BAB I PENDAHULUAN
Angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4 0,5-4 % (WHO). (WHO). Bila Bila jumlah jumlah penduduk penduduk Indonesi Indonesiaa berkis berkisar ar 220 juta, juta, maka pasien pasien epilepsi epilepsi mencapai mencapai 1,1-8,8 juta orang. Berkaitan Berkaitan dengan umur, grafik grafik prevalensi prevalensi epilepsi menunjukkan menunjukkan pola bimodal. bimodal. Prevalensi Prevalensi epilepsi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, tinggi, menurun menurun pada dewasa muda dan pertengahan, pertengahan, kemudian kemudian meningkat lagi pada kelompok kelompok 1 usia lanjut. Di kalangan kalangan masyarakat masyarakat awam masih terdapat terdapat pandangan pandangan yang keliru keliru terhadap terhadap epilepsi. Ini berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan pasien epilepsi. Di negaranegara yang sedang berkembang pelayanan pasien epilepsi masih menghadapi banyak kendala. kendala. Di lain pihak, oleh karena berbagai kendala kendala tadi maka penatalaksana penatalaksanaan an kasuskasus kasus epil epileps epsii oleh oleh tena tenaga ga medi medik k masi masih h kuran kurang g mema memada dai. i. Berb Berbag agai ai kenda kendala la tadi tadi seyogyanya diidentifikasi dan diinventarisasi secara sistematik sehingga mudah untuk diminimalisasi atau dihilangkan. Beberapa kendala yang sudah diidentifikasi diidentifikasi antara lain lain keter keterba bata tasa san n dalam dalam hal hal tenag tenagaa medi medik, k, sara sarana na pela pelaya yana nan, n, dana dana dan dan kema kemamp mpua uan n masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan penyakit. Epilepsi Epilepsi berpotensi berpotensi untuk menimbulkan menimbulkan masalah masalah sosio-medi sosio-medikolega kolegall yang secara secara keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas hidup pasien epilepsi, bahkan keharmonisan keluarga pasien epilepsi juga dapat terganggu. Masalah sosio-medikolegal meliputi meliputi kesempatan kesempatan untuk memperoleh memperoleh pekerjaan, pekerjaan, hak untuk memperoleh memperoleh tanggungan asur asuran ansi si,, hak hak untu untuk k memp memper erol oleh eh SIM, SIM, hak dan dan kewa kewaji jiba ban n dala dalam m bida bidang ng hukum hukum,, pendidikan, karir, dan perkawinan.
BAB I PENDAHULUAN
Angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4 0,5-4 % (WHO). (WHO). Bila Bila jumlah jumlah penduduk penduduk Indonesi Indonesiaa berkis berkisar ar 220 juta, juta, maka pasien pasien epilepsi epilepsi mencapai mencapai 1,1-8,8 juta orang. Berkaitan Berkaitan dengan umur, grafik grafik prevalensi prevalensi epilepsi menunjukkan menunjukkan pola bimodal. bimodal. Prevalensi Prevalensi epilepsi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, tinggi, menurun menurun pada dewasa muda dan pertengahan, pertengahan, kemudian kemudian meningkat lagi pada kelompok kelompok 1 usia lanjut. Di kalangan kalangan masyarakat masyarakat awam masih terdapat terdapat pandangan pandangan yang keliru keliru terhadap terhadap epilepsi. Ini berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan pasien epilepsi. Di negaranegara yang sedang berkembang pelayanan pasien epilepsi masih menghadapi banyak kendala. kendala. Di lain pihak, oleh karena berbagai kendala kendala tadi maka penatalaksana penatalaksanaan an kasuskasus kasus epil epileps epsii oleh oleh tena tenaga ga medi medik k masi masih h kuran kurang g mema memada dai. i. Berb Berbag agai ai kenda kendala la tadi tadi seyogyanya diidentifikasi dan diinventarisasi secara sistematik sehingga mudah untuk diminimalisasi atau dihilangkan. Beberapa kendala yang sudah diidentifikasi diidentifikasi antara lain lain keter keterba bata tasa san n dalam dalam hal hal tenag tenagaa medi medik, k, sara sarana na pela pelaya yana nan, n, dana dana dan dan kema kemamp mpua uan n masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan penyakit. Epilepsi Epilepsi berpotensi berpotensi untuk menimbulkan menimbulkan masalah masalah sosio-medi sosio-medikolega kolegall yang secara secara keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas hidup pasien epilepsi, bahkan keharmonisan keluarga pasien epilepsi juga dapat terganggu. Masalah sosio-medikolegal meliputi meliputi kesempatan kesempatan untuk memperoleh memperoleh pekerjaan, pekerjaan, hak untuk memperoleh memperoleh tanggungan asur asuran ansi si,, hak hak untu untuk k memp memper erol oleh eh SIM, SIM, hak dan dan kewa kewaji jiba ban n dala dalam m bida bidang ng hukum hukum,, pendidikan, karir, dan perkawinan.
BAB II DEFINISI, KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI ETIOLOGI DEFINISI
Epilep Epilepsi si didefi didefinis nisika ikan n sebaga sebagaii suatu suatu ganggua gangguan n (kecen (kecender derunga ungan) n) kronik kronik yang ditandai dengan adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara interm intermite iten n yang terjad terjadii oleh oleh lepas lepas muatan muatan listri listrik k abnorm abnormal al di neuron-n neuron-neur euron on secara secara 2 paroksismal, disebabkan oleh berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked (unprovoked ) 3. Epilepsi adalah situasi dimana terjadi terjadi bangkitan kejang 2 kali atau atau lebih dalam setahun. setahun. Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi secara bersama-sama, meliputi berbagai etiologi, umur, onset , jenis bangkitan, faktor pencetus, dan kronisitas.
KLASIFIKASI Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi
4
1. Bang Bangki kita tan n pars parsia iall 1.1.Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik) 1.1.1. Motorik 1.1.2. Sensorik 1.1.3. Otonom 1.1.4. Psikis 1.2. Bangkitan Bangkitan parsial parsial kompleks kompleks (kesadar (kesadaran an terganggu) terganggu) 1.2.1. Bangkitan Bangkitan parsial parsial sederhana sederhana diikuti diikuti dengan dengan gangguan gangguan kesadaran kesadaran 1.2.2. 1.2.2. Ganggua Gangguan n kesadar kesadaran an saat saat awal bangk bangkita itan n 1.3. Bangki Bangkitan tan umum umum sekun sekunder der 1.3.1. 1.3.1. Parsia Parsiall sederha sederhana na menjad menjadii tonik tonik klonik klonik 1.3.2. 1.3.2. Parsia Parsiall komplek komplekss menjadi menjadi tonik tonik kloni klonik k 1.3.3. Parsial Parsial sederhana sederhana menjadi menjadi parsial parsial kompleks kompleks menjadi menjadi tonik tonik klonik klonik 2. Bang Bangki kittan Umum Umum 2.1. Lena (absence) absence) 2.2. 2.2. Miok Mioklo loni nik k 2.3. 2.3. Klon Kloniik 2.4. Tonik
2.5. 2.5. Toni Tonik-k k-klo loni nik k 2.6. 2.6. Aton Atoniik 3. Tak Tak terg tergol olon ongk gkan an Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindrom epilepsi
5
1. Berk Berkai aita tan n denga dengan n letak letak foku fokuss 1.1. Idiopatik (primer) 1.1.1 1.1.1 Epil Epilep epsi si Rola Rolandi ndik k Beni Benign gnaa (childhood (childhood epilepsy with centrotemporal spikes) spikes) 1.1.2 1.1.2 Epilep Epilepsi si pada pada anak anak dengan dengan paroks paroksism ismal al oksip oksipit ital al 1.1.3 1.1.3 Epil Epilep epsi si memb membac acaa pri prime merr ( primary primary reading epilepsy) epilepsy) 1.2. Simtomatik (sekunder) 1.2. 1.2.1 1 Lobu Lobuss tem tempor poralis alis 1.2. 1.2.2 2 Lobu Lobuss fr front ontali alis 1.2. 1.2.3 3 Lobu Lobuss par pariet ietali alis 1.2. 1.2.4 4 Lobu Lobuss oksi oksipi pita tali liss 1.2.5 1.2.5 Kronik Kronik progre progresi siff pars parsial ialis is kontin kontinua ua 1.3. Kriptogenik 2. Umum 2.1. Idiopatik (primer) 2.1.1 2.1.1 Kejan Kejang g neona neonatu tuss famil familia iall benig benigna na 2.1. 2.1.2 2 Keja Kejang ng neo neona natu tuss beni benign gnaa 2.1.3 2.1.3 Kejan Kejang g epile epileps psii miok mioklo loni nik k pada pada bayi bayi 2.1. 2.1.4 4 Epil Epilep epsi si len lenaa pada pada ana anak k 2.1.5 2.1.5 Epil Epilep epsi si lena lena pada pada rema remaja ja 2.1.6 2.1.6 Epil Epilep epsi si mio miokl kloni onik k pada pada rem remaj ajaa 2.1.7 2.1.7 Epilep Epilepsi si dengan dengan bangkit bangkitan an tonik-k tonik-klon lonik ik pada saat saat terja terjaga ga 2.1.8 2.1.8 Epilep Epilepsi si toni tonik k kloni klonik k dengan dengan bangki bangkitan tan acak acak 2.2. Kriptogenik Kriptogenik atau simtomati simtomatik k 2.2.1 2.2.1 Sindro Sindrom m West West (spasm (spasmus us infant infantil ilis is dan hipsa hipsari ritmi tmia) a) 2.2.2 2.2.2 Epil Epilep epsi si miok mioklo loni nik k ast astat atik ik 2.2. 2.2.3 3 Sind Sindro rom m Lenn Lennox ox-G -Gas asta taut ut 2.2.4 2.2.4 Epil Epilep epsi si lena lena miokl miokloni onik k 2.3. 2.3. Simt Simtom omat atik ik 2.3. 2.3.1 1 Etio Etiolo logi gi non non spe spesi sifi fik k Ensefalopati mioklonik neonatal Sindrom Ohtahara 2.3.2 2.3.2 Etio Etiolo logi gi / sind sindro rom m spe spesi sifi fik k Malformasi serebral Gangguan metabolisme -
