PNEUMONIA
REFERAT
Pembimbing :
dr. Faida Susantinah , Sp. Rad
Penyusun:
Maximillion Levin Anggasaputra / 030 11 181
Narjas Syam / 030 11 210
Anastasya Widha / 030 11 022
PERIODE 14 SEPTEMBER – 16 OKTOBER 2015
KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI
RSPAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN
Referat
Judul:
pneumonia
Nama Koas:
Maximillion Levin Anggasaputra / 030 11 181
Narjas Syam / 030 11 210
Anastasya Widha / 030 11 022
Telah disetujui untuk dipresentasikan
Pada Hari , Tanggal 2015
Pembimbing
dr. Faida Susantinah , Sp. Rad
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan
judul " Pneumonia."
Presentasi ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di bagian Radiologi RSPAU dr. Esnawan Antariksa.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama
kepada:
1. dr. Faida Susantinah , Sp. Rad selaku pembimbing dalam referat ini.
2. Dokter dan staf SMF Radiologi RSPAU dr. Esnawan Antariksa.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Radiologi RSPAU dr. Esnawan Antariksa
atas bantuan dan dukungannya.
Saya menyadari dalam pembuatan presentasi kasus ini masih banyak
terdapatkekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna
penyempurnaan presentasi kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, terutama dalam bidang ilmu bedah.
Jakarta, 5 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing i
Kata Pengantar ii
Daftar isi iii
BAB I Pendahuluan…………………………………………………………… 1
BAB II Tinjauan Pustaka 2
Anatomi
Pernafasan 2
Fisiologi
Pernafasan...............................................................
........................ 5
BAB III Pembahasan 8
Definisi Pneumonia
8
Etiologi Pneumonia 8
Epidemiologi 9
Faktor Resiko 10
Patofisiologi 11
Klasifikasi
Pneumonia................................................................
................... 14
Diagnosis Pneumonia 15
Penatalaksanaan................ 24
Komplikasi Pneumonia 31
Prognosis Pneumonia 32
BAB IV Kesimpulan 26
Daftar Pustaka 27
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit saluran nafas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi diseluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus berhubungan
dengan infeksi saluran nafas yang terjadi di masyarakat atau didalam rumah
sakit. Salah satu infeksi saluran nafas yaitu pneumonia. Pneumonia
merupakan bentuk infeksi saluran pernafasan bawah akut pada parenkim paru
yang serius yang dijumpai sekitar 15-20%.
Di Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju, angka kejadian
pneumonia masih tinggi. Berdasarkan data SEAMIC Health Statistic 2001 dalam
perhimpunan dokter paru Indonesia tahun 2003 influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. Di Indonesia sendiri,
insiden penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-
50%.
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang
jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia
didapatkan adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan
tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia
(lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes
mellitus, payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi
renal, penyakit saraf kronik dan penyakit hati kronik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI PERNAFASAN
Saluran pernafasan bagian bawah terdiri dari :
a. Larynx (Tenggorokan)
Larynx terletak di depan bagian terendah pharnyx yang memisahkan
dari kolumna vertebra, berjalan dari farine-farine sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakhea di
bawahnya.
b. Trakea
Trakea memiliki panjang kurang lebih 9 cm. Trakea berjalan dari
laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke lima dan
ditempat ini bercabang menjadi dua bronchus (bronchi).
c. Bronkus
Bronkus yang terbentuk dari percabangan trachea pada ketinggian
kira-kira vertebralis torakalis kelima, mempunyai struktur serupa
dengan trachea yang dilapisi oleh jenis sel yang sama. Cabang utama
bronchus kanan dan kiri tidak simetris. Bronchus kanan lebih
pendek, lebih besar dan merupakan lanjutan trachea dengan sudut
lancip. Keanehan anatomis ini mempunyai makna klinis yang penting.
