BAB I PENDAHULUAN
Usia lanjut atau lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, yang secara fisik terlihat berbeda dengan kelompok umur lainnya, sedangkan pra lansia adalah usia 45-59 tahun. Lansia dengan resiko tinggi adalah umur 70 tahun atau lebih dan lansia berusia 60 tahun dengan masalah kesehatan. Pada individu usia lanjut, kesehatan dan status fungsional ditentukan oleh resultan dari faktor-faktor fisik, psikologis, dan sosioekonomi individu tersebut. Oleh karena itu biasanya penyakit yang timbul pada usia lanjut akan berbeda perjalanan dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain sehingga pelayanan kesehatan pada usia lanjut akan berbeda dengan pelayanan kesehatan pada golongan populasi lain. (Darmojo, 2004) Populasi lansia pada masa ini semakin meningkat, oleh karena itu pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan usia lanjut ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Sebagai wujud nyata pelayanan sosial dan kesehatan pada kelompok usia lanjut ini, pemerintah telah mencanangkan pelayanan pada lansia melalui beberapa jenjang. Pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat adalah Posyandu lansia, pelayanan kesehatan lansia tingkat dasar adalah Puskesmas, dan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan adalah Rumah Sakit. Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Salah satu jenis pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada lansia adalah kunjungan rumah atau home visit geriatry. Home visit merupakan kegiatan pelayanan kesahatan berbasis komunitas dimana seorang petugas kesehatan baik itu kader, perawat, maupun dokter mengunjungi rumah lansia untuk meninjau kesehatan lansia dan melakukan upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif baik kepada lansia maupun keluarganya. Pada home visit geriatry dilakukan evaluasi kesehatan secara
komprehensif pada lansia dengan harapan dapat meningkatkan kualitas kesehatan lansia yang dikunjungi. Dari home visit geriatry dapat ditemui berbagai permasalahan pada lansia. Permasalahan yang umumnya ditemui pada home visit geriatry lansia adalah permasalahan kesehatan yang berkenaan dengan noncommunicable disease seperti hipertensi, dan diabetes melitus. Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi (HST), meningkatnya tekanan sistolik menyebabkan besarnya kemungkinan timbulnya kejadian stroke dan infark myocard bahkan walaupun tekanan diastoliknya dalam batas normal (isolated systolic hypertension). Isolated systolic hypertension adalah bentuk hipertensi yang paling sering terjadi pada lansia. Pada suatu penelitian, hipertensi menempati 87% kasus pada orang yang berumur 50 sampai 59 tahun. Adanya hipertensi, baik HST maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas untuk orang lanjut usia. Hipertensi masih merupakan faktor risiko utama untuk stroke, gagal jantung penyakit koroner, dimana peranannya diperkirakan lebih besar dibandingkan pada orang yang lebih muda (Kuswardhani, 2007) Kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Dinding, yang kini tidak elastis, tidak dapat lagi mengubah darah yang keluar dari jantung menjadi aliran yang lancar. Hasilnya adalah gelombang denyut yang tidak terputus dengan puncak yang tinggi (sistolik) dan lembah yang dalam (diastolik). Disisi lain, diabetes melitus merupakan suatu penyakit degeneratif dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah dan urin. Saat ini, diabetes melitus menjadi penyakit dengan angka kejadian yang cukup tinggi di berbagai negara dan merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah kasus diabetes melitus di Indonesia yang berada di urutan ke- 4 setelah negara India, China dan Amerika dengan jumlah Diabetesi sebesar 8,4 juta orang dan diperkirakan akan terus meningkat sampai 21,3 juta orang di tahun 20302. Dilihat dari semakin meningkatnya jumlah
pendeita diabetes, maka perlu adanya kesadaran dari masyarakat terhadap pentingnya peran dari masyarakat untuk peduli terhadap masalah ini. Maka dari itu, tujuan penulisan makalah ini akan memberikan pengetahuan tentang diabetes serta cara untuk mengendalikannya, dengan harapan agar tingkat kematian penderita diabetes dapat berkurang. A. Laporan home visit Saat home visit lansia, kelompok kami mendapatkan 2 pasien lansia wanita sebut saja namanya Ny. C dan Ny. E yang kedua-duanya tinggal di desa makam kembar, RT 02 RW 07, kecamatan kejaksan, kelurahan kebon baru. Ny. C berusia 57 tahun, tidak bekerja dan tidak menikah sehingga ia juga tidak mempunyai anak. Dia tinggal dengan keponakan laki-lakinya yang bernama Tn. A. Ny. E berusia 66 tahun, tidak bekerja dan tidak menikah sehingga ia pun tidak mempunyai anak. Dia tinggal seorang diri dirumah tetapi banyak tetangga-tetangga dan ketua RT yang membantunya untuk membereskan rumah dan mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang tidak mampu ia lakukan. Ia juga mempunya tetangga yang setiap hari selalu memberi makan kepadanya dan bisa dianggap orang terekatnya yaitu Tn. S
B. Berapa kali kunjungan Pada home visit lansia yang kelompok kami lakukan, kami melakukan sebanyak 2 kali kunjungan. Kunjungan yang pertama kami menganamnesis pasien tersebut, pada kunjungan yang kedua kami melakukan pemeriksaan fisik generalisata dan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dari pasien tersebut.