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum 3.1. Bangkitan umum dan fokal Bangkitan neonatal Epilepsi mioklonik berat pada bayi Sindrom Taissinare Sindrom Landau-Kleffner 3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4. Epilepsi berkaitan dengan situasi 4.1 Kejang demam 4.2 Berkaitan dengan alkohol 4.3 Berkaitan dengan obat-obatan 4.4 Eklamsi 4.5 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik) Klasifikasi bangkitan neonatal
6
1.Samar-samar (Subtle) (30%) a. Gerakan mengayuh sepeda (Bicycling / pedaling ) atau gerakan bertinju (boxing movements) b. Gerakan mulut (mengunyah, menelan, atau menjulurkan lidah) c. Deviasi bola mata (ke bawah atau ke atas) 2.Klonik (25%) a. Fokal (satu lengan atau satu tungkai) b. Multifokal (misalnya lengan ipsilateral dan tungkai kontralateral) c. Jacksonian (menjalar atau marching / migrating ) 3.Mioklonik (20 %) a. Fokal b. Multifokal c. Umum 4.Tonik (20 %) a. Fokal b. Umum ETIOLOGI
1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik. Biasanya berupa epilepsi dengan bangkitan kejang umum. 2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gestaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus. 3. Simtomatik : Trauma
Infeksi Kelainan kongenital Lesi desak ruang Gangguan peredaran darah otak Toksik (alkohol, obat) Metabolik Kelainan neurodegeneratif
BAB III DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS DIFERENSIAL
DIAGNOSIS
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:7 • Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi? • Langkah kedua: apabila ya, maka bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan yang mana? • Langkah ketiga: apakah faktor penyebabnya, sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien? Secara struktural, diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar : 1. Anamnesis (auto dan aloanamnesis) 8 • Pola / bentuk bangkitan • Lama bangkitan • Gejala sebelum, selama dan pascabangkitan • Frekuensi bangkitan • Faktor pencetus • Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang • Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama • Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan • Riwayat penyakit, penyebab atau terapi sebelumnya • Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat terlarang dan kanker. 3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi dan bila memungkinkan 3.1. EEG Indikasi : - Membantu menegakkan diagnosis - Menentukan prognosis pada kasus tertentu - Pertimbangan dalam penghentian obat anti-epilepsi - Membantu dalam menentukan letak fokus
• •
•
Rekaman EEG termasuk rekaman waktu tidur, stimulasi fotik, dan hiperventilasi. Kira-kira 29-38% dari pasien epilepsi dewasa, EEG tunggal menunjukkan kelainan epileptiform. Bila diulang pemeriksaannya, gambaran epileptiform meningkat menjadi 59-77%. ,3,8,9 Bila EEG normal dan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dengan persyaratan khusus.
3.2. Pemeriksaan neuroimaging struktural dan fungsional Indikasi : - Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural - Adanya perubahan bentuk bangkitan - Terdapat defisit neurologik fokal - Epilepsi bangkitan parsial - Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun - Untuk persiapan operasi epilepsi CT scan : dapat mendeteksi lesi fokal tertentu MRI
: merupakan prosedur imaging pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding CT scan. Dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Diindikasikan untuk epilepsi refrakter yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan 8,10,11
3.3. Pemeriksaan Laboratorium Darah : rutin, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, dll sesuai indikasi Cairan serebrospinal : atas indikasi Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi Dagnosis pasti Ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinis bangkitan berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
1. Pada neonatus dan bayi • Jittering • Apneu 2. Pada anak • Breath holding spell • Sinkop
• Migren • Bangkitan psikogenik / konversi • Prolonged QT syndrome • Night terror • Tic • Hypercyanotic attack (pada tetralogi Fallot) 3. Pada dewasa • Sinkop; dapat sebagai vasovagal attack , sinkop kardiogenik, sinkop hipovolumik, sinkop hipotensi dan sinkop saat miksi (micturition syncope) • Serangan iskemik sepintas (TIA) • Vertigo • Transient global amnesia • Narkolepsi • Bangkitan panik, psikogenik • Menier • Tic
GAMBARAN KLINIS A. Bentuk Bangkitan
12,13
Contoh beberapa bentuk bangkitan epilepsi 1. Bangkitan Umum Lena (Petit mal) • gangguan kesadaran mendadak (“absence”) berlangsung beberapa detik • selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi • mungkin terdapat automatisme • pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung 2. Bangkitan Umum Tonik Klonik (Grand mal) • dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan , mioklonik • pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti gerakan kejang pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik, mulut berbusa • selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung • pasien sering tidur setelah bangkitan 3. Bangkitan Parsial Kompleks • bangkitan fokal disertai kehilangan / terganggunya kesadaran • sering diikuti dengan automatisme yang stereotipik seperti mengunyah, menelan, tertawa dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas
4. Bangkitan Parsial Sederhana • tidak terjadi perubahan kesadaran • bangkitan dimulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral / fokal) kemudian menyebar ( Jacksonian march) • kepala mungkin berpaling kearah yang terkena kejang (serangan “adversif”) 5. Bangkitan Umum Sekunder • berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum • bangkitan parsial dapat berupa aura • bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik
B. Sindrom Epilepsi
14,15
Contoh sindrom epilepsi yang sering ditemui 1. Sindrom West • Terdiri dari trias kombinasi bangkitan epilepsi (spasmus infantilis) yang berlangsung beberapa detik, terhentinya perkembangan psikomotor dan pola EEG yang khas yaitu hipsaritmia. • Terjadi pada usia di bawah 1 tahun. 2. Sindrom Lennox-Gastaut • Bangkitan epilepsi : bangkitan tonik aksial, atonik, dan lena atipikal. • EEG abnormal : diffuse slow spike and wave (SSW) atau petit mal variant (PMV) pada kondisi sadar, burst of fast rhytms 10 spd pada keadaan tidur. • Perkembangan mental yang lambat. • Biasanya muncul pada usia 3-5 tahun, lebih banyak pada perempuan. 3. Sindrom Landau Kleffner • Kelainan pada anak-anak dengan 2 gejala mayor berupa afasia didapat dan gambaran EEG paroksismal dengan spike dan spike and wave, sebagian besar multifokal terutama di regio temporal atau parieto-temporo-parietal selama tidur. • Kejang jarang didapatkan, bila ada berbentuk tonik klonik umum atau parsial motor.
BAB IV TERAPI TUJUAN TERAPI
Mengontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan menggunakan obat tanpa / dengan efek samping minimal.
PRINSIP TERAPI
• •
• • • •
• •
Terapi dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Terapi mulai diberikan bila diagnosis telah ditegakkan dan setelah pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping. Pemilihan jenis obat sesuai dengan jenis bangkitan. Sebaiknya terapi dengan monoterapi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai. Pada prinsipnya terapi dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila diperlukan penggantian obat, maka dosis obat pertama diturunkan secara bertahap dan dosis obat kedua dinaikkan secara bertahap. Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dapat dipertimbangkan untuk diberi kombinasi OAE. Bila memungkinkan dilakukakan pemantauan kadar obat sesuai indikasi.
Pasien dengan bangkitan pertama direkomendasikan untuk dimulai terapi bila 16 :
• • • • • •
Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak. Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung kecuali kejang demam sederhana. Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis terutama yang disertai penurunan kesadaran. Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
JENIS OBAT ANTI EPILEPSI Pemilihan obat anti-epilepsi didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping, interaksi antara obat anti-epilepsi.