Tabung endotrachea terletak sedemikian rupa sehingga terbentuk
saluran udara paten yang mudah masuk kedalam cabang bronchus kanan.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang-cabang lagi
menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen bronchus. Percabangan
ini terus menerus sampai cabang terkecil yang dinamakan bronchioles
terminalis yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveolus.Bronchiolus terminal kurang lebih bergaris
tengah 1 mm. Bronchiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan,
tetapi di kelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat
berubah. Diluar bronchiolus terminalis terdapat asinus yang
merupakan unit fungsional paru-paru, tempat pertukaran gas. Asinus
terdiri bronchiolus respiratorius, yang kadang- kadang memiliki
kantung udara kecil atau alveoli yang bersal dari dinding mereka.
Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus
alveolaris terminalis merupakan struktur akhir paru-paru.
d. Paru-Paru
Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam
rongga toraks atau dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh
mediastinum central yang mengandung jantung dan pembuluh-pembuluh
darah besar. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan
dasar. Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan
pembuluh limfe memasuuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk
akar paru.Paru kanan lebih daripada kiri,paru kanan dibagi menjadi
tiga lobus dan paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus
tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen
bronchusnya.
Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru dibagi 10
segmen.Paru kanan mempunyai 3 buah segmen pada lobus inferior, 2
buah segmen pada lobus medialis, 5 buah pada lobus superior kiri.
Paru kiri mempunyai 5 buah 12 segmen pada lobus inferior dan 5 buah
segmen pada lobus superior.Tiap-tiap segmen masih terbagi lagi
menjadi belahanbelahan yang bernama lobules. Didalam lobolus,
bronkhiolus ini bercabang- cabang banyak sekali, cabang ini disebut
duktus alveolus.Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang
diameternya antara 0,2- 0,3mm. Letak paru dirongga dada di bungkus
oleh selaput tipis yang bernama selaput pleura.
Pleura dibagi menjadi dua :1.) pleura visceral (selaput dada
pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru.2.)
pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah
luar. Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut
kavum pleura.Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa
udara)sehingga paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat
sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya
(pleura), menghindarkan gesekan antara paru dan dinding sewaktu ada
gerakan bernafas. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari
tekanan atmosfir, sehingga mencegah kolpas paru kalau terserang
penyakit, pleura mengalami peradangan, atau udara atau cairan masuk
ke dalam rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.
" " "
2. FISIOLOGI PERNAFASAN
a. Pernafasan paru (pernafasan pulmoner)
Fungsi paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada
pernafasan melalui paru / pernafasan eksternal, oksigen di pungut
melalui hidung dan mulut, pada waktu bernafas oksigen masuk melalui
trachea dan pipa bronchial ke alveoli, dan erat hubungan dengan
darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membrane
yaitu membrane alveoli kapiler, memisahkan oksigen dari darah,
darah menembus dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan
dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri kesemua bagian
tubuh. Darah meninggalkan paru pada tekanan oksigen mmHg dan pada
tingkatan Hb 95% jenuh oksigen. Didalam paru, karbondioksida salah
satu buangan metabolsme menembus membrane kapiler dan kapiler darah
ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial dan trachea di
lepaskan keluar melalui hidung dan mulut.
Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmoner
(pernafasan eksterna):
1.) Ventilasi pulmoner, gerakan pernafasan yang menukar udara
dalam alveoli dengan udara luar.
2.) Arus darah melaui paru, darah mengandung oksigen masuk
keseluruh tubuh, karbondioksida dari seluruh tubuh masuk
paru.
3.) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga
jumlahnya yang bisa dicapai untuk semua bagian.
4.) Difusi gas yang membrane alveoli dan kapiler, karbondioksida
lebih mudah berdifusi daripada oksigen.
b. Pernafasan jaringan (pernafasan interna)
Darah yang menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen
(oksihemoglobin) mengitari seluruh tubuh dan mencapai kapiler,
dimana darah bergerak sangat lambat. Sel jaringan memungut oksigen
dari hemoglobin untuk memungkinkan oksigen berlangsung dan darah
menerima sebagai gantinya hasil buangan oksidasi yaitu
karbondioksida.
