REFERAT DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ERUPSI OBAT
Disusun oleh : Mulki Alifah Hasna 1102012183
Pembimbing : dr. Shinta Maulinda, Sp.KK
Disusun Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD Kabupaten Subang Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Periode 16 Oktober – Oktober – 17 17 November 2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas berkah dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Diagnosis dan Tatalaksana Erupsi Obat” sebagai salah satu tugas di kepaniteraan klinik SMF Ilmu Kulit & Kelamin di RSUD Kabupaten Subang. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan referat ini, terutama dr. Shinta Maulinda, Sp.KK yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga yang selalu memberikan motivasi hingga saat ini, serta kepada teman-teman yang sedang menjalani kepaniteraan klinik bersama di RSUD Kabupaten Subang. Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat kekurangan, oleh sebab itu saran serta kritik diharapkan dapat membangun penulisan guna perbaikan di kemudian hari untuk kepentingan bersama. Semoga referat ini dapat berguna serta ber manfaat bagi kita semua, baik sekarang maupun di hari yang akan datang.
Subang, Oktober 2017
Penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
1
Daftar Isi
2
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1. Erupsi Obat 2.1.1
Definisi
4
2.1.2
Epidemiologi
4
2.1.3
Etiologi
4
2.1.4
Faktor Resiko
4
2.1.5
Patogenesis
5
2.1.6
Manifestasi Klinis
7
2.1.7
Diagnosis
9
2.1.8
Diagnosis Banding
10
2.1.9
Tatalaksana
10
2.1.10 Prognosis
10
2.2. Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik 2.2.1
Definisi
11
2.2.2
Epidemiologi
11
2.2.3
Etiologi
11
2.2.4
Patogenesis
11
2.2.5
Manifestasi Klinis
12
2.2.6
Diagnosis
14
2.2.7
Diagnosis Banding
14
2.2.8
Tatalaksana
14
2.2.9
Komplikasi
15
2.2.10 Prognosis BAB III
Daftar Pustaka
KESIMPULAN
15 16
17
2
BAB I PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat reaksi hipersensitivitas terhadap obat.1 Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi atau erupsi obat. Obat-obatan tersebut yaitu; obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin dan derivatnya, sulfonamid, dan obat-obatan antikonvulsan.
2,8
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong ‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut.
5,8
Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Erupsi Obat Alergik 2.1.1. Definisi
Erupsi obat alergik adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. 1 2.1.2. Etiologi
Obat yang sering menimbulkan reaksi alergi adalah penisilin, ampisilin, amoksisilin, kloksasilin, analgetik-antipiretik, dan sulfonamid.9 2.1.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, erupsi obat terjadi pada sekitar 2-5% pasien rawat inap dan lebih dari 1% pasien rawat jalan. Persentasi terjadinya erupsi obat di dunia yaitu sekitar 2-3% pasien rawat inap. Reaksi kutaneous terhadap obat lebih banyak terjadi pada wanita daripada pada pria. Pada pasien lansia akan memiliki peningkatan prevalensi reaksi obat yang tidak diinginkan.2 2.1.4. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah : 1. Jenis kelamin Wanita mempunyai risiko jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. 2. Sistem imunitas Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. 3. Usia Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. 4. Dosis
4
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka. 5. Infeksi dan keganasan Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan keganasan. 6. Atopik Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan perawatannya.
3
2.1.5. Patogenesis
Ada dua macam mekanisme. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan 3
perubahan dalam metabolisme.
Tabel 1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis.5
5
Mekanisme Imunologis -
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok. -
Tipe II (Reaksi Sitotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis. -
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. -
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.
1,4
Mekanisme Non Imunologis
Reaksi " Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-dependent . Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difus.
6
2.1.6. Manifestasi Klinis
Erupsi obat alergik dapat bermanifestasi klinik ringan dan berat hingga mengancam jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi hipersensitivitas yang mendasari. 1. Urtikaria dan angioedema Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada kulit dengan ukuran yang bervariasi. Predileksi dapat diseluruh tubuh. Keluhan umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Lesi individual biasanya bertahan kurang dari 24 jam kemudian hilang perlahan. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Angioedema pada glottis menyebabkan asfiksia, sehingga dibutuhkan penanganan segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, NSAID. Gambar 1. Urtikaria yang disebabkan penisilin
2. Erupsi makulopapular Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau morbiliformis, merupakan bentuk erupsi obat alergik paling sering ditemukan, timbul dalam 2-3 minggu setelah konsumsi obat. Biasanya lesi eritematosa dimulai dari batang tubuh kemudian menyebar ke perifer secara simetris dan generalisata, hampir selalu disertai pruritus. Erupsi makulopapular akan hilang dengan cara deskuamasi, dan terkadang meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisil in, NSAID, sulfonamid, fenitoin, serta karbamazepin.
