LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN KEGAWATDARURATA N PASIEN DENGAN KEJANG DEMAM SEDERHANA (KDS)
Oleh: I GUSTI AYU ARI DEWI NIM. PO7120214037 D-IV KEPERAWATAN ANGKATAN II, TINGKAT IV, SEMESTER VII
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN TAHUN 2017
I. Konsep Dasar Teori Kejang Demam A. Defenisi
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009). Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil, 2011). Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang pada penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau lebih serangan kejang. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering dijumpai pada anak usia di bawah umur 5 tahun.Dari pengertian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud kejang demam adalah perubahan potensial listrik cerebral cerebr al yang berlebihan akibat kenaikan suhu dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.
B. Klasifikasi
I. Konsep Dasar Teori Kejang Demam A. Defenisi
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009). Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil, 2011). Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang pada penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau lebih serangan kejang. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering dijumpai pada anak usia di bawah umur 5 tahun.Dari pengertian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud kejang demam adalah perubahan potensial listrik cerebral cerebr al yang berlebihan akibat kenaikan suhu dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.
B. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2004).
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang demam sederhana antara lain : a. Berlangsung singkat (< 15 menit) b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik. c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam. 2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang demam kompleks antara lain : a. Berlangsung lama (> 15 menit). b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya melibatkan salah satu bagian tubuh. c. Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. d. Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian anggota tubuh.
C. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8 oC dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona (Dona Wong L, 2008). 2008). Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil, 2011).Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, t onsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009). Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak. Demam sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38°C bahkan kurang, sedangkan padaanak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C bahkan bahkan lebih. Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al , 2009). Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009) 1. Riwayat kejang demam dalam keluarga 2. Usia kurang dari 18 bulan 3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang 4. Lamanya demam. 5. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009) 6. Adanya gangguan perkembangan neurologis 7. kejang demam kompleks 8. riwayat epilepsi dalam keluarga 9. lamanya demam
D. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-. Akibatnya konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya
mekanisme,
kimiawi,
atau
aliran
listrik
dari
sekitarnya.
Perubahanpatofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Judha & Rahil, 2011). Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen. Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuhmengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot. Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi
pada neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang. Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).
E. Tanda Dan Gejala
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul pada penderita kejang demam : 1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C. 2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan. 3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya (penurunan kesadaran) Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam. Ada 7 kriteria antara lain: 1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 ta hun. 2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit. 3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja). 4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam. 5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan. 6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan 7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha & Rahil, 2011)
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi: 1. Darah a. Glukosa
darah:hipoglikemia
merupakan
predisposisi
kejang
(N<200mq/dl) b. BUN:peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. c. Elektrolit:Kalium, natrium.Ketidakseimbngan elektrolit merupakan predisposisi kejang d. Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl) e. Natrium (N 135-144 meq/dl) 2. Cairan
cerebo
spinal:mendeteksi
tekanan
abnormal
dari
CCS
tanda
infeksi,pendarahan penyebab kejang 3. X Ray:untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi 4. Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala 5. EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang,hasil biasanya normal. 6. CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma,cerebral oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut : a. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak. b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas. c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan khusus. e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat. f. Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntahmuntah yang berat, atau anak terus tampak lemas. Menurut, Riyadi,
Sujono
&
Sukarmin
(2009),
menyatakan
bahwapenatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain: a. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler. b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak mem baik dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian
cairan
intravena
untuk
mencukupi
kebutuhan
dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jamperlu dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu dihindari. e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres). Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali pemberian). f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan craa menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih 15° (posisi tubuh pada garis lurus) g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian) hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian. h. Pengobatan penyebab. Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang
lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang demam.
2. Setelah Kejang Demam Berhenti Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam untuk mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan berupa : a. Antipiretik Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau tiap 6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa hiperhidrosis. Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3 kali (8 jam). b. Antikonvulsan Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam untuk menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam rectal dosis 0,5 mg/kgBB sebanyak 3 kali per hari.
3. Pencegahan Kejang Demam a. Pencegahan Primordial Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya primordial dapat berupa: 1) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya untuk meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jika status gizi anak baik maka akan meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya demam. 2) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih dan sehat akan sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak sehingga anak dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi. b. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang anak mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok yang mempunyai faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan keluarga/orang terdekat dengan anak dapat mencegah terjadinya serangan kejang demam. Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam. Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak mengalami demam segera kompres anak dengan air hangat dan berikan antipiretik untuk menurunkan demamnya meskipun tidak ditemukan bukti bahwa pemberian antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya kejang demam. c. Pencegahan Sekunder Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami kejang demam. Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam pada anak meliputi: 1) Pengobatan Fase Akut Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, bila perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan kejang dilakukan dengan cara memberikan obat antikejang kepada penderita. Obat yang diberikan adalah diazepam. Dapat diberikan melalui intravena maupun rektal.
