BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Tasawuf merupakan sisi mistik di dalam agama Islam dimana tujuan kaum sufi sebagai pelakunya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melihat Tuhan dan bahkan lebih dari itu. Salah satu ajaran yang sangat penting dari Ilmu Tasawuf adalah ma'rifat. Ma'rifat merupakan perjalanan ruhani yang didambakan oleh setiap sufi, namun tidak semua sufi mampu mencapainya.
Dalam perbincangan di kalangan sufi terdapat dua pandangan tentang ma'rifat, yang pertama dianggap sebagai maqam, dan yang kedua dianggap sebagai bagian dari haal atau ahwal. Dalam kajian ini ma'rifat juga akan dibahas berkaitan dengan pelopor pemikirannya. Dengan demikian diharapkan mampu mengungkapkan konsep ma'rifat sesuai dengan kajian dalam dunia tasawuf.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pengertian ma'rifat?
Bagaimana konsep ma'rifat?
Siapa tokoh pelopor pemikiran tentang ma'rifat?
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN MA'RIFAT
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
الْمَعْرِفَةُ جَزْمُ الْقَلْبِ بِوُجُوْدِ الْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتَّصِفًا بِسَائِرِ الْكَالِمَاتِ
"Ma'rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
الْمَعْرِفَةُ طُلُوْعُ الْحَقِّ, وَهُوَ الْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْأَنْوَارِ
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi)... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
الْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السَّكِيْنَةَ فِي الْقَلْبِ كَمَا أَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السُّكُوْنَ, فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat mencapai pada tingkatan ma'rifah. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma'rifah memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun al-Mishri yang mengatakan bahwa ada beberapa tanda yang dimiliki oleh sufi bila sudah sampai pada tingkatan ma'rifah, antara lain:
Selalu memancar cahaya ma'rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
Tidak menjadikan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut tasawuf, belum tentu benar.
Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak untuk dirinya, karena hal itu bisa membawa dirinya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga asy-Syeikh Muhammad bin al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifah yang dimiliki Sufi cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya karena merasa selalu bersama-sama Tuhannya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhannya ketika mencapai tingkat ma'rifah, maka ada beberapa Ulama' yang melukiskannya sebagai berikut:
Imam Rawim mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifah, ia bagaikan berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin kecuali hanya Allah SWT. saja.
Al-Junaid al-Baghdadi mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat bagaikan sifat air dalam gelas yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu saat ingatannya kepada Allah terputus walaupun hanya sekejap mata.
Sahal bin Abdillah mengatakan sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya. Sehingga keadaan itu membawa dia lupa akan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syari'at, Tarikat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan tan tidak pula mengalami kesesatan.
PAHAM MA'RIFAT
Puncak dari ma'rifat (pengenalan akan Allah) yang sebenarnya adalah kita meyakini sepenuh jiwa dan raga bahwa Allah ada (maujud), beserta nama-nama-Nya yang indah tak tertandingi, yang jumlahnya tidak kurang dari 99 buah yang Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Agung, yang tak tergantung pada alam semesta dan sebagainya. Untuk ma'rifat kepada Allah, pemahaman dan pengertian akan makna dari nama-nama-Nya yang indah itu haruslah kita hayati sebagai bagian integral dari pengenalan diri kepada Allah.
Seyogyanya kita memahami bahwa manusia di tengah semesta hanyalah titik noktah di antara semua makhluk Allah. Namun, justru dari keberadaan manusia yang kecil itu tersembunyi rahasia kemuliaan Ilahi yang telah menyebabkan manusia menjadi khalifah di atas bumi, lengkap dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan kekuatan akalnya, manusia diberi kekuasaan oleh Allah untuk menentukan pilihan-pilihan dalam rangka menjadi khalifah yang baik di dalam memenuhi hak dan kewajibannya atau menjadi makhluk yang mengebaikan hak dan kewajibannya. Ini berarti keberadaan manusia sebagai khalifah adalah ibarat seorang hamba yang dipercaya untuk mengelola dan memelihara keserasian hidup di muka bumi, yang untuk memenuhi tugas tersebut hamba itu selain wajib berdisiplin dalam membuat laporan dan meminta petunjuk juga wajib memenuhi perintah dan menghindari setiap larangan dari tuannya.
Ada segolongan orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma'rifat. Mereka mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya tertutup dan waktu inilah yang dilihat hanya Allah.
Ma'rifat adalah cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin maka yang dilihatnya hanya Allah.
Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah.