C. Apa yang dilakukan pada saat home visit Saat kunjungan yang pertama kali kami melakukan anamnesis pada pasien tersebut dari mulai penggalian keluhan utama pasien tersebut saat sekarang, riwayat penyakitnya saat ini, riwayat penyakitnya terdahulu dan riwayat penyakit pada keluarga pasien tersebut. Selain itu kami juga menanyakan
aktivitas sehari-harinya, kebiasaannya, pola makan pasien, serta olahraga yang dilakukan oleh pasien tersebut. Selain anamnesis tentang kesehatan fisik pasien, kami juga melakukan anamnesis untuk penapisan depresi dan status fungsional pasien serta status mental dari pasien tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada. Pada kunjungan kami yang kedua, kami lebih memfokuskan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pasien. Kami melakukan pemeriksaan fisik secara generalisata (kecuali rektum dan genital) sampai dengan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu pada pasien tersebut. Selain pemeriksaan fisik di atas, kami juga melakukan inspeksi secara keseluruhan dari rumah pasien untuk mengetahui keadaan rumah pasien secara keseluruhan sehingga kelompok kami bisa mengetahui juga faktorfaktor lingkungan apa saja yang dapat membahayakan untuk pasien lansia tersebut.
D. Hasil assessment geriatric 1. Pasien 1 a. Identitas Pasien Nama
:
Ny. C
Usia
:
57 tahun
Agama
:
Islam
Alamat
:
Desa
makam
kembar,
kecamatan
kejaksan, kelurahan kebon baru RT 02 RW 07 Pekerjaan
:
-
Nama Orang Terdekat
:
Tn. A (Keponakan)
Status
:
tidak menikah
:
kadar gula darah dan tekanan darah
b. Riwayat Medis Keluhan Utama
yang tinggi
RPS
:
tekanan darah dan kadar gula darah saat ini terhitung tinggi, namun masih terkontrol
oleh
obat-obatan
yang
diberikan dari puskesmas. Ia juga sering lelah jika berdiri terlalu lama dan tidak dapat berjalan jauh. Selain itu pasien
juga
merasakan
baal
&
kesemutan pada tangan dan kakinya terutama pada pagi hari. RPD
:
pasien memiliki sedikit cacat (kelainan bawaan pada kaki kirinya), tekanan darah yang tinggi sejak 4 tahun yang lalu diikuti dengan kadar gula darah yang tinggi sejak 1 tahun terakhir ini.
RPK
:
Ny. C adalah anak tertua dari 7 bersaudara. Ayah dan ibunya sudah meninggal
dan
memiliki
riwayat
dibetes, 1 adik laki-laki dan 2 adik perempuannya pun mengidap diabetes. Salah satu adik perempuannya yang mengidap diabetes meninggal karena diabetes tersebut. Riwayat Pembedahan
:
tidak pernah menjalani pembedahan
Riwayat Kesehatan lain
:
sering nyeri di bagian ulu hati terutama jika terlambat makan. Cepat lelah saat berdiri terlalu lama
Riwayat Alergi
:
alergi makan ikan dan alergi minum obat antalgin yang membuatnya sulit buang
air
captopril
kecil, ia
juga
seteelah
minum
sering
terbatuk
sehingga membuatnya sulit beristirahat.
Riwayat Konsumsi Obat
:
pasien
hanya
menggunakan
obat-
obatan atas resep dokter, yaitu captopril sebagai antihipertensi dan glibenklamid untuk mengontrol kadar gula darahnya.
