana pajak dapat dilaksanakan secara simultan tanpa menghentikan penanganan kasus pidana korupsi, sehingga pemerintah dapat mempercepat upaya penyelamatan keuangan negara yang diperoleh dari kasus pidana pajak. Otoritas Perpajakan dapat segera menelusuri ketidaksinkronan antara Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dengan sinyalemen kepemilikan dana hasil korupsi yang ditemukan oleh penyidik KPK dan Kejaksaan. Pilihan apakah melakukan penyidikan terhadap indikasi ketidakbenaran SPT yang dilaporkan oleh terdakwa korupsi yang selanjutnya diarahkan dan disidik dengan ancaman pidana penjara dan mengganti kerugian Negara sesuai Pasal 38 dan 39 UU KUP. Sebaliknya, dengan alasan kepentingan penerimaan negara maka kasus penyidikan pidana pajak dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan penerbitan surat ketetapan pajak sebagai indikasi jumlah kerugian negara. Walaupun penyelesaian kasus korupsi memakan waktu lama, namun di sisi lain upaya menagih hasil korupsi yang ditempuh dari penerbitan SKP atas penghasilan koruptor akan lebih mudah untuk diapklikasikan. Aparat pajak dapat membidik sumber uang para koruptor dan menempatkannya sebagai sumber penghasilan yang menjadi objek pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (3) UU PPh tanpa melihat apakah sumber penghasilan tersebut halal atau hasil korupsi. Namun, upaya menjerat pelaku korupsi ke dalam ranah perpajakan tidak mudah dilaksanakan. Para ahli hukum dan pihak yang berperkara akan mempertahankan penanganan proses peradilan koruptor hingga selesai dalam proses Criminal Justice System, mulai peradilan tingkat pertama (PN) hingga proses Peninjauan Kembali (PK) yang memakan waktu lama. UU Tindak Pidana Korupsi sendiri sebagaimana diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengharuskan kepada terpidana korupsi untuk membayar ganti rugi di samping menjalankan hukuman pidana penjara. Sehingga disinyalir akan memperpanjang kerumitan penanganan pidana korupsi yang dibidik, sekaligus dengan pengenaan penagihan pajak dengan undangundang perpajakan.
Persoalannya, siapa yang didahulukan untuk tujuan mulia memberantas pidana korupsi dan upaya mendapatkan penerimaan negara lebih cepat masuk ke kas Negara dari hasil korupsi yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kasus pidana korupsi sebaiknya tidak diarahkan menjadi kasus pidana pajak karena akan mengalami jalan buntu dalam penyelesaiannya yang bertele-tele dan melelahkan. Melalui penerapan mekanisme UU Perpajakan yaitu UU KUP dan UU PPh dalam mekanisme sistem perpajakan berdasarkan self assessment sudah cukup untuk menjerat pelaku korupsi ke dalam proses penagihan utang pajak yang belum dilaporkan. Walaupun si terdakwa pidana korupsi belum terdaftar sebagai wajib pajak, maka aparat pajak dapat menetapkan secara jabatan apabila ditemukan adanya sumber penghasilan yang telah jumlahnya lebih besar dari Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang PPh. (Sumber: Suara Pembaruan, 25 Agustus 2010)
Peran UU Perpajakan dalam memberantas korupsi (1 & 2) Senin, 18 Juli 2005 Cari Artikel Pajak
Kirim Komentar
Beritahu Teman
Cetak A A A
Akhir-akhir ini, media masa sering memberitakan upaya pemerintah mengungkap kasus-kasus korupsi, misalnya di Komisi Pemilihan Umum dan beberapa pejabat di daerah. Kasus-kasus korupsi yang sudah putuskan oleh pengadilan, seringkali tidak disertai kewajiban tertuduh untuk mengembalikan uang hasil korupsi. Di sisi lain, penerimaan negara yang bertumpu kepada penerimaan pajak dalam jangka pendek, perlu dilakukan terobosan untuk memenuhi target APBN. Peraturan perundang-undangan perpajakan dapat dijadikan sarana untuk keperluan tersebut terutama dalam rangka menyelamatkan uang negara. Seperti diketahui, proses pengungkapan kasus korupsi perlu waktu cukup panjang sejak dimulainya penyidikan sampai dengan pemberkasan. Jangka waktu tersebut masih harus ditambah lagi masa persidangan yang dapat berlarut-larut. Seandainya jaksa penuntut umum dalam kasus tersebut menang dalam perkara masih dibutuhkan waktu lagi sampai keputusan yang tertinggi mempunyai kekuatan yang tetap. Dari sudut pandang kerugian negara, jumlah dana yang dikorup kemungkinan kecil akan kembali. Disinilah peraturan perundangan perpajakan dapat memberikan kontribusi untuk kepentingan mengamankan penerimaan negara.
