ACARA II TEMPE A. Tujuan
Tujuan dari praktikum Mikrobiologi Industri acara II “Tempe” adalah sebagai berikut: 1.
Mahasiswa dapat mengetahui cara pembuatan tempe.
2.
Mengetahui pengaruh jenis ragi terhadap keberhasilan produk tempe.
B. Tinjauan Pustaka
Kedelai merupakan salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar beberapa makanan diataranya kecap, tahu, dan tempe. Pada awalnya tanaman kedelai merupakan tanaman sub tropika hari pendek, namun setelah didomestikasi dapat mengghasilkan banyak kultivar lokal. Kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varitas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40-43%. (Yang et al , 2011). Kacang kedelai mengandung nutrisi yaitu protein, zat besi, asam lemak omega-3, fosfor, molibdenum, triptofan, mangan, vitamin K, isoflavon, genistein, daidzein, serta fitoestrogen (Liu et al , 2007). Kedelai merupakan bahan baku utama dalam proses pembuatan tempe, untuk membuat tempe dengan kualitas rasa yang enak dibutuhkan bahan baku kedelai yang berkualitas pula. Ragi tempe merupakan sediaan fermentasi atau dikenal dengan stater yang mengandung mikroorganisme yang mempunyai peran penting dalam fermentasi tempe, mikroorganisme tersebut berasal dari jenis kapang Rhizopus Rhizopus diantaranya Rhizopus oligosporus, oligosporus, Rhizopus oryzhae, oryzhae, dan Rhizopus stolonifer . Tahap pengolahan kedelai menjadi tempe meliputi tahap perebusan pertama, penghilangan kulit ari, perebusan tahap kedua, pematusan kadar air, inokulasi ragi tempe (peragian), pembungkusan, fermentasi dan penjualan. Adapun beberapa bahan penolong yang memberi pengaruh sangat signifikan terhadap kualitas tempe yang dihasilkan antara lain
air proses, ragi tempe, fermentasi, sarana dan prasarana proses serta tenaga kerja (Mujianto, 2013). Biji koro mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi. Meskipun kandungan proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan kedelai, tetapi kandungan karbohidrat dan seratnya lebih tinggi (Susanti, 1990). Selain itu, koro mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan kedelai, sehingga koro dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang aman (Kustyawati dkk, 2014). Tempe adalah salah satu produk fermentasi di Indonesia yang biasanya terbuat dari kacang kedelai dan difermentasi dengan menggunakan jamur Rhizopus oligosporus. Karakteristik dari tempe yaitu memiliki miselia berwarna putih yang bercampur menjadi satu bersama kedelai. Rasa dari tempe berbeda dari produk kedelai yang lain. Pada proses fermentasi tempe juga menghasilkan
nutrisi
yang
diperoleh
dari
kacang
kedelai
(Chutrtong dan Bussabun, 2014). Tempe adalah makanan terkenal Indonesia yang dibuat dari kedelai melalui tiga tahap, yaitu (1) hidrasi dan pengasaman biji kedelai dengan direndam beberapa lama (untuk daerah tropis kira-kira semalam); (2) pemanasan biji kedelai, yaitu dengan perebusan atau pengukusan; dan (3) fermentasi oleh jamur tempe yang banyak digunakan ialah Rhizopus oligosporus. Pada akhir fermentasi, kedelai akan terikat kompak. Proses penempean akan menghilangkan flavour asli