Tabel 1. Pemilihan obat anti-epilepsi atas dasar jenis bangkitan epilepsi 3 TIPE KEJANG DAN SINDROMA EPILEPSI
OBAT LINI PERTAMA
OBAT LINI KEDUA
Kejang sederhana dan kejang parsial kompleks, kejang umum tonik-klonik primer dan sekunder
Carbamazepine, valproate dan phenytoin
Levetiracetam, Acetazolamide, clobazam, clonazepam, ethosuximide*, gabapentin, lamotrigine, , oxcarbazepine, phenobarbital, primidone*, tiagabine*, topiramate, vigabatrin
Generalized absence seizures
Valproate, ethosuximde*
Acetazolamide, clobazam, clonazepam , lamotrigine, phenobarbital, primidone*
Atypical absence, tonic and clonic seizures
Valproate
Acetazolamide, carbamazepine, clobazam, clonazepam, ethosuximide* , lamotrigine, oxcarbazepine, phenobarbital, phenytoin, primidone*, topiramate
Myoclonic seizures
Valproate
Clobazam, clonazepam, ethosuximide* , lamotrigine, phenobarbital, piracetam, primidone*
* Obat tersebut belum tersedia di Indonesia
Tabel 2. Pedoman dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang dewasa 10,17,18
OBAT
INDIKASI
DOSIS AWAL
DOSIS HARIAN UMUM (Miligram)
DOSIS RUMATAN
JUMLAH DOSIS PER HARI
WAKTU PARUH PLASMA (Jam)
Carbamazepine
Parsial & KUTK
400
600
600-1200
2-3*
16-36
Phenytoin
Parsial & KUTK atau status epilepticus
300
300
300-500
1
24-40
Valproic acid
Parsial & KUTK
500-1000
1000
1000-3000
2
8-16
Phenobarbital
Parsial & KUTK, kejang neonatal, atau status epilepticus
60-90
120
90-120
1
72-120 †
Primidone
Parsial & KUTK
Ethosuximide Clonazepam
48 ‡ 100-125
500
250-1500
3
Kejang absans umum
500
1000
1000-2000
2
Epilepsi mioklonik, sindroma L-G, spasme infantil, atau status epilepsticus
1
4
2-8
1 or 2
†: dewasa
‡ : anak-anak
* KUTK (Kejang Umum Tonik Klonik)
L-G (Lennox Gastaut)
Tabel 3. Pedoman dosis obat anti-epileptik baru 17,18
OBAT
INDIKASI
DOSIS AWAL
DOSIS RUMATAN
WAKTU PARUH DALAM PLASMA (JAM)
Levetiracetam †
Parsial & KUTKS
2 X 1000 mg/hari 1000 mg/hari q 2 wk
1000-3000 mg/hari
not established
Gabapentin
Parsial & KUTKS (dewasa)
300 mg/hari ;
900-3600 mg/hari
6
25 (12-14 dengan obat-obat induksi enzim ; 60 dengan VPA)
↑ 300mg/hari q1-3d
Lamotrigine †
Parsial & KUTKS (dewasa)
25-50mg/d; ↑ 50mg q1-2 wk; or 25mg q2d; with VPA
Sampai 700 mg/hari (100-150 mg/hari dengan VPA)
Felbamate
Parsial & KUTKS (dewasa)
2-3 X 400 mg/hari (↓ concomitant PHT, CBZ,VPA tiap 2033%) dengan dosis ↑ tiap 400-600 mg/d q2wk
1800-4800 mg/d
Sindroma L-G
3-4 x 15 mg/kg/d; (↓ concomitant PHT, CBZ,VPA tiap 2033%), dengan dosis ↑ 15 mg/kg/d q1-2 wk
Parsial & KUTKS
10mg qb atau
20-30mg/hari
2 X10 mg/hari
sampai 60mg/d
Clobazam Oxcarbazepine †
Parsial & KUTKS
2 X 300mg/d
Tiagabine**
Parsial & KUTKS
Tidak Tersedia
Topiramate †
Parsial & KUTKS
↑ 100 mg/hari ; 25 -50 mg/hari tiap minggu
Vigabatrine**
Parsial & KUTKS Dimungkinkan untuk spasme infantil
Zonisamide*
Parsial & KUTKS
20-23
sampai 45 mg/kg/d
30-46
1200-2400mg/hari
8-24
32-56mg/hari
6-8
400-1000mg/hari
20-24
2 X 500 mg/hari
Sampai 3 g/hari
4-8 (efek berlangsung sampai 3 hari)
100-200 mg/hari 100 mg/hari q1-2 wk
400-600 mg/hari
50-68 (27-38 dengan obat-obat induksi enzim)
** - di Indonesia tidak tersedia dan dilaporkan banyak efek samping KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder ; L-G = Lennox-Gastaut ; q = every ; qb = at bedtime
Catatan : ada obat yang sudah diakui sebagai mono terapi yaitu oxcarbazepine, lamotrigin, topiramat, levetriracetam untuk mioklonik.
Tabel 4.
OBAT
Pedoman dosis obat anti-epilepsi klasik pada anak-anak 16
INDIKASI
DOSIS AWAL
DOSIS RUMATAN STANDAR (RANGE)
JUMLAH DOSIS/ HARI
Mg/kg/hari
TARGET KONSENTRASI OBAT DALAM DARAH (RANGE) Μg/mgG
Carbamazepine
Parsial & KUTKS
5
10-25
2-4
6-12
Phenytoin
Parsial & KUTKS atau status epilepsi
5
5-15
1 or 2
10-20
Valproic acid
Parsial & KUTKS
5
15-40
1-3
50-100
Phenobarbital
Parsial & KUTKS, kejang neonatal, atau status epileptikus
4
4-8
1 or 2
10-40
Primidone
Parsial & KUTKS
10
20-30
1 or 2
5-12
Ethosuximide
Kejang absans umum
10
15-30
1 or 2
40-100
Clonazepam
Epilepsi mioklonik, sindroma Lennox-Gastaut, spasme infantil, atau status epileptikus
0.025
0.025-0.1
2 or 3
none
KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder
Tabel .5. Efek samping obat anti-epilepsi klasik 17
DRUG
SIDE EFFECT TERKAIT DOSIS
IDIOSINKRETIK
Carbamazepin
Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, mengantuk, neutropenia, hiponatremia
Ruam morbiliform, agranulositosis, anemia aplastik, efek hepatotoksik, Sindroma Stevens-Johnson, teratogenecity
Phenytoin
Nistagmus, ataxia, mual, muntah, hipertrofi gusi, depresi, mengantuk, paradoxical increase in seizure, anemia megaloblastik
Jerawat, coarse facies, hirsutism, cariasis, lupus-like syndrome, ruam, Sindroma Stevens-Johnson, Dupuytren’s contracture, efek hepatotoksik, teratogenicity
Valproic acid
Tremor, berat badan bertambah, dispepsia, mual, muntah, kebotakan, tetratogenicity
Pankreatitis akut, efek hepatotoksik, trombositopenia, ensefalopati , udem perifer
Phenobarbital
Kelelahan, listlesness, depresi, insomnia (pada anak), distractability (pada anak), hiperkinesia (pada anak), irritability (pada anak)
Ruam makulopapular, exfoliation, nekrosis epidermal toksik, efek hepatotoksik, arthritic changes, Dupuytren’s contracture, teratogenicity
Pirimidone
Kelelahan, listlessness, depresi, psikosis, libido menurun, impoten
Ruam, agranulositosis, trombositopenia, lupus-like syndrome, teratogenicity
Ethosuximide
Mual, anoreksia, muntah agitasi, mengantuk, nyeri kepala, lethargy
Ruam, eritema multiformis, Sindroma Steven-Johnson, lupuslike syndrome, agranulositosis, anemia aplastik
Clonazepam
Kelelahan, sedasi, mengantuk, dizziness, agresi (pada anak) hiperkinesia (pada anak)
Ruam, trombositopenia
Tabel.6. Efek samping obat anti-epilepsi baru 16 ___________________________________________________________________________ OBAT
EFEK SAMPING UTAMA
Levetiracetam
Somnolen, asthenia, sering muncul ataksia. Juga dilaporkan penurunan kecil kadar sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit.
Gabapentin
Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, gangguan saluran cerna
Lamotrigine
Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, nyeri kepala, gangguan saluran cerna
Clobazam
Sedasi, dizziness, irritability, depresi, disinhibition
Vigabatrin
Perubahan perilaku, depresi, sedasi, kelelahan, berat badan bertambah, gangguan saluran cerna
Oxcarbazepine Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri kepala, kelemahan, ruam, hiponatremia Zonisamide
Somnolen, nyeri kepala, dizziness, ataksia, renal calculi
Tiagabine
Confusion, dizziness, gangguan saluran cerna, anoreksia, kelelahan
Topiramate
Gangguan kognitif, tremor, dizziness, ataksia, nyeri kepala, kelelahan, gangguan saluran cerna, renal calculi
EFEK SAMPING YANG LEBH SERIUS NAMUN JARANG
Sindroma Stevens- Johnson
Psikosis
Tabel . Dosis obat untuk status epileptikus konvulsif
Drug
Route
Clomethiazole
IV Infusa dalam 0,8% cairan
Clonazepam
IV Bolus IV Infusa
Diazepam
IV Bolus Rectal IV Infus
Adult Dose
40-100 ml (320-800) pada pemberian 5-15 ml/menit, kemudian dilanjutkan 0,5-20 ml/menit 1 mg pada pemberian < 2 mg/menit Dosis rumatan 10 mg/24 jam 10-20 mg pada pemberian< 5 mg/menit 10-30 mg 3 mg/kg/hari
Fosphenytoin
IV Bolus
15 mg PE/kg pada rentang pemberian <100-150 mg/PE/menit. Dosis rumatan 4-5 mg/kg/hari IV atau IM
Isoflurane
Inhalasi
End tidal concentrations dari 0,8-2% untuk rumatan. Burst supression.
Lidocaine
IV Bolus IV Infus
1,5-2,0 mg/kg pada pemberian < 50 mg/menit Dosis rumatan 3-4 mg/kg/jam
Lorazepam
IV Bolus
4 mg
Midazolam
IM atau Rectal
5-10 mg
IV Bolus
0,1-0,3 mg/kg pada pemberian < 4 mg/menit 0,05-0,4 mg/kg/jam 10 mg
IV Infusa Buccal Paraldehyde
IM atau Rectal
5-10 ml (mendekati 1 g/ml) dalam volume air yang setara.