Dari hasil anamnesis, kelompok kami mendapatkan keterangan lain selain data-data diatas tentang status kesehatan pasien. Kami mendapatkan bahwa Ny. C ternyata mengalami anoreksia (penurunan napsu makan) saat maagnya kambuh. Ia pernah terjatuh tanpa merasakan pusing atau mata berkunang-kunang sebelum jatuh, dan Ia juga mengeluhkan ada rasa baal/kesemutan pada tangan dan kakinya sejak beberapa bulan yang lalu terutama pada pagi hari. Untuk pengelihatan ia merasa sedikit buram jika dipakai untuk membaca di ruang yang kurang cahaya, sehingga ia harus membaca menggunakan kacamata. Jika di ruangan terang ia cukup membaca dengan sedikit menjauhkan buku yang dibacanya sekitar 50cm dari mata. Untuk keadaan psikologis dari Ny. C juga menurut data-data yang kami peroleh, tidak terdapat tanda-tanda adanya depresi ataupun demensia. Untuk status fungsional dari Ny. C bisa dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1.1 status fungsional Ny. C GERIATRIC ASSESSMENT CENTER ACTIVITIES OF DAILY LIVIN PHYSICAL SELF-MAINTENANCE SCALE No Activity 1
Value No
TOILET 4 Cares for self at toilet completely, no incontinence 3 Needs to be reminded, or needs help in cleaning self, or has rare (weekly at most) accidents 2 Soiling or wetting while asleep, more than once a week 1 Soiling or wetting while awake, more than once a week
4
0 No control of bowels or bladder 2
FEEDING 4 Eats without assistance 3 Eats with minor assistance at meal times, with help preparing food or with help in cleaning up after meals
4
2 Feeds self with moderate assistance and is untidy 1 Requires extensive assistance for all meals 0 Does not feed self at all and resists efforts of others to feed him 3
DRESSING 4 Dresses, undressed and selects clothes from own wardrobe 3 Dresses and undresses self, with minor assistance 2 Needs moderate assistance in dressing or selection of clothes
4
1 Needs major assistance in dressing but cooperated with efforts of other to help 0 Completely unable to dress self and resists efforts of others to help 4
GROOMING 4 Always neatly dressed and well-groomed, without assistance 3 Grooms self adequately, with occasional minor assistance 2 Needs moderate and regular assistance or supervision in grooming
4
1 Needs major assistance in dressing but cooperates with efforts of others to help 0 Actively negates all efforts to others to maintain grooming 5
PHYSICAL AMBULATION 4 Goes about .grounds or city 3 Ambulates within residence or about one block distant 2 Ambulates with assistance of (check one): another person, railing, 3 cane, walker,or wheelchair: gets in and out without help needs help in getting in and out 1 Sits unsupported in chair or wheelchair, but cannot propel self without help 0 Bedridden more than half the time
6
BATHING
4 Bathes self (tub, shower, sponge bath) without help 3 Bathes self, with help in getting in and out of tub 2 Washes face and hands only, but cannot bathe rest of body
4
1 Does not wash self but is cooperative with those who bathe him 0 Does not travel at all 7
RESPONSIBILITY FOR OWN MEDICATION 2 Is responsible for taking medication in correct dosage at correct time 1 Takes responsibility if medication is prepared in advance in separate 2 dosages 0 Does not try to wash self, and resists efforts to keep him clean 25
SCORE
Tabel 1.2 daftar aktivitas Ny. C dan skalanya GERIATRIC ASSESSMENT CENTER SCALE FOR INSTRUMENTAL ACTIVITIES OF DAILY LIVING No Acitvity 1
Value
ABILITY TO USE TELEPHONE 3 Operates telephone on own initiative; looks up and dials numbers, etc.
0
2 Dials a few well known numbers 1 Answers telephone but does not dial 0 Does not use telephone at all 2
SHOPPING 3 Takes care of all shopping needs independently 2 Shops independently for small purchases
1
1 Needs to be accompanied on any shopping trip 0 Needs to have meals prepared and served 3
FOOD PREPARATION 3 Plans, prepares and serves adequate meals independently 2 Prepares adequate meals if supplied with ingredients 1 Heats and serves prepared meals, or prepares meals but does not maintain adequate diet
3
0 Needs to have meals prepared and served 4
HOUSE KEEPING 4 Maintains house alone or with occasional assistance (e.g., heavy-work domestic help)` 3 Performs light daily tasks such as dish-washing and bed-making
4
2 Performs light daily tasks but cannot maintain acceptable \ level of cleanliness 1 Needs help with all home maintenance tasks 0 Does not participate in any housekeeping tasks 5
LAUNDRY 2 Does personal laundry completely 1 Launders small items; rinses socks, stockings, etc.
2
0 All laundry must be done by others
6
MODE OF TRANSPORTATION 4 Travels independently on public transportation or drives own car 3 Arranges own travel via taxi, but does not otherwise use public transportation 2 Travels on public transportation when assisted or accompanied by
2
another 1 Travel limited to taxi or automobile, with assistance of another 0 Does not travel at all 7
RESPONSIBILITY OF OWN MEDICATION 2 Is responsible for taking medication in correct dosages at correct Time
2
1 Takes responsibility if medication is prepared in advance in separate dosages 0 Is not capable of dispensing own medication 8
ABILITY TO HANDLE FINANCE 2
Manages
financial
matters
independently
(budgets, write checks, pays rent and bills, goes to Bank) collects and keeps track of income
1
Manages day-to-day purchases, but needs help with banking, 2 major purchases, etc.
