JAMINAN KONSTITUSI ATAS HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA (TELAAH DISERTASI MUH.TAHIR AZHARY)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATA LATAR R BE BELAKA LAKAN NG
Negara hukum hukum merupakan merupakan tipe negara yang umum dimiliki dimiliki oleh bangsa bangsa di dunia dewasa dewasa ini. Negara Negara hukum hukum meninggalkan meninggalkan tipe negara yang memerin memerintah tah berdas berdasarka arkan n kemaua kemauan n sang sang penguas penguasa, a, Sejak Sejak adanya adanya perubaha perubahan n tersebut, maka negara diperintah berdasarkan hukum yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta penguasapun tunduk kepada hukum tersebut. Negara hukum hukum tersebut tersebut lebih mengutamaka mengutamakan n bentuk daripada daripada isi. Negara Negara hukum hukum tidak tidak memperd memperdulik ulikan an kandun kandungan gan moral moral kemanu kemanusia siaan an yang yang harus harus terdap terdapat at didal didalam amny nya. a. Deng Dengan an karak karakter terist istik ik terse tersebu but, t, maka maka nega negara ra huku hukum m menjadi identik dengan bangunan peraturan perundang-undangan. Kualitasnya hanya ditentukan oleh ketundukannya kepada hukum. Tipe Tipe terse tersebu butt lazim lazim dise disebu butt sebag sebagai ai nega negara ra huku hukum m form formil il ( formele rechstaat ). ). Tida Tidak k ada ada patok patokan an atau atau watak watak kema kemanu nusia siaan an terten tertentu tu sebag sebagai ai determinan. Sang penguasa menjadi bebas untuk menentukan dan mengikuti politik yang dibuatnya dibuatnya sendiri. sendiri. Satu-satunya Satu-satunya determinan adalah kebijaksanaan kebijaksanaan yang dibuatnya dituangkan kedalam hukum. Legalitas menjadi prinsip dasar tidak perlu memperhatikan legitimitas. legitimitas. Negara-negara Negara-negara hukum hukum didunia didunia memiliki memiliki latar belakang belakang sejarah dan pemikiran pemikiran yang berbeda-beda. berbeda-beda. Di Jerman, Jerman, rechstaat adalah suatu bangunan
hukum murni yang tidak berhubungan dengan politik. Teori Hans Kelsen yang diken dikenal al seba sebaga gaii “reine rechtsle rechtslehre hre”” (ajara (ajaran n huku hukum m murn murni) i) memb member erika ikan n landasan teori bagi konsep tersebut. Kelsen mengatakan Negara adalah tidak lain suatu bangunan hukum (Kelsen 1976). 1 Perkembanga Perkembangan n negara hukum di Inggris berbeda dari Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik (Neumann, 1986). 2 Di Inggris sejak semula doktrin rule of law law tidak dipisahkan dari doktrin supremasi parlemen. Parlemen berhak untuk melakukan apa saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. law.3 Sebe ebelum lum
munc muncu ul
neg negara ara
berd berdas asar arka kan n
huku hukum m
atau atau
kons konsti titu tusi si
(constitutional constitutional state), state), Eropa Eropa harus harus menjala menjalani ni berbag berbagai ai transfor transformas masii sosial, sosial, politik, maupun maupun kultural, kultural, yang membentang membentang selama beratus-ratus beratus-ratus tahun. Kita dapat mengambil titik tolak feodalisme tolak feodalisme dan tatanan feodalnya (abad ketujuh sampai sampai ke empat empat belas), belas), sebagai sebagai tipe awal negara negara menuju menuju negara hukum dewa dewasa sa ini. ini. Dari Dari tipe tipe feod feodal al ters terseb ebut ut kemu kemudi dian an berk berkem emba bang ng menu menuju ju staendestaat (abad (abad kelima kelima belas), belas), disusu disusull dengan dengan absolute (abad kedelapan belas) dan dan akhirnya akhirnya negara negara konstitusi konstitusi (abad kesemb kesembilan ilan belas). belas). Negara hukum hukum Indones Indonesia ia sudah berdiri sejak sejak lebih dari enam puluh tahun lamanya. Kualifikasi sebagai Negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) dan pasal 1 ayat (3) ( 3) Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen). amandemen). Dalam penjelasan penjelasan
1
Satjip Satjipto to rahard rahardjo, jo, Negara Negara hukum hukum Yogyakarta, hlm. 6 2 Ibid, hlm. 8 3 Ibid, hlm. 9
yang yang
membah membahagi agiakan akan rakyat rakyatnya nya,,
genta genta
publi publishi shing, ng,
mengenai sistem pemerintahan negara “dikatakan” Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum ( Rechstaat ). Selanjutnya dibawahnya dijelaskan, negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat ), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat ). Sekian puluh tahun kemudian konsep tersebut lebih dipertegas melalui amandemen keempat dan dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi, yaitu Bab I tentang “bentuk dan kedaulatan”. 4 Dalam Pasal 1 ayat (3) ditulis “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dari amandemen-amandemen dibuktikan secara jelas, Undang-Undang Dasar
Negara
Indonesia
tidak
statis,
melainkan
memiliki dinamika.
