BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan WHO tahun 2001 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %. (2) Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. (1) Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20-35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat pertahun. (5, 6)
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. (2).
Gambar 1. Penyakit Pneumonia 2.2. Epidemiologi Infeksi M. Pnemonia dapat dijumpai di seluruh dunia dan bersifat endemik. Prevalensi kasus yang paling banyak dijumpai biasanya pada musim panas sampai ke awal musim gugur yang dapat berlangsung satu sampai dua tahun. Infeksi tersebar luas dari satu orang ke orang lain dengan percikan air liur (droplet) sewaktu batuk. Itulah sebabnya infeksi kelihatan menyebar lebih mudah antara populasi yang padat manusianya misalnya di sekolah, asrama, pemukiman yang padat dan camp militer. (8) WHO memperkirakan bahwa hingga 1 juta kematian disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae, dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun 2
dengan usia sampai dewasa akhir. Lansia juga berada pada risiko tertentu untuk pneumonia dan kematian terkait penyakit lainnya. Di Inggris, kejadian tahunan dari pneumonia adalah sekitar 6 kasus untuk setiap 1000 orang untuk kelompok usia 18-39. Bagi mereka 75 tahun lebih dari usia, ini meningkat menjadi 75 kasus untuk setiap 1000 orang. Sekitar 20-40% individu yang memerlukan kontrak pneumonia masuk rumah sakit yang antara 5-10% diterima ke Unit perawatan kritis. Demikian pula, angka kematian di Inggris adalah sekitar 5-10%. Individuindividu ini juga lebih cenderung memiliki episode berulang dari pneumonia. Orang-orang yang dirawat di rumah sakit untuk alasan apapun juga beresiko tinggi untuk pneumonia. (1) 2.3. Etiologi Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram Positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram Negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram Negatif. (2) Bakteri Agen penyebab pneumonia dibagi menjadi organisme Gram Positif atau Gram Negatif seperti: Streptococcus pneumoniae (pnemokokus), Streptococcus piogenes, Staphylococcus aureus, Klebsiela pneumonia, Legionella, Haemophilus influenza. (7) Virus Influenza virus, Parainfluenza virus, Syncytial adenovirus, chicken-pox (cacar air), Rhinovirus, Sitomegalovirus, Virus herpes simpleks, Hanta virus. (7) Fungi Aspergilus,
Fikomisetes,
Blastomisetes
dermatitidis,
Histoplasma
kapsulatum. (7) Aspirasi 3
Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda asing. (7) Tabel 1. Penyebab Penemonia Dan Kenapa Bisa Terjadi. (4) Bakteri
Penumonia akibat bakteri ini biasanya terjadi setelah flu, demam, atau ISPA yang menurunkan system imunitas tubuh. Sistem imunitas yang lemah menjadi keadaan yang baik untuk bakteri berkembang biak di paru, dan menimbulkan penyakit. Bermacam-macam bakteri dapat menyebabkan pneumonia, yang
tersering
adalah
Streptococcus
pneumoniae
(pneumococcus) dapat disebarkan apabila orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau menyentuh objek dengan tangan yang terkontaminasi. Pneumonia akibat bakteri ini dapat menjadi Virus
lebih serius bila dibandingkan dengan pneumonia akibat virus. Bermacam-macam virus dapat menyebabkan pneumonia. Contohnya termasuk influenza, chickenpox, herpes simplex, and respiratory syncytial virus (RSV). Virus dapat ditularkan antar manusia ke manusia lain melalui batuk, bersin atau menyentuh objek dengan tangan yang terkontaminasi yang
Jamur
berkontak dengan cairan dari orang yang terinfeksi. Bermacam-macam jamur dapat menyebabkan pneumonia. Yang paling sering adalah jamur yang terhirup dari udara luar/
Aspirasi
lingkungan. Pneumonia aspirasi terjadi apabila materi/ bahan-bahan dalam lambung atau benda asing terhirup masuk ke saluran pernafasan, menyebabkan cedera, infeksi atau penyumbatan.
Beberapa kelompok-kelompok mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi untuk terkena pneumonia, yaitu antara: 1. Usia lebih dari 65 tahun. 2. Merokok. 3. Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun dikarenakan penyakit kronis lain. 4. Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma, PPOK, dan emfisema.