Pentobarbital
IV Infusa
5-20 mg/kg pada rentang pemberian < 25 mg/menit, dilanjutkan 0,5-1,0 mg/kg/jam meningkat sampai 1-3 mg/kg/jam
Pediatric Dose
0,1 ml/kg/menit meningkat tiap 2-4 jam sesuai yang dibutuhkan 250-500 μg pada pemberian < 2 mg/menit 0,25-0,5 mg/kg pada pemberian 2-5 mg/menit 0,5-0,75 mg/kg 200-300 μg/kg/hari
0,1 mg/kg 0,15-0,3 mg/kg
0,07-0,35 ml/kg
Phenobarbital
IV Bolus
10 mg/kg pada rentang pemberian < 100 mg/menit Rumatan 1-4 mg/kg/hari
Phenytoin
IV Bolus / Infusa
15-18 mg/kg pada rentang pemberian < 50 mg/kg
Propofol
IV Infusa
2 mg/kg, dilanjutkan 5-10 mg/kg/jam, kemudian diturunkan menjadi 1-3 mg/kg/jam untuk rumatan burst suppression
Thiopental
IV Infusa
100-250 mg bolus diberikan lebih dari 20 detik, kemudian dilanjutkan 50 mg bolus tiap 23 menit sampai kejang dapat dikendalikan. Kemudian pemberian lewat infus untuk rumatan burst suppression (3-5 mg/kg/jam)
15-20 mg/kg pada rentang pemberian < 100 mg/menit 3-4 mg/kg/hari
Tabel 7. Interaksi farmakokinetik antar-obat anti-epilepsi (OAE)
OAE TAMBAHAN
3,10,19
OAE YANG TERKENA DAMPAK INTERAKSI CBZ
CLB
CZP
ESM
GB P
LAM
LE V
OX C
PB
PHT
PRM
TPM
VPA
VGB
AI
↓CLB
↓ CZP
↓ ESM
O
↓LAM
O
O
O
↑↑/↓↓ PHT
↓ PRM
↓ TPM
O
↓CBZ
-
O
O
O
O
O
O
↑PB
↑/↓PHT
↓PRM
O
↓↓ VPA ↑VPA
CLONAZEPAM
O
O
-
O
O
O
O
O
O
↑/↓PHT
O
O
O
ETHOSUXIMIDE
O
O
O
-
O
O
O
O
O
↑PHT
O
O
O ↓↓ VPA
GABAPENTIN
O
O
O
O
-
O
O
O
O
O
O
O
O
O
O
O
O
-
O
O
O
O
O
?
O
O
O
O
O
CARBAMAZEPIN CLOBAZAM
LAMOTRIGINE LEVETIRACETAM
O
O
O
O
O
O
-
O
O
OXCARBAZEPINE
O
O
O
O
O
O
O
-
O
O
O
O
O
PHENOBARBITAL
AI
↓CBZ
↓CZP
↓ESM
O
↓↓LAM
O
O
-
↑↑/↓↓ PHT
NCP
↓↓TPM
PHENYTOIN
↓CBZ
↓CBZ
↓CZP
↓ESM
O
↓↓LAM
O
O
↑↑PB
↓↓TPM
PRIMIDONE
↓CBZ
↓CBZ
↓CZP
↓ESM
O
↓↓LAM
O
O
NCP
↑/↓PR M -
O
O
O
O
O
O
O
O
-
↑↑ CBZE O
O
O
↑/↓ESM O
O
O
↑↑PB
↑PRM
O
↓↓ VPA ↓↓ VPA ↓↓ VPA ↓↓ VPA -
O
O
O
O
↑PB
↑PRM
O
TOPIRAMATE VALPROATE VIGABATRINE
O O O
O
↑↑LAM O
-
↑↑/↓↓ PHT ↑↑PHT ↑↑/↓↓ PHT ↓↓PHT
↓↓TPM
O : none anticipated, ↓ : infrequently decrease in concentration, ↓↓ : frequently decrease, ↑ : infrequently increase, ↑↑: frequently increase, AI : autoinduction,
AED : antiepileptic drug, NCP : not commonly prescribed, CBZE : carbamazepine epoxide
O
O O O O O O O O O O -
O
AED : antiepileptic drug, NCP : not commonly prescribed, CBZE : carbamazepine epoxide
PENGHENTIAN OAE
•
• • • • •
2,3
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan dan sesuai indeks prognosis (lihat lampiran), tergantung bentuk bangkitan. Gambaran EEG “normal” / membaik. Bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan. Bila bangkitan timbul kembali maka dosis terakhir dipertahankan, kemudian di evaluasi kembali. Dimulai dari 1 OAE yang bukan utama. Pertimbangkan kemungkinan kekambuhan bangkitan lebih besar pada 19,20 : - riwayat KUTK primer atau sekunder. - penggunaan lebih dari satu OAE. - riwayat bangkitan mioklonik. - masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi nda i 1 ah lebih.
PENGHENTIAN OAE
•
• • • • •
•
2,3
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan dan sesuai indeks prognosis (lihat lampiran), tergantung bentuk bangkitan. Gambaran EEG “normal” / membaik. Bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan. Bila bangkitan timbul kembali maka dosis terakhir dipertahankan, kemudian di evaluasi kembali. Dimulai dari 1 OAE yang bukan utama. Pertimbangkan kemungkinan kekambuhan bangkitan lebih besar pada 19,20 : - riwayat KUTK primer atau sekunder. - penggunaan lebih dari satu OAE. - riwayat bangkitan mioklonik. - masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi - mendapat terapi 10 tahun atau lebih. - riwayat bangkitan neonatal - ( gambaran EEG masih abnormal ) Kemungkinan kekambuhan kecil pada pasien yang telah bebas bangkitan antara tiga sampai lima tahun, dan yang selama lima tahun atau lebih 21
STATUS EPILEPTIKUS Definisi Suatu kondisi di mana bangkitan epilepsi berlangsung terus-menerus, atau bangkitan berulang dengan /tanpa pemulihan kesadaran, selama periode 30 menit atau lebih.22 Usulan Bandung Klasifikasi • Konvulsif • Non-konvulsif
Tabel.8 Klasifikasi Status Epileptikus. _________________________________________________________________________ Status epilepticus confined to early childhood Neonatal status epilepticus Status epilepticus in specific neonatal epilepsy syndromes Infantile spasms Status epilepticus confined to later childhood and adult life Febrile status epilepticus Status inchildhood partial epilepsy syndromes Status epilepticus in myoclonic-astatic epilepsy
Electrical status epilepticus during slow wave sleep Landau-kleffner syndrome Status epilepticus occuring in childhood and adult life Tonic-clonic status epilepticus Absence status epilepticus Epilepsia partialis continua Status epilepticus in coma Specific forms of status epilepticus in learning difficulty Syndromes of myoclonic status epilepticus Simple partial status epilepticus Complex partial status epilepticus Status epilepticus confined to adult life De novo absence status and late onset
_____________________________________________________________________________ _ Penanganan • Prinsip : 1. Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawatan umum ( ABC ) 2. Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi secara simultan 3. Mencegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit 4. Mengatasi faktor pencetus • Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan dilakukan di ICU.
Protokol
Tabel 9. Penatalaksanaan Umum dan Terapi Anti Epilepsi Spesifik pada Berbagai Stadium Status Epileptikus Stage of Status
General Measures
AED treatment
Premonitory (0-10 minutes)
Asses cardiorespiratory function Secure airways Give oxygen
Diazepam (i.v. bolus or p.r.) Midazolam (i.m., i.v.bolus, p.r) Paraldehyd (i.m., p.r.)
Early (0-30 minutes)
Institute monitoring i.v acces Emergency investigations Give 50 % glucose (50 ml) Give thiamine where appropriate Treat acidosis Transfer to intensive care unit
Lorazepam (i.v.bolus) Diazepam (i.v.bolus) Second – line: Lignocaine (i.v.bolus & inf) Clonazepam (i..v.bolus) Paraldehyde (i.m.) Phenytoin (i.v.bolus )
Estabilished (30-60/90 minutes)
Estabilished aetiology Identify and treat complication Pressor therapy if needed
Refractory ( ≥ 60 minutes)
EEG monitoring Thiopentone (i.v.bolus & inf ) Monitoring seizure EEG and cerebral Propofol ( i.v. bolus & inf ) function Second – line: Intracranial pressure monitoring if Pentobarbitone ( i.v. bolus & inf ) appropriate Isoflurane (inhalation ) Etomidate (i.v.bolus & inf )
medical
Phenobarbitone (i.v. loading & inf) Phenytoin (i.v. loading & inf ) Chlormethiazole ( i.v. loading & inf ) Second – line: Clonazepam (i..v.bolus or inf) Paraldehyde (i.v. inf) Diazepam (short inf ) Midazolam ( short inf )
Catatan Bila status epileptikus telah teratasi maka dilakukan pemeriksaan lanjut yang lebih cermat.
Daftar obat pada status epileptikus
Tabel 10. Obat-Obat Untuk Penanganan Status Epileptikus Konvulsif Akut4
Generic Name
Dose
Rate
Advantages
Disadvantages
Diazepam
5-10 mg IV (0.2-0.5 mg/kg)
2-5 mg/min
Fast onset of action
Possible greater chance of late seizure recurrence
Diazepam rectal gel Fosphenytoin
5-10 mg per rectum (0.2-0.5 mg/kg) 1400 mg IV (20 mg/kg )
As tolerated
Lorazepam
4-8 mg IV 2 mg/min (0.05-0.1 mg/kg 0.20 mg/kg IV or 2-5mg min IM
Does not require Ivaccess Easy transition to chronic administration Prevent reccurence
Longer onset of action than IV; less control Long onset of action, utility of IM dosing unknown Longer onset of action than diazepam Possible greater chance of late seizure recurrent
Midazolam
Valproic acid
1500-2000 mg IV (25 mg/kg )
<150 mg/min
Can be given IM with efficacy equal to diazepam Appears safe
20-100 Fastest administration mg/min rate unknown diluted 2:1 1. Lorazepam atau Diazepam IV adalah obat lini pertama yang paling umum dipakai. Midazolam IM memiliki efikasi yang setara dengan diazepam dan tidak memerlukan akses IV. 2. Berdasarkan atas berat badan “rata-rata” orang dewasa, dosis bolus Benzodiazepin mungkin perlu diulang jika tidak ada efek obat dalam 5-10 menit.