0
Incapable of handling money 16
SCORE
c. Pemeriksaan Fisik 1) Tanda Vital Tabel 1.3 Hasil Pemeriksaan Tanda-tanda vital pada Ny. C Tanda Vital
Baring
Duduk
Berdiri
Tekanan darah
160/90
180/90
140/80
Nadi/menit
72x
60 x
Tidak diperiksa
16 x
16 x
Tidak diperiksa
Laju respirasi/menit
Pengukuran Berat Badan
:
tidak dilakukan
Tinggi badan
:
143cm
Berat Badan yang lalu
:
48kg
Tanggal pemeriksaan yang lalu
:
17 maret 2013
2) Pemeriksaan Generalisata a) Kulit Pada pemeriksaan kulit yang kami lakukan pada Ny. C, ia tidak memiliki kelainan apapun di kulitnya, kulitnya pun tidak terlalu kering b) Pendengaran Kami tidak melakukan pemeriksaan pendengaran secara lengkap terhadap Ny. C. Tetapi dari hasil wawancara yang kami lakukan, kami mendapat kesimpulan bahwa tidak ada kelainan atau gangguan pada fungsi pendengarannya, karena ia pun masih bisa kami ajak mengobrol dengan jelas dan cukup kooperatif. c) Penglihatan
Untuk pengelihatan, kami juga tidak melakukan banyak pemeriksaan secara lengkap, kami hanya mendapatkan bahwa pada Ny. C terdapat presbiopi (rabun jauh), karena ia kurang dapat membaca tulisan-tulisan yang kecil dengan jarak yang dekat. Tetapi dia bisa membaca dengan bantuan kacamata plus dan dengan jarak kurang lebih 50cm.. d) Mulut Pada pemeriksaan gigi, kami mendapatkan bahwa pada Ny. C terdapat karies pada bagian inferior molar sinistranya. e) Leher Pada hasil pemeriksaan leher, kami tidak menemukan kelainan apapun, tidak ada pembengkakan kelenjar pada Ny. C. f) Dinding Thorax & Sistem Kardiovaskular Tabel 1.4 hasil Pemeriksaan Thorax dan Kardiovaskular Pemeriksaan
Hasil Gerakan dada kanan kiri simetris, tidak didapatkan
Inspeksi
retraksi interkosta, tidak terlihat sesak, tidak ada edema. Tidak ada nyeri tekan, Tidak teraba pembesaran
Palpasi
organ
Perkusi
Didapatkan suara sonor seluruh lapang paru Didapatkan suara vesikuler pada seluruh lapang
Auskultasi
paru, irama jantung yang reguler, tidak terdapat bising pernapasan maupun bising jantung, tidak ada suara gallop jantung juga.
g) Abdomen Pada pemeriksaan abdomen, kami tidak menemukan kelainan apapun pada Ny. C. Hanya ditemukan nyeri tekan pada bagian epigastrium Ny. C.
h) Muskuloskeletal Pada pemeriksaan ini, didapatkan kelainan pada kaki sebelah kiri Ny. C. Kelainan berupa telapak kaki yang tidak dapat menyentuh ke tanah karena sedikit kelainan pada bentuk kakinya dan untuk berjalan agak terpincang-pincang, sehingga dia tidak dapat berjalan terlalu jauh. Ny. C juga mengaku pernah tiba-tiba terjatuh karena berdiri terlalu lama dengan posisi kaki yang tidak seimbang. i) Status Mental Pada pemeriksaan neurologis, kami tidak memeriksa refleks-refleks
pada
Ny.
C.
Kami
hanya
melakukan
pemeriksaan status mental pada Ny. C. Dari hasil pemeriksan yang kami dapatkan, kami tidak menemukan tanda-tanda kelainan status mental pada Ny. C tersebut baik dari aspek orientasi, daya ingat, maupun deteksi untuk kecurigaan demensia. 3) Pemeriksaan MMSE Tabel 1.4 Hasil Pemeriksaan MMSE pada Ny. C
Interpretasi Hasil a) 0-2 kesalahan = baik b) 3-4 kesalahan = gangguan intelek ringan c) 5-7 kesalahan = gangguan intelek sedang
d) 8-10 kesalahan = gangguan intelek berat
Jadi dalam pemeriksaan ini pasien dalam keadaan baik karena bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.
4) Pemeriksaan Geriatric Depression Scale (GDS) Tabel 1.5 Hasil Pemeriksaan GDS pada Ny. C
Kuesioner untuk depresi dengan jawaban ya atau tidak. Penilaian untuk jawaban ya bernilai 1 dan jawaban tidak bernilai 0. Dimana hasil jawaban kemudian di jumlah sehingga mendapat
hasil yang kemudian digolongkan menjadi tiga kategori tingkat depresi yaitu: a) Hasil: Normal (score 0) b) depresi ringan score < 5 c) depresi sedang score 5 – 9 d) depresi berat score ≥ 10
5) Lingkungan Rumah
Kamar Tidur Ny. C
Dapur Ny. C
Ruang TV Ny. C
Sumur Ny. C
Kamar Mandi Ny. C
d. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium, kami hanya mengukur kadar gula darah sewaktu Ny. C. Hasil yang kami dapatkan, gula darah sewaktunya adalah 175 mg/dL
2. Pasien 2 a. Identitas Pasien Nama
:
Ny. E
Usia
:
66 tahun
Alamat
:
Desa
makam
kembar,
kecamatan
kejaksan, kelurahan kebon baru RT 02 RW 07 Pekerjaan
:
-
Nama Orang Terdekat
:
Tn. S (Tetangga)
Status
:
tidak menikah
b. Riwayat Medis/Evaluasi Fisik Keluhan Utama
:
Kadar gula darah tinggi dan tekanan darah tinggi
RPS
:
Gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, minum sampai 4 liter dalam sehari dan sering buang air kecil pada malam hari.