4
5. Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes dan penyakit jantung. 6. Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi organ, kemoterapi atau penggunaan steroid lama. 7. Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke, obat-obatan sedatif atau alkohol, atau mobilitas yang terbatas. 8. Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas oleh virus (7) Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Hasil penelitian 44-85% CAP disebabkan oleh bakteri dan virus, dan 25-40% diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen. Patogen penyebab pneumonia bervariasi tergantung: 1. Usia. 2. Status lingkungan. 3. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara). 4. Status imunisasi. 5. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). (7) Ada beberapa faktor utama pathogen tertentu pada peneumonia selain diatas (4)
adalah:
Sebagian besar pneumonia bakteri didahului dulu oleh infeksi virus. Etiologi menurut umur, dibagi menjadi: 1. Bayi baru lahir (neonatus – 2 bulan).
5
Organisme saluran genital ibu: Streptokokus grup B, Escheria coli dan kuman Gram negatif lain, Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis: tersering, Sifilis congenital pneumonia alba. Sumber infeksi lain: Pasase transplasental, aspirasi mekonium, dan CAP. 2. Usia > 2 – 12 bulan. Streptococcus aureus dan Streptokokus grup A tidak sering tetapi fatal. Pneumonia dapat ditemukan pada 20% anak dengan pertusis. 3. Usia 1 – 5 tahun Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus tersering Chlamydia pneumonia: banyak pada usia 5-14 tahun (disebut pneumonia atipikal). 4. Usia sekolah, remaja sampai dengan dewasa S. pneumonia, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumonia (pneumonia atipikal) terbanyak.
(8).
Ada beberapa factor lain yang dapat
meningkatkan resiko infeksi oleh pathogen tertentu pada pneumonia komunitas (4)
seperti dibawah ini:
2.4. Patofisiologi Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi 6
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. (2) Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 1. Inokulasi langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4. Kolonisasi dipermukaan mukosa. (2) Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse) (2) Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia (2) Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama (2) Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu: 1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ kongesti)
7
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari selsel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. (3) 2. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. (3) 3. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. (3) 4.
Stadium IV (7 – 11 hari)
8
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. (3) 2.5. Klasifikasi 1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis: a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) b. Pneumonia
nosokomial
(hospital-acqiured
pneumonia/nosocomial
pneumonia) c. Pneumonia aspirasi d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan (2) 2. Berdasarkan bakteri penyebab a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza. b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia c. Pneumonia virus d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised) (2) 3. Berdasarkan predileksi infeksi a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya: pada aspirasi benda asing atau proses keganasan. Di bawah ini gambar foto radiologi pada pneumonia lobaris:
9
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. Di bawah ini gambar foto thorax bronkopneumonia:
c. Pneumonia interstisial (2) 2.6. Diagnosa 1. Gambaran klinis a. Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. Bisa juga ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan faktor infeksi: •
Evaluasi faktor predisposisi : PPOK : H. Influenza Penyakit kronik : lebih dari satu kuman kejang / tidak sadar : aspirasi Gram negatif, anaerob Penurunan imunitas : gram negatif Kecanduan obat bius : staphylococcus 10
•
Bedakan lokasi infeksi PK : S. Pneumoniae, H. Influenza, M. Pneumoniae Rumah jompo PN : Staphylococcus aureus
•
Usia pasien Bayi : virus Muda : M. Pneumoniae Dewasa : S. Pneumoniae
•
Awitan Cepat, akut, dengan rusty coloured sputum : S. Pneumoniae Perlahan, batuk dengan dahak sedikit : M. Pneumoniae
b. Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (2) 2. Pemeriksaan penunjang a. Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan
infiltrat
bilateral
atau
gambaran
bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
11
Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto toraks dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4 – 12 minggu. b. Pemeriksaan labolatorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (2) Dibawah ini beberapa kriteria diagnostik pneumonia nosokomial menurut CDC:
2.7. Diagnosa Banding 1. Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan. (4)
12
2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. (4) 3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. COPD juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan. (4) 4. Bronchitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paruparu). Penyakit bronchitis biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut, bronchitis bisa bersifat serius. (4) 5. Asma bronkial, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran pernapasan, sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan paru dalam menyimpan oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti semakin buruk kondisi asma. (9) 2.8. Penatalaksanaan Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu : 1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa 2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. 3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu (2) Pengobatan Pneumoni dibagi menjadi dua antara lain : a. Pneumoni Komunitas Kelompok I : pasien berobat jalan tanpa riwayat penyakit jantung paru dan tanpa adanya faktor peubah (resiko pneumokokkus resisten, infeksi gram negatif, resiko infeksi P. Aeruginosa-RPA.