Tabel. 6 Treatment of Refractory Convulsive Status Epilepticus 4 Generic Name
IV Loading Dose
Maintenance Dose
Advantages
Ketamine
1-2 mg/kg over 2-4 min
0.005-0.05 mg/kg/min as anesthetic dose
Does not dec. BP
Midazolam
0.20 mg/kg
Fast, convenient
Pentobarbital
1-12 mg/kg at 50 mg/min to burst suppression
0.05-0.20 mg/kg/hr (1-36 ug/kg/min) titrated to seizure control 1-5 mg/kg/hr titrated to burst suppression
Phenobarbital
10-20 mg/kg at 50100 mg/min
30-60 mg q 12 hr
Readily available
Hypotension usually requires fluid and pressors, Immune suppression. Takes too long to load, hypotension
Propofol
1-5 mg/kg over 5 min
1-15 mg/kg/hr titrated to burst supression
Simple to adjust
Requires intubation, high lipid and calorie content
Fast, available
Disadvantages
Unknown efficacy. Inc. BP.may cause dissociative side effect Expensive, possible tachyphylaxis/tolerance
EPILEPSI REFRAKTER Definisi 24 Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah dicapai konsentrasi terapetik suatu terapi standar dalam satu tahun terakhir setelah onset . Bangkitan tersebut benar-benar akibat kegagalan OAE untuk mengontrol fokus epileptik, bukan karena dosis yang tidak tepat, ketidak-taatan minum OAE, kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi. TERAPI BEDAH EPILEPSI
Tujuan : • terutama adalah membuat penderita terbebas kejang • meningkatkan kualitas hidup pasien • menurunkan morbiditas • menurunkan kecacatan psikososial • meminimalkan defisit neurologik fokal Indikasi dan kriteria • Epilepsi refrakter • IQ > 70 • Tidak ada kontra-indikasi pembedahan • Usia < 45 tahun • Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas
Kandidat pembedahan epilepsi 25 • Epilepsi refrakter • Secara umum pada epilepsi dengan durasi lama (beberapa tahun) • Mengganggu kualitas hidup • Manfaat operasi lebih besar dibanding resiko
Tabel 11. Tes Diagnostik yang digunakan pada evaluasi pembedahan epilepsi26 __________________________________________________________ _________ Tests of epileptic excitability Noninvasive EEG Routine interictal EEG : Video EEG Longterm monitoring : outpatient long-term monitoring Invasive EEG Intraoperative electrocorticography : stereotactic-depth-electrode Long-term recording : subdural grid or strip, long-term recording Ictal single-photon-emission computed tomography Interictal and ictal magnetoencephalography* Functional MRI* Tests for structural abnormalities X-ray films, computed tomography, and other radiographic studies MRI Magnetic resonance spectroscopy* Tests of functional deficits Interictal PET; interictal SPECT Neuropsychological batteries; Intracarotid amobarbital (the WADA test); interictal EEG; interictal magnetoencephalography*; Magnetic resonance spectroscopy* Tests of normal cortical function (cortical mapping) Intraoperative electrocorticography; extraoperative subdural-grid recording; Intacarotid amobarbital; PET; Magnetoencephalography*; Functional MRI* _______________________________________________________________________ * Still considered
BAB V EPILEPSI PADA PEREMPUAN
Epilepsi pada perempuan mendapat perhatian di bidang kesehatan pada umumnya dan reproduksi pada khususnya. Frekwensi dan keparahan kejang dapat mengalami perubahan pada beberapa keadaan antara lain pada masa pubertas, siklus menstruasi , kehamilan dan menopause. Hormonal dilaporkan berperanan penting dalam hal ini. Diketahui estrogen akan meningkatkan risiko kejang, sedangkan progesterone sebaliknya berefek menghambat kejang. 27 Berdasarkan perubahan fisiologis yang terjadi pada perempuan, dikenal beberapa bentuk kejadian epilepsi yaitu :
• • • • • • • •
Epilepsi pada masa pubertas Epilepsi pada masa menstruasi (epilepsi katamenial) Epilepasi pada kehamilan Epilepsi pada persalinan Epilepsi pada masa menyusui Epilepsi pada menopause Epilepsi pada penggunaan kontraseptif oral dan suntikan Epilepsi pada penggunaan HRT (hormon replacement therapy)
Epilepsi pada masa pubertas
Selama masa pubertas seorang gadis, produksi hormon estrogen dan progesteron jauh lebih banyak daripada ketika dia masih kanak-kanak. Pada kelompok anak tertentu, serangan epilepsi mulai atau berhenti di sekitar pubertas. Hubungan yang ada antara epilepsi dan pubertas kemungkinan oleh karena adanya perubahan hormonal yang berpengaruh terhadap sel-sel otak. Estrogen dapat meningkatkan terjadinya serangan epilepsi. 28 Epilepsi fotosensitif dan jevenile myoclonic epilepsy (JME) mempunyai ciri yang khas yaitu muncul di sekitar masa pubertas. Sementara itu, serangan pada epilepsi absence dan benign rolandic epilepsi justru mereda di sekitar masa pubertas. Namun demikian sebagian besar epilepsi tidak mengalami perubahan dalam hal frekuensi serangannya. Sebagian besar penderita epilepsi parsial mengalami peningkatan frekuensi serangan di sekitar waktu menarke 29. Pada remaja putri yang memperoleh asam valproat harus diwaspadai kemungkinan terjadinya polycystic ovary syndrome yang dicirikan oleh hirsutisme (karena peningkatan hormon androgen), anovulasi kronis dan gangguan menstruasi yang meliputi amenorea, oligomenorea, perdarahan uterus disfungsional, infertilitas (semuanya disebabkan oleh peningkatan kadar estrogen, dan lainnya misalnya obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi terhadap insulin 30.
Epilepsi pada menstruasi (epilepsi katamenial)
31,32,33,34
Epilepsi katamenial adalah serangan epilepsi yang terjadi selama masa menstruasi atau beberapa hari menjelang atau sesudah menstruasi. Serangan pada epilepsi katamenial sering terjadi pada jenis parsial kompleks. Pada perempuan penyandang epilepsi, peningkatan serangan terjadi pada saat menjelang dan selama terjadinya menstruasi, dan pada saat terjadinya ovulasi. Hal demikian ini dapat terjadi pada perempuan dengan epilepsi idiopatik maupun simtomatik. Estrogen, progesterone, dan estradiol berperanan besar dalam perubahan ambang serangan epilepsi melalui berbagai macam mekanisme. Diagnosis epilepsi katamenial berdasarkan pada : • Definisi, juga perlu adanya • catatan harian berupa : informasi yang lengkap tentang epilepsi yang dialami penderita yaitu tentang peningkatan frekuensi dan lamanya serangan epilepsi pada saat menjelang, selama, dan sesudah menstruasi dan pola menstruasi. • kontrasepsi yang digunakan oleh penderita. • pemeriksaan kadar hormon estrogen, progesteron, estradiol • konsultasi ke spesialis ginekologi.
Terapi epilepsi katamenial :
• Memberi OAE yang sesuai dengan jenis serangan epilepsi yang ada. • Diawali dengan meningkatkan dosis obat anti-epilepsi konvensional, bila perlu sampai dengan dosis maksimal. • Dapat pula dipertimbangkan untuk memberi tambahan asetazolamid 5-10 hari sebelum dan sesudah haid, atau diberikan clobasam. • Apabila tidak memberi hasil baik maka perlu dipertimbangkan untuk memberi terapi hormonal. Manipulasi hormonal dapat meningkatkan kadar progesteron atau menurunkan kadar estrogen. Obat yang dapat diberikan antara lain klomifen sitrat dan medroksi progesteron. Pemberian hormon ini harus dikonsultasi dengan spesialis ginekologi disertai dengan perhatian khusus tentang kemungkinan adanya efek samping. Disfungsi menstruasi dan reproduksi lebih sering terjadi pada Epilepsi lobus temporalis (ELT) dan Epilepsi Umum Primer ( EUP ). Disfungsi menstruasi meliputi : amenore, oligomenore dan interval siklus menstruasi abnormal. Kelainan endokrin reproduksi meliputi : sindroma ovarium polikistik, hipotalamik hipogonadisme, menopause prematur dan hiperprolaktinemia.