Amandemen keempat tersebut dapat dibaca sebagai keinginan bangsa Indonesia untuk lebih mempertegas identitas negaranya sebagai suatu negara hukum. Menurut Steenbeek, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, UUD berisi tiga pokok materi muatan, yakni pertama, adanya jaminan terhadap hakhak
asasi
manusia
dan
warganegara;
kedua,
ditetapkannya
susunan
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.5 B. RUMUSAN MASALAH
Konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan atas berlangsungnya hidup berikut HAM secara nyata. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas
4 5
Ibid, hlm. 1 Sri Soemantri, Prosedur dan sistem perubahan konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 51
HAM adalah bukti dari hakikat, kedudukan dan fungsi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari uraian diatas maka akan didapat suatu rumusan masalah “Bagaimana Jaminan Konstitusi Terahadap Hak Asasi Manusia Di Indonesia?” C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini yaitu sebagai salah satu tugas mata kuliah Negara Hukum dan Demokrasi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, selain itu sebagai sumbangsih pemikiran (keilmuan) secara ilmiah dan akademik. D. METODE PENULISAN
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka sebagai metode pengumpulan data dan menggunakan analisis normatif untuk menganalisa permasalahan serta menarik kesimpulan. E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan makalah ini, yakni pada BAB I Pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan, BAB II Pembahasan terdiri atas studi pustaka, gambaran umum dan analisis. Sedangkan pada BAB III merupakan Penutup yang terdiri atas kesimpulan.
BAB II PEMBAHASAN
A. STUDI PUSTAKA
1. Konsep Negara Hukum
Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana, namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata, negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat saling isi mengisi antara negara di satu pihak dan hukum pada pihak yang lain. tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban hukum (rechtsorde). Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.6 Ada beberapa istilah asing yang dipergunakan sebagai pengertian negara hukum, yakni rechtstaat, rule of law dan etat de droit . Sepintas istilah ini mengandung makna sama, tetapi sebenarnya jika dikaji lebih jauh terdapat perbedaan yang signifikan. Bahkan, dalam perkembangan pemikiran konsep negara hukum, kedua istilah tersebut juga berkembang, baik secara teoritiskonseptual maupun dalam kerangka praktis operasional. Menurut Philipus M. Hadjon, konsep rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner , sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner .7 Hal ini tampak baik dari isi maupun kriteria rechtsstaat dan rule of law itu sendiri.