2) Mencari dan mengobati penyebab Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut, otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lainlain. Untuk mengobati penyakit infeksi tersebut diberikan antibiotik yang
adekuat. Kejang dengan suhubadan yang tinggi juga dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada anak penderita kejang demam berusia kurang dari 2 tahun. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk mengalami epilepsi. 3) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu: a) Profilaksis intermitten pada waktu demam Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera diberikan pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Obat yang dapat diberikan berupa diazepam, klonazepam atau kloralhidrat supositoria. b) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah: (1)Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan perkembangan neurologis. (2)Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung. (3)Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap. Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 12 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak
dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang dapat diberikan berupa fenobarbital dan asam valproat. d. Pencegahan Tersier Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita kejang demam mempunyai risiko untuk mengalami kematian meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, jika penderita kejang demam kompleks tidak segera mendapat penanganan yang tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan sel saraf (neuron). Oleh karena itu, anak yang menderita kejang demam perlu mendapat penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna mencegah timbulnya kecacatan bahkan kematian.
H. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain: 1. Kejang Demam Berulang. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam yaitu : a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama b. Riwayat kejang demam dalam keluarga c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam d. Riwayat demam yang sering e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Berdasarkan penelitian kohort prospektif yang dilakukan Bahtera, T., dkk (2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang, dimana subjek penelitian adalah penderita kejang demam pertama yang berusia 2 bulan - 6 tahun, kemudian selama 18 bulan diamati. Subjek penelitian berjumlah 148 orang. Lima puluh enam (37,84%) anak mengalami bangkitan kejang demam berulang.30
2. Kerusakan Neuron Otak.
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang makin meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron otak.
3. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat. 4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu : a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung. b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama. c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks. Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari semua anak yang menderita kejang demam akan berkembang menjadi epilepsi, 10% dari semua anak yang menderita kejang demam yang mempunyai dua atau tiga faktor risiko di atas akan berkembang menjadi epilepsi.
5. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu timbul spasitas.
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan A. Pengkajian
1. Survey Primer Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari
Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) : a. Airway maintenance dengan cervical spine protection b. Breathing dan oxygenation c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat e. Exposure dengan kontrol lingkungan Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka ( American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment , intervention, reassessment ). Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) a. A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang terlalu tinggi merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan , sehingga jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan persyarafan pada anggota gerak tubuh. wajah yang membiru, lengan dan
kakinya tesentak-sentak tak terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat membahayakan keselamatan anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan. Diagnosa: - Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas - Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan Tindakan yang dilakukan : - Semua pakaian ketat dibuka - Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung - Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen - Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen. Evaluasi : - Inefektifan jalan nafas tidak terjadi - Jalan nafas bersih dari sumbatan - RR dalam batas normal - Suara nafas vesikuler
b. B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis. Diagnosa: - Gangguan pertukaran gas - Gangguan ventilasi spontan Tindakan yang dilakukan : - Mengatasi kejang secepat mungkin - Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena. - Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen Evaluasi : - RR dalam batas normal - Tidak terjadi asfiksia - Tidak terjadi hipoxia
c. C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi. Tindakan yang dilakukan : - Mengatasi kejang secepat mungkin - Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena. Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah : - Semua pakaian ketat dibuka - Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung - Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen Evaluasi : - Tidak terjadi gangguan peredaran darah - Tidak terjadi hipoxia - Tidak terjadi kejang - RR dalam batas normal
d. Disability Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang - Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak e. Exposure Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien untuk mengetahui suhu tubuh yangmana kejang mungkin disebabkan atau didahului oleh terjadinya demam. Diagnosa: - Risiko ketidakefektifan termoregulasi Tindakan: - Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat kejang yang dialami - Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan termoregulasi.
2. Survey sekunder a. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. b. Keluhan utama: Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit: Klien
yang
berhubungan
dengan
faktor
resiko
bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obatobat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain. 1) Riwayat kesehatan 2) Riwayat keluarga dengan kejang 3) Riwayat kejang demam 4) Tumor intrakranial 5) Trauma kepala terbuka, stroke d. Riwayat kejang : 1) Bagaimana frekuensi kejang. 2) Gambaran kejang seperti apa 3) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal. 4) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan 5) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena. 6) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai. e. Pemeriksaan fisik 1) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku 2) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas 3) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot 4) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi 5) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.
Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey adalah sebagai berikut. Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah: 1) Aktifitas / Istirahat Gejala : Keletihan, kelemahan umum Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain. Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot 2) Sirkulasi Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan. 3) Eliminasi Gejala : Inkontinensia episodik. Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfi ngter. Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ). 4) Makanan dan cairan Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktifitas kejang. 5) Neurosensori Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral. 6) Nyeri / kenyaman Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal. Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati – hati. Perubahan pada tonus otot. Tingkah laku distraksi / gelisah. 7) Pernafasan Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.