Pada dasarnya, dari sudut pandang peraturan perundang-undangan perpajakan, orang yang korupsi dapat dijerat melalui pembuktian bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana fiskal. Landasan hukum yang dijadikan dasar untuk menangani masalah korupsi adalah Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-undang Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP). Penentuan apakah suatu jenis penghasilan merupakan objek pajak diatur UU PPh, sedangkan ketentuan yang mengatur tentang prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya diatur UU KUP. Objek pajak penghasilan
UU PPh tidak membedakan apakah suatu jenis penghasilan diperoleh secara halal atau tidak. Sepanjang memenuhi kriteria Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang definisi "penghasilan", yaitu: "....setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:..." Definisi tersebut kemudian memberi contoh jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek pajak, antara lain: imbalan yang berkaitan dengan pekerjaan seperti gaji upah tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun dan imbalan dalam bentuk lainnya; hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan; laba usaha; keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun dan pembagian laba sisa hasil usaha; royalti; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; keuntungan karena pembebasan utang; keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
premi asuransi; tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak. Jenis-jenis penghasilan sebagaimana disebutkan diatas, yang diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh, tidak bersifat limitatif sebab rincian tersebut didahului dengan kata "termasuk". Jadi di luar jenis penghasilan tersebut, sepanjang tidak disebut di dalam Pasal 4 ayat (3), semua penghasilan adalah objek pajak. Jadi tanpa melihat apakah suatu jenis penghasilan halal atau tidak, adalah objek pajak penghasilan. Pasal 4 ayat (3) mengatur tentang penghasilan yang bukan objek pajak, yaitu: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat; harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah, sepanjang tidak ada hubungan usaha atau pekerjaan; warisan; harta sebagai penyertaan modal; imbalan dalam bentuk natura; pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi; dividen yang diterima oleh perseroan terbatas, sepanjang memenuhi syarat tertentu; iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui oleh Menteri Keuangan; penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu; bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari persekutuan, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana, sepanjang memenuhi syarat tertentu; penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, sepanjang memenuhi syarat-syarat yang diatur di Pasal 4 ayat (3) huruf k. Berbeda dengan ketentuan yang menyangkut "objek pajak", pengecualian sebagai objek pajak bersifat limitatif. Jadi sepanjang tidak masuk dalam salah satu jenis penghasilan dalam Pasal 4 ayat (3), maka suatu jenis penghasilan adalah objek pajak. Dengan demikian uang hasil korupsi, apapun namanya (tanda terima kasih, komisi, uang lelah dsb) adalah penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan.