6
Sudargo gautama, pengertian tentang negara hukum, Alumni, Bandung, 1973, hlm. 20 Philipus M.Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, PT.bina ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 72 7
Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut civil law atau modern roman law, sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum common law atau English Law. Dalam bukunya, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Carl J Friedrich memperkenalkan sebuah istilah negara hukum dengan nama rechsstaat atau constitutional state. Tokoh lainnya yang berperan dalam peristilahan rechtsstaat adalah Friedrrich J Stahl, menurut Stahl, terdapat unsur berdirinya rechtsstaat , yaitu: (1) hak-hak manusia; (2) pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; (3) pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan; dan (4) peradilan administrasi dalam perselisihan.8 Adalah Albert Venn Dicey dalam magnum opus-nya, Introduction to the law of the constitution memperkenalkan istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan dengan keteraturan hukum. Menurut Dicey, ada tiga unsur fundamental dalam rule of law, yaitu: (1) supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; (2) kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum. Petunjuk ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun para pejabat; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan. Berdasarkan pandangan diatas, kelihatan bahwa negara tidak bersifat proaktif, melainkan pasif. Sikap negara yang demikian ini dikarenakan pada posisinya negara hanya menjalankan apa yang termaktub dalam konstitusi 8
Mirriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, PT.Gramedia, Jakarta,1983, hlm. 57
semata. Dengan kata lain, negara tidak lebih hanya sebatas nachtwachterstaat (negara penjaga malam), atau negara hukum klasik .9 Konsep negara hukum formal (klasik) mulai digugat menjelang pertengahan abad ke-20 tepatnya setelah perang dunia . Beberapa faktor yang mendorong lahirnya kecaman atas negara hukum formal , yang pluralis liberal antara lain adalah akses-akses dalam industrialisasi dan sistem kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekuasaan secara merata serta kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. 10 Menurut Jimmly Asshiddiqie, kemunculan kapitalisme dilapangan perekonomian menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam distribusi sumbersumber kemakmuran. Hal tersebut, menurutnya berdampak pada disparitas sosial ekonomi yang tajam dan tidak dapat dipecahkan oleh negara yang difungsikan secara minimal itu. Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 11 Gagasan bahwa pemerintah dilarang intervensi dalam urusan warga negara baik bidang sosial maupun bidang ekonomi akhirnya bergeser ke dalam gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh bersifat pasif atau berlaku sebagai “penjaga malam”, melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengatur kehidupan ekonomi sosial.
9
Ibid, hlm. 59
10
Majda el muhtaj, Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009, hlm.24-25 11 ibid
Gagasan
baru
inilah
yang
dikenal
sebagai
welvaart
staat,
verzorgingsstaat, welfare state, social service state, atau “negara hukum material ” (dinamis) dengan ciri-ciri berbeda yang dirumuskan dalam konsep negara hukum klasik( formal ).12 Perkembangan ini selanjtnya menjadi raison d’etre untuk melakukan revisi atas pemikiran Dicey dan Stahl, dua tokoh besar negara hukum klasik. Menurut Hamid Attamimi perlu diperhatikan perbedaan antara teori negara dengan teori bernegara. Dengan mengikuti Van Gunstern dan Bierrens de Haan, ia menyebutkan teori negara memusatkan perhatiannya pada wibawa, kekuasaan pemerintah, sedangkan teori bernegara tidak memandang sebagai suatu
struktur
kekuasaan
melainkan
negara
sebagai
suatu
wadah
pengorganisasian diri dari suatu paguyuban bangsa atau staatsbildungs theorie.13 Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa yang akan dikemukakan bukanlah teori bernegara pada umumnya yang berlaku secara universal, melainkan teori bernegara bangsa Indonesia, yang tentunya merupakan suatu pandangan yang khas Indonesia, yang tidak lepas dari pengaruh alam dan budaya Indonesia, yaitu berupa teori bernegara menurut cara pandang bangsa Indonesia. Jelasnya, suatu teori bernegara bangsa Indonesia, berlandaskan pandangan hidup yang telah menjadi dasar filsafat negaranya ( philosophische grondslag ) , yaitu Pancasila.