kedelai, mensintesis vitamin B12, meningkatkan kualitas protein dan ketersediaan zat besi dari bahan (Agosin et al., 1989). Tempe merupakan makanan yang digemari masyarakat Indonesia karena kandungan gizi cukup tinggi mengandung berbagai zat gizi yang bermanfaat bagi kesehatan antara lain karbohidarat, protein, serat, vitamin dan harganya murah. Selain itu tempe merupakan makanan tradisional yang berpotensi sebagai makanan fungsional. Beberapa jenis peptide terdapat pada tempe
sebagai senyawa bioaktif, mempunyai fungsi penting bagi kesehatan, misalnya untuk meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi, sebagai senyawa antitrombotik, menurunkan kolesterol. Kandungan gizi tempe terdiri atas kadar air sebesar 55,3%, kadar abu sebesar 1,6%, kadar lemak 2,8%, karbohidrat sebesar 13,5% dan kadar protein sebesar 20,8%. Tempe yang baik adalah tempe yang kompak, seluruh tubuh diselimuti miselium kapang berwarna putih, tidak bernoda hitam akibat timbul spora, tidak berlendir, mudah diiris, tidak busuk dan tidak berbau amoniak. Selama penyimpanan tempe akan mengalami penurunan kualitas dan mutu gizi seperti kadar protein, karbohidrat, lemak dan mutu gizi lainnya (Muslikhah dkk, 2013). Jenis kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi toksin (racun), bahkan sebaliknya mampu melindungi tempe terhadap aflatoksin dan kapang yang memproduksinya. Di samping itu, telah dilaporkan bahwa tempe mengandung senyawa anti bakteri. Senyawa penghambat pertumbuhan bakteri tersebut diproduksi oleh kapang tempe selama proses fermentasi. Meskipun tempe merupakan sumber gizi yang baik, tetapi ada dua masalah utama dalam pemanfaatan tempe sebagai bahan pangan. Pertama, tempe termasuk golongan bahan pangan yang mudah rusak. Tempe segar yang baru jadi hanya dapat disimpan selama 1-2 hari pada suhu ruang. Setelah itu, tempe akan rusak (Fachruddin, 2000). Inokulum tempe merupakan kumpulan spora kapang yang memegang peranan penting dalam pembuatan tempe karena dapat mempengaruhi mutu tempe yang dihasilkan. Jenis kapang yang memegang peranan utama dalam pembuatan tempe adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus orizae, sedangkan jenis kapang lain yang terdapat adalah Rhizopus stolonifer dan Rhizopus arrhizus. Miselium Rhizopus orizae jauh lebih panjang dari pada Rhizopus oligosporus, sehingga tempe yang dihasilkan kelihatan lebih padat dari pada apabila hanya menggunakan Rhizopus oligosporus. tetapi apabila diutamakan peningkatan nilai gizi protein kedelai, maka Rhizopus oligosporus memegang
peranan tersebut. Hal ini disebabkan selama proses fermentasi Rhizopus oligosporus mensintesis enzim protease (pemecah protein) lebih banyak, sedangkan Rhizopus orizae lebih banyak mensintesis enzim a-amilase (pemecah pati). Oleh karena itu sebaiknya dipakai keduanya dengan kadar Rhizopus oligosporus lebih banyak yaitu (1:2) supaya mendapatkan hasil tempe yang lebih sempurna. Fermentasi yang lama akan menghambat produktifitas tempe. Kualitas dan kecepatan dalam proses produksi tempe dipengaruhi oleh kondisi fermentasi seperti pH (derajat keasaman) dan temperatur. Pada kondisi fermentasi yang optimal, pertumbuhan jamur tempe akan meningkat sehingga proses akan berlangsung lebih cepat dan kualitas tempe seperti rasa dan aroma yang dihasilkan juga lebih baik. Peragian yang tepat dilakukan setelah kedelai kering dan masih dalam keadaan agak hangat. Kedelai yang terlalu panas akan mematikan ragi tempe, sedangkan kedelai yang terlalu dingin akan menghambat pertumbuhan ragi atau kapang. C. Metodologi
