REFERAT DRUG I DUCED LIVER I JURY Oleh ur Rahmat Wibowo, S.Ked I11106029 Pembimbing dr. H. Yustar Mulyadi, Sp. PD KEPA ITERAA KLI IK ILMU PE YAKIT DALAM PROGRAM STUDI PE DIDIKA DOKTER U IVERSITA S TA JU GPURA RSU DOKTER SOEDARSO PO TIA AK 2011
LEMBAR PERSETUJUA Telah disetujui Referat dengan judul : “Drug Induced Liver Injury” Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Penyakit Dalam Pontianak, 06 Juni 2011 Pembimbing Referat, Disusun oleh : dr. H. Yustar Mulyadi, Sp.PD Nur Rahmat Wibowo,S.Ked NIM: I11106029 2 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………… LEMBAR PENGESAHAN……………………………… PENGESAHAN…………………………………………. …………. DAFTAR ISI …………………………………… an DILI …………….... 2.11 Prognosis…………………………………… Prognosis……………………………………….………… ….………… BAB III. KESIMPULAN …………………………..……………… D i ii iii 1 2 2 2 4 6 8 15 16 17 22 23 27 28 29 3 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
BAB I PE DAHULUA Obat merupakan salah satu penyebab penting dari kerusakan hati. Lebih dari 900 j enis obat, toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati, dan 20 −40% dari semua kejadian gagal hati fulminan diakibatkan oleh obat. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah alasan pal ing banyak dimana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya ataupun dibatasi pe nggunaannya. Seorang dokter harus lebih peka dalam mengidentifikasi obat-obat ya ng berhubungan dengan kerusakan hati karena dengan deteksi awal dapat menurunkan beratnya tingkat hepatotoksisitas dari suatu obat apabila penggunaan obat seger a dihentikan. Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat sangat be rvariasi, mulai dari peningkatan enzimenzim hati yang tanpa gejala (asimptomatik ) sampai terjadinya gagal hati fulminan.1 Salah satu fungsi hati yang penting ia lah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dar i luar, misalnya obat. Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metaboli t yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau emped u. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkina n yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Kerusakan hati akibat obat ( Dr ugs Induced Liver Injury ) pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, te tapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal.2 Di Amerika Serikat, kira-k ira dari 2000 kasus terjadinya gagal hati akut (Acute Liver Failure), lebih dari 50%-nya diakibatkan oleh obat (39% karena asetaminofen, 13% karena reaksi idios inkrasi dari pengobatan lain).1 4 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
BAB II TI JAUA PUSTAKA 2.1 Definisi Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerus akan hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya.3 FDA-CDER (2001) mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan level alanine aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal, d an peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas a tas nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari dua k ali dari batas atas nilai normal jika berkaitan dengan peningkatan alanine amino transferase atau alkaline phosphatase.3 Gambar 1. Definisi Drug Induced Liver Injury berdasarkan tipe kerusakan yang ter jadi pada hati4 2.2 Epidemiologi Angka kejadian DILI (Drug Induced Liver Injury) sebagian besar tidak diketahui dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian pro spektif pada populasi yang berhubungan dengan kerusakan hati yang diakibatkan ol eh 5 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
obat masih relatif rendah. Angka kejadian DILI pada populasi umum diperkirakan 1 −2 kasus per 100.000 orang pertahun. Pada pusat rujukan tersier kira-kira terdapat 1,2% hingga 6,6% kasus penyakit hati akut yang diakibatkan oleh DILI. Sedangkan estimasi insiden DILI adalah 14 per 100.000 pasien per tahun pada penelitian pr ospektif yang dilakukan di Prancis bagian utara, yang berarti 10 kali lebih ting gi dari rata-rata yang dilaporkan oleh penelitian lain.5 Laporan terbaru mengind ikasikan bahwa DILI terjadi dalam 1/100 pasien yang dirawat di bagian penyakit d alam.7 DILI adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang s erius. Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam praktek sehari-ha ri.6 Di negara-negara barat, penyebab mayoritas DILI adalah obat antibiotik, ant ikonvulsan dan agen psikotropika.5 Laporan lain menyebutkan bahwa Asetaminofen m erupakan penyebab utama DILI di negara-negara barat.7 Di Amerika Serikat, amoksi silin/klavulanat, INH, nitrofurantoin dan florokuinolons adalah penyebab DILI yang terbanyak. Perbedaan diantara penelitia n di AS dan Eropa dikarenakan terdapat perbedaan di dalam penggunaan obat-obat y ang diterima di masing-masing negara dan kebiasaan di dalam meresepkan obat. Di negara Asia, herbal dan suplemen diet adalah penyebab paling sering dari DILI. H erbal dan suplement diet baru-baru ini menyebabkan kurang dari 10% kasus DILI di negara-negara barat.5 2.3 Etiologi Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingest i atau pemberian secara parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kim ia. Terdapat kurang lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporka n dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati.1 Beberapa diantaranya seperti pada tabel 1 dibawah ini merupakan penyebab paling sering dari Drug Induced Liv er Injury. 6 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Tabel 1. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced Liver In jury7 Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang meng ungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya adalah aseta minofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine, Didanosine, Nepirapine, Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti konvulsan seperti Asam Valproat dan phenitoi n (10,3%), anti kanker (12,3%) yang meliputi Flutamide (3,3%), Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate 7 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
(3,0%) dan Cytarabine (2,9%), Antibiotik (8,7%) seperti Trovafloxacin (3,2%), Su lfa/trimethoprim (2,9%) dan Clarithromycin (2,8%), Anestesi seperti Halothane (4 ,8%), Obat Anti-tuberculosis, Isoniazid (3,2%), Diklofenak (3,1%) dan Oxycodone (3,1%).6 Tabel 2. Perubahan terpenting dari morfologi hati yang diakibatkan oleh beberapa obat dan kimia yang digunakan.8 8 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.4 Faktor Resiko Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Drug Induce d Liver Injury antara lain:1 a. Ras Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Misal, ras kulit hitam akan lebih rentan terhadap toksisi tas isoniazid. Laju metabolisme dikontrol oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap individu b. Umur Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusaka n hepar meningkat pada orang dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi oba t, penurunan aliran darah hepar, variasi ikatan obat, dan volume hepar yang lebi h rendah. Ditambah lagi, kurangnya asupan makanan, infeksi, dan sering mondok di rumah sakit menjadi alasan penting akan terjadinya hepatotoksisitas obat. c. Je nis Kelamin Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih ban yak pada wanita. d. Konsumsi alkohol Peminum alkohol akan lebih rentan pada toks isitas obat karena alkohol menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yan g mengubah metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yang menyebabkannya lebih rentan terhadap toksisitas obat. e. Penyakit hepar Pada um umnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya memiliki peningkatan re siko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P450 berkurang, beberapa orang mun gkin terpengaruh lebih dari yang lainnya. Modifikasi dosis pada penderita penyak it hati harus berdasarkan pengetahuan mengenai enzim spesifik yang terlibat dala m metabolisme. 9 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik menin gkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis juga resikonya meningkat terhadap dekompensasi pada obat. f. Faktor genetik Gen unik mengkode t iap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P450 menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi idiosinkratik. Debrisoquine merupakan obat antiar itmia yang menyebabkan rendahnya metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6. Hal ini dapa t diidentifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi. g. Penyakit lain Seseor ang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap reaksi obat karena rendahnya simpanan glutation. h. Formulasi obat Obat-obatan long-acting lebih me nyebabkan kerusakan hepar dibandingkan dengan obat-obatan short-acting. Gambar 2. Faktor Resiko yang Berhubungan dengan DILI4 10 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.5 Patofisiologi dan Mekanisme Drug Induced Liver Injury 2.5.1 Metabolisme Obat Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu menembus m embran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik melalui proses-pros es biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan produkproduk larut air yang dieks kresi ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur ok sidatif utamanya melalui sistem enzim sitokrom P-450.9 Gambar 3. Metabolisme Obat9 2.5.2 Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi a. Sistem tahap I Sistem detoksifikasi tahap I, melibatkan terutama enzim super gene sitokrom P-450, secara umum merupakan enzim pertahanan pertama melawan baha n asing. Sebagian besar bahan kimia dimetabolisme melalui biotransformasi tahap I. Pada reaksi umum tahap I, enzim sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen d an sebagai kofaktor, NADH, untuk 11 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