12
Hamid dengan mengutip J. Oppenheim
ibid A. Hamid S Attamimi, peranan keputusan presiden republic Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, disertasi, (Jakarta:Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm.8 13
menyimpulkan, bahwa cita negara iala hakikat negara yang paling dalam yang dapat memberi bentuk pada negara. Pada awalnya Soepomo mengusulkan pandangan tentang cita negara integralistik, akan tetapi menurut Hammid Attamimi cita negara integralistik yang diusulkan oleh Soepomo dimaksudkan sebagai cita negara kekeluargaan .14 Akan tetapi jika dilihat dari Undang-Undang Dasar 1945, maka akan diperoleh bahwa negara hukum Indonesia adalah negara hukum Pancasila. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke empat, dimana disitu ditemukan “cita negara Pancasila” yaitu;”…..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan
kepada:
Ketuhanan
Yang Maha
Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari kalimat diatas cukup jelas bahwa Pancasila dijadikan dasar negara Republik Indonesia, kemudian apabila kita menghubungkannya dengan penjelasan dari Undang-Undang Dasar 1945 bagian umum II, maka akan ditemukan keterangan, bahwa dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ada empat pokok pikiran dan keempat pokok pikiran ini tidak lain dari perumusan Pancasila. Selanjutnya penjelasan itu juga menerangkan, bahwa pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan Undang-undang Dasar Negara 14
Ibid, hlm.76-83
Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasalnya. Dengan demikian Pancasila terdapat dalam pembukaan sebagai dasar negara
yang
mempunyai
kedudukan
sebagai
kaidah
pokok
negara
( staatsfundamentalnorm)15 yang dijabarkan menjadi pasal-pasal dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar (kaidah dasar). Secara singkat dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai kaidah pokok negara diwujudkan menjadi kaidah dasar dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, atau dengan perkataan lain Pancasila sebagai das sollen diwujudkan menjadi pasal-pasal sebagai das sein dari Pancasila tadi. Dengan demikian tepatlah kalau dikatakan bahwa Pancasila menjiwai pasal-pasal dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu memang beralasan kalau kita menamakan cita negara kita adalah “cita Negara Pancasila”, yang merupakan realisasi atau perwujudan ( gestaltung ) dari Pancasila.
2. Konstitusi Istilah konstitusi berasal dari “constituer ” (bahasa Prancis) yang berarti “membentuk”. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. 16 15
Hans nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als system der rechtlichen grundbegriffc, (Koln: Benziger, 1948), hlm. 30 16 Ni’matul huda, UUD 1945 dan gagasan amandemen ulang, Rajawali press, Jakarta, 2008, hal.14
Sementara itu, istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya “ grondwet ”. Perkataan “wet ” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan “ grond ” berarti tanah/dasar.17 Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah “constitution” yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi.18 Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian undang-undang dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian undang-undang dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah “constitution” merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (undang-undang dasar) diatas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas diantara keduanya, Grondwet (undang-undang dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.19 Sementara itu, Sri Soemantri dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan undang-undang dasar .20 Penyamaan arti keduanya ini sesuai dengan praktik ketatanegaraan disebagaian besar negara-negara didunia termasuk Indonesia.
17 18 19 20
ibid ibid Ibid...hlm.15 ibid
Menurut E.C.S Wade dalam bukunya “ Constitutional Law”, undangundang dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok pokoknya cara kerja badan-badan tersebut.21 Dapat disimpulkan, pada pokoknya dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam suatu undangundang dasar. Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga sebagai berikut,22 1. Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi, mengandung pengertian politis dan sosiologis. 2. Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi, mengandung pengertian yuridis. 3. Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlakuu dalam suatu negara. Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika pengertian undang-undang itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka artinya undang-undang dasar itu baru merupakan sebagaian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis saja. Di samping itu,
21 22
Ibid...hlm.16 Ibid...hlm.17
konstitusi itu tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan politis. F. Lassalle dalam bukunya “Uber Verfassungswesen”, membagi konstitusi dalam dua pengertian sebagai berikut, 23 1. Pengertian sosiologis atau politis ( sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintese faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele
machtsfactoren)
menggambarkan
hubungan
dalam antara
masyarakat.