1. Alat a. Baskom b. Gas c. Kertas minyak d. Kompor e. Panci f. Saringan g. Timbangan 2. Bahan a. Air b. Kedelai c. Koro d. Mlanding
e. Ragi raprima 0.002% f. Usar 3. Cara Kerja a. Pembuatan Tempe Kedelai Kedelai 100 gr Perendaman 12 jam
Penghilangan kulit
Pencucian dan penirisan
Perebusan 2 jam penirisan 3 jam
Pendinginan 1 jam
Penimbangan
Ragi tempe
Inokulasi
Inkubasi suhu kamar
Tempe Gambar 2.1 Pembuatan Tempe Kedelai
b. Pembuatan Tempe Koro Biji Koro 150 gr
Air bersih (1:4)
Perendaman I (12 jam)
Penirisan
Air bersih (1:4)
Perebusan I (1 jam)
Penirisan
Pengupasan
Kotiledon
Air bersih (1:2)
Perendaman II (24 jam)
Penirisan
Air bersih (1:2)
Pengukusan 30 menit
Penirisan
Ragi tempe
Penginokulasi
Penginkubasi 36 jam Gambar 2.2 Pembuatan Tempe Koro
c. Pembuatan Tempe Mlanding Biji lamtoro 150 gr
Air bersih (1:4)
Perebusan I (3 jam)
Penirisan (18 jam)
Penggilasan dan pencucian
Air bersih (1:2)
Perendaman 1 (15 jam)
Pembuangan air
Penggilasan dan pencucian
Air bersih (1:2)
Perendaman II (9 jam)
Perebusan II (2 jam)
Penirisan 4 jam (3 jam di keranjang, 1 jam dihamparkan
Ragi tempe
Penginokulasian
Penginkubasian 36 jam Gambar 2.3 Pembuatan Tempe Mlanding
D. Hasil dan Pembahasan Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Tempe
Kedelai Mlanding Koro Kedelai
Jenis Ragi Raprima Raprima Raprima Usar
Kenampakan Miselia ++ + +++ ++
9,10
Mlanding
Usar
+
+
11,12
Koro
Usar
+++
++++
Kelompok
Jenis Kacang
1,2 3,4 5,6 7,8
Kekompakan +++ ++ ++++ ++
Sumber: Laporan Sementara Keterangan: *Kenampakan Miselia +
= Tidak Ada
++
= Sedikit Ada Miselia
+++ = Agak Banyak Miselia ++++ = Sangat Banyak Miselia
*Kekompakan + = Tidak Kompak ++ = Agak Kompak +++ = Kompak ++++ = Sangat Kompak
Menurut SNI 3144 (2015) tempe kedelai adalah produk berbentuk padatan kompak berwarna putih, yang diperoleh dari kedelai kupas yang sudah direbus, yang telah difermentasi oleh kapang Rhizopus spp. Bahan baku dari tempe kedelai adalah kedelai dari berbagai varietas, kapang Rhizopus spp, yang dicampur dengan tepung nasi, tebung bekatul atau tepung onggok sebagai inoculum. Kemudian bahan penolong atau bahan tambahannya yaitu bahan yang dapat mengatur keasaman pada saat perendaman kedelai.
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Tempe tiap 100% BDD Komposisi Zat Gizi 100 gram BDD Zat Gizi Satuan Kedelai Tempe Energi (kal) 381 201 Protein (gram) 40,4 20,8 Lemak (gram) 16,7 8,8 Hidrat Arang (gram) 24,9 13,5 Serat (gram) 3,2 1,4 Abu (gram) 5,5 1,6 Kalsium (mg) 222 155 Fosfor (mg) 682 326 Besi (mg) 10 4 Karotin (mkg) 31 34 Vitamin B1 (mg) 0,52 0,19 Air (gram) 12,7 55,3 BDD* (%) 100 100 Sumber: Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Departemen Kesehatan RI Dir.