menambah kelompok reaktif, misalnya hidroksil radikal. Sebagai hasil dari tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu molekul reaktif yang lebih toksik dari pada molekul awal. Apabila molekul reaktif ini tidak berlanjut pada metabolisme selanjutnya, yaitu tahap II (konjugasi), dapat menyebabkan kerusakan pada protei n, RNA, dan DNA di dalam sel. Beberapa penelitian menunjukkan bukti terhadap hub ungan antara terjadinya induksi tahap I dan/atau berkurangnya aktivitas tahap II dengan meningkatnya resiko penyakit, misalnya kanker, SLE, dan penyakit Parkins on.9 b. Sistem tahap II Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivas i tahap I, dimana akan mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat dieks kresikan melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi konjugasi terdapat di d alam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi glutation serta asam a mino. Reaksi ini memerlukan kofaktor yang tercukupi melalui makanan.9 Banyak yan g diketahui mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada metabolism bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan komponen makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I pada praktek klinik tidak terlalu dip erhatikan. Kontribusi dari sistem tahap II lebih diperhatikan dalam penelitian d an praktek klinik. Dan hanya sedikit yang diketahui saat ini mengenai peran sist em detoksifikasi pada metabolism zat endogen.9 2.5.3 Mekanisme Hepatotoksisitas Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada membra n kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena asam emp edu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas sitoplasmik ke membran plasma , dimana 12 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu kematian sel me lalui apoptosis. Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem si tokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi y ang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran.9 Gambar 4. Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya DILI, yang meliputi metabolisme obat, kerusakan hepatosit, aktivasi sistem imun dan menghasilkan ter jadinya kerusakan jaringan. CYP (Cytochrome P450), IFN (Interferon), IL (Interle ukin), NL (Natural Killer Cell), NKT (Natural Killer T Cell), dan TNF (Tumor Nec rosis Factor).10 Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel unt uk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsa ng respons imun multifaset yang 13 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghamba t fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merus ak epitel saluran empedu.9 Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik d ari organella intraseluler yang terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah -tengah gambar yang dipengaruhi melalui 6 cara.1,9 a. Kerusakan hepatosit Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan penurunan ATP, meny ebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan benang-benang aktin di permukaan hep atosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit. b. Gangguan protein transport Ob at yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat mengganggu al iran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan gangguan pompa transport misa l multidrug resistance–associated protein 3 (MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan kolestasis. c. Aktivasi sel T sitolitik Ikatan kovalen dari obat pad a enzim P-450 dianggap imunogen, mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset. d. Apoptosis hepatosit Aktivasi jalur apoptosis oleh re septor Fas TNF-? menyebabkan berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat p ada kematian sel terprogram (apoptosis). 14 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
e. Gangguan mitokondria Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda eberapa pada α oksid si (mempengaruhi produksi energi dengan cara oksidasi m enghambat sintesis dinucleotide adenine nicotinamide dan dinucleotide adenine flavin, yang menyebabkan menurunnya produksi ATP) dan enzim rantai respirasi. f. Kerusakan duktus biliaris Metabolit racun yang diekskresik an di empedu dapat menyebabkan etabolit yang kerusakan epitel duktus biliaris. Gambar 5 Mekanisme Hepatotoksisitas11 5. 15 Yesterday we learn rn...Today we practice and Tomorrow we ach chieve...