Jadi,
konstitusi
kekuasaan-kekuasaan
yang
terdapat dengan nyata dalam suatu negara. 2. Pengertian yuridis ( yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan. Pendapat James Bryce sebagaimana dikutip C.F. Strong24 dalam bukunya “Modern Political Constitutions” menyatakan konstitusi adalah: “ A frame of political society, organized through and by law, that is to say on which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights”. Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan: (1) pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen; (2) fungsi alat-alat kelengkapan; (3) hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
23 24
ibid Ibid...hlm.18
C.F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut:25 “Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted ”. Artinya konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan: (1) kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas); (2) hak-hak dari yang diperintah; (3) hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut didalamnya masalah hak asasi manusia). Sri Soemantri menilai bahwa pengertian tentang konstitusi yang diberikan oleh C.F Strong lebih luas daripada pendapat James Bryce. 26 K.C. Wheare mengartikan konstitusi sebagai: “keseluruhan sistem ketatanegaraan dari sudut suatu negara berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.27 Konstitusi dalam dunia politik sering digunakan paling tidak dalam dua pengertian, senagaimana dikemukakan oleh K.C.Wheare dalam bukunya “ Modern Constitutions”. Pertama, dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugastugasnya. Sebagai sistem pemerintahan di dalamnya terdapat campuran tata peraturan baik yang bersifat hukum (legal ) maupun yang bukan peraturan (nonlegal atau ekstra legal ). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu 25 26 27
Ibid...hlm.19 ibid Ibid...hlm.20
negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.28 3. Konseptualisasi Hak Asasi Manusia Hak asasi (fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar ( grounded ) . Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan jati diri manusia secara universal . Oleh karena itu, menelaah HAM, menurut Todung Mulya Lubis sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan.29 Emerita S Quito dalam bukunya, Fundamentals of Ethics, mengatakan bahwa meskipun hak merupakan kekuatan bagi pemiliknya, hak lebih menekankan kepada aspek moral. Secara eksplisit dapat dinyatakan bahwa hak hukum (legal rights), merupakan hak seseorang dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum yang secara legal tercantum dalam hukum yang berlaku. Sementara hak alami (natural rights) merupakan hak manusia in toto. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak hukum lebih menekankan sisi legalitas formal , sedangkan hak alami menekankan sisi alamiah manusia (naturally human being ), yang terakhir ini disebut juga dengan hak yang tak terpisahkan dari dimensi kemanusian manusia (inalienable rights).30 Konsepsi HAM dikalangan sejarawan Eropa tumbuh dari konsep hak (right ) pada yurisprudensi Romawi, kemudian meluas pada etika via teori hukum alam (natural law). Tentang hal ini, Robert Audi mengatakan sebagai 28 29 30
Ibid...hlm.21 Majda el muhtaj,...op.cit . hlm. 47 Ibid...hlm. 48-49
berikut: the concept of right arose in roman jurisprudence and was extended to ethics via natural law theory. Just as positive lawmakers, confers legal rights, so the natural confers natural nrights.31 Secara
ringkas,
kronologis
konseptualisasi
penegakan
HAM
digambarkan sebagai berikut: pertama, dimulai yang paling dini oleh munculnya “perjanjian agung” ( Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215. Isi pokok dokumen itu ialah hendaknya raja tak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorangpun dari rakyat. 32 Kedua, keluarnya Bill of rights pada 1628, yang berisi penegasan tentang pembatasa kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan tentara kepada siapapun tanpa dasar hukum. 33 Ketiga, Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776, yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahgiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.34 Keempat , Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara ( Declaration des Droits de l’homme et du Citoyen/Declaration of the Rights of Man and of the Citizen) dari Perancis pada 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada lima hak asasi pemilikan harta ( propiete), kebebasan (liberte),
31 32 33 34
Ibid, hlm. 50 ibid ibid Ibid, hlm. 52
persamaan
(egalite),
keamanan
( securite), dan
perlawanan terhadap
penindasan (resistence a l’oppression).35 Kelima, Deklarasi Universal tentang hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) pada 10 Desember 1948 yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan beragama (termasuk pindah agama). Deklarasi itu, ditambah dengan berbagai instrumen lainnya yang datang susul menyusul, telah memperkaya umat manusia tentang hak-hak asasi, dan menjadi bahan rujukan yang tidak mungkin diabaikan.36
B. JAMINAN
KONSTITUSI
ATAS
HAK
ASASI
MANUSIA
DI
INDONESIA
Dalam desertasinya yang berjudul “Negara Hukum Indonesia” pada halaman 90 Azhary mengatakan, ”kalau ada pihak yang menghendaki agar UUD 1945 memuat atau mengatur secara terinci hak-hak asasi manusia, maka tentulah orang tersebut belum mengkaji secara seksama UUD 1945”. Kemudian beliau juga berkata, “ maka telah cukup jikalau UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat
dan
lain-lain
penyelenggara
menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial”.