Seandainya ma'rifat itu materi, maka semua orang yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Dzun Nun al-Mishriyah mengatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan itu ada tiga macam:
Pengetahuan Awam
Memberikan pengetahuan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
Pengetahuan Ulama
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara hati sanubari.
Bahwasanya pengetahuan Awam dan Ulama di atas belum dapat memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehingga kedua pengetahuan tersebut baru disebut "Ilmu" dan belum disebut "Ma'rifah". Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma'rifat adalah pengetahuan Sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan, sehingga ma'rifah hanya dapat diperoleh pada kaum Sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya. Di samping juga mereka di dalam hatinya penuh dengan cahaya. Pengetahuan seperti ini disebut dengan 'irfan dan dalam istilah lain disebut dengan diagnosis dari teosofi hellenistik.
Semakin tinggi ilmu seseorang dalam upaya mengenal Allah semakin sadarlah ia, bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah. Tak ada satupun yang ia bawa ketika ajal merenggutnya. Oleh sebab itu hari-harinya dihabiskan untuk menjalin tali pengikat antara dirinya dengan Allah dalam komunikasi pribadi. Mereka yang mencapai ma'rifat menyadari bahwa setiap gerak dan langkahnya senantiasa di awasi Allah. Bahkan dalam ma'rifat itu ia dapat menghayati betapa Allah adalah Dzat yang maha mengampuni bagi mereka yang mau bertaubat dan membalas bagi mereka yang mencintainya serta murka kepada mereka yang ingkar dan suka berbuat maksiat.
JALAN MA'RIFAT
Kaum sufi untuk mendapatkan suatu Ma'rifat melalui jalan yang ditempuh dengan mempergunakan suatu alat yang disebut Sir (اَلسِّرُ) . Menurut al-Qusyairi ada tiga, yaitu:
Qalb(اَلْقَلْبُ) : untuk mengetahui sifat Tuhan.
Ruh(اَلرُّوْحُ) : untuk mencintai Tuhan
Sir (اَلسِّرُ) : untuk melihat Tuhan
Kedudukan Sir lebih halus dari ruh dan qalb. Dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb di samping sebagai untuk merasa juga sebagai alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan 'aql ialah kalau 'aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi qalb dapat mengetahui Hakikat dari segala yang ada. Dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Posisi sir bertempat di dalam ruh. Dan ruh sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). Dan sebaliknya, mereka yang melakukannya yang dilihat hanyalah Allah.
Pada kedudukan tersebut Sufi telah berada pada tingkat Ma'rifat. Sifat dari Ma'rifat Tuhan bagi seorang sufi adalah kontinyu (terus menerus). Semakin banyak mendapat Ma'rifat Tuhan semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Namun, untuk memperoleh Ma'rifat yang penuh tentang Tuhan mustahil, sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.
Langkah awal yang harus diambil oleh ahli ma'rifat adalah kebingungan, kemudian sesudah itu kebutuhan, sesudahnya penyatuan dan sesudahnya kebingungan. Kebingungan yang pertama ialah pada tindakan-tindakan dan karunia-karunia Tuhan terhadap dirinya sebab dia merasa bahwa syukurnya kepada Tuhan tidaks esuai dengan karunia yang diberikan-Nya. Sedangkan kebingungan yang kedua ialah di dalam keliaran tanpa penyatuan yang tidak terarah (lenyap dan akalnya mendut di hadapan kebesaran, kekuasaan, pesona dan keagungan Tuhan).
Sedangkan langkah terakhir terhadap ma'rifat adalah ketika dia tetap seperti dia sebelumnya di hadapan sesuatu yang dihadapi sebelumnya. Dan hal ini dimaksudkan dengan perenungan terhadap Tuhan dan tidakan-tindakan-Nya, bukan merenungkan dirinya sendiri dan tindakannya.
TOKOH PELOPOR PEMIKIRAN MA'RIFAT
Tokoh pelopor pemikiran Ma'rifat yang juga disebut-sebut sebagai Bapak Paham Ma'rifat adalah Dzun An-Nun Al-Mishri. Dzun An-Nun adalah nama julukan bagi seorang sufi yang nama lengkapnya Abu al-Faid Tsauban bin Ibrahim ia dilahirkan di Ikhmim, Mesir Hulu, pada tahun 180 H/796 M dan wafat pada tahun 246 H/856 M. Dia putra seorang Nubia, sebuah suku yang tinggal di Nubah wilayah timur laut Afrika. Sedangkan nama julukannya diperoleh dalam sebuah kisah yang menyebutkan bahwa suatu ketika Dzun Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya. Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo'a "Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu". Kemudian serta merta muncullah ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa itu ia diberi gelar Dzun Nun, artinya yang mempunyai ikan Nun.