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.1, 2 1. Predictable Drug Reactions (intrinsik) : merupakan obat yang dapat dipastik an selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap pend erita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsung m erusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengac aukan metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsun g merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya iala h karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak s ecara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin , metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol d an metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Paras etamol menimbul kan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang men galami alkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus akibat terhambatnya pengelua ran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konjug asi dan transpor bilirubin dalam hati.2 2. Unpredictable Drug Reactions/Idiosync ratic drug reactions: kerusakan hati yang tim bul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada oran g-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbul nya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan kar ena kelainan metabolisme. 2 16 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Tabel 3. Reaksi Obat Idiosinkrasi dan Sel-Sel yang dipengaruhinya11 −
Hipersensitivitas Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam , ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan Re ksi
granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challe nge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi. − Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme (Metabolicidiosyncratic) Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasany a tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan histopatologik y ang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kel ainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberik an lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa d iperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit 17 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
hepatotoksik dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati.2 Gambar 6. Mekanisme terjadinya kerusakan hati yang dimediasi oleh sistem imun12 2.6 Klasifikasi Drug-Induced Liver Injury Berdasarkan The Councils for Internati onal Organizations of Medical Scinces (CIOMS) DILI dibagi menjadi tiga tipe, yai tu:6,13 1. Tipe Hepatoseluler/Parenkimal Tipe hepatoseluler didefinisikan sebaga i peningkatan alanine aminotranferase (ALT) > 2 kali batas atas nilai normal (ULN=upper Limit of Norma l) atau R ≥ 5, dimana R adalah rasio aktivitas serum ALT/aktivitas alkaline phosph atase (ALP), yang keduanya terjadi peningkatan terhadap batas atas nilai normal. Kerusakan hati lebih berat terjadi pada tipe hepatoseluler daripada tipe kolest asis atau campuran, dan pasien dengan peningkatan bilirubin level pada kerusakan hati hepatoseluler mengindikasikan kerusakan hati yang serius dengan tingkat ke matian yang tinggi. Tipe ini ditemukan rata-rata 0,7 sampai 1,3 dari 100.000 ind ividu yang menerima pemberian obat. 18 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2. Tipe Kolestasis Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan ALP > 2 kali U LN atau R ≤ 2. 3. Tipe Campuran Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN d an 2
gagal hati akut berat terutama bila pasien masih meminum obat tesebut setelah aw itan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih dominan maka konsentrasi am inotransferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kole stasis. Mayoritas reaksi obat idiosikratik melibatkan kerusakan hepatosit seluru h lobus hepatik dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai mi num obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pe makaiannya.9 2.8. Diagnosis Terdapat beberapa metode diagnostik yang digunakan u ntuk membantu di dalam mendiagnosis DILI diantaranya adalah The aranjo Adverse D rug Reactions Probability Scale (NADRPS) yang digunakan untuk menilai reaksi efek sa mping obat, The Council for International Organizations of Medical Sciences or R oussel Uclaf Causality Assessment Method (CIOMS/RUCAM), Maria