35 36
ibid Ibid, hlm.53
negara
untuk
Berdasarkan perkataan Azhary tersebut, penulis menafsirkan bahwa UUD 1945 (sebelum amandemen) telah memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), walaupun tidak secara lengkap hanya hal-hal pokok saja, akan tetapi benarkah konstitusi kita telah memberikan jaminan terhadap HAM ?, untuk menganalisa pertanyaan ini penulis akan mencoba untuk menguraikannya. Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat pandangan yang beragam. Setidaknya, ada tiga kelompok pandangan, yakni: pertama, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; kedua, mereka yang berpandangan UUD 1945 memberikan
jaminan
atas
HAM
secara
komprehensif;
dan
ketiga,
berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokok jaminan atas HAM. Pandangan pertama didukung oleh Mahfud MD dan Bambang Sutiyoso. Hal ini didasarkan bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara eksplisit di dalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Justru menurut Sutiyoso, didalam UUD 1945 hanya ditemukan pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak DPR.37 Menurut Mahfud MD, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa UUD 1945 itu sebenarnya tidak tidak banyak memberi perhatian pada HAM, bahkan UUD 1945 tidak berbicara apapun tentang HAM universal kecuali dalam dua hal, yaitu sila keempat Pancasila yang meletakkan asas “Kemanusiaan yang adil
37
Bambang Sutiyoso, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,2002, hlm. 89
dan beradab” dan Pasal 29 yang menderivasikan jaminan “Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah”.38 Selebihnya menurut Mahfud, UUD 1945 hanya berbicara tentang “HAW” atau hak asasi warga negara (atau HAM yang partikularistik). Antara keduanya, HAM dan HAW jelas berbeda. Yang pertama mendasarkan diri pada paham bahwa secara kodrati manusia itu, dimanapun, mempunyai hak-hak bawaan yang tidak bisa dipindah, diambil atau dialihkan. Adapun yang terakhir, hanya mungkin diperoleh karena seseorang memiliki status sebagai warga negara.39 Hal ini, menurut Mahfud memberi kesan bahwa Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 tidak memiliki semangat yang kuat dalam memberikan perlindungan HAM atau lebih menganut keinginan untuk membatasi HAM, menjadi sekedar HAW yang itupun harus ditentukan dalam UU yang dibuat lembaga legislatif. Lebih tegas lagi, Mahfud mengatakan bahwa, di dalam berbagai analisis disebutkan salah satu penyebab terjadinya pelanggaran HAM karena konstitusi kita tidak sungguh-sungguh mengelaborasi perlindungan HAM didalam pasal-pasalnya secara eksplisit.40 Pandangan kedua didukung oleh Soejono Sumobroto dan Marwoto, Dahlan Thaib dan menurut penulis, Azhary masuk dalam kelompok kedua ini. Sumobroto dan Marwoto mengatakan UUD 1945 mengangkat fenomena HAM yang hidup dikalangan masyarakat. Atas dasar itu, HAM yang tersirat di dalam 38
Mahfud MD, undang-Undang Politik, Keormasan dan Instrumentasi Hak Asasi Manusia, dalam jurnal hukum Ius Quia Iustum No. 10 Vol.5UII Press, Yogyakarta, 1998 39 ibid 40 Mahfud MD, Demokrasi dan konstitusi di Indonesia: studi tentang interaksi politiik dan kehidupan ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.161
UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM di Indonesia sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.41 Dengan kata lain, Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yang hidup dalam kepribadian bangsa. Senada dengan hal tersebut, Dahlan Thaib mengatakan bila dikaji baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya ada 15 (lima belas) prinsip hak asasi manusia yakni sebagai berikut: (1) hak untuk menentukan nasib sendiri; (2) hak akan warga negara; (3) hak akan kesamaan dan persamaan; (4) hak untuk bekerja; (5) hak akan hidup layak; (6) hak untuk berserikat; (7) hak untuk menyatakan pendapat; (8) hak untuk beragama; (9) hak untuk membela negara; (10) hak untuk mendapatkan pengajaran; (11) hak akan kesejahteraan sosial; (12) hak akan jaminan sosial; (13) hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan; (14) hak mempertahankan tradisi budaya; (15) hak mempertahankan bahasa daerah. 42 Kelompok ketiga, didukung oleh Kuntjoro Purbopranoto dan M.Solly Lubis. Menurut Kuntjoro, jaminan UUD 1945 terhadap HAM bukan tidak ada, melainkan dalam ketentuan-ketentuannya UUD 1945 mencantumkan tidak secara sistematis.43 M.Solly Lubis juga menegaskan bahwa ketika demokrasi diakui sebagai pilihan terbaik bagi sistem dan arah kehidupan sebuah bangsa, pada umumnya 41
Soedjono Sumobroto dan Marwoto, Hak-hak asasi manusia dalam UUD’45 dalam hukum dan keadilan, majalah hukum Peradin No.1 tahun IV Mei-Juni, Jakarta, 1978, hlm.14 42 Dahlan Thaib, Reformasi hukum tata negara: mencari model alternatif perubahan konstitusi’”dalam jurnal hukum Ius Quia Iustum No.10 Vol.5, Uii Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 12 43 Kuntjoro Purbopranoto, hak-hak azasi manusia dan Pancasila, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm. 26
orang tiba pada suatu prinsip umum bahwa pada hakikatnya hak-hak asasi itu haruslah mendapat jaminan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan mendasari sistem politik dan kekuasaan yang sedang berjalan.44 Selain itu, M.Solly Lubis juga berpandangan bahwa UUD 1945 tetap mengandung pengakuan dan jaminan yang luas mengenai hak-hak asasi, walaupun harus diakui secara redaksional formulasi mengenai hak-hak itu sangat sederhana dan singkat.45 1.
UUD 1945 Fakta sejarah menunjukkan bahwa pergulatan pemikiran, khususnya pengaturan HAM dalam konstitusi begitu intens terjadi dalam persidangan persiddangan BPUPKI dan PPKI. 46 Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa. Waktu yang tersedia dirasakan sangat pendek apalagi dalam kenyataannya dihadapkan dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan RI. Atas dasar itu, Presiden Soekarno menadaskan bahwa UUD 1945 adalah “UUD kilat”, yang karenanya harus dilakukan perubahan pada saat Indonesia merdeka.47 Jelas kelihatan bahwa pengaturan HAM berhasil dirumuskan dalam UUD 1945. Itu artinya, bahwa jauh sebelum lahirnya UDHR/DUHAM versi PBB, Indonesia ternyata lebih awal telah meberlakukan sebuah UUD yang mengatur perihal dan penegakan HAM di Indonesia.
2.
44
Konstitusi RIS 1949
M. Solly Lubis, hak-hak azasi manusia menurut UUD 1945”,dalam Padmo Wahjono, beberapa masalah ketatanegaraan Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1984, hlm.60 45 Ibid, hlm. 326 46 Majda el muhtaj,...op.cit , hlm. 61 47 ibid
Dalam Konstitusi RIS 1949, pengaturan HAM terdapat dalam bagian V yang berjudul “hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 Pasal dari mulai Pasal 7 sampai dengan pasal 33. Eksistensi manusia secara tegas dinyatakan pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi,”setiap orang diakui sebagai manusia”. Selain itu, hak atas perlindungan hukum juga termuat dalam Pasal 13 ayat (1),”Setiap orang berhak, dalam persamaan jang sepenuhnja, mendapat perlakuan djudjur dalam perkaranja oleh hakim jang tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibanja dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukuman jang dimadjukan terhadapnja beralasan atau tidak”.
3.