Dzun Nun merupakan orang Mesir pertama yang membahas masalah ahwal dan maqamat. Beliau juga sosok yang pertama kali memperkenalkan konsep ma'rifat yang khas dalam dunia tasawuf. Sebelum era Dzun Nun, konsep ma'rifat memang beberapa kali muncul, namun Dzun Nun-lah orang yang mula-mula memperkenalkan konsep ma'rifat versi khas tasawuf.
Al-Misri berhasil memperkenalkan konsep baru tentang ma'rifat dalam bidang sufisme Islam, yakni:
Dia membedakan antara ma'rifat sufiah dengan ma'rifat aqliyah. Ma'rifat sufiah menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma'rifat aqliyah menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
Menurutnya, ma'rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma'rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali.
Teori-teori ma'rifat Al-Misri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia juga dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.
Untuk memperoleh ma'rifat tentang Tuhan, Dzun Nun mengatakan bahwa:
عَرَفْتُ رَبِّي بِرَبِّيْ وَلَوْلَا رَبِّي لمَاَ عَرَفْتُ رَبِّي
Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa ma'rifat hanya diperoleh lewat pemberian Tuhan, bukan hasil pemikiran. Pemberian ini dapat dicapai setelah seorang sufi terlebih dahulu mengabdikan diri sebagai hamba Allah. Seperti halnya menurut analisa Dr. Harun Nasution bahwa: "Ini menggambarkan bahwa ma'rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan (A direct knowledge of god based on revelation). Ma'rifat bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma'rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya."
Sedangkan al-Ghazali mengemukakan ma'rifat dengan sebuah ungkapan:
مَنْ عَرَفَ قَلْبَهُ فَقَدْ عَرَفَ نَفْسَهُ, وَ مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Barang siapa mengenali hatinya, maka ia mengenal dirinya. Dan barang siapa mengenali dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.
Ma'rifat ini diterima oleh Ahli Sunnah wal Jamaah. Al-Ghazali yang membuat tasawuf menjadi halal bagi kaum syari'at, sesudah kaum ulama' memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam, yaitu tasawuf sebagaimana yang diajarkan al-Bistami dan al-Hallaj, Ittihad dan hulul.
Bagi al-Ghazali ma'rifat ialah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia menjelasakan bahwa orang yang mempunyai ma'rifat tentang Tuhan yaitu ('arif) tidak akan mengatakan "Ya Allah" atau "Ya Rabbi", karena memanggil Tuhan dengan kata-kata seperti itu manyatakan, bahwa Tuhan berada di belakang tabir, ma'rifat menurut al-Ghazali juga memandang kepada wajah Allah.
Sedangkan ma'rifat dan Mahabbah menurut al-Ghazali adalah tingkatan tinggi bagi seorang sufi. Dan pengetahuan ma'rifat lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal. Tentang mana yang lebih dahulu antara mahabbah dan ma'rifat, beliau memandang bahwa ma'rifat datang sebelum mahabbah karena mahabbah timbul dari ma'rifat. Sementara itu, al-Kalabadzi menjelaskan bahwa ma'rifat datang sesudah mahabbah. Ada juga yang berpandangan bahwa ma'rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut bebarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan Sufi dengan Tuhannya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ma'rifat ialah mengenal Allah ketika Sufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Untuk ma'rifat kepada Allah, pemahaman dan pengertian akan makna dari nama-nama-Nya yang indah itu haruslah kita hayati sebagai bagian integral dari pengenalan diri kepada Allah.
Kaum sufi untuk mendapatkan suatu Ma'rifat melalui jalan yang ditempuh dengan mempergunakan suatu alat yang disebut Sir (اَلسِّرُ). Menurut al-Qusyairi ada tiga, yaitu:
Qalb(اَلْقَلْبُ) : untuk mengetahui sifat Tuhan.
Ruh(اَلرُّوْحُ) : untuk mencintai Tuhan
Sir (اَلسِّرُ) : untuk melihat Tuhan
Tokoh pelopor pemikiran Ma'rifat adalah Dzun An-Nun Al-Mishri. Merupakan orang Mesir pertama yang memperkenalkan konsep ma'rifat yang khas dalam dunia tasawuf sehingga beliau disebut sebagai Bapak Paham Ma'rifat. Selain itu ada al-Ghazali yang mengungkapkan konsep ma'rifat yang kemudian diterima oleh Ahlu Sunnah wal Jamaah.