Bin. Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi, 1991 Dari berbagai masalah mengenai kedelai ada beberapa penelitian untuk mencari alternatif mengganti kedelai yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe. Bahan bahan tersebut adalah biji lamtoro, biji karet, biji kecipir, dan maupun kacang hijau. Namun ada penelitian terbaru yaitu menggunakan biji nagka Biji nangka memiliki kadar gizi tertentu diantaranya protein, karbohidrat, lemak, dan lain-lain yang kemungkinan besar dapat menggantikan kedelai (Sarwono, 2010). Dalam pembuatan tempe dikenal beberapa macam laru atau inokulum yang dapat digunakan. Penggunaan laru yang baik sangat penting untuk menghasilkan tempe dengan mutu yang baik. Secara tradisional, masyarakat Indonesia membuat laru tempe menggunakan temp yang sudah jadi. Tempe diiris-iris tipis, dikeringkan dengan oven 40 - 45 "C atau dijemur sampai kering, digiling atau ditumbuk halus dan hasilnya digunakan sebagai inokulum bubuk. Disamping itu, di beberapa daerah digunakan juga miselium kapang yang tumbuh di permukaan tempe. Caranya, miselium yang tumbuh dipermukaan
tempe diambil dengan cara rnengiris permukaan tempe tersebut, kemudian irisan permukaan yang diperoleh dijemur, digiling dan digunakan sebagai inokulum bubuk. Di Jawa Tengah banyak digunakan inokulum tempe yang disebut usar. Secara tradisional usar dibuat dengan membiarkan spora kapang dari udara tumbuh pada kedelai matang yang ditaruh diantara dua lapis daun waru ( Hibiscus sp.) atau jati (Tectona grandis). Permukaan bagian bawah kedua tersebut memiliki rambut-rambut halus (tflkoma) di mana spora dan miselium kapang dapat meiekat (Sukardi dkk, 2008). Menurut Santoso (1993) tahap membuat tempe yaitu pertama adalah penyortiran. Penyortiran bertujuan untuk memilih bahan yang berkualitas. Caranya, biji kedelai diletakkan pada tampah kemudian ditampi. Kemudian pencucian tahap satu. Biji-biji kedelai dimasukkan kedalam ember berisis air, dan akan lebih baik jika biji dicuci pada air mengalir. Dengan pencucian ini, kotoran-kotoran yang melekat maupun yang tercampur diantara biji dapat hilang. Selanjutnya adalah perebusan tahap satu yang berlangsung selama 10 menit hingga didapat biji bahan setengah matang. Tahap keempat adalah perendaman semalam hingga menghasilkan kondisi asam. Tujuannya, disamping melunakkan biji, adalah untuk mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk selama fermentasi. Selanjutnya adalah pengupasan kulit ari dengan cara diremas-remas dalam air, kemudian dikuliti hingga menjadi keepingkeping biji. Kemudian pencucian tahap dua dengan air yang mengalir agar bersih. Tahap ketujuh adalah perebusan tahap dua untuk mematangkan biji kedelai. Tujuannya adalah untuk membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh selama perendaman. Selanjutnya adalah penirisan dan pendinginan. Biji kedelai yang telah direbus, kemudian ditiriskan pada tampah dan diratakan hingga tipis-tipis agar permukaan keeping kedelai kering (airnya menetes habis) dan dingin. Tahapan berikutnya adalah peragian. Tahap peragian ini memegang kunci berhasil-tidaknya membuat tempe. Sebab tempe ini dihasilkan dari kedelai yang diolah secara fermentasi dengan menggunakan