Epilepsi pada kehamilan
Wanita dengan epilepsi mempunyai angka fertilitas yang rendah. Tingkat kesuburan ( fertilitas ) menurun 69 – 85 % dari yang diharapkan dan lebih mungkin mempunyai siklus menstruasi anovulatoir, ovarium polikistik, dan disfungsi seksual. Bila ditemukan adanya siklus
menstruasi yang tak teratur, hirsutisme, akne, dan obesitas seharusnya segera di evaluasi atas kemugkinan adanya disfungsi reproduksi. Penanganan wanita hamil dengan epilepsi perlu mendapat perhatian khusus mengingat kemungkinan terjadinya komplikasi baik pada ibu maupun bayi.Memang sebagian besar wanita dengan epilepsi mengalami kehamilan dan persalinan normal, frekuensi kejang juga tak berubah dan lebih dari 90% mendapat bayi yang normal, namun masih banyak wanita epilepsi pada awal kehamilan masih dalam kombinasi beberapa obat antikonvulsan yang ternyata sangat berisiko malformasi pada infant.35
Beberapa hal yang perlu perhatian :
Wanita epilepsi usia reproduktif dianjurkan konsultasi pengobatan epilepsi 6 bulan sebelum rencana kehamilan. 35 Dianjurkan pemberian antikonvulsan tunggal dengan dosis diturunkan seminimal mungkin dalam mengatasi kejang, terutama pada 3 bulan pertama kehamilan. Pemberian dosis tinggi dihindari dan sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali/hari.36 Carbamasepin, phenitoin, phenobarbital, sodium valproate, semua obat ini adalah teratogenik tapi peningkatan kelainan perkembangan pada foetus akan terjadi bila diberikan politerapi atau terutama bila dikombinasi dengan sodium valproat.37,38 Carbamasepin berisiko teratogenik lebih rendah dibandingkan valproat, phenitoin, phenobarbital. 12,13 Anti konvulsan baru lini kedua yang dilaporkan cukup aman bagi kehamilan adalah gabapentin dan lamotrigin.(studi pada binatang percobaan).39 “Belum ada studi penggunaan Levetiracetam pada wanita hamil , tapi dilaporkan pada binatang percobaan dapat mengakibatkan kelainan lahir. “ Komplikasi maternal yang dapat terjadi pada wanita yang menggunakan antikonvulsan adalah hiperemesis gravidarum,pre eklampsi, eklampsi, perdarahan pervaginum dan persalinan prematur. 39 Resiko komplikasi kehamilan pada pasien epilepsi meningkat 1,5 – 4 kali. Pemberian OAE karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dilaporkan cukup aman pada wanita hamil penyandang epilepsi. Selama kehamilan kadar serum karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan valproat menurun secara berturut-turut ( 42%, 56%, 55% dan 39% ), kadar obat bebas karbamazepin, fenobarbital, fenobarbital menurun secara berturut-turut (28%, 31%, dan 50% ), sedangkan kadar obat bebas valproat meningkat 25%. Pada semua wanita penyandang epilepsi yang berpotensi melahirkan anak dianjurkan pemberian suplemen asam folat 0,4-4 mg mg/hari sebelum konsepsi dan selama keh amilan untuk mengurangi risiko defek neural tube akibat OAE 40 Pada Ibu hamil penyandang epilepsi pada trimester akhir kehamilan terutama 2 minggu terakhir menjelang tanggal kelahiran dianjurkan pemberian Vit K oral 10-20 mg/hari untuk menurunkan risiko terjadinya perdarahan maternal maupun neonatal. 37 Kemungkinan terjadinya cacat pada janin mendorong dikerjakannya pemeriksaan pranatal, meliputi pemeriksaan kadar OAE, asam folat, AFP, vitamin K, dan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengetahui ada atau tidak adanya neural-tube defects, bibir sumbing, dan
kelainan jantung bawaan. Pemeriksaan tersebut dikerjakan sejak kehamilan 6 minggu sampai 36 minggu.14 Dosis optimal asam folat belum diketahi secara pasti. Untuk perempuan yang tidak mengalami defisiensi asam folat cukup diberi 1mg/hari. Apabila terbukti ada defisiensi asam folat maka perlu diberi asam folat dengan dosis yang lebih tinggi, dapat diberikan sampai 4 mg/hari. 13
Epilepsi pada persalinan
41,42
Persalinan harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan epilepsi dan unit perawatan intensif untuk neonatus. Perempuan penyandang epilepsi dapat melahirkan normal per vaginum. Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan, apabila perlu penderita dapat diberi dosis tambahan dan/atau obat parenteral terutama apabila terjadi partus lama. Terapi akut kejang saat melahirkan sebaiknya digunakan Lorazepam intravena. Perlu diingat bahwa OAE yang menginduksi enzim hepar merupakan inhibitor kompetitif terhadap prothrombin precursors, hal ini menempatkan bayi dalam keadaan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan termasuk perdarahan otak. Risiko tertinggi terdapat pada hari pertama paska lahir, dan bayi mungkin memerlukan pemeriksaan koagulasi. Pemberian vit K 1 mg I.M diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu yang menggunakan OAE induksi-enzim. Pemberian ulangan vit K 2 mg oral dilakukan pada akhir minggu pertama, dan akhir minggu ke4. Tujuan pemberian vitamin K adalah untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan .
Epilepsi pada masa menyusui
40,41
Sebagian besar perempuan penyandang epilepsi mampu menyusui anaknya secara baik. Kadar OAE dalam air susu ibu (ASI) ditentukan oleh kadar obat di dalam plasma dan tingkat keterikatan obat oleh protein. Makin tinggi tingkat keterikatan obat pada protein maka kadar OAE dalam ASI makin rendah. Fenitoin dan asam valproat yang proporsi ikatan pada protein cukup tinggi sehingga kadarnya dalam ASI cukup rendah. Lebih dari itu, fenitoin cukup sulit diabsorbsi oleh traktus gastro-intestinal bayi. Dengan demikian ibu yang minum fenitoin dan asam valproat diperbolehkan menyusui bayinya. Karbamazepin dan fenobarbital terdapat di dalam ASI dengan kadar yang lebih tinggi. Apabila si ibu minum fenobarbital, maka bayinya harus diawasi apakah tidak dapat mengisap ASI atau tampak mengantuk terus. Apabila terjadi maka pemberian ASI harus segera dihentikan.14 Konsentrasi OAE di ASI untuk fenitoin 10%, benzodiasepin 15 %, valproat 5 %, karbamasepin 45%, fenobarbital 40%, oxcarbasepin 50%, primidon 80%, ethsuximide 90%. Lamotrigin dan topiramat mempunyai ikatan protein yang rendah sampai sedang, demikian pula konsentrasi yang ditemukan pada ASI. Gabapentin dan levetiracetam tidak ada ikatan protein dan mempunyai konsentrasi yang ekuivelen dengan serum maternal dan ASI.
Dari penelitian disimpulkan, tidak ada kontra-indikasi mutlak untuk menyusui bagi perempuan dengan epilepsi. Penggunaan susu botol pengganti ASI perlu dipertimbangkan bila bayi menjadi malas minum.17
Epilepsi pada menopause
40,44
Selama menopause, kadar estrogen maupun progesteron menurun tajam. Pada kelompok perempuan tertentu serangan epilepsi menjadi reda sementara itu pada kelompok yang lain justru makin memburuk. Hubungan antara menopause dengan epilepsi belum banyak diketahui. Beberapa obat anti epilepsi yang diberikan pada wanita epilepsi apalagi pada masa menopause akan meningkatkan risiko gangguan pada tulang seperti osteoporosis, osteopeni, osteomalacea dan fraktur. Phenitoin, karbamasepin dan phenobarbital dilaporkan dapat meningkatkan terjadinya perubahan pada metabolisme tulang dan densitas tulang.
Obat anti epilepsi pada penggunaan kontraseptif oral dan suntikan
45
Banyak obat anti epilepsi menginduksi ensim hepar serta menurunkan efek oral kontraseptif. Karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dan pirimidon menurunkan efek kontrasepsi oral dengan cara meningkatkan enzim mikrosomal. Karbamazepin mempengaruhi keseimbangan hormon seks : dapat menurunkan tingkat dehidroepiandrosteron sulfat dan indeks androgen bebas, meningkatkan jumlah hormon steroid yang terikat globulin, dan penurunan sekejap respon LH dan Gonadotropin terhadap Gonadotropin releasing Hormon. Fenitoin menurunkan Dehidroepiandrosteron Sulfat ( DHEA-S). Penggunaan lama Valproat berkaitan dengan kenaikan testosteron serum dan DHEA-S. Dianjurkan bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya yang mengandung 50 mikrogram etinilestradiol. Penggunaan kontrasepsi suntikan (Depo Provera) dilaporkan dapat memperbaiki kejang dan dianjurkan pemberian suntikan (Depo Provera) ini sebaiknya diulangi setiap10 minggu daripada yang dianjurkan setiap 12 minggu. Benzodiazepin, etosuksimid, vigabatrin,lamotrigin dan gabapentin tidak mempengaruhi efektifitas kontrasepsi oral. Interaksi obat antikonvulsan dan pil KB. 45
Obat2 epilepsi yang dapat mengurangi effektifitas oral kontraseptif :
Obat yg menginduksi enzim : • carbamazepine (though • ethosuximide conflicting data about this)
Obat2 epilepsi yang tidak mengurangi effektifitas oral kontraseptif : • •
there
is
• •
vigabatrin gabapentin tiagabine sodium valproate
• • • • •
oxcarbazepine phenobarbital phenytoin primidone topirimate
• •
clobazam clonazepam
•
levetiracetam
obat yg non induksi enzim : lamotrigine *
Epilepsi pada penggunaan hormon replacement therapy
46
Hormone replacement therapy= HRT= terapi sulih hormone pada wanita menopause mungkin bermanfaat dalam menghilangkan beberapa simptom menopause seperti hot flushes, keringatan dan kekeringan vagina. Juga dapat membantu memproteksi terjadinya penyakit jantung dan osteporosis. Tapi HRT ini dapat juga merupakan kontraindikasi bagi beberapa wanita lainnya. Para wanita epilepsi membutuhkan pertimbangan cermat, apakah memang benar-benar membutuhkan HRT ( hormone replacement therapy = terapi sulih hormone ) atau tidak.. HRT dapat diberikan berupa estrogen sendiri atau dalam atau dalam bentuk kombinasi estrogen dan progesterone. Testosteron juga kadang-kadang ditambahkan sebagai kombinasi. Estrogen seperti diketahui akan lebih mudah menimbulkan kejang, sehingga saharusnya pada HRT dibutuhkan kombinasi dengan progesteron. Namun pada beberapa wanita, frekuensi kejang akan tetap meningkat walaupun progesteron sudah tercakup dalam HRT . Dalam penggunaan HRT ini juga dianjurkan untuk mengkonsumsi vitamin D dan suplemen calsium, regular weight-bearing exercise, menghindari alkohol dan rokok dapat meminimalkan kehilangan masa tulang dan osteoporosis.