RPD
:
Sinusitis
RPK
:
Ny. E adalah anak ke-3 dari 7 bersaudara. Ayahnya sudah meninggal dan memiliki riwayat sakit jantung dan hipertensi. Ibunya meninggal karena riwayat penyakit jantung, hipertensi dan diabetes yang dideritanya. Ny. E juga mempunyai 1 kakak laki-laki dengan riwayat jantung dsn sudah meninggal, 1 adik laki-laki dengan riwayat diabetes, 1 adik laki-laki dengan riwayat jantung dan sudah meninggal,
dan
1
orang
adik
perempuan dengan riwayat jantung yang masih hidup sampai saat ini. Riwayat Pembedahan
:
(-)
Riwayat Kesehatan lain
:
Penglihatan presbiopi, ada benjolan kecil di daerah lengan kanan dan kiri, serta belakang leher, tetapi tidak membesar, dan dapat digerakkan.
Riwayat Alergi
:
-
Riwayat Konsumsi Obat
:
Royal jelly (tidak dengan resep dari dokter), Glukovance (obat gula darah) 2x1, Tensivask (Obat anti hipertensi) 1x1.
Dari hasil anamnesis, kelompok kami mendapatkan keterangan lain selain data-data diatas tentang status kesehatan pasien. Kami mendapatkan bahwa Ny. E ternyata mengalami gangguan penglihatan, sehingga dia harus menggunakan kacamata plus. Ny. E juga pernah terjatuh sebanyak 21 kali. Untuk keadaan psikologis menurut data-data yang kami peroleh, Ny.E tampak sedih karena sering mengingat keluarga yang sudah
meninggal, dan Ny. E juga sering merasa kesepian dirumah karena tinggal seorang diri. Untuk status fungsional dari Ny. E dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1.6 Status Fungsional Ny. E GERIATRIC ASSESSMENT CENTER ACTIVITIES OF DAILY LIVIN PHYSICAL SELF-MAINTENANCE SCALE No Activity 1
Value No
TOILET 4 Cares for self at toilet completely, no incontinence 3 Needs to be reminded, or needs help in cleaning self, or has rare (weekly at most) accidents
4
2 Soiling or wetting while asleep, more than once a week 1 Soiling or wetting while awake, more than once a week 0 No control of bowels or bladder 2
FEEDING 4 Eats without assistance 3 Eats with minor assistance at meal times, with help preparing food or with help in cleaning up after meals
3
2 Feeds self with moderate assistance and is untidy 1 Requires extensive assistance for all meals 0 Does not feed self at all and resists efforts of others to feed him 3
DRESSING 4 Dresses, undressed and selects clothes from own wardrobe 3 Dresses and undresses self, with minor assistance 2 Needs moderate assistance in dressing or selection of clothes 1 Needs major assistance in dressing but cooperated with efforts of other to help 0 Completely unable to dress self and resists efforts of others to help
4
GROOMING
4
4 Always neatly dressed and well-groomed, without assistance 3 Grooms self adequately, with occasional minor assistance 2 Needs moderate and regular assistance or supervision in grooming
4
1 Needs major assistance in dressing but cooperates with efforts of others to help 0 Actively negates all efforts to others to maintain grooming 5
PHYSICAL AMBULATION 4 Goes about .grounds or city 3 Ambulates within residence or about one block distant 2 Ambulates with assistance of (check one): another person, railing, 2 cane, walker,or wheelchair: gets in and out without help needs help in getting in and out 1 Sits unsupported in chair or wheelchair, but cannot propel self without help 0 Bedridden more than half the time
6
BATHING 4 Bathes self (tub, shower, sponge bath) without help 3 Bathes self, with help in getting in and out of tub 2 Washes face and hands only, but cannot bathe rest of body
4
1 Does not wash self but is cooperative with those who bathe him 0 Does not travel at all 7
RESPONSIBILITY FOR OWN MEDICATION 2 Is responsible for taking medication in correct dosage at correct time 1 Takes responsibility if medication is prepared in advance in separate 2 dosages 0 Does not try to wash self, and resists efforts to keep him clean 23
SCORE
Tabel 1.6 Daftar Aktivitas Ny. E dan Skalanya GERIATRIC ASSESSMENT CENTER SCALE FOR INSTRUMENTAL ACTIVITIES OF DAILY LIVING No Acitvity
Value
1
ABILITY TO USE TELEPHONE 3 Operates telephone on own initiative; looks up and dials numbers, etc.