B. Diagnosa
1. Risiko aspirasi 2. Hipertermia 3. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak 4. Diare 5. Risiko Kekurangan Volume Cairan 6. Gangguan ventilasi spontan 7. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
C. Intervensi DIAGNOSA
NOC
Risiko Aspirasi
Definisi:
risiko,
masuknya
sekresi gastrointestinal, sekresi
□
NIC Label
Aspiration Control
Aspiration precaution
□
atau
□
cairan kedalam saluran
□
trakeobronkial
□
Faktor risiko: □
NOC Label :
orofaring,
kotoran/debu
NIC
klien
dapat
bernafas
□
tingkat
dengan mudah
kesadaran, reflek batuk
frekuensi nafas normal
dan
jalan nafas paten
menelan
tidak
ada
suara
nafas
□
kemampuan
lakukan
suction
jika
diperlukan
abnormal
penurunan
monitor
motilitas
□
monitor status oksigen,
gastrointestinal
pelihara kepatenan jalan
pengosongan lambung
nafas
yang lambat □
penurunan
tingkat
kesadaran □
rahang kaku
Hipertermia
Setelah
Batasan Karakteristik :
□ Apnea □ Bayi
dilakukan
keperawatan
tindakan ..x..
diharapkan tidak
dapat
mempertahankan dalam
NIC :
jam perature Regulation
mampu
□ Monitor suhu paling tidak
suhu
setiap 2 jam , sesuai
mempertahankan
tubuh
rentang
menyusui
normal dengan kriteria :
kebutuhan □ Pasang alat monitor suhu
□ Gelisah
NOC :
inti secara kontinu, sesuai
□ Hipotensi
Thermoregulation
kebutuhan
□ Kejang
□ Suhu
tubuh
dalam
□ Monitor tekanan darah,
□ Koma
rentang normal (36,5 0C –
nadi, dan respirasi, sesuai
□ Kulit kemerahan
37,5 0C)
kebutuhan
□ Kulit terasa hangat □ Letargi □ Postur abnormal □ Stupor
□ Denyut
nadi
dalam
rentang normal □ Respirasi
dalam
□ Monitor suhu dan warna kulit
batas
normal (16 – 20x/menit)
□ Monitor
dan
laporkan
adanya tanda dan gejala
□ Takikardia
□ Tidak menggigil
□ Takipnea
□ Tidak dehidrasi
□ Vasodilatasi
□ Tidak
dari hipertermia □ Tingkatkan intake cairan
mengeluh
sakit
kepala Faktor yang berhubungan :
□ Agen farmaseutikal □ Aktivitas berlebihan
□ Instruksikan
□ Warna kulit normal
tubuh
dalam
rentang normal (36,5 0C –
□ Iskemia
37,5 0C) yang
tidak
sesuai laju
metabolisme
□ Denyut jantung normal
kebuthan
(16-20 x/menit)
tinggi □ Trauma
rentang
normal
□ Tekanan darah sistolik
dan
normal
(90-120 mmHg)
rentang
normal
(70-90 mmHg) □ Kedalaman
emergensi
akibat
panas
penanganan yang
tepat,
sesuai kebutuhan
□ Tekanan darah diastolik dalam
pasien
mengenai indikasi adanya kelelahan
rentang
yang sesuai
□ Informasikan
□ Irama napas vesikuler
dalam
dan
demam
□ Tingkat
□ Penyakit
lingkungan
pentingnya
kemungkinan efek negatif
berlebihan,
dalam
□ Suhu
□ Diskusikan
dari
pernapasan
dan
serangan panas
□ Irama jantung normal
□ Penurunan perspirasi
□ Sepsis
panas
termoregulasi
(60-100 x/menit)
□ Peningkatan
mencegah
keluarnya
□ Dehidrasi
□ Pakaian
pasien
bagaimana
Vital Sign
□ Suhu
dan nutrisi adekuat
□ Gunakan
matras
pendingin, selimut yang mensirkulasikan
inspirasi
dalam rentang normal
mandi air hangat, kantong es atau bantalan jel, dan kateterisasi
Infection Severity
air,
pendingin
□ Tidak ada kemerahan
intravaskuler
□ Cairan
menurunkan suhu tubuh,
(luka)
tidak
berbau busuk □ Tidak
ada
sesuai kebutuhan sputum
purulen □ Tidak purulent
□ Sesuaikan lingkungan
ada
untuk
rrainase
suhu untuk
kebutuhan pasien □ Berikan medikasi yang
□ Tidak ada piuria/ nanah dalam urine
tepat
untuk
atau
□ Suhu tubuh stabil (36,5 0C – 37,50C)
mengontrol
menggigil □ Berikan
pengobatan
□ Tidak ada nyeri
antipiretik,
□ Tidak
kebutuhan
mengalami
mencegah
sesuai
lethargy □ Nafsu makan normal
r Treatment
□ Jumlah sel darah putih normal
dalam
rentang
normal (4,10 – 11,00 10^3/µl)
tanda vital lainnya □ Monitor warna kulit dan suhu □ Monitor
Hidration
asupan
□ Turgor kulit elastis
keluaran,
□ Membran
perubahan
mukosa
lembab
dan sadari
kehilangan
cairan yang tak dirasakan
□ Intake cairan adekuat
□ Beri obat atau cairan IV
□ Output urin
(misalnya,
□ Tidak merasa haus
agen
□ Warna urin tidak keruh
agen anti menggigil )
□ Tekanan
darah
dalam
rentang normal □ Denyut
normal
dalam dan
adekuat
□ Tutup
hematokrit ada
dengan
atau
pakaian