Masalah selanjutnya adalah menerapkan ketentuan yang berlaku sehingga uang hasil korupsi tersebut menjadi penerimaan pajak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), U KUP, setiap orang pribadi yang tinggal di Indonesia adalah subjek pajak (orang pribadi) dalam negeri. Seorang subjek pajak dalam negeri akan menjadi wajib pajak apabila memperoleh penghasilan melebihi penghasilan-tidak-kenapajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang PPh. Sebagai wajib pajak, seseorang punya hak dan kewajiban. Saat seseorang sudah memenuhi syarat sebagai wajib pajak, maka wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Apabila tidak mendaftarkan diri, UU KUP memberi sanksi yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1). Ketentuan itu mengatur wajib pajak melanggar kewajiban perpajakan, antara lain: tidak mendaftarkan diri; tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar; dan menolak dilakukan pemeriksaan; dsb. Jika wajib pajak melanggar kewajibannya dan hal itu menimbulkan kerugian negara, maka yang bersangkutan akan dipidana paling lama 6 tahun penjara dan denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak yang terutang. Dalam hal seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, statusnya sudah ditingkatkan menjadi tersangka, pada tahapan inilah Ditjen Pajak dapat mulai melakukan penelitian dan pengumpulan data yang menyangkut orang tersebut. Langkah-langkah untuk menjerat tersangka korupsi dari sudut pandang pidana fiskal, perlu koordinasi dengan instansi lain yang menangani masalah ini, seperti misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan Agung. Tujuan dari langkah Ditjen Pajak ikut menangani hal ini adalah semata-mata untuk mengamankan penerimaan negara dari pajak dan untuk memberikan bahan tambahan kepada penyidik, sehingga tersangka pelaku didakwa dengan dakwaan berlapis, yaitu melakukan tindak pidana fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU KUP. Hal ini merupakan langkah untuk mengantisipasi seandainya pengadilan memberi putusan bebas kepada terdakwa. Keputusan ini mungkin saja benar dan dalam hal demikian masih ada satu dakwaan lagi berupa tindak pidana fiskal yang kemungkinan besar tidak akan lolos. Untuk mencapai tujuan itu, perlu ditempuh langkah persiapan, yang salah satunya adalah menjajaki kemungkinan ini dengan instansi terkait, yang menangani masalah korupsi. Ini tidak mudah karena masuknya Ditjen Pajak dapat dianggap merecoki kerjanya. Untuk itu, perlu pendekatan tingkat atas agar tujuan dapat dicapai. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dalam kasus tindak pidana fiskal. Sumber data itu diperoleh dari beberapa sumber antara lain dari berkas yang disusun oleh penyidik dalam
menyiapkan bukti-bukti. Hal ini bisa terkendala karena penyidik tidak bersedia membagi informasi. Tidak berlebihan apabila tuntutan tindak pidana fiskal erat berhubungan dengan perundangan di bidang perpajakan. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan penuntut umum yang menguasai perundang-undangan tersebut, misalnya dengan memberikan pelatihan kepada para penuntut umum dan para hakim. Dari sisi Ditjen Pajak, perlu dibentuk tim khusus menangani kasus-kasus korupsi. Seperti diketahui Ditjen Pajak telah lama menyiapkan tenaga-tenaga penyidik sehingga pembentukan tim ini tidak akan menjadi masalah. Penghentian penyidikan
UU KUP juga mengatur tentang kemungkinan penghentian penyidikan tindak pidana fiskal, sebagaimana diatur dalam pasal 44B, yang berbunyi: ?(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud di ayat (1), hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya dikembalikan, ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.? Ketentuan tersebut merupakan dasar hukum untuk menutupi kerugian keuangan negara karena tindak pidana di bidang perpajakan. Besar denda administrasi, yaitu lima kali pajak yang terutang (empat kali jumlah pajak yang kurang dibayar, ditambah dengan jumlah pajak yag belum dibayar). Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah uang yang digelapkan karena tindak korupsi. Itulah sebabnya ketentuan tersebut menekankan ?untuk kepentingan negara? sebagai pertimbangan melepaskan pengenaan sanksi penjara. Ketentuan tersebut merupakan dasar hukum kuat dalam mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak. Sebelum proses penyidikan terhadap tindak pidana fiskal dimulai Ditjen Pajak dapat melakukan penetapan pajak terhadap para tersangka kasus korupsi, apabila semata-mata tujuannya adalah untuk mengamankan penerimaan. Langkah ini sangat efisien karena berdasarkan ketentuan perundang-undangan Ditjen Pajak punya hak mendahului penagihannya sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU KUP: ?(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak.?
Hal ini dapat dijadikan dasar untuk menerbitkan ketetapan pajak apabila upaya penyidikan pajak dirasa akan sulit. Dengan proses penagihan yang kuat dan bantuan dari instansi lain, maka penetapan pajak akan dapat dilakukan berdasarkan data yang tersedia. Kesimpulan
Penyidikan atas tindak pidana fiskal yang dilakukan dengan cara bergabung dengan aparat yang menangani tindak pidana korupsi sangat efektif untuk mengamankan uang negara yang dikorup. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan serius karena keputusan pengadilan atas tindak pidana korupsi seringkali tidak disertai dengan keharusan mengembalikan uang negara. Yang perlu ditempuh adalah memberikan pengertian kepada aparat penyidik bahwa melalui jalur pajak, uang hasil korupsi akan lebih mudah diperoleh kembali. Oleh Rachmanto Surahmat Tax Partner Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult
Bisnis Indonesia / Senin, 11 & 18 Juli 2005