Perubahan – perubahan berikut terjadi dalam komposisi udara dalam
alveoli, yang disebabkan pernafasan eksterna dan pernafasan interna
atau pernafasan jaringan. Udara (atmosfer) yang dihirup: Oksigen :
20% , Karbondioksida : 0-0,4% . Udara yang masuk alveoli mempunyai
suhu dan kelembaban atmosfer. Udara yang dihembuskan: Nitrogen :79%
Oksigen :16% Karbondioksida :4-0,4% . Udara yang dihembuskan jenuh
dengan uap air dan mempunyai suhu yang sama dengan badan (20 persen
panas badan hilang untuk pemanasan uadra yang dikeluarkan ).
c. Daya muat paru
Besarnya daya muat udara dalam paru 4500 ml- 5000 ml (4,5 – 5
liter). Udara diproses dalam paru (inspirasi dan ekspirasi) hanya
10% kurang lebih 500 ml disebut juga udar a pasang surut (tidal
air) yaitu yang dihirup dan yang dihembuskan pada pernafasan biasa.
Pada seorang laki- laki normal (4-5 liter) dan pada seorang
perempuan (3-4 liter). Kapasitas (h) berkurang pada penyakit paru-
paru dan pada kelemahan otot pernafasan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 DEFINISI PNEUMONIA
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial.(1) Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat
menyerang semua umur terutama pada bayi/anak, usia lebih dari 65 tahun, dan
seseorang yang mempunyai penyakit pemberat lain seperti penyakit jantung
kongestif, diabetes dan penyakit paru kronis.
3.2 ETIOLOGI PNEUMONIA
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu
bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh
bakteri. Penyebab tersering pneumonia bakterialis adalah bakteri positif-
gram, Streptococcus pneumonia yang menyebabkan pneumonia streptokokus.
Bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus aeruginosa. Pneumonia
lainnya disebabkan oleh virus, misalnya influenza.
Pembagian penyebab-penyebab dari pneumonia yaitu :
a. Bakteri
Bakteri adalah penyebab paling umum pneumonia pada orang dewasa, terutama
pada orang tua. Beberapa jenis bakteri dapat menyebabkan pneumonia adalah
Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus,
Streptococcus aureus, Hemophilus influenza.
b. Virus
Virus yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Respiratory syncytial
virus, virus influenza, Adenovirus, Cytomegalovirus.
c. Jamur
Beberapa jenis jamur yang dapat menyebabkan pneumonia adalah
Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidiodes immitis, Aspergillus,
Candida albicans.
d. Aspirasi
Beberapa contoh aspirasi seperti makanan, kerosene (bensin, minyak tanah),
cairan amnion, dan benda asing.
3.3 EPIDEMIOLOGI
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang
terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir di
seluruh dunia. Di Inggris pneumonia menyebabkan kematian 10 kali lebih
banyak dari pada penyakit infeksi lain, sedangkan di AS merupakan
penyebab kematian urutan ke 15. pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
25-50% pada pasien ICU.
Di Amerika Serikat insiden penyakit pneumonia mencapai 12 kasus tiap
1000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kuang dari 1%,
tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi,
yaitu 14%. Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang memerlukan
perawatan di rumah sakit dan angkat kematian diantara pasien tersebut
lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40%. Di Indonesia sendiri, terdapat 5-11
kasus pneumonia per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat dirumah
sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada
pasien yang sangat muda dan usia lanjut dengan ortalitas 5-12%
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di
atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi:
2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan
Balita 15,5%.
Pneumonia pada dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas yang
jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia
didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan
tubuh. Frekuensi relative terhadap mikroorganisme petogen paru bervariasi
menurut lingkungan ketika infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan
masyarakat, panti perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu factor iklim
dan letak geografik mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit
ini.