ringan, tergantung pada fase
demam
berat badan’
:
selimut
pakaian
atau linen tempat tidur ringan untuk demam dan
□ Otot rileks
fase bergejolak /flush)
□ Tidak mengalami diare Suhu tubuh rentang normal
(yaitu
hangat untuk fase dingin ; menyediakan
penurunan
dan
pasien
memberikan
□ Tidak ada peningkatan
□ Tidak
antipiretik,
antibakteri,
selimut
nadi
rentang
□
□ Pantau suhu dan tanda-
dalam
□ Dorong konsumsi cairan □ Fasilitasi
istirahat,
terapkan
pembatasan
aktivitas-aktivitas
jika
diperlukan □ Berikan
oksigen
yang
sesuai □ Tingkatkan
sirkulasi
udara □ Pantau
komplikasi-
komplikasi
yang
berhubungan
dengan
demam serta tanda dan gejala kondisi penyebab demam
(misalnya,
kejang, penurunan tingkat kesadaran,ketidakseimba ngan
asam
perubahan
basa,
dan
abnormalitas
sel) □ Pastikan tanda lain dari infeksi
yang
terpantau
pada orang karena hanya menunjukkan
demam
ringan atau tidak demam sama sekali selama proses infeksi □ Pastikan
langkah
keamanan
pada
pasien
yang gelisah □ Lembabkan mukosa kering
bibir
hidung
dan yang
Sign Monitoring
□ Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernapasan dengan tepat □ Monitor
dan
laporkan
tanda
dan
gejala
hipertermia □ Monitor
warna
kulit,
suhu, dan kelembaban □ Monitor sianosis sentral dan perifer □ Monitor
akan
adanya
kuku berbentuk clubbing □ Monitor terkait dengan adanya
tiga
tanda
Cushing Reflex (misalnya :
tekanan
nadi
lebar,
bradikardia,
dan
peningkatan
tekanan
darah sistolik) □ Identifikasi kemungkinan perubahan
tanda-tanda
vital
Infection Control
□ Bersihkan dengan digunakan
lingkungan baik
setelah
oleh
setiap
pasien □ Ganti perawatan
peralatan per
pasien
sesuai protokol institusi
□ Pertahankan
teknik
isolasi yang sesuai □ Batasi
jumlah
pengunjung □ Annjurkan
pasien
mengenai teknik mencuci tangan dengan tepat □ Anjurkan untuk
pengunjung
mencuci
tangan
pada saat memasuki dan meninggalkan
ruangan
pasien □ Gunakan
sabun
antimikrobia untuk cuci tangan yang sesuai □ Cuci
tangan
sebelum
setiap
dan
sesudah
tindakan
perawatan
pasien □ Pakai
sarung
sebagaimana oleh
tangan
dianjurkan kebijakan
pencegahan universal □ Pakai pakaian ganti atau jubah
saat
menangani
bahan-bahan
yang
infeksius □ Pakai sarung tangan steril dengan tepat □ Pertahankan
lingkungan
aseptik pemasangan alat
selama
□ Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum □ Pastikan aseptik
penanganan dari
semua
saluran IV □ Gunakan
kateter
intermiten
untuk
mengurangi
kejadian
infeksi kandung kemih □ Berikan terapi antibiotik yang sesuai □ Anjurkan
pasien
meminum
antibiotik
seperti yang diresepkan □ Ajarkan
pasien
dan
keluarga tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya penyedia
kepada perawatan
kesehatan □ Ajarkan anggota
pasien
dan
keluarga
cara
menghindari infeksi.
Infection Protection
□ Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal □ Monitor hitung mutlak granulosit,
WBC,
hasil-hasil diferensial
dan
□ Monitor
kerentanan
terhadap infeksi □ Batasi
jumlah
pengunjung yang sesuai □ Skrining
jumlah
pengunjung
terkait
penyakit menular □ Partahankan
teknik
asepsis pada pasien yang beresiko □ Pertahankan
teknik
isolasi yang sesuai □ Berikan perawatan kulit yang tepat untuk area (yang mengalami) edema □ Periksa kulit dan selaput lender
untuk
kemerahan,
adanya
kehangatan
ekstrim, atau drainase □ Periksa
kondisi
setiap
sayatan bedah atau luka □ Tingkatkan
asupan
nutrisi yang cukup □ Anjurkan
asupan cairan
dengan tepat □ Anjurkan istirahat □ Pantau adanya perubahan tingkat
energi
atau
malaise □ Instruksikan pasien untuk minum antibiotik yang diresepkan
□ Jaga
penggunaan
antibiotik
dengan
bijaksana □ Jangan
mencoba
pengobatan
antibiotik
untuk infeksi virus □ Ajarkan
pasien
dan
keluarga pasien mengenai perbedaan-perbedaan antara infeksi virus dan bakteri □ Ajarkan
pasien
dan
keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan
harus
melaporkannya
kepada
pemberi
layanan
kesehatan □ Lapor
dugaan
infeksi
pada personil pengendali infeksi □ Lapor kultur positif pada personal
pengendali
infeksi.