and Victorino (M&V ), dan di Jepang terdapat skala diagnostik yang digunakan untuk mendiagnosis DIL I berdasarkan kriteria CIOMS/RUCAM dengan menambahkan “Drug-lymphocyte stimulation test” (DLST) yang disebut Digestive Disease Week Japan (DDW-J). Skala DDW-J telah dilaporkan mempunyai nilai sensitivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan den gan CIOMS/RUCAM (93,8% vs 77,8%) pada analisis terhadap 127 pasien di Jepang. Ba gaimanapun, skala ini harus dievaluasi pada pasien nonJepang untuk melihat efekt ivitas penggunaannya secara universal.6 Diantara semua kriteria yang ada, CIOMS/ RUCAM merupakan metode diagnostik yang paling banyak digunakan dan baru-baru ini menjadi metode standar untuk diagnosis DILI.6 20 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Tabel 5. Skala kriteria CIOMS/RUCAM Scale14 Type of liver injury Time of onset of the event Time from drug intake until reac tion onset Time from drug withdrawal until reaction onset Alcohol Risk factor Ag e ≥ 55 years > 50% improvement 8 days > 50% improvement 30 days Course of the reac tion — Lack information or no improvement Worsening or < 50% improvement 30 days A ge ≥ 55 years — > 50% improvement 180 days < 50% improvement 180 days Lack informati on or no improvement — +1 +3 +2 +1 0 Alcohol or pregnancy +1 ≤ 15 days ≤ 15 days ≤ 30 da ys ≤ 30 days +1 Hepatocellular First exposure 5 to 90 days <5 or >90 days Second e xposure 1 to 15 days > 15 days Cholestatic/Mixed Second exsposure >90 days >90 d ays Points First exposure 5 to 90 days <5 or >90 days — +2 +1 −1 0
Analysis : > 8 (definitive/highly probable), 6 −8 (probable), 3 −5 (possible), 1 −2 (unlikely), (excluded)
Score
≤ Pada gambar 7 di bawah ini menunjukkan Review terhadap 61 laporan kasus DILI yan g telah dikumpulkan selama dekade terakhir dengan membandingkan beberapa skala k riteria yang ada. Tampak bahwa CIOMS/RUCAM merupakan metode diagnostik yang pali ng banyak digunakan (16,4%), diikuti oleh NADPRS (13,1%), M&V (CDS) (3,3%), WHO Database (3,3%), Medline (1,6%), Original (1,6%), DDW-J (1,6%) dan none (62,3%). 6 21 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Gambar 7. Perbandingan metode penilaian untuk diagnosis DILI di antara berbagai metode dia gnostik yang ada6 Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas karena obat berdasarkan :15 1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari lima hari atau lebih dari 90 hari seja k mulai minum obat dan tidak lebih 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi he patoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kole statik) dengan hepatotoksisitas obat. 2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian o bat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentra si di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan enzim hati p aling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 30 hari untuk r eaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat. 3. A lternatif sebab lain telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsi hati tiap kasus. 4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat y ang sama paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati. 22 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
Dikatakan reaksi drugs related jika semua ketiga kriteria terpenuhi atau jika du a dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ula ng obat. Tabel 6. Elemen yang diperlukan untuk pelaporan kasus DILI5 Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkin an sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat 23 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal at au obat alternatif lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada set iap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian o bat yang menjadi penyebab berhubungan dengan resiko tinggi kerusakan hati persis ten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama min um obat dan membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal esensial dalam diagnosis hepatotoksisitas karena obat.15 Tabel 7. Elemen pendukung untuk menilai dan membantu di dalam melaporkan beberapa kasus DILI5 24 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.9 Penatalaksanaan Kecuali penggunaan N-acetylcysteine untuk keracunan asetamin ofen (parasetamol), tidak