13
Kelompok II : pasien berobat jalan dengan riwayat penyakit jantung paru dengan atau tanpa adanya faktor peubah. Kelompok IIIa. : pasien dirawat di RS diluar ICU. Kelompok IIIb. : pasien tidak disertai tidak disertai penyakit jantung – pare dan tidak ada faktor pengubah. Kelompok IV : pasien dirawat di ICU ( a. Tanpa resiko persisten P. Aeruginosa-RPA dan b. Dengan resiko).
b. Pneumoni Nosokomial Pemberian terapi empirik antibiotik awal untuk pneumonia nosokomial yang tidak disertai faktor resiko untuk patogen resisten jamak, dengan onset dini pada semua tingkat berat sakit adalah dengan
antibiotik
spektrum terbatas :
14
Atau dengan menggunakan antibiotik spektrum luas :
Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. Jika ada faktor resiko resistensi maka antibiotik diberikan secara kombinasi, jika tidak ada resiko maka diberikan monoterapi. Modifikasi antibiotik biasanya diberikan setelah didapat hasil bakteriologik dari bahan sputum atau darah. Respon terhadap antibiotik dievaluasi dalam 72 jam. 2.9. Komplikasi Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran 15
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi. (2) Pneumonia biasanya dapat obati dengan baik tanpa menimbulkan komplikasi. Bagaimanapun, komplikasi dapat terjadi pada beberapa pasien terutama penderita yang termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi (faktor risiko). Akumulasi cairan: cairan dapat menumpuk diantara pleura dan bagian bawah dinding dada (disebut efusi pleura) dan dapat pula terjadi empiema. Chest tube (atau drainage secara bedah) mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan cairan. (1) Abses: pengumpulan pus (nanah) pada area yang terinfeksi pneumonia disebut dengan abses. Biasanya membaik dengan terapi antibiotik, namun meskipun jarang terkadang membutuhkan tindakan bedah untuk membuangnnya. Bakteremia: Banteremia muncul bila infeksi pneumonia menyebar dari paru masuk ke peredaran darah. Ini merupakan komplikasi yang serius karena infeksi dapat menyebar dengan cepat melaui peredaran darah ke organ-organ lain. (1) Kematian: walaupun sebagian besar penderita dapat sembuh dari pneumonia, pada beberapa kasus dapat menjadi fatal. Kurang dari 3% penderita yang dirawat di rumah sakit dan kurang dari 1% penderita yang dirawat di rumah meninggal dunia oleh peneumonia atau komplikasinya. (1) 2.10. Prognosis Prognosis penyakit pneumonia secara umum baik, tergantung dari kuman penyebab dan penggunaan antibiotika yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik serta intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. (4) 1. Pneumonia Komunitas Kejadian PK di USA adalah 3.4-4 juta kasus pertahun, dan 20% di antaranya perlu dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab kematian no. 6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien CAP yang dirawat di ICU 16
adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor perubah yang ada pada pasien. (4) 2. Pneumonia nasokomial Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50%, yang bisa mencapai 70% bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteremia terutama oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp. (4).