Management
□ Jaga intake yang adekuat dan catat output pasien □ Monitor (misalnya
status :
hidrasi membran
mukosa lembab, denyut nadi adekuat, dan tekanan
darah ortostatik) □ Monitor
hasil
laboratorium relevan
yang
dengan
cairan
retensi
(misalnya
:
peningkatan berat jenis, peningkatan penurunan dan
BUN, hematokrit,
peningkatan
kada
osmolalitas urin) □ Monitor tanda-tanda vital pasien □ Monitor perubahan berat badan pasien □ Monitor status gizi □ Distribusikan
asupan
cairan selama 24 jam □ Konsultasikan
dengan
dokter jika tanda-tanda dan
gejala
kelebihan
volume cairan memburuk
Risiko
Ketidakefektifan Setelah
Perfusi Jaringan Otak
dilakukan
Cerebral
keperawatan selama ...x... jam
Faktor Risiko:
asuhan
tidak
terjadi
promotion □
Konsultasi
□ Agens farmaseutikal
peningkatan tekanan intra
dokter
□ Aterosklerosis aortic
kranial dengan
menentukan
□ Baru
hasil :
terjadi
infark
miokardium □ Diseksi arteri □ Embolisme □ Endocarditis infektif
perfusion
kriteria
dengan untuk parameter
hemodinamik,
NOC :
mempertahankan
Tissue Perfusion: Cerebral
hemodinamik
□ Tekanan
darah
(sistolik
dan diastolik) dalam batas
dan
dalam
rentang yg diharapkan □
Monitor MAP
□ Fibrilasi atrium
normal
Berikan
□
agents
yang
□ Hiperkoleterolimia
□ MAP dalam batas normal
memperbesar
volume
□ Hipertensi
□ Sakit
intravaskuler
misalnya
□ Kardiomiopati dilatasi □ Katup
prostetik
mekanis
kepala
berkurang/hilang
(koloid, produk darah,
□ Tidak gelisah
atau kristaloid)
□ Tidak mengalami muntah
□ Koagulasi intravascular diseminata
□ Tidak
Konsultasi
□
mengalami
penurunan kesadaran
□ Koagulapati
(mis.
untuk
mengoptimalkan
posisi
dan
prothrombin
monitor
respon
pasien
abnormal □ Masa
dokter
kepala (15-30 derajat)
Anemia sel sabit) □ Masa
dengan
terhadap
pengaturan posisi kepala trombaplastin
Berikan calcium channel
□
parsial abnormal
blocker,
vasopressin,
□ Miksoma atrium
anti
□ Neoplasma otak
coagulant, anti platelet,
□ Penyalahgunaan zat
anti trombolitik
□ Segmen ventrikel kiri
Monitor
□
akinetic
SaO2
nyeri,
nilai dan
anti
PaCO2, Hb
dan
□ Sindrom sick sinus
cardiac out put untuk
□ Stenosis carotid
menentukan
□ Stenosis mitral
pengiriman oksigen ke
□ Terapi trombolitik
jaringan
□ Tumor
otak
status
(mis.
Gangguan serebrovaskular, penyakit
neurologis,
trauma, tumor)
Diare
Setelah
dilakukan
tindakan
Batasan Karakteristik :
keperawatan
..x..
□ Nyeri abdomen sedikitnya
diharapkan diare teratasi
NIC:
jam Manajemen Diare
Tentukan riwayat diare
tiga kali defekasi per hari
dengan kriteria hasil:
Ambil
tinja
untuk
□ Kram
NOC :
pemeriksaan kultur dan
□ Bising usus hiperaktif
Eliminasi USus
sesnsitifitas apabila diare
□ Ada dorongan
□ Gerakan usus normal (530 x per menit)
r yang berhubungan :
Faktor yang berhubungan
□ Tingkat stres tinggi
feses
coklat
□ Feses
Evaluasi pengobatan
lembut
dan
Ajari asien penggunaan
□ Kemudahan BAB
obat
□ Penyalahgunaan
□ Tidak
tepat.
diperlukan
dorongan
banyak
□ Kontaminan
untuk
mengeluarkan
□ Penyalahgunaan
feses
mengeluarkan
□ Tidak
infeksi
dan
parasit □ Inflamasi dan iritasi □ Malabsorbsi
□ Tidak
terdapat
darah
mukus
kecil
lebih
secara bertahap
Keseimbangan Cairan
darah
dalam
Anak-anak
Anjurkan
pasien
menghindari
batas normal
untuk
makanan
pedas yang menimbulkan (90-
120/60-80 mmHG)
gas dalam perut.
Anjurkan
pada
Dewasa (110-130/70-
untuk
90 mmHg)
menghindari
Lansia
dan
sering serta tingkat porsi
BAB
dikonsumsi
Berikan makanan dalam porsi
□ Tidak terdapat nyeri saat
kandungan
sebelumnya
terdapat
□ Tekanan
Evaluasi
sudah
dalam feses
atau
nutrisi dari makanan yang
dalam feses
Fisiologis
pasien
frekuensi, dan konsistensi
(5-30 kali per menit)
□ Slang makan
Instruksi
secara
tinja.
□ Suara bising usus normal
perjalanan
diare
anggota keluarga untuk
feses tanpa bantuan
□ Melakukan
□ Proses
otot
anti
mencatat warna, volume,
□ Mampu
□ Radiasi, toksin
terhadap
gatrointestinal
□ Efek samping obat
laksatif
profil
adanya efek samping pada
berbentuk
Situasional
alkohol
kekuningan
□ Ansietas
□ Warna
berlanjut
(<160/<90
yang
pasien menoba makanan
mengandung
mmHg)
laktosa.