3
2 Dials a few well known numbers 1 Answers telephone but does not dial 0 Does not use telephone at all 2
SHOPPING 3 Takes care of all shopping needs independently 2 Shops independently for small purchases
2
1 Needs to be accompanied on any shopping trip 0 Needs to have meals prepared and served
3
FOOD PREPARATION 3 Plans, prepares and serves adequate meals independently 2 Prepares adequate meals if supplied with ingredients 1 Heats and serves prepared meals, or prepares meals but does
0
not maintain adequate diet 0 Needs to have meals prepared and served 4
HOUSE KEEPING 4 Maintains house alone or with occasional assistance (e.g., heavy-work domestic help)` 3 Performs light daily tasks such as dish-washing and bed-making
3
2 Performs light daily tasks but cannot maintain acceptable \ level of cleanliness 1 Needs help with all home maintenance tasks 0 Does not participate in any housekeeping tasks 5
LAUNDRY 2 Does personal laundry completely 1 Launders small items; rinses socks, stockings, etc. 0 All laundry must be done by others
6
MODE OF TRANSPORTATION
0
4 Travels independently on public transportation or drives own car 3 Arranges own travel via taxi, but does not otherwise use public transportation 2 Travels on public transportation when assisted or accompanied by
1
another 1 Travel limited to taxi or automobile, with assistance of another 0 Does not travel at all 7
RESPONSIBILITY OF OWN MEDICATION 2 Is responsible for taking medication in correct dosages at correct Time
2
1 Takes responsibility if medication is prepared in advance in separate dosages 0 Is not capable of dispensing own medication 8
ABILITY TO HANDLE FINANCE 2
Manages
financial
matters
independently
(budgets, write checks, pays rent and bills, goes to Bank) collects and keeps track of income 1
Manages day-to-day purchases, but needs help with banking, 2 major purchases, etc.
0
Incapable of handling money 13
SCORE
c. Pemeriksaan Fisik 1) Pemeriksaan Tanda Vital Tabel 1.7 Hasil Pemeriksaan Vital Signpada Ny. E Tanda Vital
Baring
Duduk
Berdiri
Tekanan darah
160/80
160/90
160/80
Nadi/menit
72x
84x
80x
20x
24x
24x
Laju respirasi/menit
Pengukuran Berat Badan
:
tidak dilakukan
Tinggi badan
:
160cm
Berat Badan yang lalu
:
63 kg
Tanggal pemeriksaan yang lalu
:
17 maret 2013
2) Pemeriksaan Generalisata a) Kulit Pada pemeriksaan kulit yang kami lakukan pada Ny. E, terdapat benjolan di bagian lengan atas
kanan dan kiri di
bagian dalam serta di belakang kepala. Benjolan dapat digerakkan dan tidak membesar. b) Pendengaran Kami tidak melakukan pemeriksaan pendengaran secara lengkap terhadap Ny. E. Tetapi dari hasil wawancara yang kami lakukan, kami mendapat kesimpulan bahwa tidak ada kelainan atau gangguan pada fungsi pendengarannya, karena ia pun masih bisa kami ajak mengobrol dengan jelas dan cukup kooperatif. c) Penglihatan Untuk pengelihatan, kami juga tidak melakukan banyak pemeriksaan secara lengkap, kami hanya mendapatkan bahwa pada Ny. E terdapat presbiopi (rabun jauh), karena ia kurang dapat membaca tulisan-tulisan yang kecil dengan jarak yang dekat. Tetapi dia bisa membaca dengan bantuan kacamata plus. d) Mulut Pada pemeriksaan gigi, kami mendapatkan bahwa pada Ny. E terdapat karies pada premolar dextra superior dan molar sinistra superior. e) Leher Pada hasil pemeriksaan leher, kami tidak menemukan kelainan apapun, tidak ada pembengkakan kelenjar pada Ny. E. f) Dinding Thorax dan Sistem Kardiovaskular
Dari hasil pemeriksaan dinding thorax, kelompok kami mendapatkan beberapa keterangan sebagai berikut :
Tabel 1.8 Hasil Pemeriksaan Dinding Thorax dan Sistem Kardiovaskular Pemeriksaan
Hasil Gerakan dada kanan kiri simetris, Tidak
Inspeksi
didapatkan retraksi interkosta, Tidak terlihat sesak, tidak ada edema.
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, Tidak teraba pembesaran organ
Perkusi
Didapatkan suara sonor seluruh lapang paru Didapatkan suara vesikuler pada seluruh lapang
Auskultasi
paru, irama jantung yang reguler, tidak terdapat bising pernapasan maupun bising jantung, tidak ada suara gallop jantung juga.
g) Abdomen Pada pemeriksaan abdomen, kami tidak menemukan kelainan apapun pada Ny. E. h) Muskuloskeletal Pada pemeriksaan ini, didapatkan kelainan pada kaki sebelah kanan & kiri Ny. E berupa kelainan sendi yang menyebabkannya sulit berjalan saat ini sehingga membutuhkan alat bantu berupa tongkat untuk berjalan. i) Status Mental Pada pemeriksaan neurologis, kami tidak memeriksa refleks-refleks
pada
Ny.
E.