BAB VI ASPEK PSIKOSOSIAL, MEDIKO-LEGAL DAN KESEHATAN REPRODUKSI
Aspek sosial
Pasien epilepsi secara umum mempunyai kendala dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan karena : 1. Kekeliruan persepsi masyarakat terhadap penyakit : kutukan, turunan, dsb. 2. Kekeliruan perlakuan keluarga terhadap pasien epilepsi : overproteksi, penolakan, dimanjakan, dsb. 3. Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi : penolakan, direndahkan, diisolasikan, dsb 4. Keterbatasan pasien epilepsi akibat penyakit : dalam bidang pendidikan, kemasyarakatan, seni dan olah raga, dsb. Beberapa karakteristik yang perlu dipertimbangkan : 1. Karakteristik penyakit : tidak menular, paroksismal, dapat disembuhkan, dsb. 2. Karakteristik bangkitan: umum, parsial sederhana, partial kompleks, atonik dsb. 3 3. Karakteristik pasien : kepribadian, pendidikan, keluarga, dsb 3 4. Sistem Sosial dan Hukum : adat istiadat, budaya, undang-undang, dsb 5. Sosialisasi penyakit pada instansi terkait : pendidikan, tenaga kerja, kepolisian, dsb
Aspek pekerjaan
• •
•
Epilepsi dapat menurunkan kesempatan dan efisiensi kerja serta meningkatkan risiko kecelakaan kerja, maka bangkitan harus terkontrol Prinsip pilihan pekerjaan : 1. Disesuaikan dengan jenis dan frekuensi bangkitan. 2. Resiko kerja yang paling minimal. 3. Tidak bekerja sendiri dan di bawah pengawasan 4. Jadwal kerja yang teratur. Lingkungan kerja (atasan dan teman kerja) tahu kondisi pasien dan dapat memberikan pertolongan awal dengan baik, maka epilepsi jangan dirahasiakan.
Aspek Olahraga
1. Pasien Epilepsi masih diperbolehkan melakukan olahraga. 2. Pilihan jenis olah raga yang diperbolehkan, dengan pertimbangan : - Dilakukan di lapangan / gedung olah raga.
-
Olah raga yang dilakukan di jalan umum (balap, lari maraton, dll), di ketinggian (naik gunung, panjat tebing, dll) sebaiknya dihindari. Pengawasan khusus dan atau alat bantu diperlukan untuk beberapa jenis olah raga, seperti : renang, atletik, senam, dsb.
Aspek mengemudi
Resiko kecelakaan tergantung pada jenis dan frekuensi bangkitan. Yang penting penyakit epilepsi tidak meningkatkan kejadian kecelakaan lebih besar dibandingkan penyakit jantung, kencing manis, gangguan mental, alkoholisme dan penyalahgunaan obat. Pemberian Surat Ijin Mengemudi ( SIM ) pada pasien epilepsi bervariasi sesuai hukum tiap negara dengan prinsip : - Bangkitan epilepsi telah terkontrol dengan OAE - Masa bebas bangkitan dalam jangka waktu tertentu ( 24 bulan berdasarkan pedoman POLRI ). - Hukum dan peraturan asuransi yang berlaku. - Dengan kondisi yang ada di Indonesia disarankan pemberian ijin mengemudi dengan pertimbangan-pertimbangan : Pasien sudah terkontrol bangkitannya dan bebas bangkitan dalam jangka tertentu ( perlu kesepakatan dengan pertimbangan berbagai aspek di atas ). - Bagi pengemudi pribadi dengan asisten, masa bebas bangkitan lebih pendek ( 6 – 12 bulan ) dapat dipertimbangkan, seperti bangkitan parsial sederhana dan melibatkan anggota tubuh non dominan atau epilepsi nokturnal. - Bagi pengemudi angkutan umum, pengecualian ini tidak berlaku, bahkan mungkin diperlukan syarat tambahan, seperti : berobat secara rutin, rekaman EEG, Psikotes, atau masa bebas bangkitan lebih lama. - Perlu ditentukan batas waktu maksimal mengemudi bagi pasien epilepsi untuk menghindarkan stres fisik / psikis yang berlebihan ( maksimal 6 jam menurut pedoman POLRI) - Perlu adanya komunikasi serta kerjasama dengan pihak pimpinan /perusahaan tempat bekerja mengenai seluk beluk penyakit yang diderita untuk dapat memberikan pengawasan langsung ( jadwal kerja, lama kerja, lingkungan kerja, diet dsb ). - Perlu antisipasi khusus terhadap epilepsi refleks ,diperlukan tes povokasi
Aspek Hukum
Prinsip umum : perlu ada perbedaan perlakuan hukum tertentu bagi pasien epilepsi, khususnya pada hak dan kewajiban hukum, pemberian asuransi kesehatan dan ijin mengemudi. Perlu adanya komunikasi dan advokasi antara pihak / instansi yang terkait untuk meletakkan pasien epilepsi pada posisi sebenarnya.
Aspek perkawinan dan reproduksi
1. Pasien epilepsi diperbolehkan untuk menikah 2. Epilepsi mempengaruhi dan dipengaruhi keseimbangan hormonal ( estrogen dan progesteron ) 3. Hiposeksual sering terjadi pada pasien epilepsi, khususnya Epilepsi Lobus Temporal ( ELT ) 4. Disfungsi menstruasi dan reproduksi lebih sering terjadi pada ELT dan Epilepsi Umum Primer ( EUP ). Disfungsi menstruasi meliputi : amenore, oligomenore dan interval siklus menstruasi abnormal. Kelainan endokrin reproduksi meliputi : sindroma ovarium polikistik, hipogonadisme hipotalamik, menopause prematur dan hiperprolaktinemia. 5. Pada catamenial epilepsy (bangkitan kejang yang ada hubungannya dengan siklus haid) diterapi dengan azetasolamid 5-10 hari sebelum dan sesudah haid, atau diberikan clobasam. 6. Tingkat kesuburan ( fertilitas ) menurun 69 – 8 5 % dari yang diharapkan. 7. Karbamazepin mempengaruhi keseimbangan hormon seks : dapat menurunkan tingkat dehidro-epiandrosteron sulfat dan indeks androgen bebas, meningkatkan tingkat hormon steroid yang terikat globulin, dan penurunan sekejap respon LH dan Gonadotropin terhadap Gonadotropin releasing Hormon. 8. Fenitoin menurunkan Dehidro-epiandrosteron Sulfat ( DHEA-S). 9. Penggunaan valproat jangka lama berkaitan dengan kenaikan testosteron serum dan DHEA-S. 10. Fenitoin, Fenobarbital, Karbamazepin dan pirimidon menurunkan efek kontrasepsi oral dengan cara meningkatkan enzim mikrosomal. 11. Bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya yang mengandung 50 mikrogram etinilestradiol. 12. Penggunaan kontrasepsi suntikan (Depo Provera) dapat mengurangi kejang. 13. Benzodiazepin, etosuksimid, vigabatrin,lamotrigin dan gabapentin tidak mempengaruhi efektifitas kontrasepsi oral. 14. Resiko komplikasi kehamilan pada pasien epilepsi meningkat 1,5 – 4 kali. 15. Pemberian OAE karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dilaporkan cukup aman pada perempuan hamil pasien epilepsi. 16. Suplemen asam folat 4-5 mg/hari dianjurkan saat hamil untuk mengurangi risiko defek neural tube akibat OAE. 17. Pada semua perempuan pasien epilepsi yang berpotensi melahirkan anak dianjurkan untuk diberi asam folat 0,4-4 mg mg/hari. 18. Selama kehamilan kadar serum karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan valproat menurun secara berturut-turut ( 42%, 56%, 55% dan 39% ), kadar obat bebas karbamazepin, fenobarbital, fenobarbital menurun secara berturut-turut (28%, 31%, dan 50% ), sedangkan kadar obat bebas valproat meningkat 25%. 19. Pada perempuan hamil pasien epilepsi trimester akhir dianjurkan untuk diberi Vit K oral 20 mg/hari. 20. Pemberian vit K 1 mg I.M diberikan pada neonatus saat dilahirkan pada ibu yang menggunakan OAE penginduksi enzim. 21. Perempuan pasien epilepsi dapat melahirkan normal per vaginum.
22. Terapi akut kejang saat melahirkan sebaiknya digunakan Lorazepam intravena. 23. Konsentrasi OAE di ASI untuk fenitoin 10%, benzodiasepin 15 %, valproat 5 %, karbamasepin 45%, fenobarbital 40%, oxcarbasepin 50%, primidon 80%, ethsuximide 90%. 24. Penggunaan susu botol pengganti ASI perlu dipertimbangkan bila bayi menjadi malas minum.
BAB VII
EPILEPSI PADA USIA LANJUT Prevalensi epilepsi pada usia lanjut : 0,9%-1.5% lebih tinggi dibandingkan dengan Usia muda. Disamping itu epilepsi pada usia lanjut lebih b anyak yang simtomatis ( sekunder).
ETIOLOGI
Etiologi epilepsi pada usia lanjut berdasarkan prevalensinya sebagai berikut: 1. Stroke (jenis yang perdarahan lebih banyak). 2. Penyakit Degeneratif ( Demensia jenis vaskuler,Alzheimer dan amyloid Angiopathy). 3. Tumor Otak. 4. Kelainan Metabolik ( uremia,hiperglisemia,hipoglisemia,hiponatremia, Intoksikasi,withdrawal alcohol). 5. Trauma kepala. 6. Infeksi.
JENIS EPILEPSI
Jenis bangkitan epilepsi yang sering terjadi pada usia lanjut sebagai berikut : 1. Parsial kompleks. 2. Kejang umum tonik-klonik. 3. Kejang fokal sederhana. Perbedaan antara epilepsi usia lanjut dan epilepsi usia muda. Penampakan
Epilepsi usia lanjut
Epilepsi usia muda.