□ Turgor Kulit elastis □ Membran
mukosa
bisa menyebabkan diare
lembab
(misalnya
□ Hematokrit normal
bakteri,
Laki-laki (38.8 – 50 %)
Perempuan 44,5%)
Identifikasi faktor yang
medikasi, dan
pemberian
makanan lewat selang)
(35-
Monitor tanda dan gejala diare
Instruksikan pasien untuk memberitahukan setiap
kali
staf
mengalami
episode diare
Amati
turgor
secara
berkala
Monitor kulit perinium terhadap
adanya
iritasi
dan ulserasi
Ukur
diare/output
pencernaan
Timbang
pasien
secara
berkala
Britahu
dokter
terjadi
apabila
peningkatan
frekuensi atau suara perut
Konsultasikan dokter
jika
pada tanda
dan
gejala diare menetap
Instruksikan diet rendah serat, tinggi prtein, tinggi kalori sesuai kebutuhan.
Instruksikan
untuk
menghindari laksatif
Ajari
pasien
untuk
menuliskan diari makanan
Ajari
pasien
cara
menurunkan stress, sesuai kebutuhan
Bantu
pasien
untuk
melakukan
teknik
penurunan stes
Monitor persiapan makan yang aman
Lakukan tindakan untuk mengistirahatkan
perut
(misalnya nutrisi oral, diet cair)
Manajemen Cairan
Timbang
berat
badan
setiap hari dan monitor status pasien
Jaga intake/asupan yang adekuat dan catat output pasien
Masukan kateter urine
Monitor
status
(misalnya
hidrasi membran
mukosa lembab, denyut nadi adekuat, dan tekanan darah ortostatik)
Monitor
hasil
laboratorium yang relevan dengan
retensi
(misalnya
cairan
peningkatan
berat jenis, peningkatan BUN,
penurunan
hematokrit,
dan
peningkatan
kadar
osmolitas urine)
Monitor
status
hemodinamik
termasuk
CPV, MAP, PAP, dan PCWP, jika ada
Monitor tanda – tanda vital pasien
Monitor yang
makanan/cairan
dikonsumsi
hitung
asupan
dan kalori
harian
Brikan terapi IV sesuai yang ditentukan
Monitor status gizi
Berikan
cairan
dengan
tepat
Berikan cairan IV sesuai dengan suhu kamar
Tingkatkan asupan oral (misalnya,
memberikan
sedotan,
menawarkan
cairan di antara waktu makan) yang sesuai
Arahkan pasien mengenai status NPO
Berikan
penggantian
nasogastrik
yang
diresepkan
berdasarkan
output
Distribusikan
asupan
cairan selama 24 jam.
Dukung
pasien
dan
keluarga untuk membantu dalam pemberian makan dengan baik
Monitor
reaksi
pasien
terhadap terapi elektrolit yang diresepkan
Konsultasikan
dengan
dokter jika ada tandatanda
dan
gejala
kelebihan volume cairan menetap atau memburuk
Atur ketersediaan produk darah untuk tranfusi, jika perlu
Persiapkan
pemberian
produk darah (misalnya, cek
darah
dan
mempersiapkan pemasangan infus)
Berikan darah
produk-produk (misalnya,
trombosit dan plasma)
Kekurangan volume cairan/ Risiko
kekurangan
Setelah
diberikan
keperawatan
asuhan selama
volume cairan
…..x….
jam diharapkan Fluid Management
masalah
Batasan Karakteristik:
kekurangan
□ Monitor hasil laboratorium
□ Haus
volume
cairan
dapat
yang sesuai dengan retensi
□ Kelemahan
teratasi
dengan
kriteria
cairan (peningkatan BUN,
□ Kulit kering
hasil :
□ Membrane
mukosa
kering
penurunan
hematokrit,
NOC:
peningkatan
osmolaritas
Balance
urin)
□ Peningkatan frekuensi
□ Tekanan
nadi
□ Denyut nadi dalam batas
□ Peningkatan
normal
konsentrasi urine □ Peningkatan
□ Kadar hematocrit dalam berat
batas normal
badan tiba-tiba
□ Kadar
haluaran
(BUN
urine □ Penurunan pengisian
tekanan
tekanan
nadi □ Penurunan
turgor
kulit □ Penurunan
turgor
lidah □ Penurunan
volume
nadi □ Perubahan
dan
elektrolit
osmolaritas
□ Turgor kulit elastis □
darah □ Penurunan
serum
urin) dalam batas normal)
vena
status
hemodinamik
status (MAP) terapi
cairan lewat infus
kesadaran
tubuh □ Penurunan
□ Monitor
□ Kolaborasikan
□ Tidak terjadi penurunan suhu
□ Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah dan nadi)
□ MAP dalam batas normal
hematokrit
□ Penurunan
dalam
batas normal
□ Peningkatan
□ Penurunan
darah
Intake dan output cairan 24 jam seimbang
Monitoring
□ Monitor input dan output cairan
mental or yang berhubungan :
□ Kegagalan mekanisme regulasi □ Kehilangan cairan aktif Gangguan ventilasi spontan
Setelah
dilakukan
keperawatan
Batasan Karakteristik :
tindakan ..x..
