I.
PENDAHULUAN
Pneumonia lobaris adalah infeksi parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pneumonia lobaris sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terjadi pada lobus paru. Pneumonia lobaris lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering pneumonia lobaris pada dewasa dan anak besar adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus dan Haemophilus influenzae. influenzae. Agen spesifik penyebab tidak dapat diidentifikasi dalam 40-60% dari kasus. Virus merupakan agen penyebab terbanyak pada pneumonoa lobaris pada anak-anak. Kira-kira 50% dari pneumonia lobaris virus disebabkan oleh virus Respiratory Syncytial Virus (RSV). Sekitar 25% disebabkan oleh parainfluenza dan sebagian kecil oleh influenza A dan B atau adenovirus. adenovirus. Indikator yang sangat berguna dalam memperkirakan agen penyebab pneumonia lobaris adalah kelompok umur. Insidensi pneumonia lobaris di negara-negara yang sedang berkembang pada anak kurang dari 5 tahun diperkirakan sekitar 30% dengan angka mortalitas mortalit as yang tinggi. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan oleh munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya pneumonia lobaris. Pneumonia lobaris merupakan penyakit infeksi paru yang prevalensinya cukup tinggi. Pada tahun 2002, di ruang gawat akut geriatrik RSCM, pneumonia lobaris merupakan penyakit nomor 1 diantara 10 penyakit terbanyak yang masuk yaitu 61% penderita wanita dan 28,5% laki-laki
1
II. ISI
A. Definisi
Pneumonia merupakan masalah umum pada orang lanjut usia dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Pneumonia dianggap sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular pada lanjut usia (Mehr, 2010). Pneumonia lobaris merupakan infeksi parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit (Levison, M. 2000). B. Etiologi
Pada pneumonia lobaris rongga udara dari sebagian atau seluruh lobus secara homogen terisi oleh eksudat yang dapat dilihat pada radiografi sebagai konsolidasi lobular atau segmental. Staphylococcus pneumonia dan Haemophilus influenza bertanggung jawab untuk lebih dari 90% pneumonia lobaris (Kumar, 2007). C. Epidemiologi
Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh pneumococcus, yang sering ditemukan pada orang dewasa dan anak besar. Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan berkurang dengan meningkatnya umur. Pneumonia sangat rentan terhadap bayi berumur di bawah dua bulan, berjenis kelamin laki-laki, kurang gizi, berat badan lahir rendah, tidak mendapatkan ASI yang memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai, dan defisiensi vitamin A (Santoso et al., 2007). Insidensi pneumonia lobaris di negara-negara yang sedang berkembang pada anak kurang dari 5 tahun diperkirakan sekitar 30% dengan angka mortalitas yang tinggi. Penyakit ini masih merupakan
2
masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan oleh munculnya organisme
nosokomial
organisme-organisme
yang
resisten
baru
dan
terhadap penyakit
antibiotik. seperti
Adanya Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya pneumonia lobaris (Santoso et al., 2007). Pneumonia lobaris merupakan penyakit infeksi paru yang prevalensinya cukup tinggi. Pada tahun 2002, di ruang gawat akut geriatrik RSCM, pneumonia lobaris merupakan penyakit nomor 1 diantara 10 penyakit terbanyak yang masuk yaitu 61% penderita wanita dan 28,5% laki-laki (Santoso et al., 2007). D. Faktor resiko
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas, namun pada kebanyakan pasien dewasayang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh (Dahlan, 2009). Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes melitus (DM), payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, diabetes melitus, keadaan imunodefisiensi, kelemahan atau kelainan struktur organ dada dan penurunan kesadaran (Dahlan, 2009). E. Tanda dan gejala
Berikut merupakan tanda dan gejala yang terdapat pada pneumonia lobaris: 1.
Hidung tersumbat.
2. Nafsu makan menurun. 3.
Suhu dapat naik sampai 39 o C atau lebih.
4.
Gelisah.
3
5.
Dispneu.
6. Nyeri pleuritik pada daerah lobus yang terkena. 7.
Myalgia.