ada antidotum spesifik terhadap setiap obat. Terapi ef ek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun belu m ada bukti penelitian klinis dengan kontrol. Demikian juga penggunaan ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti amoksisilin, asam kla vulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom dimana kondisi pasien memburuk d alam beberapa minggu sesudah pengobatan dihentikan dan perlu waktu berbulan-bula n untuk pulih seperti sedia kala. Prognosis gagal hati akut karena reaksi idiosi nkratik obat buruk, dengan angka mortalitas lebih dari 80%.9 Gambar 8 . Algoritme penatalaksanaan DILI6 25 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.10 Beberapa Obat yang Dapat Mengakibatkan DILI 2.10.1 Hepatotoksisitas obat an ti tuberkulosis (OAT) Obat anti tuberculosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol/streptomisin, dan tiga obat yang disebut pertama ber sifat hepatotoksik. Faktor-faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi alk ohol, memiliki dasar penyakit hati, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis vir al yang meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbuminemia, tuberculosis lan jut, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status asetilatornya. Tel ah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan HLADR2 dengan tuberkulosis pa ru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan kerentanan te rhadap tuberkulosis, sedangkan resiko hepatotoksisitas karena obat anti tuberkul osis berkaitan juga dengan tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 d isamping usia lanjut, albumin serum < 3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang mode rat atau tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko hepatotoksisitas pada pasi en dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-faktor klinis dan genetik. P ada pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV mempunyai resiko hepatotoksisitas ter hadap obat anti tuberkulosis lima dan empat kali lipat. Sementara pasien tuberku losis dengan karier HbsAg-positif dan HbeAgnegatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek INH, rifampisin, etambutol dan/atau pirazinamid denga n syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan konsentra si aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menu njukkan respons adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan at au tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti h epatitis viral; 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul b eberapa bulan kemudian.9,15 26 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.10.2 Hepatotoksisitas obat kemoterapi Jejas hati yang timbul selama kemoterapi kanker tidak selalu disebabkan oleh kemoterapi itu sendiri. Klinisi harus mempe rhatikan faktorfaktor lain seperti reaksi obat terhadap antibiotik, analgesik, a ntiemetik, atau obat lainnya. Problem-problem medis yang sudah ada sebelumnya, t umor, imunosupresi, virus hepatitis dan infeksi lain, serta defisiensi nutrisi a tau nutrisi parenteral total, semuanya mungkin mempengaruhi kerentanan hospes te rhadap terjadinya jejas hati. Sebagian besar reaksi hepatotoksisitas obat bersif at idiosinkratik, melalui mekanisme imunologik atau variasi pada respons metabol ik pejamu. Siklofosfamid, suatu alkylating agent, diubah oleh sistem sitokrom P450 di hati menjadi 4-hydroxycyclophosphamide. Meskipun mengalami metabolism di hati, siklofosfamid dapat diberikan pada keadaan enzim hati dan/atau bilirubin y ang meningkat. Melfalan dengan cepat dihidrolisis dalam plasma dan sekitar 15% d iekskresi tanpa perubahan dalam urin. Pada dosis yang dianjurkan tidak bersifat hepatotoksisitas, hanya menimbulkan abnormalitas tes fungsi hati sementara pada dosis tinggi pada transplantasi sumsum tulang otology. Klorambusil berhubungan d engan kerusakan hati. Busulfan, kelas alkilsulfonat, cepat hilang dari darah dan diekskresikan lewat urin. Metabolisme lewat hati tidak begitu penting sehingga pada dosis standar tidak menimbulkan hepatotoksisitas. Cytosine Arabinoside (Ara -C) efek hepatotoksisitasnya belum jelas. 5-FU tidak menimbulkan kerusakan hati bila diberikan secara per oral dan jarang dilaporkan menimbulkan hepatotoksisita s pada pemberian intravena. Akan tetapi berbeda bila diberikan secara intraarter ial dengan pompa infuse untuk terapi metastasis hepar berupa karena jejas kanker kolorektal dimana terjadi hepatotoksisitas hepatoseluler dengan peningkatan aminotransferase, alkali fosfatase, dan bilirubin serum, atau terjadinya striktu r duktus biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik dengan peningkatan bilirubin d an alkali fosfatase. 6-mercaptopurine (6-MP) bersifat hepatotoksik terutama bila dosis melebihi dosis yang biasa digunakan (dosis dewasa 2 mg/kg) dan 27 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