cendawan jenis Rhizopus sp. Cara peragian, laru diusap-usapkan atau dicampur dan diaduk bersama kedelai hingga merata. Setelah itu diangin-anginkan sebentar. Kedelai yang sudah tercampur merata dengan laru kemudian dibungkus. Proses yang terakhir adalah fermentasi. Proses fermentasi dilakukan pada suhu inkubasi berkisar antara 250C-300C, dengan kelembaban relatif (RH) 70%-85% dan waktu inkubasi selama 24-48 jam. Sebelum dibuat tempe, biji Lamtoro gung yang sudah dikupas dari polongnya dilakukan proses penjemuran yang dialasi dengan tampah. Biji lamtoro gung dibersihkan dan disortasi sehingga diperoleh biji lamtoro gung yang sudah bersih. Biji lamtoro gung direndam selama 12 jam, kemudian dicuci dan direbus selama 2 jam. Tahapan selanjutnya kulit biji Iamtoro gung dikupas sehingga kulit dan keping biji lamtoro gung terpisah. Keping biji yang sudah terkupas, dicuci dan direndam selama 12 jam yang tujuannya untuk menghilangkan lendir dan menonaktifkan bakteri kontaminan, kemudian keping biji dikukus selama 30-60 menit. Biji lamtoro gung tanpa ku lit ditiriskan dan didinginkan. Biji lamtoro dicampur sesuai perlakuan dan diinokulasi dengan ragi tempe sebanyak 1% (1 g ragi untuk 100 g bahan) kemudian diadu k hingga rata. Campuran biji lamtoro gung dan biji kedelai yan g telah diberi ragi dibungkus dengan plastik dan diinkubasi selama 36 jam (Sayudi, 2015). Menurut Winarni (2016) proses pembuatan tempe koro benguk yaitu proses yang pertama adalah satu kali rebusan sampai kulit mengelupas dan satu kali rendaman (2 hari). Proses kedua dengan ulangan rebusan dua kali (1-1,5 jam), dan ulangan rendaman tiga kali (setiap rendaman 1 hari 1 malam). Proses ketiga dengan ulangan rebusan dua kali (1,5-2 jam) dan ulangan rendaman satu kali. Proses yang keempat ulangan rebusan satu kali (< 1 jam sampai biji bisa dibuka) dan ulangan rendaman satu kali (dua hari dua malam). Berdasarkan tabel 2.1 sampel yang digunakan adalah kedelai, Mlanding dan Benguk. Pada kelompok 1 dan 2 menggunakan sampel kedelai dengan ropnmo 0,002% dan dibungus kertas minyak menghasilkan tempe yang
kenampakannya kompak dan misella sedikit. Pada kelompok 3 dan 4 sampel yang digunakan adalah mlanding dengan penambahan ropnmo 0,002% dan dibungkus dengan kertas minyak, tempe yang dihasilkan tidak memiliki misella dan kenampakan agak kompak. Pada kelompok 5 dan 6 sampel yang digunakan adalah benguk dengan penambahan ropnmo 0,002% dengan dibungkus kertas minyak menghasilkan tempe yang sangat kompak dan misella agak banyak. Pada kelompok 7 dan 8 sampel menggunakan sampel kedelai dengan penambahan 5% Usar menghasilkan tempe yang agak kompak dan misella sedikit. Pada kelompok 9 dan 10 menggunakan sampel mlanding dengan penambahan 5% Usar dengan dibungkus kertas minyak menghasilkan tempe yang tidak kompak dan tidak terdapat misella. Pada kelompok 11 dan 12 menggunakan sampel benguk dengan penambahan 5% Usar menghasilkan tempe yang sangat kompak dan agak banyak misella. Pada praktikum kali ini pembungkusan tempe menggunakan kertas minyak. Hal tersebut belum sesuai dengan teori Sukardi dkk (2008), yang menyatakan bahwa pembungkusan tempe dengan daun pisang sama halnya dengan menyimpan dalam ruang gelap (salah satu syarat ruang fermentasi) mengingat daun tidak tembus pandang. Perlakuan terbaik berdasarkan praktikum yang telah dilakukan yaitu menggunakan jenis kacang koro benguk ditambah dengan ragi Raprima 0,002% pada shift 1 dan usar daun jati 5% pada shift 2 dan hasil yang didapat sama
yaitu
dengan
kenampakan
miselia
yang
sangat
banyak
dan
kekompakannya sangat kompak. Koro benguk merupakan salah satu jenis Leguminoceae yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan baku sumber protein non kedelai yang dapat diolah menjadi tempe. Akan tetapi, kadar protein koro benguk lebih rendah daripada kedelai. Menurut Soedarmo dan Sediaoetama (1977), kadar protein koro benguk 24,0 g/100 g bahan. Inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum, yaitu ragi tempe atau laru. Inokulum dapat berupa kapang yang tumbuh dan dikeringkan pada