jam
□ Dispnea
diharapkan
□ Gelisah
mempertahankan
□ Ketakutan
pernafasan yang adekuat
□ Peningkatan
frekuensi
jantung □ Peningkatan
laju
□ Peningkatan otot
aksesorius □ Penurunan kerja sama □ Penurunan PO 2
□ Gangguan metabolisme
pernafasan
otot
jalan nafas
mengurangi dispnea untuk
memfasilitasi
Respiratory
status
:
pencocokan ventilasi/perfusi
□ Respirasi
dalam
normal
(dewasa:
batas 16-
20x/menit)
(good
lung down) dengan tepat □ Monitor
efek-efek
perubahan posisi pada
□ Irama pernafasan teratur
oksigenasi : ABG, SaO2,
□ Kedalaman
tidak
pernafasan
akhir
QSP/QT,
□ Suara perkusi dada normal
Faktor yang berhubungan :
kepatenan
□ Posisikan
normal
□ Penurunan SaO2
□ Keletihan
dengan kriteria :
Ventilation
□ Peningkatan PCO2
□ Pertahankan
□ Posisikan pasien untuk
NOC :
metabolisme
penggunaan
mampu
Bantuan Ventilasi
(sonor)
Tingkat
dada
A-
aDO2 □ Anjurkan
□ Tidak ada retraksi otot
CO2,
pernafasan
lambat
yang dalam,
berbalik dan batuk
□ Suara nafas vesikuler
□ Auskultasi suara nafas,
□ Tidak terdapat orthopnea
catat
□ Taktil
penurunan
fremitus
normal
area-area atau
antara dada kiri dan dada
adanya
kanan
suara tambahan
□ Tidak ada dispnea □ Ekspansi dada simetris
venrilasi
tidak dan
□ Mulai dan pertahankan oksigen tambahan
□ Tidak terdapat akumulasi sputum
□ Kelola pemberian obat nyeri yang tepat untuk
□ Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas
mencegah hipoventilasi □ Monitor pernafasan dan
Respon Ventilasi Mekanik :
status oksigenasi □ Beri
Dewasa
□ Respirasi
dalam
normal
(dewasa:
batas 16-
20x/menit)
obat
(misalnya
bronkodilator
dan
inhaler)
yang
meningkatkan
□ Irama pernafasan teratur
jalan
□ Kedalaman
pertukaran gas
pernafasan
normal □ PaO2 dalam batas normal (80 mmHg-100 mmHg) □ PaCO2 dalam batas normal (35 mmHg- 45 mmHg) □ SaO2 dalam bats normal (95%-100%)
patensi
nafas
□ Ajarkan
dan
teknik
pernafasan
dengan
mengerucutkan
bibir
dengan tepat Manajemen Jalan Nafas
□ Buka
jalan
menggunakan
nafas teknik
□ Tidak kesulitan bernafas
chin lift atau jaw thrust
menggunakan ventilator
□ Posisikan pasien untuk
□ Pasien tenang
memaksimalkan ventilasi □ Identifikasi
kebutuhan
aktual/potensial
pasien
untuk memasukkan alat membuka jalan nafas □ Lakukan fisioterapi dada □ Buang
sekret
dengan
memotivasi pasien untuk melakukan batuk atau menyedot lendir □ Anjurkan pasien untuk
batuk efektif □ Auskultasi suara nafas, catat
area
yang
ventilasinya atau
menurun
tidak
ada
dan
adanya suara tambahan □ Kelola
pemberian
bronkodilator □ Kelola
pemberian
nebulizer □ Posisikan
untuk
meringankan sesak nafas □ Monitor
status
pernafasan
dan
oksigenasi Manajemen
Ventilasi
Mekanik : Non Invasif □
Monitor
kondisi
memerlukan
yang
dukungan
ventilasi noninvasive □
Monitor
kontraindikasi
dukungan ventilasi noninvasive □
Informasikan klien
dan
mengenai dan,
kepada keluarga
rasionalisasi
sensasi
yang
diharapkan sehubungan dengan
penggunaan
ventilasi non-invasive □
Tempatkan klien pada posisi semi fowler
□
Observasi klien secara berkelanjutan pada jam pertama
penggunaan
ventilator
untuk
mengkaji toleransi klien □
Pastikan alarm ventilator dalam keadaan hidup
□
Monitor volume
penurunan ekspirasi
peningkatan
dan
tekanan
inspirasi □
Monitor aktivitas
aktivitasyang
dapat
meningkatkan konsumsi oksigen
yang
merubah
bisa
pengaturan
ventilator
dan
menyebabkan desaturasi oksigen □
Monitor yang
gejala-gejala menunjukkan
peningkatan pernafasan (misalnya, denyut
peningkatan nadi
dan
pernafasan, peningkatan tekanan diaphoresis,
darah, perubahan
status mental) □
Monitor
efektifitas
ventilasi
mekanik
terhadap status fisiologis dan psikologis klien
□
Inisiasi teknik relaksasi yang sesuai
□
Berikan perawatan untuk mengurangi
distress
klien
(misalnya,
memberikan
posisi,
merawat efek samping seperti
rhinitis,
kerongkongan
kering
atau
berikan
sedative
atau
anastesi;
periksa
peralatan secara berkala, bersihkan
dan
ganti
peralatan non-invasive □
Kosongkan
air
yang
sudah keruh dari tabung air □
Pastikan
pergantian
sirkuit ventilator setiap 24 jam □
Monitor
kerusakan
mukosa ke mulut, nasal, trakea,
atau
jaringan
laring □
Monitor paru jumlah,
sekresi
terkait warna
konsistensi, dokumentasikan
parudengan dan serta semua
hasil temuan □
Lakukan fisioterapi dada yang sesuai
□
Tingkatkan rutin
pengkajian
untuk
penyapihan
kriteria (misalnya,
perbaikan
kondisi
sebelum
ventilasi,
kemampuan