Jenis Kejang Tipe Kejang tersering Frekwensi kejang Post iktal Potesial trauma Respon terhadap OAE
Sedikit (3jenis) Parsiil Kompleks sedikt Kesadaran lama pulih sering Umumnya jelek
Banyak Kejang umum tonik klonik. Banyak. Cepat pulih jarang Umumnya bagus
Toleransi terhadap OAE Dosis obat Kecepatan titrasi OAE
Umumnya jelek Umumnya rendah pelan
Umumnyabaik. tinggi cepat
DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi pada usia lanjut ditegakkan berdasar: 1. Anamnesis ( Rek. A). 2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis ( Rek. B). 3. Pemeriksaan Penunjang : a. EEG ( Rek. B). b. CT-Scan ( Rek. B) c. MRI ( Rek B). 4. Pemeriksaan Laboratorium ( Rek C).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan epilepsi pada usia lanjut hendaknya lebih berhati-hati mengingat pada usia lanjut telah terjadi penurunan fungsi organ tubuh sehingga sering terjadi penyakit lainnya bersama dengan keluhan epilepsinya. Dalam pemilihan obat pada epilepsi usia lanjut perle diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pemilihan obat berdasarkan jenis epilepsinya. 2. Terapi awal dimulai dengan dosis rendah,usaahakan obat yang dipilih yang dapat diberikan 2 kali sehari unutk meningkatkan kepatuhan. 3. Karena pasien usia lanjut sering mengalami kesulitan menelan berikan bat yang mudah digerus. 4. Periksalah kadar obat dalam darah guna mencegah intoksikasi. 5. Pada usia lanjut sering diketemukan gangguan fungsi organ yang memerlukan terapi, sehingga pemilihan obat anti epilepsi hendaknya dipilih yang tidak berinteraksi dengan obatobat tersebut. 6. Pemberian obat anti epilepsy pada usia lanjut kadang memerlukan waktu lebih dari 3 tahun bahkan seumur hidup ,karena epilepsi pada usia lanjutmumumnya simtomatis. Pemilihan obat OAD pada usia lanjut sehat dan usia lanjut dengan Multiple Medical Problem (MMP) Obat anti Epilepsi
Usia Lanjut Sehat
Usia lanjut dengan MMP
Carbamazepin Phenytoin
baik baik
Valproat
baik
Phenobarbital Oxcarbazepine
dihindari baik
Gabapentine
baik
Hati-hati pada Ggn Ginjal. Hati-hati pada Ggn Ginjal. Hati-hati pada Parkinson. dihindari Hati-hati pada Ggn Ginjal. Baik
Lamotrigine Levetiracetam Topiramate Tiagabine
baik baik baik baik
baik baik baik baik
DAFTAR ISI Halaman sampul Daftar isi Bab I
Pendahuluan
1
Bab II
Definisi, klasifikasi Etiologi
2 6
Bab III
Diagnosis Diagnosis diferensial Gambaran klinis
7 8 9
Bab IV
Terapi Status epileptikus
10 15
Bab V
Epilepsi pada perempuan
25
Bab VI
Aspek psikososial, medikolegal, reproduksi
32
Bab VII
Epilepsi pada usia lanjut
36
Daftar Pustaka
40
DAFTAR PUSTAKA
1.
Gummit RJ. Recommendation Guidelines for Diagnosis and Treatment in Specialized Epilepsy Centers. Epilepsia. Vol 31, supp 1, 1990
2.
Pellegrino TR. Seizures and Status Epilepticus in Adults, in Tintinali JE, Ruiz E, Krome RL. Emergency Medicine. 4th ed. Mc Graw Hill. New York, 1996
3.
Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment, Blackwell Science Ltd, 2000
4.
The Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981;22:489-501
5.
The Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes. Epilepsia 1989;30:389-99
6.
Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 3rd edition. Philadelphia. WB Saunders co, 1995
7.
Panayiotopoulos CP. The Epilepsies: Seizures, Syndromes, and Management; Oxfordshire, Blandon Medical Publishing, 2005
8.
MOH Clinical Practice Guidelines. Diagnosis and Management of Epilepsy in Adults. 1999
9.
Gubermann AH, Bruni J. Essential of Clinical Epilepsy. 2nd ed. Butterworth Heinemann. Boston, 1999
10.
Manford M. Practical Guide to Epilepsy, Butterworth Heinemann Elsevier Sciences. 2003
11.
Kuzniecky R.I. Neuroimaging Techniques in Epilepsy, in : American Academy of Neurology. 55th Annual meeting 2003
12.
Engel J. Seizures and Epilepsy. FA Davis Company. Philadelpia, 1989
13.
Aicardi J. Epilepsy in Children. 2nd ed. The International Review of Child Neurology. Raven Press, 1994
14.
Roger J, Bureau M, Dravet C, et al. Epileptic Syndromes in Infancy, Childhood and Adolescence. 2nd ed. John Libbey & Company, 1992
15.
Cockerel OC, Shorvon OD. Epilepsy current concepts. Current medical literature.London, 1996
16.
Gumnit RJ. The Epilepsy Handbook The Practical Management of Seizure. 2nd ed. Raven Press, New York, 1995
17.
Brodie MJ, Dichter MA. Antiepileptic drugs. N Eng J Med. 1996;334:168-75
18.
Browne TR, Holmes GL. Epilepsy. N Eng J Med. 2001; 344:1145-51
19.
Devinsky O. Patients with Refractory Seizures. N Eng J Med. 1999;340:1565-70
20.
Medical Research Council Anti-epileptic Drug Withdrawl Study Group. Randomised study of anti-epileptic drug withdrawl in patients in remission. Lancet 1991;337:1175-80
21.
Medical Research Council Anti-epileptic Drug Withdrawl Study Group. Prognostic index for recurrence of seizures after remission of epilepsy. BMJ 193;306:1374-8
22.
Fountain N. Treatment of Status Epilepticus. In : American Academy of Neurology. 55th annual meeting 2003
23.
Working Group on Status Epilepticus. Treatment of convulsive status epilepticus. Recommendations of the Epilepsy Foundation of America’s Working Group on Status Epilepticus. JAMA 1993;270:854-9
24.
Intractable Seizure. Diagnosis treatment and prevention, Advances in experimental medicine and biology. Vol 497, 2002
25.
Krumholz A. Selection and management of epilepsy patients for surgery. American Academy of Neurology. 55th Annual meeting, 2003.
26.
Engel J. Surgery for Seizures. N Engl J Med. 1996 ; 334 : 647-53
27.
Morrell M.J , M.D. Epilepsy in Woman. Columbia University, New York City, New York. In Journal of the American Academy Family Physicians October 15, 2002.
28.
Devinsky, O.A 1994 Guide to understanding and living with epilepsy. FA Davis Company, Philadelphia.
29.
Morrel, M.J. 1992 Hormones and epilepsy through the lifetime. Epilepsia 33(Suppl. 4):S49-S61.
30.
Vainionpaa, L.K., Rattya, J., Kinp, M., Tapanainen, J.S., Pakarinen, A.J., Lanning, P., Tekay, A., Myllyta, W., Isojarvi, J.I.T. 1999 Valproate-induced hyperandrogenism during pubertal maturation in girls with epilepsy. Ann. Neurol. 45:444-50.
31. Tjahjadi, A. 2001 The effect of progesterone and antiestrogen on the frequency of seizures in women with complex partial seizures and catamenial epilepsy. URL http://142.103.117.44/scil/conf/2001/proc/node53.html. Cited on 8/12/2002 . 32.
Zahn C. Catamenial epilepsy: clinical aspects. Neurology 1999;53(Suppl 1):S34-S37.
33.
Duncan S, Read CL, Brodie MJ. How common is catamenial epilepsy? Epilepsia 1993;34(5):827-831.
34.
Harsono 2002 Epilepsi katamenial. B.I.Ked . 34(1):57-63.
35.
British Brain and Spine Foundation Epilepsy; a guide for patients and carers, Available at: http://www.brainandspine.org.uk/pdf/epilepsy.pdf (accessed on 3 March, 2005).
36.
Nakane Y, Oltuma T, Takahashi R et al. Multi-institutional study on the teratogenicity and fetal toxicity of anticonvulsants: a report of a collaborative study group in Japan. Epilepsia, 1980; 21:663-680.
37.
Yerby M S, Pregnancy and teratogenesis. In: Trimble MR (ed). Women and Epilepsy. Chichester, John Wiley & Sons.1991.
38.
Shorvon .S.Handbook of Epilepsy Treatment, Blackwell Sciense Ltd, 2000.page 79-83.
39.
Dansky L V,The teratogenic effects of epilepsy and anticonvulsant drugs. In Hopkins
40.
Liporace, J.D. 1997 Women’s issues in epilepsy. Postgrad. Med. 102(1): 1-8.
41.
ILAE (International League Against Epilepsy).1993 Guidelines for the care of women of childbearing age with epilepsy. Epilepsia 34(4):588-9.
42.
Prof. dr. Harsono, Sp.S (K), Karakteristik epilepsi pada perempuan. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Saraf pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ; 12 April 2004.
43.
AAN (American Academy of Neurology). 1998 Practice parameter: Management issues for women with epilepsy (summary statement). Neurology 51:944-8.
44.
Abbasi, F., Krumholz, A., Kittner, S. 1995 Effects of menopause on women with epilepsy. Epilepsia 36(Suppl 4):148-50.
45.
National Institute for Clinical Excellence (NICE). The epilepsies: the diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care. Clinical guideline 20., Available at: http://www.nice.org.uk (accessed on 10 August 2005).