daun waru atau daun jati (disebut usar; digunakan secara tradisional), spora kapang tempe dalam medium tepung (terigu, beras, atau tapioka; banyak dijual di pasaran), ataupun kultur R. oligosporus murni (umum digunakan oleh pembuat tempe di luar Indonesia) (Agosin, 198 9). Jenis kapang yang memegang peranan utama dalam pembuatan tempe adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus orizae, sedangkan jenis kapang lain yang terdapat adalah Rhizopus stolonifer dan Rhizopus arrhizus. Miselium Rhizopus orizae jauh lebih panjang dari pada Rhizopus oligosporus, sehingga tempe yang dihasilkan kelihatan lebih padat dari pada apabila hanya menggunakan Rhizopus oligosporus. tetapi apabila diutamakan peningkatan nilai gizi protein kedelai, maka Rhizopus oligosporus memegang peranan tersebut. Hal ini disebabkan selama proses fermentasi Rhizopus oligosporus mensintesis enzim protease (pemecah protein) lebih banyak, sedangkan Rhizopus orizae lebih banyak mensintesis enzim a-amilase (pemecah pati). Oleh karena itu sebaiknya dipakai keduanya dengan kadar Rhizopus oligosporus lebih banyak yaitu (1:2) supaya mendapatkan hasil tempe yang lebih sempurna (Sopandi dan Wardah, 2014). Beberapa faktor dalam proses pengolahan diperkirakan mempunyai pengaruh yang sangat nyata (signifikan) terhadap kualitas tempe, faktor-faktor tersebut antara lain perebusan, ruang fermentasi, kadar air kedelai, pematusan air, kelembaban ruang fermentasi, suhu fermentasi, lama fermentasi, rak fermentasi dan jenis bahan pembungkus (plastik, pelepah pisang, daun pisang, dan kertas). Suhu inkubasi selama proses fermentasi tempe berkisar antara 250C-300C, dengan kelembaban relatif (RH) 70%-85% dan waktu inkubasi selama 24-48 jam. Lama fermentasi yang cukup memberi pengaruh langsung terhadap kualitas tempe, apabila waktu fermentasinya kurang maka tempe yang terbentuk strukturnya tidak padat, warnanya tidak putih keabu-abuan dan tidak berbau khas tempe (Gyorgy et al ., 1964).
E. Kesimpulan
Dari hasil praktikum acara II “Tempe” dapat diambil kesimpulan bahwa: 1.
Tahap-tahap pembuatan tempe adalah penyortiran kedelai atau malnding atau koro , pencucian, perebusan 1, pengupasan kulit, perendaman, perebusan II, penirisan dan pendinginan, penginokulasian pembungkusan, dan tahap akhir adalah pemeraman atau tahap fermentasi.
2.
Perlakuan terbaik berdasarkan praktikum yang telah dilakukan yaitu menggunakan jenis kacang koro benguk ditambah dengan ragi Raprima 0,002% pada shift 1 dan usar daun jati 5% pada shift 2 dan hasil yang didapat sama yaitu dengan kenampakan miselia yang sangat banyak dan kekompakannya sangat kompak. Koro benguk merupakan salah satu jenis Leguminoceae yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan baku sumber protein non kedelai yang dapat diolah menjadi tempe
DAFTAR PUSTAKA
Agosin E., D. Diaz, R. Aravena, and E. Yanez, 1989. Chemical and Nutritional Characterization of Lupine Tempeh. Journal of Food Science, Volume S4, No.1, University of Food Science. Chile. Chutrtong, Jaruwan dan Tanakwan Bussabun. 2014. Preparation of Tempeh Spore Powder by Freeze Drying . International Journal of Biological, Biomolecular, Agricultural, Food and Biotechnology Engineering Vol, 8(1): 40. Departemen Kesehatan RI. 1991. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Departemen Kesehatan RI Dir. Bin. Gizi Masyarakat dan Pu slitbang Gizi. Jakarta. Fachruddin L. 2000. Budidaya Kacang Kacangan. Kanisius. Yogyakarta. Kustyawati, Maria Erna., Maria Erna Kustyawati., Filli Pratama., Daniel Saputra., dan Agus Wijaya. 