untuk
mempertahankan pernafasan
yang
adekuat) □
Berikan perawatan mulut secara
rutin
dengan
kapas yang lunak dan basah,
antiseptic
melakukan
dan
suksion
secara perlahan □
Dokumentasikan semua respon
klien
terhadap
ventilator dan perubahan ventilator
(misalnya,
observasi
pergerakan
dada/auskultasi, perubahan
x-ray,
perubahan ABGs) □
Pastikan
peralatan
kegawatdaruratan berada disisi
tempat
tidur
sepanjang
waktu
(misalnya,
manual
resusitasi
yang
tersambung ke oksigen, masker,
peralatn
suksion)
termasuk
persiapan
untuk
kehilangan
daya
mati/mati listrik Ketidakefektifan
bersihan Setelah
jalan nafas
keperawatan
Batasan Karakteristik :
□ Batuk
dilakukan
yang
tidak
efektif
..x..
diharapkan
jam
mampu
mempertahankan kebersihan
□ Dispnea
tindakan
Airway Management
□ Buka
jalan
menggunakan head tilt chin lift atau jaw thrust
jalan
nafas
dengan kriteria :
bila perlu □ Posisikan pasien untuk
□ Gelisah
NOC :
memaksimalkan
□ Kesulitan verbalisasi
Respiratory status : Airway
ventilasi
□ Mata terbuka lebar
□ Identifikasi
Patency
□ Ortopnea
□ Respirasi
□ Penurunan bunyi nafas □ Perubahan
frekuensi
nafas □ Perubahan pola nafas □ Sianosis □ Sputum dalam jumlah yang berlebihan
batas
□ Tidak ada batuk
perlunya
pemasangan
□ Irama pernafasan teratur
(NPA,
□ Kedalaman
Ventilator)
pernafasan
normal
OPA,
ada
akumulasi
sputum
jika perlu □ Bersihkan secret dengan suction bila diperlukan □ Auskultasi suara nafas, adanya
Lingkungan :
suara
tambahan □ Kolaborasi
berhubungan :
ETT,
□ Lakukan fisioterpi dada
catat yang
pasien
alat jalan nafas buatan
□ Batuk berkurang/hilang
□ Suara nafas tambahan
Faktor
dalam
normal
□ Tidak
nafas
pemberian
oksigen
□ Perokok
□ Kolaborasi
□ Perokok pasif
pemberian
obat bronkodilator
□ Terpajan asap
□ Monitor RR dan status
Obstruksi jalan nafas :
oksigenasi
□ Adanya
irama, kedalaman dan
jalan
nafas
buatan □ Benda
(frekuensi,
usaha dalam bernapas) asing
dalam
□ Anjurkan pasien untuk
jalan nafas
batuk efektif
□ Eksudat dalam alveoli □ Hiperplasia
pada
dinding bronkus □ Mukus berlebih □ Penyakit paru obstruksi kronis □ Sekresi yang tertahan
□ Berikan nebulizer jika diperlukan Asthma Management
□ Tentukan
batas
respirasi
dasar sebagai
pembanding □ Bandingkan
status
□ Spasme jalan nafas
sebelum
selama
Fisiologis :
dirawat di rumah sakit
□ Asma
untuk
□ Disfungsi
perubahan
neuromuskular □ Infeksi □ Jalan nafas alergik
dan
mengetahui status
pernapasan □ Monitor tanda dan gejala asma □ Monitor
frekuensi,
irama, kedalaman dan usaha dalam bernapas
DAFTAR PUSTAKA
Arif
Mansjoer,
dkk
(2000), Kapita
Selekta
Kedokteran, Jilid
2,
Media
Aesculapius, Jakarta Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta Eisai, 2012. Pathophysiology of Epilepsy, 2. Eisai Inc. Available from http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf [Accessed 3 Oktober 2017]. Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy Research, 70S: S5-S10. Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.inaepsy.org/ [Accessed 3 Oktober 2017]. IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, hal: 253, Jakarta, IDAI.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Gosyen Publishing Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media, Jakarta Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epileps y. In: Hauser, Stephen L. (Ed.). Harrison’s: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, 222-245. Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111122 Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical Neurology. 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 511542. Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.). Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 106-125. Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.). Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 106-125. Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta : EGC. Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1, Yogyakarta : Graha Ilmu Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and Epilepsy Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88. Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 1. Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit , Edisi 4, EGC, Jakarta WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World . Geneva. WHO. WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach. WHO.