DAMPAK KORUPSI TERHADAP PENEGAKAN HUKUM
OLEH
KELAS 1.A MADE AYU RYAS PRIHATINI
P07120216014
NI LUH ADE SERIASIH
P07120216015
NI MADE RASITA PUSPITASWARI
P07120216016
NI LUH PUTU ARY APRILIYANTI
P07120216017
NI MADE TARIANI
P07120216018
PUTU INDAH PERMATA SARI
P07120216019
NI PUTU NOVIA HARDIYANTI
P07120216020
KEMENTRIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN DIV KEPERAWATAN TAHUN AKADEMIK 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang WidhiWasa, atas karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yangberjudul “DAMPAK KORUPSI DALAM PENEGAKAN HUKUM ” dengan baik dan lancar. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, dan bermanfaat di masyarakat. Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Denpasar, 9 Februari 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................ .......................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................ ...............Error! Bookmark not defined. BAB I PENDAHULUAN .............................................. ............................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................................... 1 B.
Rumusan Masalah ............................................... ............................................... 3
C.
Tujuan Penulisan ................................................. ............................................... 3
D. Manfaat Penulisan ............................................... ............................................... 4 BAB II PEMBAHASAN ........................................................ ...................................... 5 A. Pengertian Korupsi .............................................. ............................................... 5 BAB III PENUTUP .................................................................................................... 13 A. Kesimpulan ................................................. ..................................................... 13 B.
Saran.................................................. ............................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. ................................... 14
iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang
silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit
korupsi. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan
politis,
meraih
dan
mempertahankan
kekuasaan,
aspek
managemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi. Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantaradua
faktor
tersebut
yang
paling
dominan
adalah
faktor
manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman
kekayaan
sumber
1
daya
alamnya.
Tetapi
ironisnya,
negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahn ya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggotalegislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
2
Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.
B. Rumusan Masalah
Dalam suatu karangan ilmiah haruslah disusun secara sistematis dan runtutan sesuai dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu penyusunan suatu rumusan masalah yang menjadi batu pijak untuk pembahasan makalah ini. Adapun rumusan masalah ialah sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi? 2. Bagaimana problematika penegakan hukum tindak pidana korupsi? 3. Apa saja dampak korupsi terhadap penegakan hukum?
C. Tujuan Penulisan A. Tujuan Umum
-Untuk mengetahui dampak korupsi terhadap penegakan hukum -Untuk memenuhi tugas pendidikan budaya anti korupsi B. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian korupsi 2. Untuk mengetahui problematika penegakan hukum tindak pidana korupsi 3. Untuk mengetahui dampak korupsi terhadap penegakan hokum
3
D. Manfaat Penulisan A. Manfaat teoritis
Secara teoritis makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan faktor internal terjadinya korupsi . B. Manfaat praktis
Dapat dijadiakan sebagai bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut, serta referensi terhadap penelitian yang sejenisnya.
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan
politis,
meraih
dan
mempertahankan
kekuasaan,
aspek
managemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi. Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantaradua
faktor
tersebut
yang
paling
dominan
adalah
faktor
manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman
kekayaan
sumber
5
daya
alamnya.
Tetapi
ironisnya,
negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggotalegislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
6
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.
B. Problematika Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Tengah Masyarakat.
Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan
7
sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik. Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya.Misalnya, kalau hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. Maka seluruh lapisan masyarakat akan merasakan akibat pahitnya. Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:
8
a. Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada b. Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan c. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat d. Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yan g tegas pada wewenangnya. Lemahnya
mentalitas
aparat
penegak
hukum
mengakibatkan
penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka. Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan penegakan
hukum
secara
keseluruhan
dapat
dilihat
dari
kondisi
ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri. Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum.Terlepas dari dua hal di atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan. Lembaga hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat, lembaga di mana masyarakat memerlukan dan mencari suatu
9
keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh sedikitpun bergoyah dalam menerapkan keadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum dan syari’at yang telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar keadilan dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asalusul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan sudah tidak ada lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu, lembaga hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat mencari keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga dan dijamin integritasnya secara konsekuen. Jika kita berkaca kepada potret penegakan hukum di Indonesia saat ini (kembali penulis tegaskan) belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan b erdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri. Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya aparat penegak hukum itu sendiri.Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewanhewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.
10
Problematika
penegakan
hukum
yang
mengandung
unsur
ketidakadilan tersebut mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul begitu saja. Kesemuan ya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.
C. Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum
Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya kedua undang-undang tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak sempurna yaitu sesuai dengan perkembangan zaman, padahal undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun pada saat membuat peraturan perundang-undangan ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan mengabaikan masyarakat. Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971.
11
kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian antara undangundang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya undang-undang tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak pidana di Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.
12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua bentuk korupsi dicirkan tiga aspek. Pertama pengkhianatan terhadap kepercayaan atau amanah yang diberikan, kedua penyalahgunaan wewenang, pengambilan keuntungan material ciri-ciri tersebut dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk korupsi yang mencangkup penyapan pemersasn, penggelapan dan nepotisme Kesemua jenis ini apapun alasannya dan motivasinya merupakan bentuk pelanggaran terhadap norma-norma tanggung jawab dan menyebabkan kerugian bagi badan-badan negara dan publik.
B. Saran
Dengan penulis makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat menambah wawasan dan pemikiran yang intelektual hususnya dalam mata kuliah anti korupsi”.
13
DAFTAR PUSTAKA
Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 76 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Cet. keempat , (Bandung: Penerbit Angkasa, 1980), hlm. 65 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Kedua belas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 101 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
14