UUDS 1950 Ketentuan HAM diatur pada bagian V (hak-hak dan kebebasankebebasan dasar manusia) dari mulai Pasal 7 sampai Pasal 33. Menariknya, pemerintah juga memiliki kewajiban dasar konstitusional yang diatur sedemikian rupa, sebagaimana diatur pada Bagian VI (Azas-azas Dasar), Pasal 35 sampai dengan Pasal 43. Kewajiban dasar ini dapat dilihat, misalnya pada Pasal 36 yang berbunyi: ‘Penguasa memadjukan kepastian dan djaminan sosial, teristimewa pemastian dan pendjaminan sjarat-sjarat perburuhan dan keadaankeadaan perburuhan jang baik, pentjegahan dan pemberantasan pengangguran serta penjelenggaraan persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan djandadjanda dan anak jatim-piatu”.
4.
Kembali kepada UUD 1945
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menjadi dasar hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD 1945. Oleh karena itu, pengaturan HAM adalah sama dengan apa yang tertuang dalam UUD 1945. 48 5.
Amandemen UUD 1945 Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan adalah dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah bab tersendiri, yakni Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28A sampai dengan 28J.49 Penegasan HAM kelihatan menjadi semakin eksplisit, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 28A yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
48 49
M. Solly Lubis, hak-hak azasi manusia...op.cit . hlm.335 Majda el muhtaj,...op.cit , hlm. 64
BAB III KESIMPULAN
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan “Jaminan Konstitusi Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia” menurut Prof. Muhammad Tahir Azhary, tidak diatur secara mendetail pada UUD 1945. Hal ini dapat dipahami, karena pada waktu desertasi ini dibuat, konstitusi negara Indonesia masih menggunakan UUD 1945 yang asli. Akan tetapi, seiring perubahan waktu, “Jaminan Konstitusi Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia” secara tegas diatur dalam Bab tersendiri didalam UUD 1945 hasil amandemen. Selain itu, berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di Indonesia dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami proses dialektika yang serius dan panjang. Pentingnya pengaturan HAM dalam konstitusi menggambarkan komitmen atas upaya penegakan hukum dan
HAM. Beragamnya muatan HAM dalam konstitusi secara maksimal telah diupayakan untuk mengakomodasi hajat dan kebutuhan perlindungan HAM, baik dalam konteks pribadi, keluarga, masyarakat sebagai warga negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A Hamid S Attamimi, Peranan keputusan Presiden Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, disertasi, (Jakarta:Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990) Bambang Sutiyoso, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2002 Hans nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als system der rechtlichen grundbegriffc, (Koln: Benziger, 1948) Kuntjoro Purbopranoto, Hak-hak azasi manusia dan Pancasila, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1975 Mahfud MD, Demokrasi dan konstitusi di Indonesia: studi tentang interaksi politiik dan kehidupan ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000 Majda el muhtaj, Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009 Mirriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik , PT.Gramedia, Jakarta,1983
M. Solly Lubis, Hak-hak azasi manusia menurut UUD 1945”,dalam Padmo Wahjono,
beberapa masalah ketatanegaraan Indonesia,
CV
Rajawali, Jakarta, 1984 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan gagasan amandemen ulang , Rajawali press, Jakarta, 2008 Philipus M.Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, PT.bina ilmu, Surabaya, 1987 Satjipto Rahardjo, Negara hukum yang membahagiakan rakyatnya, genta publishing, Yogyakarta, Sri Soemantri, Prosedur dan sistem perubahan konstitusi, Alumni, Bandung, 1987 Sudargo Gautama, Pengertian tentang negara hukum, Alumni, Bandung, 1973
JURNAL
Dahlan Thaib, Reformasi hukum tata negara: mencari model alternatif perubahan konstitusi’ ”dalam jurnal hukum Ius Quia Iustum No.10 Vol.5, Uii Press, Yogyakarta, 1998 Mahfud MD, Undang-Undang Politik, Keormasan dan Instrumentasi Hak Asasi Manusia, dalam jurnal hukum Ius Quia Iustum No. 10 Vol.5 UII Press, Yogyakarta, 1998 Soedjono Sumobroto dan Marwoto, Hak-hak asasi manusia dalam UUD’45 dalam hukum dan keadilan, majalah hukum Peradin No.1 tahun IV MeiJuni, Jakarta, 1978