17
BAB III PNEUMONIA KOMUNITI 3.1. Pneumonia Komuniti Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia (2). 3.2. Etiologi Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut (2): Klebsiella pneumoniae 45,18% Streptococcus pneumoniae 14,04% Streptococcus viridans 9,21% Staphylococcus aureus 9% Pseudomonas aeruginosa 8,56% Steptococcus hemolyticus 7,89% Enterobacter 5,26% Pseudomonas spp 0,9% 3.3. Diagnosis Pneumonia Komuniti Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
18
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini: a. Batuk-batuk bertambah b. Perubahan karakteristik dahak/purulen c. Suhu tubuh > 380C (aksila) /riwayat demam d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki e. Leukosit > 10.000 atau < 4500 3.4. Penilaian Derajat Keparahan Penyakit Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini : Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini (2). a. Kriteria minor: • Frekuensi napas > 30/menit • Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg • Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral • Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus • Tekanan sistolik < 90 mmHg 19
• Tekanan diastolik < 60 mmHg b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut : • Membutuhkan ventilasi mekanik • Infiltrat bertambah > 50% • Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) • Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis c. Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah: 1. Skor PORT lebih dari 70 2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini. •
Frekuensi napas > 30/menit
•
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
•
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
•
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobuS
•
Tekanan sistolik < 90 mmHg
•
Tekanan diastolik < 60 mmHg
Pneumonia pada pengguna NAPZA d.
Kriteria perawatan intensif Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif. (2)
3.5. Pneumonia atipik
20
Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula dijumpai bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia
pneumoniae,
Legionella
spp.
Penyebab
lain
Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus. (2)
3.6. Penatalaksanaan Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah: (2) a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin Umur lebih dari 65 tahun Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir Pecandu alcohol Penyakit gangguan kekebalan Penyakit penyerta yang multiple Bakteri enterik Gram negative
21
Penghuni rumah jompo Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru Mempunyai kelainan penyakit yang multiple Riwayat pengobatan antibiotik b. Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi: a. Penderita rawat jalan • Pengobatan suportif / simptomatik - Istirahat di tempat tidur - Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi - Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas - Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran Pemberian antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa Pengobatan suportif / simptomatik - Pemberian terapi oksigen - Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit - Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif • Pengobatan suportif / simptomatik - Pemberian terapi oksigen - Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit d. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik • Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam • Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif. (2)
22
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti. c. Pengobatan pneumonia atipik: Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan : � Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin) � Fluorokuinolon respiness � Doksisiklin(2) d. Terapi Sulih (switch therapy) Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. (2)
23
Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). • Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin • Contoh switch over: seftasidin iv ke siprofloksasin oral • Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral. Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan. (2) e. Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti: • Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi • Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna • Penderita sudah tidak panas ± 8 jam • Gejala klinik membaik (mis: frekuensi pernapasan, batuk) • Leukosit menuju normal/normal 3.7. Evaluasi pengobatan Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24-72 jam tidak ada perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteripenyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar 1. (2)
24
3.8. Prognosis Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.(2) 3.9. Pencegahan • Pola hidup sebut termasuk tidak merokok • Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , 25
diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3. (2)
BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa satu dari tiga kematian bayi baru lahir disebabkan pneumonia. Lebih dari dua juta anak di bawah lima tahun meninggal setiap tahun di seluruh dunia. WHO juga memperkirakan bahwa hingga 1 juta ini (vaksin dicegah) kematian disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae, dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara berkembang. Etiologi pneumonia antara lain: 1. Bakteri: Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander. 2. Virus:
Respiratory
syncytial
virus,
virus
influenza,
adenovirus,
cytomegalovirus. 26
3. Jamur:
Mycoplasma
pneumoces
dermatitides,
Coccidioides
immitis,
Aspergillus, Candida albicans. 4. Aspirasi: Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda asing. Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dibantu dengan pemeriksaan penunjang, antara lain: pemeriksaan radiologis, laboratorium, dan bakteriologis.
DAFTAR PUSTAKA 1. American Thoracic Society. 2001. Guidelines for management of adults with community-acquired
pneumonia.
Diagnosis,
assessment
of
severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med; 163: 173054. 2. PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 3. Fauci, et al,. 2009. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th Edition. By The Mc Graw-Hill Companies In North America. 4. Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI. 5. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Badan Litbang Depkes RI, Jakarta 2002. 6. Laporan tahunan bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta tahun 2002. 7. Leman,
2007.
Pneumonia
dan
Bronkopneumoia
di
Indonesia.
http://www.scribd.com/doc/7688175/referat-bronkopneumonia. 8. Helmi
et
all.
2005.
Pnemonia
Mikoplasma.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2033/1/anak-helmi3.pdf. 27
9. Kurniawan, dkk.
2009. Pneumonia Pada Dewasa. FK Universitas Riau.
Pekanbaru. http://belibis-a17.com/2009/10/11/pneumonia-pada-dewasa/.
28