3.4 FAKTOR RESIKO
Beberapa kelompok yang mempunyai faktor risiko lebih tinggi untuk terkena
pneumonia antara lain :
a. Usia lebih dari 65 tahun
b. Riwayat merokokis
c. Paralisis laringeal
d. Malnutrisi
e. Pasien dengan penyakit paru seperti asma, PPOK dan emfisema
f. Diabetes Mellitus
g. Penyakit pernapsan kronik (COPD, asma kistik fibrosis)
h. Kanker
i. Trakeostomi dan pemakaian endotrakeal tube
j. Tindakan Bedah pada regio abdominal atau toraks
k. Fraktur tulang iga
l. AIDS, pengobatan immunosuppresan dan pasien immunocompromised.
3.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pneumonia mencakup interaksi antara mikroorganisme
penyebab yang masuk melalui berbagai jalan, dengan daya tahan tubuh pasien,
mikroorganisme penyebab pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer :
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah
berkolonisasi di orofaring.
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematoge'n dari bagian ekstrapulmonar
Asprasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang
menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang
terjadi. Pada saluran nafas bagan bawah, kuman menghadapi dayatahan tubuh
berupa sistem pertahanan mukosilier, daya tahan selular makrofag alveolar,
limfosit bronkial, dan netrofil. Juga daya tahan humoral igA dan igG dari
sekresi bronkial.
Terjadinya pneumonia tergantung kepada virulensi MO, tingkatan
kemudahan dan luasnya daerah paru yang terkena serta penurunan daya tahan
tubuh.Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas
yang jelas.Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia
didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan
tubuh.
Respon yang di timbulkan juga bergantung dari agen
penyebabnya.Streptococus pneumonla (pneumococus), adalah penyebab yang
paling sering dari pneumonia bakteri, baik yang didapat di masyarakat
maupun dari semua kasus rumah sakit.Di antara semua pneumonia bakteri,
pneumonia pneumokokus merupakan yang paling banyak diselidiki.Pneumokokus
umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva.Lobus bagian
bawah paling sering terkena karena efek gravitasi. Setelah mencapai
alveoli, maka pneumokokus menimbulkan respon khas yang terdiri dari 4 tahap
berurutan yaitu:
1. Kongesti (4 sampai 12 jam pertama):eksudat serosa masuk ke dalam
alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): paru tampak merah dan bergranula
(hepatisasi = seperti hepar) karena sel-sel darah merah, fibrin, dan
leukosit PMN mengisi alveoli.
3. Hepatisasi kelabu (3 sampai 8 hari) : paru tampak kelabu karena
leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang
terserang.
4. Resolusi (7 sanrpai 11 hari) : eksudat mengalami lisis dan
direabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada struktur
semula.
Awitan pneumonia pneumokokus bersifat mendadak disertai menggigil,
demam, nyeri pleuritik, batuk dan sputum yang berwarna seperti karat.Ronki
basah dan gesekan pleura dapat terdengar di atas jaringan yang terserang
oleh karena eksudat dan fibrin dalam alveolus dan dapat pula dalam
permukaan pleura.Hampir selalu terdapat hipoksemia dalam tingkat tertentu,
akibat pirau darah melalui daerah paru yang tak mengalami ventilasi dan
konsilodasi.Untuk membantu dalam menegakkan diagnosis dan mengikuti
perjalanan pneumonia dapat dilakukan radiogram dada, hitung leukosit dan
pemeriksaan sputum terdiri dari pemeriksaan dengan mata telanjang dan
mikroskopik serta biakan.
Pneumonia diharapkan sembuh setelah terapi mencapai 2-3 minggu.
Bila lebih lama perlu di curigai adanya infeksi kronik oleh bakteri anaerob
atau non bakteri seperti oleh jamur, mikobacterium atau parasit. Karena itu
perlu penyelidikan lebih lanjut terhadap MO penyebab pneumonia Pada umumnya
pasien dengan gangguan imunitas yang berat mempunyai prognosis yang
lebihburuk dan kemungkinan rekurensi yang lebih besar.