8.
Sianosis di sekitar mulut dan hidung.
9.
Pernafasan cuping hidung.
10. Batuk setelah perjalanan penyakit lebih lanjut. 11. Sputum berwarna merah karat. 12. Suara nafas bronkial (Soedarsono, 2004). F. Penegakan diagnosis
A. Anamnesis Anamnesis pada penderita menunjukkan tanda-tanda seperti nafsu makan menurun, batuk berdahak, myalgia, nyeri pleuritik pada daerah lobus yang terkena, dan sesak nafas. Biasanya anak lebih suka tiduran pada sebelah dada yang terkena (Soedarsono, 2004). B. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi dan palpasi
: pergerakan dada lambat pada sisi yang
sakit. b. Perkusi
: redup.
c. Auskultasi
: ronki (Abdoerrachman, et al ., 2007).
C. Pemeriksaan penunjang a. Foto toraks Pada foto toraks ditemukan infiltrat yang jelas dan gambaran konsolidasi pada salah satu atau beberapa lobus yang terinfeksi. Foto toraks dapat pula menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelectasis, abses paru, neumotoraks, pneumomediastinum atau perikarditis (Abdoerrachman et al ., 2007). b. Pemeriksaan sputum Pada pemeriksaan sputum yang diambil dari sekresi batuk, akan ditemukan bakteri atau virus penyebab pneumonia (Soedarsono, 2004).
4
c. Pemeriksaan darah tepi Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.00040.000/mm3 sedangkan pemeriksaan darah tepi lainnya biasanya normal (Abdoerrachman et al., 2007). G. Patogenesis
Gambaran patologis dalam batas tertentu tergantung pada agen etiologis. Pneumonia bakteri ditandai oleh eksudatt entraalveolar supuratif disertai konsolidasi. Kasus pneumonia bakteri kebanyakan disebabkan oleh
bakteri
Pneumonia
pneumococcus.
Proses
infeksi
dapat
diklasifikasikan berdasarkan anatomi. Pneumonia lobaris menunjukkan daerah infeksu yang terjadi pada satu atau lebih lobus. Pneumonia lobularis atau bronkopneumonia menunjukkan penyebaran daerah infeksi yang ditandai dengan bercak berdiameter sekitar 3-4 cm mengelilingi dan mengenai bronkus. Stadium dari pneumonia bakteri yang disebabkan oleh bakteri Pneumonia pneumococcus yang tidak diobati adalah: 1.
Penyumbatan (4-12 jam pertama); eksudat serosa masuk kedalam alveolus dari pembukuh darah yang bocor.
2.
Hepatisasi merah (48 jam berikutnya); paru-paru tampak merah dan tampak
bergranula
karena
eritrosit,
fibrin,
dan
leukosit
polimorphonucleus (PMN) mengisi alveolus. 3.
Hepatisasi Kelabu (3-8 hari): paru-paru tampak berwarna abu-abu karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi didalam alveolus yang terserang.
4.