Kami
hanya
melakukan
pemeriksaan status mental pada Ny. E. Dari hasil pemeriksan yang kami dapatkan, kami tidak menemukan tanda-tanda kelainan status mental pada Ny. E dia hanya terlihat sedikit
sedih, karena kesepian dan merasa tidak mampu melakukan apapun untuk hidupnya sendiri.
3) Pemeriksaan MMSE Tabel 1.9 Hasil Pemeriksaan MMSE pada Ny. E
Interpretasi Hasil a) 0-2 kesalahan = baik b) 3-4 kesalahan = gangguan intelek ringan c) 5-7 kesalahan = gangguan intelek sedang d) 8-10 kesalahan = gangguan intelek berat
Jadi dalam pemeriksaan ini pasien dalam keadaan baik karena bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.
4) Pemeriksaan GDS Tabel 1.10 Hasil GDS pada Ny. E
Kuesioner untuk depresi dengan jawaban ya atau tidak. Penilaian untuk jawaban ya bernilai 1 dan jawaban tidak bernilai 0. Dimana hasil jawaban kemudian di jumlah sehingga mendapat hasil yang kemudian digolongkan menjadi tiga kategori tingkat depresi yaitu: a) Hasil: Normal (score 0) b) depresi ringan score < 5 c) depresi sedang score 5 – 9
d) depresi berat score ≥ 10
5) Lingkungan Rumah
Ruang Makan Ny. E
Dapur Ny. E
Kamar Mandi Ny. E
Kamar Tidur Ny. E
Ruang Tamu Ny. E
Ruang tengah sekaligus ruang makan Ny. E
d. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium, kami hanya mengukur kadar gula darah sewaktu Ny. E. Hasil yang kami dapatkan, gula darah sewaktunya adalah 147 mg/dL itupun karena dia sudah makan pagi dan
sudah
mengkonsumsi
obat
glukofance
untuk
mengobati
diabetesnya.
E. Identifikasi masalah 1. Identifikasi Masalah Pada Ny. C Dari hasil home visit lansia yang kami lakukan, kami mendapatkan bahwa Ny. C menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe II, dan hipertensi. Ny. C juga memiliki riwayat keluarga yang mengidap Diabetes Mellitus yaitu ayah, ibu, dan adiknya. Untuk status fungsional Ny. C ini masih cukup baik, karena dia masih dapat mengerjakan pekerjaan rumah seharihari seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumahnya. Hanya saja, dari hasil wawancara yang kelompok kami lakukan, kami menemukan keluhan dengan penggunaan antihipertensi (captopril) pada Ny. C sehingga dia menjadi jarang mengkonsumsi obat tersebut yang mengakibatkan tekanan darahnya kurang terkontrol. Ny. C juga mengeluhkan pernah terjatuh secara tiba-tiba tanpa didahului oleh pusing atau mata yang berkunang-kunang sebelumnya, ketika dia berdiri terlalu lama. Untuk status mental dari Ny. C ini kelompok kami dapat menyimpulkan bahawa tidak didapatkan kelainan apapun pada dirinya. Dia juga tergolong lansia yang hidupnya bahagia karena dia ditemani oleh keponakannya Tn. A dirumah dan keponakannya yang lainpun sering berkunjung untuk menjenguknya sehingga dia tidak merasa kesepian di masa tuanya sekarang ini.
2. Identifikasi Masalah Pada Ny. E Dari hasil home visit yang kami lakukan pada Ny. E, mendapatkan bahwa Ny. E saat ini tinggal seorang diri dirumahnya. Ia tidak menikah
dan tidak memiliki anak juga. Ia memiliki orang terdekat yaitu Tn. S (tetangganya) yang setiap hari mengiriminya makan. Ny. E menderita diabetes melitus dan hipertensi dan sampai saat ini dia masih mengkonsumsi obat-obatan tersebut secara rutin. Dia mengkonsumsi obat antihipertensi (glukofast) dan metformin untuk mengontrol diabetesnya. Dia mempunyai 2 orang kakak dan 4 orang adik namun semuanya sudah berkeluarga. Kedua orangtuanya memiliki riwayat penyakit jantung dan meninggal karena penyakit jantung tersebut. Kakak pertamanya dan adiknya juga meninggal karena penyakit jantung. Dari hasil home visit yang kelompok kami lakukan juga, kami mengetahui bahwa Ny. C jarang memeriksakan dirinya ke puskesmas, karena dia agak sulit untuk berjalan, sehingga dia hanya memeriksakan diri jika ada posbindu dari puskesmas yaitu setiap bulan tanggal 17. Saat ini dia selalu merasa kesepian karena hanya seorang diri dirumah, dia juga mengalami beberapa keterbatasan dalam aktivitasnya sehingga dia hanya dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang ringan seperti menyapu rumah dan mencuci piring. Pekerjaan rumah selebihnya dia dibantu oleh ketua RT dan tetangganya. Untuk makan dia tidak dapat menyiapkan/memasak sendiri, tetapi setiap hari dia dikirimi makanan oleh Tn. S (tetangganya) sehingga dia tetap dapat makan walaupun tidak memasaknya sendiri. Keluarganya saat ini masih memperhatikannya dan memenuhi kebutuhannya, namun jarang mengunjungi dirinya.