3.6 KLASIFIKASI PNEUMONIA
Klasifikasi pneumonia didasarkan pada faktor lingkungan pasien, keadaan
pasien dan mikroorganisme, atau mengaitkannya dengan data-data klinis,
epdemiologi dan pemeriksaan penunjang.
Klasifikasi tradisional berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis,
dibagi atas:
1. Pneumonia tipikal yang bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris
klasik. Gambaran radiologisnya berupa opasitas lobus atau lobaris yang
disebabkan oleh kuman tipikal terutama S.pneumonia, K.pneumonia, atau
H.Influenza
2. Pneumonia Atipikal, ditandai oleh gangguan respirasi yang lambat
dengan gambaran infiltrate paru bilateral yang difus. Penyebabnya
adalah Mycoplasma pneumonia, virus Legionella pneumophila dan Clamidia
psittae. Klasifikasi ini sudah tidak digunakan lagi karena ditemukan
bahwa gambaran radiologis atau laboratorium saling tumpang tindih dan
tidak mencakup pneumonia gambaran yang khas.
- Klasifikasi secara radiologis sesuai dengan lokasi anatomisnya:
1. Pneumonia alveolar. Misalnya Pneumonia pneumococal. Eksudat pada
alveolar memberi gambaran konsolidasi homogen pada perifer yang
terbentang menuju hilus dan cenderung memotong garis segmental. air-
bronkogram biasanya di temukan pada pneumonia jenis ini.
2. Pneumonia lobular (bronkopneumonia) sering ditemukan pada pneumonia
yang disebabkan oleh infeksi stapilococus pada paru, terlihat gambaran
konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen atau lobus atau bercak
yang mengikut sertakan alveoli yang tersebar
3. Pneumonia interstisial yang dapat ditemukan pada infeksi virus dan
Dari beberapa bagian diatas, hanya pneumonia komunitas dan nosokomial yang
lazim dipakai. Mengingat gambaran pneumonia nosokomial yang khas berbeda
dtri pneumonia komunitas, maka diagnosis pneumonia jenis ini menggunakan
kriteria Centre for Disease and Preventoin, USA.
7. DIAGNOSIS PNEUMONIA
Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui:
1. Gambaran Klinis
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-
gejala meliputi:
1. Demam dan menggigil akibat proses peradangan
2. Batuk yang sering produktif dan purulen
3. Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas
4. Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya
serius.
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil,
suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40º C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan
sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-
kadang berdarah.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagiam yang sakit tertinggal
waktu bernafas , pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup,
pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang
kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi
ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan
jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25%
penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia
dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.
3. Gambaran Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara
lain:
Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
segment paru secara anantomis.
Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru
mengecil. Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada
atelektasis.
Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ;
batas lesi dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan
dengan jantung atau di lobus medius kanan.
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis
yang paling akhir terkena.
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign
(terperangkapnya udara pada bronkus karena tiadanya pertukaran udara
pada alveolus).
Foto thorax saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya penyebab pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan
infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas
kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus
1.Pneumonia Lobaris
Foto Thorax
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu
segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang
mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya ditemukan
pada pneumonia jenis ini.
CT Scan
Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai
ke perifer.
1. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)
Foto Thorax
Merupakan Pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkiolus yang
dapat tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus. Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak
homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah kiri.
CT Scan
Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak
menjalar sampai perifer.
2. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial
prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih
terlihat, diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.
CT Scan
Gambaran CT Scan pneumonia interstitial pada seorang pria berusia 19
tahun. (A) Menunjukan area konsolidasi di percabangan
peribronkovaskuler yang irreguler. (B) CT Scan pada hasil follow up
selama 2 tahun menunjukan area konsolidasi yang irreguler tersebut
berkembang menjadi bronkiektasis atau bronkiolektasis (tanda panah)
4. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada sputum
disertai PMN yang kemungkinan penyebab infeksi.