3. Fixed drug eruption (FDE) FDE merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Lesi berupa makula atau plak eritema-keunguan dan kadang disertai vesikel/bula pada bagian tengah lesi sehingga sering menyerupai eritema multiforme. Predileksi tersering di daerah bibir, tangan, dan genitalia. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama 7
hilang, bahkan sering menetap. Ciri khas FDE adalah berulang pada predileksi yang sama setelah pajanan obat penyebab. Obat penyebab yang sering menyebabkan FDE adalah tetrasiklin, naproxen, dan metamizol. Gambar 2. Fixed Drug Eruption
4. Pustulosis eksantematosa generalisata akut Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan erupsi pustular akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat yang diawali oleh demam, mual, dan malaise. Kelainan kulit yang ditemukan berupa pustul milier berjumlah banyak diatas dasar eritematosa. Predileksi utama di wajah dan lipatan tubuh.
5. Eritroderma Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi eritema difus disertai skuama lebih dari 90% area tubuh. Pada eritroderma sering terjadi ketidakseimbangan elektrolit, gangguan termoregulasi, serta kehilangan albumin, sehingga merupakan indikasi pasien untuk dirawat. Obat penyebab antara lain adalah asetaminofen dan minosiklin.
6. Sindrom hipersensitivitas obat Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupaka erupsi obat alergik tipe berat yang dapat mengancam jiwa karena keterlibatan multiorgan. Seringkali diawali oleh infeksi saluran pernapasan atas dan dihubungkan dengan infeksi HHV-6, HHV-7, Epstein Barr Virus, dan Cytomegalovirus. Tanda karakteristik SHO adalah demam diatas 38°C, lesi pada kulit, limfadenopati, gangguan fungsi hati dan/atau fungsi ginjal, leukositosis dan eosinophilia. Lesi kulit biasanya timbul 3 minggu setelah konsumsi obat, dengan lesi makulopapular yang paling sering ditemukan. Bentuk lain erupsi obat alergik adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau vaskulitis, eritema multiforme, sindrom steven-johnson, dan nekrolisis epidermal toksik. 1
8
2.1.7. Diagnosis Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul. Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang bersifat persisten.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah (Nayak & Acharjya, 2008): -
Biopsi kulit Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
-
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.
-
Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi Uji tempel ( patch test ) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji provokasi (exposure test ) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan medikolegalnya.
-
Pemeriksaan in vitro
9
Yang diperantarai antibody diantaranya: Hemaglutinasi pasif, Radio immunoassay, Degranulasi basophil, Tes fiksasi komplemen. Yang diperantarai sel: Tes transformasi limfosit, dan Leucocyte migration inhibition test. Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan.
2.1.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding erupsi obat alergi diantaranya dermatitis kontak alergi, manifestasi dermatologi pada rubella, eritema multiform, pityriasis rosea. 2
2.1.9. Tatalaksana
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, dan eksantema fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 1 0 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika t erdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid (Hamzah, 2007). Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagiansebagian.9
2.1.10. Prognosis
Prognosis erupsi obat alergik tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan segera dihentikan. Pada erupsi obat alergik tipe berat, misalnya eritroderma dan nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis. 10
2.2. Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik 2.2.1. Definisi
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas.1 2.2.2. Epidemiologi
Insidens SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/juta penduduk/tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan risiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1.1 2.2.3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan, dan (4) idiopatik.6 Risiko terjadinya SJS atau NET karena obat dibagi menjadi penggunaan obat jangka pendek dan penggunaan obat jangka panjang. Risiko tinggi pada group pertama diantaranya pemakaian trimetroprim-sulfomethoxazole dan antibiotik sulfonamid lainnya, diikuti sefalosporin, quinolon, dan aminopenicilin. Pada penggunaan jangka panjang, peningkatan risiko terjadi pada 2 bulan awal pengobatan. Obat-obat yang berisiko tinggi diantaranya carbamazepin, NSAID, kortikosteroid, fenitoin, allopurinol, fenobarbital dan asam valproat. Faktor lain yang berkaitan dengan SJS atau NET yaitu penyakit infeksius seperti yang disebabkan oleh HIV, herpesvirus atau Mycoplasma pneumoniae, dan virus hepatitis A. Sedangkan kondisi non-infeksius termasuk diantaranya radioterapi, lupus eritematosus, dan penyakit kolagen vaskular.10 2.2.4. Patogenesis
Mekanisme terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap kertainosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin yang terlibat dalam patogenesis penyakit ini yaitu IL-6, TNF-α, IFN-γ, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B.