DAFTAR PUSTAKA
H.A. Mustofa. Akhlak-Tasawuf. 1997. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Math, M. Faiz. Puncak Ruhani kaum Sufi (khazanah Spiritual terpendam Para Tokoh Sufi). 1996. Surabaya: Pustaka Progresif
M. Jamil. Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas). 2007. Jakarta: Gaung Persada Press
Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi: Tauladan Kehidupan yang Saleh. 2001. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. 1999. Jakarta: Bulan Bintang
Suryadilaga, M. Al-Fatih. Miftahus Sufi. 2008. Yogyakarta: Teras
http://id.wikipedia.org/wiki/Gnostisisme
Maqam merupakan jalan panjang yang harus dilalui oleh sufi untuk berada dekat dengan Allah. Lihat M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta: Teras, 2008) hal.129
Haal atau ahwal merupakan suatu keadaan mental seperti perasaan takut (al-khauf), rendah hati (tawadlu'), patuh (taqwa) dan lain-lain. Hal ini berlainan dengan maqam, bukan diperoleh melalui usaha yang panjang melainkan didapat sebagai anugerah Tuhan dan sifatnya hanya sementara datang dan pergi. Ibid. Hal. 130
Ibid. hal.129-131
H.A. Mustofa, Akhlak-Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia, 1997) Hal. 251-252
Wara' adalah meninggalkan segala yang ada di dalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Baik dalam makanan atau yang lainnya. Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1999) hal. 66
Ibid. 252
Hulul adalah ajaran al-Hallaj yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu. Lihat M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus ... hal. 170
H.A. Mustofa, Akhlak... hal. 253
M. Faiz al-Math. Puncak Ruhani kaum Sufi (khazanah Spiritual terpendam Para Tokoh Sufi). 1996. Surabaya: Pustaka Progresif. Hal. 41-42
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus ... hal. 138
M. Faiz al-Math ..... hal. 42
Harun Nasution, Falsafat ... hal. 75
Qalb artinya tidak sama dengan heart (bahasa inggris) karena qalb selain sebagai alat merasa juga alat berfikir. Bedanya qalb dengan 'aql (akal) adalah akal tidak bisa memperoleh pengetahuan dalam arti yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb yang mendapatkan cahaya Tuhan bisa mengetahui Tuhan. Dan untuk mendapatkan cahaya tersebut harus melalui proses takhalli, tahalli dan tajalli. Ketiganya merupakan sesuatu yang saling terkait, merupakan bentuk dari usaha membersihkan diri dari yang kotor, menguasai sifat-sifat yang baik dan yang terakhir merupakan adanya penampakan secara nyata dengan melihat segala sesuatu yang gaib termasuk terhadap Tuhan. Lihat M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus ... hal.140
M. Faiz al-Math, Puncak Ruhani ... Hal. 255-256
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus ... hal.141-142
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas). (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007) hal. 96
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus ... hal. 131
Ibid. 133-134
Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi: Tauladan Kehidupan yang Saleh. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 135-136
Gnostisisme merujuk pada bermacam-macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada zaman dahulu kala. Gerakan ini mencampurkan pelbagai ajaran agama, yang biasanya pada intinya mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta yang diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Secara umum dapat dikatakan Gnostisisme adalah agama dualistik, yang dipengaruhi dan memengaruhi filosofi Yunani, Yudaisme, dan Kekristenan. Istilah gnōsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari sana manusia melalui unsur-unsur rohaninya diingatkan kembali akan asal-muasal mereka dari Tuhan yang superior. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gnostisisme retrieved at April, 20th 2015
Paham ini juga dikenal dengan sebutan wahdatul wujud, merupakan paham dikemukakan oleh Ibnu 'Arabi yang menyebutkan bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah satu, walaupun ada banyak macam penampakan keluarnya. Artinya bahwa makhluk adalah aspek lahirnya, sedangkan aspek batin dari segala sesuatu ini adalah Allah. Dengan demikian, dari segi hakikat tidak ada perbedaan antara khaliq dan makhluk. Lihat Jamil, Cakrawala ... hal. 173
Ibid. hal. 97
H.A Mustofa. Akhlak ... hal. 254
Jamil, Cakrawala ... hal. 99
H.A Mustofa. Akhlak ... hal. 254
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus... hal. 185
Ittihad adalah tingkatan dalam tasawuf dimana seorang sufi telah merasa bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan, sehingga diantara keduanya memanggil dengan sebutan "aku". Lihat Harun Nasution, Falsafat ... hal. 81
Ibid. hal. 76
H.A. Mustofa, Akhlak... hal. 256-258
H.M. Jamil, Cakrawala... hal. 99
11