5. Diagnosis Banding Pneumonia
A. Tuberculosis Paru (TB)
B. Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang
tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru
yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Memberikan gambaran
yang mirip dengan pneumonia tanpa air bronchogram. Namun terdapat
penarikan jantung, trakea, dan mediastinum ke arah yang sakit karena
adanya pengurangan volume interkostal space menjadi lebih sempit dan
pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga
akan tampak thorax asimetris.
Atelektasis pada foto thorax proyeksi PA
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis
adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain
batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan
hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam,
lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan.
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax PA
C. Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air bronchogram.
Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan jantung, trakea,
dan mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax membesar. Pada edusi
pleura sebagian akan tampak meniscus sign (+) tanda khas pada efusi pleura.
Efusi pleura pada foto thorax posisi PA
7. PENATALAKSANAAN
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa
alasan yaitu : 1
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia
dapat dilihat sebagai berikut : 1,2,3
1. Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
Marolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
Tikarsilin, Piperasilin
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Sefalosporin gen. 2 atau 3
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrolid
Fluorokuinolon
"Tabel 3. Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001) 3 "
"Kategori "Keterangan "Kuman Penyebab "Obat Pilihan I"Obat Pilihan II "
"Kategori I"Usia "-S.pneumonia "Klaritromisin "Siprofloksasin "
" "penderita "-M.pneumonia "2x250 mg "2x500mg atau "
" "< 65 tahun "-C.pneumonia "-Azitromisin "Ofloksasin 2x400mg "
" "-Penyakit "-H.influenzae "1x500mg "Levofloksasin "
" "Penyerta (-)"-Legionale sp "Rositromisin "1x500mg atau "
" "-Dapat "-S.aureus "2x150 mg atau "Moxifloxacin 1x400mg"
" "berobat "-M,tuberculosis"1x300 mg "Doksisiklin 2x100mg "
" "jalan "-Batang Gram " " "
" " "(-) " " "
"Kategori "-Usia "-S.pneumonia "-Sepalospporin"-Makrolid "
"II "penderita > "H.influenzae "generasi 2 "-Levofloksasin "
" "65 tahun "Batang gram(-) "-Trimetroprim "-Gatifloksasin "
" "- Peny. "Aerob "+Kotrimoksazol"-Moxyfloksasin "
" "Penyerta (+)"S.aures "-Betalaktam " "
" "-Dapat "M.catarrhalis " " "
" "berobat "Legionalle sp " " "
" "jalan " " " "
"Kategori "-Pneumonia "-S.pneumoniae " - "-Piperasilin + "
"III "berat. "-H.influenzae "Sefalosporin "tazobaktam "
" "- Perlu "-Polimikroba "Generasi 2 "-Sulferason "
" "dirawat di "termasuk Aerob "atau 3 " "
" "RS,tapi "-Batang Gram "- Betalaktam +" "
" "tidak perlu "(-) "Penghambat " "
" "di ICU "-Legionalla sp "Betalaktamase " "
" " "-S.aureus "+makrolid " "
" " "M.pneumoniae " " "
"Kategori "-Pneumonia "-S.pneumonia "Sefalosporin "-Carbapenem/ "
"IV "berat "-Legionella sp "generasi 3 "meropenem "
" "-Perlu "-Batang Gram "(anti "-Vankomicin "
" "dirawat di "(-) aerob "pseudomonas) +"-Linesolid "
" "ICU "-M.pneumonia "makrolid "-Teikoplanin "
" " "-Virus "Sefalosporin " "
" " "-H.influenzae "generasi 4 " "
" " "-M.tuberculosis"Sefalosporin " "
" " "-Jamur endemic "generasi 3 + " "
" " " "kuinolon " "
2. Terapi Suportif Umum
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat
disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat
bronkospasme.