dapat berupa hepatoseluler atau kolestatik. Perbedaan rute obat oral atau parent eral tidak mengubah sifat hepatotoksisitasnya. Azatioprin (AZ) memiliki sifat he patotoksisitas meskipun jarang terjadi. Hepatotoksisitas berupa peningkatan kons entrasi bilirubin serum dan alkali fosfatase dengan peningkatan sedang konsentra si aminotransferase dan secara histologik berupa kolestasis dengan nekrosis pare nkim hati yang bervariasi. 6thioguanine dikenal menyebabkan penyakit oklusi vena . Metotreksat (MTX) pada dosis standar diekskresi tanpa perubahan melalui urin. Pada dosis tinggi sebagian dimetabolisir oleh hati menjadi 7-hydroxymethotrexate . Pada terapi rumatan leukemia akut anak-anak, metotreksat dapat menimbulkan fib rosis dan sirosis hati. Pada pemakaian dosis tinggi, MTX meningkatkan aminotrans ferase dan lactate dehydrogenase (LDH). Pasien arthritis rematoid atau psoriasis dengan MTX dosis kumulatif kurang dari 2 gram mempunyai insidens hepatotoksisit as yang rendah meskipun durasi terapinya lama, 24-48 bulan. Dengan demikian pema kaian MTX dosis rendah jangka panjang dapat menimbulkan fibrosis/sirosis, sement ara dosis tinggi menyebabkan perubahan tes fungsi hati. Gemcitabine sering menye babkan kenaikan transaminase sementara tetapi tidak bermakna. Mitoksantron mempu nyai insidens toksisitas serius lebih rendah dibandingkan obat-obat kanker antra siklin yang lain, dan hanya menimbulkan kenaikan konsentrasi AST dan ALT sementa ra saja. Insidensi disfungsi hati karena pemakaian bleomycin sangat rendah. Hepa totoksisitas mitomysin belum jelas, tetapi ditemukan dalam konsentrasi tinggi da lam empedu. Paclitaxel dan docetaxel sebagian besar diekskresi melalui hati dan perlu hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Etoposide tidak menimbu lkan hepatotoksisitas pada dosis standar meskipun diekskresikan terutama dalam e mpedu. Cisplatin jarang menyebabkan hepatotoksisitas pada dosis standar tetapi k adang-kadang dijumpai kenaikan AST. Pada dosis tinggi cisplatin menimbulkan kena ikan AST dan ALT. Procarbazine dikenal dapat menyebabkan hepatitis granulomatosa . Hydroxyurea dapat menimbulkan toksisitas hati dan pernah dilaporkan sebagai peny ebab peliosis hepatis.9,15 28 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.10.3 Hepatotoksisitas obat anti inflamasi non steroid Obat anti inflamasi nons teroid (OAINS) merupakan salah satu obat yang sering diresepkan meskipun penggun aannya tidak selalu tepat sasaran. Resiko epidemiologik hepatotoksisitas golonga n obat ini rendah (1-8 kasus per 100.000 pasien pengguna OAINS). Hepatotoksisita s karena OAINS dapat terjadi kapan saja setelah obat diminum, tetapi efek sampin g berat sangat sering terjadi dalam 6-12 minggu dari awal pengobatan. Ada dua po la klinis utama hepatotoksisitas karena OAINS. Pertama, adalah hepatitis akut de ngan ikterus, demam, mual, transaminase naik sangat tinggi, dan kadang-kadang di jumpai eosinofilia. Pola yang lain adalah dengan gambaran serologik (Anti Nuclea r Factor – positif) dan histologik (inflamasi periportal dengan infiltrasi plasma dan limfosit serta fibrosis yang meluas ke dalam lobul hepatik) dari hepatitis k ronik aktif. Tes fungsi hati dapat kembali normal dalam 4-8 minggu sejak penghen tian obat penyebab. Dua mekanisme utama bertanggungjawab atas jejas hati oleh OA INS, yaitu hipersensitivitas dan aberasi metabolik. Meskipun masih perlu ditelit i lebih lanjut, faktor-faktor resiko hepatotoksisitas idiosinkratik karena OAINS meliputi perempuan, umur >50 tahun, dan penyakit autoimun yang mendasari. Fakto r resiko lain adalah paparan obat lain yang juga bersifat hepatotoksik pada saat bersamaan. Reaksi hipersensitivitas sering mengalami titer anti-nuclear factor atau antibodi anti smooth-muscle yang bermakna, limfadenopati, dan eosinofilia. Aberasi metabolik dapat terjadi karena polimorfisisme genetic yang dapat menguba h kerentanan terhadap bermacam-macam obat. Pasien yang mengalami hepatotoksisita s karena OAINS harus dianjurkan untuk tidak minum OAINS lagi selamanya. Paraseta mol merupakan obat pilihan untuk analgesic sedangkan aspirin dapat digunakan seb agai pengganti OAINS, karena toksisitas OAINS berhubungan dengan struktur moleku l cincin diphenylamine yang tidak dimiliki aspirin.9,15 29 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