Pemulihan (7-11 hari): eksudat mengalami lisis dan direabsorbsi oleh makrofag
sehingga
jaringan
kembali
kepada
struktur
semula
(Somantri, 2007). H. Patofisiologi
Setelah kuman menempel pada lobus paru, makrofag terpanggil untuk menangkap kuman tersebut untuk melakukan fagositosis. Hal ini memicu sel T untuk aktif dan memanggil set Tc untuk berproliferasi dan
5
menghasilkan berbagai leukotrien sebagai mediator inflamasi dan mengeluarkan asam arakidonat yang akan membuat prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase (cox) (Hassan et al ., 2006). Adanya leukotrien akan menyebabkan hipersekresi mukus pada bagian lobus paru yang terkena infeksi kuman yang akan menyebabkan sesak nafas. Oleh karena itu, pada gambaran histopatologi, bagian lobus paru yang terkena infeksi akan terlihat alveolus yang penuh dengan eksudat dominan leukosit polimorfonuklear (PMN). Daerah ini dalam pandangan makroskopis disebut sebagai daerah konsolidasi (Hassan et al ., 2006). Mediator prostaglandin memberi pengaruh terhadap hipotalamus. Prostaglandin dapat memicu hipotalamus untuk menaikkan set point suhu tubuh, sehingga suhu tubuh akan menjadi lebih tinggi yaitu 39 o C atau lebih (Soedarsono, 2004). Kuman penyebab pneumonia lobaris, seperti Staphylococcus aureus, akan menghasilkan bermacam-macam toksin dan enzim, misalnya hemolisin, lekosidin, stafilokinase dan koagulase. Permukaan pleura biasanya diselubungi oleh lapisan eksudat fibropurulen tebal, sehingga menimbulkan abses yang mengandung koloni stafilokokus, lekosit, eritrosit dan debris nekrosis. Bila abses ini pecah maka dapat terbentuk trombus-trombus sepsis pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan dan peradangan luas (Behrman et al., 2000). Secara umum, setelah kuman menempel pada alveoli paru, terdapat 4 stadium yang terjadi pada pneumonia lobaris, yaitu stadium kongesti, hepatisasi merah, hepatisasi abu-abu, dan resolusi (Hassan et al ., 2006). Stadium kongesti terjadi setelah 4 sampai 12 jam pertama. Pada stadium ini, eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor. Selain itu, didapatkan juga eksudat yang jernih, makrofag, dan neutrofil dalam alveoli (Hassan et al ., 2006). Setelah 48 jam pertama, stadium hepatisasi merah terjadi dalam waktu yang singkat. Pada stadium ini, paru-paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel darah merah, fibrin, dan leukosit PMN mengisi
6
alveoli. Lobus dan lobules yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara serta warna menjadi merah (Hassan et al ., 2006). Stadium yang ketiga adalah stadium hepatisasi abu-abu. Stadium ini terjadi setelah 3 sampai 8 hari. Lobus paru masih tetap padat dan warna merah menjadi tampak kelabu. Hal ini disebabkan oleh lekosit dan fibrin yang mengalami konsolidasi di dalam alveoli. Pada tahap ini, kapiler tidak lagi mengalami kongesti (Hassan et al ., 2006). Stadium resolusi terjadi setelah 7 sampai 11 hari. Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula. Bercak-bercak infiltrat yang terbentuk pada pneumonia lobaris adalah bercak-bercak yang tidak teratur, berbeda dengan bronkopneumonia di mana penyebaran bercaknya mengikuti pembagian dan penyebaran bronkus yang ditandai dengan adanya daerahdaerah konsolidasi terbatas yang mengelilingi saluran-saluran nafas yang lebih kecil (Hassan et al ., 2006). I. Gambaran Histopatologi
Gambar 1 : Makroskopik pneumonia lobaris dengan hepatisasi abu-abu. Lobus bawah mengalami konsolidasi yang merata (Kumar, 2007).
7
Gambar 2 : Tampak sebagian alveoli terisi oleh sel-sel radang, tetapi struktur alveoli masih baik sehingga pneumonia ini umumnya sembuh dengan kerusakan paru yang minimal (Hidayat, 2013). J. Penatalaksanaan
A. Terapi Lama a. Oksigen 1-2 liter/menit b. IVFD dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 3:1, +KCl 10mEq/500ml cairan. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi. c. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip. d. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transpor mukosilier. e. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. f. Antibiotik sesuai hasil biakan. Pemilihan antibiotika berdasarkan etiologi (Mansjoer, 2011). Mikroorganisme
Antibiotik
Streptokokus dan stafilokokus
Penisilin G 50.000 unit/hari/iv atau Penisilin
prokain
600.000
U/kali/hari im atau Ampisilin 100mg/kgBB/hari Seftriakson
8
atau 75-200
mg/kgBB/hari.