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk
dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk
melancarkan ekspirasi dan pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk
untuk melancarkan pernapasan.1
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada
pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama
bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus
diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal
ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
3
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi
ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik.
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan
bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada
pneumonia adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan
menggunakaan masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan
pulmonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini
perlu dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan
menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.3
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress,
dengan atau didapat asidosis respiratorik.
c. Respiratory arrest.
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup
yang didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari
pembentukan CO2 yang berlebihan.3
3. Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk
mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan ini
dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over
(obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi
lebih rendah). Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika
hemodinamik sudah stabil dan perbaikan terbukti secara secara klinis, dapat
menelan obat-obatan, dan memiliki saluran pencernaan berfungsi normal. 4
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah : 3
1. Temp 37,8 C, Kesadaran baik
2. Denyut jantung 100 denyut / menit,
3. Respirasi rate 24 napas / menit
4. Tekanan darah sistolik 90 mmHg
5. Saturasi O2 arteri 90% atau pO2 60 mmHg pada ruang udara,
6. Kemampuan untuk mengambil asupan oral.
8. KOMPLIKASI
1. Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada
infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negative sebesar
60%, Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%, kuman anaerob 35%.
Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar 20%. Cairannya transudat dan
steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan
eksudat.
2. Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia
berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia
pada infeksi kronik, peningguan ureum dan enzim hati. Kadang-kadang
terjadi peninggian fostase alkali dan bilirubin akibat adanya kolestasis
intrahepatik.
3. Hipoksemia akibat gangguan difusi.
4. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru sehingga terjadi
infeksi oleh kuman anaerob dan bakteri gram negative.
5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih
dari 4-6 minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-)
seperti Pseudomonas aeruginosa.
6. Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-anak
tetapi dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada
cystic fibrosis atau hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia
9. PROGNOSIS
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya
antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit
dasar dan kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia pneumokokus
adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan
kondisi yang buruk misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit
paru obstruktif kronik, atau kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya
3 atau lebih lobus dan komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognosis
yang buruk. Kuman gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek. 10
Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu
perawatan di RS kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60 tahun)
dapat berobat jalan kecuali:
1. Bila terdapat penyakit paru kronik
2. PN Meliputi banyak lobus
3. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi
yaitu:
a. Usia > 60 tahun.
b. Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS: frekuensi napas >
30 x/m, tekanan diastolik < 60 mmHg , leukosit abnormal (<4.500-
>30.000)
BAB III
KESIMPULAN
Dewasa ini, kasus pneumonia masih merupakan tantangan bagi bidang
kesehatan terlepas dari perkembangan teknologi dan temuan-temuan terbaru.
Hal ini tentu saja berhubungan dengan tingginya angka kasus dan resistensi
antibiotik yang semakin meningkat. Diagnosa awal dan administrasi
antibiotik segera merupakan prioritas utama dapat mengurangi angka
mortalitas secara signifikan.
Pemeriksaan radiologi berupa foto toraks dapat digunakan untuk
membantu menegakan diagnosis bahkan juga dapat membantu membedakan berbagai
jenis pneumonia berdasarkan temuan yang didapatkan dari hasil foto
tersebut.
Dengan berpegangan pada prinsip-prinsip diatas diharapkan dokter-
dokter dapat memberikan perawatan optimal dan efektif untuk pasien dan
menekan angka morbiditas dan mortalitas serendah mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI, 2009. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008. Pusat Data
Kesehatan. Jakarta.
2. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta.
3. Soedarsono. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit
Paru FK UNAIR. Surabaya
4. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD RSCM; 2007.
5. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ.
Practice guidelines for management community-acquiredd pneumonia in
adults. Clin infect Dis 2000; 31: 347-82
6. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults, CID 2007;44:S27
7. Menendez R, Treatment failure in community-acquired pneumonia,
007;132:1348
8. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia
inpatient and outpatient, Chest 2007;131;1205