2.11 Prognosis Prognosis pada pasien Drug Induced Liver Injury akan semakin baik apabila penetapan diagnosis dilakukan seawal mungkin. 30 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
BAB III KESIMPULA Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan hati yan g berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpajan oba t atau agen non-infeksius lainnya. Lebih dari 900 jenis obat, toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada selsel hati. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah alasan paling banyak dimana suat u obat dapat ditarik dari peredarannya ataupun dibatasi di dalam penggunaannya. Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat sangat bervariasi, mula i dari peningkatan enzim-enzim hati yang tanpa gejala (asimptomatik) sampai terj adinya gagal hati fulminan. Terdapat banyak metode diagnostik yang dapat digunak an untuk mendiagnosis Drug Induced Liver Injury. Akan tetapi kriteria CIOMS/RUCAM merupakan metode diagnostik yang paling banyak dan luas di dalam pen ggunaannya dan saat ini merupakan metode diagnostik standar yang dianjurkan. Men gidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat altern atif lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalit as tes fungsi hati. Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian seger a obat-obatan yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol 31 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
DAFTAR PUSTAKA 1. Mehta N. Drug-Induced Hepatotoxicity. Tersedia pada http://www.emedicine.meds cape.com/article/169814-overview. Updates 26 maret 2010 diakses pada tanggal 2 J uni 2011 2. Setiabudy R. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedo kteran Universitas Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1979; 15: 8 −12 3. Dhingra MS . Drug Induced Liver Injury. 2006. 4. Kaplowitz N. Drug Induced Liver Injury. Cl inical Infectious Diseases 2004; 38(2): 44–8 5. Fontana RJ, Seeff LB, Andrade RJ, Msson EB, Day CP, Serrano C, et al. Meeting report: Standardization of Nomenclat ure and Causality Assessment in Drug-Induced Liver Injury: Summary of a Clinical Research Workshop. Hepatology 2010; 52:730 −742 6. Tajiri K and Shimizu Y. Practic al Guidelines for Diagnosis and Early Management of Drug-Induced Liver Injury. W orld J Gastroenterol 2008; 14(44): 6774–6785 7. Chau TN. Drug Induced Liver Injury : An Update. The Hongkong Medical Diary 2008; 13(3): 23 −26 8. Dienstag JL and Isse lbacher KJ. Toxic and Drug Induced Hepatitis. In Harrison’s: Principles of Interna l Medicine 16th Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et al. 2005;183 8−1844 9. Benvie. Hepatoksisitas Obat. 2009. Tersedia http://doctorology.net/?p=31 . Diakses pada tanggal 2 Juni 2011. pada 10. Holt MP and Ju C. Mechanisms of Drug-Induced Liver Injury. The AAPS Journal 2006; 8(1): 48 −54 11. Lee WM. Drug Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349: 474−485 12. Adams DH, Ju C, Ramaiah SK, Uetrecht J, and Jaeschke H. Mechanisms of Immune-Mediated Liver Injury. Toxicological Sciences 2010; 115(2): 307–321. 13. Béni chou C. Criteria of Drug-Induced Liver Disorders. Report of An International Con sensus Meeting. J Hepatol. 1990;11:272–276. 14. Anonymous. CIOMS/RUCAM Scale. Ters edia pada http://wikipedia.com. Diakses pada tanggal 2 Juni 2011. 15. Bayupurnam a P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edis i IV. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I 32 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...
dkk. 2006. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran U niversitas Indonesia. Jakarta. 33 Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...