M. Pneumoniae
Eritromisin
15 mg/kgBB/hari
atau derivatnya H. influenzae
Kloramfenikol
100mg/kgBB/
Klebsiella
hari atau Sefalosporin
P. aeruginosa
B. Terapi Baru a. Antibiotik Penicilin merupakan terapi yang spesifik. Pada bayi dan anak-anak, pengobatan awal dimulai dengan pemberian penicillin-G dengan dosis 50.000 unit/kgBB/hari secara intramuskular dan ditambah dengan kloramfenikol 50- 75 mg/kgBB/hari. Selain itu, dapat juga diberikan antibiotik spektrum luas seperti ampicillin (Hassan et al ., 2006). b. Antipiretik Untuk mengatasi demam tinggi dapat diberi aspirin (Hassan et al ., 2006). c. Asupan cairan per oral Jenis cairan yang digunakan ialah campuran glkukose 5% dan NaCl 0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah dengan larutan KCl 10mEq/500 ml botol infus (Hassan et al ., 2006). K. Komplikasi
Dapat terjadi komplikasi pneumonia ekstrapulmoner, misalnya pada pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi dijumpai pada 10% kasus berupa meningitis, artritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema. Terkadang dijumpai komplikasi ekstrapulmoner non infeksius bisa dijumpai yang memperlambat resolusi gambaran radiologi paru,
9
antara lain gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru atau infark paru, dan infark miokard akut. Dapat terjadi komplikasi lain berupa
acute
respiratory distress syndrome (ARDS), gagal organ jamak, dan komplikasi lanjut berupa pneumonia nasokomial (Dahlan, 2009). L. Prognosis
Dengan pemberian antibiotik yang adekuat dan dimulai secara dini pada perjalanan penyakit tersebut, mortalitas pneumonia lobaris akibat bakteri pneumokokus selama masa bayi dan masa kanak-kanak sekarang menjadi kurang dari 1% dan selanjutnya morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. Dalam keadaan malnutrisi energi protein akan menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi (Abdoerrachman et al ., 2007).
10
III.
KESIMPULAN
A. Pneumonia lobaris adalah infeksi parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pneumonia lobaris sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terjadi pada lobus paru. B. Penegakan diagnosis pada Pneumonia Lobaris dapat dilakukan dengan anamnesis, pasien datang dengan keluhan nafsu makan menurun, batuk berdahak, myalgia, nyeri pleuritik pada daerah lobus yang terkena, dan sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik terdapat pergerakan dada lambat pada sisi yang sakit, jika diperkusi maka terdapat bunyi redup dan auskultasi dengan bunyi ronki. Pemeriksaan penunjang didapati foto thoraks terlihat infiltrat yang jelas dan gambaran konsolidasi pada salah satu atau beberapa lobus yang terinfeksi. C. Pneumonia lobaris dapat diobati dengan pemberian antibiotik yaitu penicilin, antipiretik untuk mengatasi demam tinggi dan diberi asupan cairan per oral. Jenis cairan yang digunakan ialah campuran glkukose 5% dan NaCl 0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah dengan larutan KCl 10mEq/500 ml botol infus.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman, M.H. et al . 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta: Infomedika Jakarta Behrman, R.E., R.M. Kliegman, dan A.M. Arvin. 2000 . Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 3. Jakarta: EGC Dahlan, Zul. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: FK UI Hassan, A. et al., 2006. Stroke-Associated Pneumonia: Microbiological Data and Outcome. Singapore Medical Journal , vol. 47(3): 204-207 Kumar, Vinay dan Robbins, Stanley. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC Levison, M., 2000. Pneumonia, dalam Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC Mansjoer, Arif dan Triyanti, Kuspuji. 2011. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Mehr, A., Mousavi, J., danTaher, T. 2010. Comparing Community Acquired Pneumonia Between Elderly Population And Others 5(4). 218-222 Soedarsono. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR. Surabaya: FK UNAIR Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Kepewaratan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika Sulkowska, K., P. Palczeweski, dan M. Golebiowski. 2012. Radiological Spectrum of Pulmonary Infections In Patients Post Solid Organ Transplantation. Polish Journal of Radiology, vol. 77(3): 64-70
12