2014. Modifikasi Warna, Tekstur dan Aroma Tempe Setelah Diproses dengan Karbondioksida Superkritik. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol. 25, No. 2: 168-175. Liu, Xin, et al . 2007. The Effects of Fermented Soybean Meal on Growth Pe rformance and Immune Characteristics in Weaned Piglets. Jurnal and Research : Animal Science College and nutrition. Vol. 31 No. 5. Mugendi, J. B. W., Njagi E. N. M., Kuria, E. N., Mwasaru, M. A., Mureithi, J. G. and Apostolides, Z. 2010. “Nutritional Quality and Physicochemical Properties of Mucuna Bean ( Mucuna Pruriens L.) Protein Isolates”. International Food Research Journal . 17: 357-366. Mujianto. 2013. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Proses Produksi Tempe Produk UMKM di kabupaten Sidoarjo. Jurnal Reka Agroindustri, Media Teknologi dan Manajemen Agroindustri. Vol.1 No. 1. Muslikhah, Siti., Choirul Anam dan MA. Martina Andriani. 2013. Penyimpanan Tempe dengan Metode Modifikasi Atmosfer Untuk mempertahankan K ualitas dan Daya Simpan. Jurnal Teknosains Pangan Vol 2(3): 51-52. Surakarta. Nout, MJR, Kiers JL. 2005. Tempe Ferrmentation, Innovation and Functionality: Uptake into The Third Milenium. A Review. Journal of Applied Microbiology. 98: 789-805. Nurrahman, Mary Astuti, Suparmo, Marsetyawan Hne Soesatyo. 2012. Pertumbuhan Jamur, Sifat Organoleptik dan Aktivitas Antioksidan Tempe Kedelai Hitam yang Diproduksi dengan Berbagai Jenis Inokulum. Agritech, Vol. 32, No. 1. Santoso, Hieronymus Budi. 1993. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai Bahan Makanan Bergizi Tinggi. Jakarta: Kanisius. Sarwono, B. 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta Sayudi, Slamet., Netti Herawati dan Akhyar Ali. 2015. P otensi Biji Lamboto Gung dan Biji Kedelai sebagai Bahan Baku Pembuatan Tempe Komplementasi. Jom Faperta Vol. 2, No. 1. SNI 3144 . 2015. Tempe Kedelai. Badan Standar Nasional
Soedarmo, Poerwo dan Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1977. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat. Sukardi., Wignyanto dan Isti Purwaningsih. 2008. Uji Coba Penggunaan Inokulum Tempe dari Kapang Tempe Rhizopus Oryzae dengan Substrat Tepung Beras dan Ubikayu pada Unit Produksi Tempe Sanan Kodya Malang. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 9 No. 3 (207-215) Sukardi., Wignyanto., dan Isti Purwaningsih. 2008. Uji Coba Penggunaan Inokulum Tempe dari Kapang Rhizopus oryzae dengan Substrat Tepung Beras dan Ubikayu pada Unit Produksi Tempe Sanan Kodya Malang. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 9, No. 3: 207-215. Susanti. 1992. Mempelajari Pembuatan Minuman Padat Gizi dari Tempe. Bogor: IPB Press. Winarni, Sri dan Yudhy Dharmawan. 2016. Kandungan L-Dopa dalam Variasi Perendaman dan Perebusan dalam Proses Pembuatan Tempe Benguk. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 11, No. 2 Yang J, Huzefa Dungrawala,1,† Hui Hua, Arkadi Manukyan,2 Lesley Abraham,3 Wesley Lane,1 Holly Mead,1 Jill Wright1 and Brandt L. Schneide . 2011. Cell size and growth rate are major determinants of replicative lifespan. Cell Cycle 10(1):144-55.
LAMPIRAN
Gambar 2.4 Sampel Biji Kedelai
Gambar 2.5 Tempe Mlanding
Gambar 2.6 Sampel Biji Koro
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI
Disusun Oleh : Kelompok : 10 Aprilia Evi L (H3116005) Maris Sismi K (H3116053) Muhammad Ichsan H (H3116058) Muhammad Majid (H3115059) Putri Kinanthi (H311606) Radha Ma’na Nuha S (H3116066)
PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2018