11
2.2.5. Manifestasi Klinis
Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal paja nan obat. Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya demam, sakit kepala, batuk/pilek, dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan, dan bagian proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi di mukosa genital. Keterlibatan organ dalam juga dapata terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran cerna, dan ginjal.1 Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.
a. Kelainan kulit Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok. 11 Gambar 3. Peluruhan luas epidermis pada SJS
12
b. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk makan atau mi num dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas.11 Gambar 4. ulserasi dan krusta pada permukaan mulut
c. Kelainan mata Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa o kuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan.
13
Gambar 5. Lesi erosiv pada kelopak mata dan konjungtivitis
2.2.6. Diagnosis
Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat tersangka dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan <10% LPB, NET bila epidermolisis >30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10-30% LPB.1 Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah, elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hati, gula darah sewaktu, dan foto rontgen paru untuk menilai keparahan penyakit. 2.2.7. Diagnosis Banding
Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya: staphylococcal scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption, acute generalized exanthematous pustulosis, dan lupus eritematosus bulosa.1 2.2.8. Tatalaksana
Tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan pengehentian segera obat tersangka, serta perawatan suportif di rumah sakit. Perawatan suportif mencakup: mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30°C, nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara aseptik tanpa debridement, perawatan mata, dan mukosa mulut. Terapi spesifik dengan menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus SSJ-NET. 1 Peran kortikosteroid sistemik (kortison) tetap kontroversial. Beberapa klinisi meresepkan kortikosteroid dosis tinggi untuk waktu yang singkat pada awal reaksi, misalnya prednison 1-2 mg / kg / hari selama 3-5 hari. Untuk kasus ynag berat dapat diberikan prednison 3-4 mg / kg / hari.
12
14
2.2.9. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure.1 2.2.10. Prognosis
Prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN, yang memberikan nilai 1 untuk hal-hal berikut : usia >40 tahun, denyut jantung >120/menit, terdapat kanker atau keganasan hematologik, epidermolisis >10% LPB, kadar urea serum >10mM/L (>28mg/dL), kadar bikarbonat serum <20mEq/L, kadar gula darah sewaktu >252mg/dL. Nilai SCORTEN ini dianjurkan untuk dievaluasi pada hari ke 1 dan ke 3. 1 Tabel 1. Angka Kematian Pasien SJJ-NET Berdasarkan Nilai SCORTEN Nilai SCORTEN
Angka Kematian (%)
0-1
3,2
2
12,1
3
35,8
4
58,3
5
90
15
BAB III KESIMPULAN
Erupsi obat alergik adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin, orang dengan sistem imunitas rendah, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan. Ada dua macam mekanisme yang dikenal, pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Morfologi erupsi obat diantaranya; urtikaria, angioedema, erupsi makulopapular, fixed drug eruption, pustulosis eksantematosa generalisata akut, eritroderma, dan sindrom hipersensitivitas obat. Bentuk lain erupsi obat alergik yaitu sindrom stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik yang merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisi um serta mata disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Erupsi obat alergik dapat didiagnosa dengan anamnesa, pemeriksaan lesi, pemeriksaa n penunjang diantaranya biopsi kulit, laboratorium, uji tempel, uji provokasi, dan teknik in vitro. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena, seperti nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi SL, dkk. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2016. hal: 190-5. 2. Jonathan EB, dkk. Drug Eruptions. Medscape 2017. Diakses pada https://emedicine.medscape.com/article/1049474-overview#a2 3. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Philadelphia: Elserve limited; 2003. p: 333-52. nd
4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 ed. Pharmaceutical Press 2006. Diakses pada http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9; 2003. Diakses pada www.aafp.org/afp 6. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson Syndrome. Medscape 2010. Diakses pada http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview 7. Rassner, Prof. Dr. Med, Dr. Med. U. Steinert. Buku Ajar & Atlas Dermatology. Edisi 4. Jakarta: EGC; 1995. Hal: 105-7. nd
8. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 ed. Pharmaceutical Press 2006. Diakses pada http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 9. Hanifati S, Menaldi SL. Erupsi Obat Alergik. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. Hal: 336-7. 10. Deore SS, dkk. Drug Induced – Stevens Johnson Syndrome: A Case Report. Internasional Journal of Scientific Study 2014. Diakses pada http://www.ijsssn.com/uploads/2/0/1/5/20153321/ijss_july-17.pdf 11. Peter C, Schalock MD. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis Epidermal Toxic. The merck manual 2006. Diakses pada http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html 12. Ngan V, Oakley A. Stevens-Johnson Syndrome / Toxic Epidermal Necrolysis. Dermatologist New Zealand 2016. Diakses pada https://www.dermnetnz.org/topics/stevens-johnson-syndrome-toxic-epidermalnecrolysis/
17