BAB II PEMBAHASAN
A. Diabetes Melitus 1. Definisi Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (PERKENI, 2006)
2. Etiologi Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
3. Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe II Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer & Bare, 2002) antara lain : a. Kelainan genetik Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes,
karena
gen
yang
mengakibatkan
tubuh
tak
dapat
menghasilkan insulin dengan baik. b. Usia Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak serotonin otak. Serotonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM tipe II. d. Pola makan yang salah Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk.
4. Manifestasi Klinik Diabetes Mellitus Tipe II Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita
DM
mudah
mengalami
dehidrasi
hiperosmolar
akibat
hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat.
Tabel 2.1 Manifestasi Klinik Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Sebelum di Diagnosis Diabetes Mellitus
5. Diagnosis Diabetes Mellitus Diagnosis DM menurut PERKENI atau yang dianjurkan ADA (American Diabetes Association) adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
B. Hipertensi 1.
Pengertian Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,2005).
2.
Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan penyebabnya, hipertensi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : a. Hipertensi primer (esensial)
Adalah suatu peningkatan persisten
tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol
homeostatik
normal,
Hipertensi
ini
tidak diketahui
penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi. b. Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi.
Berdasarkan bentuknya, hipertensi dibagi 3 yaitu hipertensi diastolic, campuran, dan sistolik. a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. b. Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol. c. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut.
3.
Faktor-faktor Resiko Hipertensi Berikut adalah beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya hipertensi : a. Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya hipertensi.
umur maka semakin tinggi mendapat resiko Insiden
hipertensi
makin
meningkat
dengan
meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di
dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur (Julianti, 2005).
b. Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55
tahun,
ketika
seorang
wanita
mengalami
menopause
Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita hipertensi
c. Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi
hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi
d. Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadai melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Basha, 2004).Garam mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium lebih mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah (Sheps, 2000).Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi
hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram perhari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo, 2004).Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makanmakanan yang diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang berkebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi dibatasi.
e. Merokok merupaka salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan merokok dengan hipertensi adalah
nikotin
akan
menyebabkan peningkatan tekana darah karena nikotin akan diserap pembulu darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan member sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas
efinefrin
(Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembulu darah dan memaksa jantung untuk bekerja
lebih berat karena
tekanan yang lebih tinggi.Selain itu, karbon monoksida dalam asap rokok
menggantikan
oksigen
dalam
darah.
Hal
ini
akan
menagakibatkan tekana darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup kedalam orga dan jaringan tubuh.
f. Aktivitas sangat mempengaruhiterjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuan aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi.Makin keras dan sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.
g. Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana hubungan antara stress dengan hipertensi diduga
melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka
kejadian di
masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001).
4.
Etiologi hipertensi Corwin (2003) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan
Total Peripheral
Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik ( Amir, 2002) Peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa
secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga. ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi. kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.( Hayens, 2003 )
5.
Patofisiologi hipertensi Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon
pembuluh
darah
terhadap
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat
rangsang
sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal
juga
terangsang
mengakibatkan
tambahan
aktivitas
vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya,
yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi ( Dekker, 1996 ) Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Corwin,2003).
6.
Tanda dan Gejala Hipertensi Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus) Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi
sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan Crowin (2003: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial,Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat,Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain.
7.
Komplikasi Hipertensi Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteriarteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2003). Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2006). Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi
ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahanperubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin, 2003). Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2003). Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan jaringan lain sering disebut edma.Cairan didalam paru
–
paru menyebabkan sesak napas,timbunan cairan
ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema (Corwin, 2003) Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neronneron disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2003).
BAB III USULAN PENATALAKSANAAN
A. Rencana Penatalaksanan Masalah Pada Lansia 1. Penatalaksanaan Secara Umum a. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia dengan komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup <5 tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah intensif risiko. Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan secara individual menurut tingkat disabilitas, angka harapan hidup, dan kepatuhan pengobatan. Anjuran terapi DM yang banyak digunakan saat ini adalah sebagaimana dianjurkan dalam guideline konsensus ADA-EASD untuk terapi DM tipe 2. Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan. 1) Tingkat 1 : terapi utama yang telah terbukti (well validated core therapies) Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan paling cost effective untuk mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat badan & olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin. 2) Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated therapies). Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini adalah tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1 agonis (exenatide).
Tingkat 1/Langkah 1 (Tier 1/Step 1) Konsensus ADA-EASD (2008) menganjurkan untuk melakukan intervensi segera setelah pasien terdiagnosis menderita DM. Intervensi awal yang dilakukan adalah kombinasi modifikasi gaya hidup dan
pemberian metformin. Modifikasi gaya hidup pada lansia penderita DM meliputi menjaga pola makan (diet) yang baik, olah raga dan penurunan berat badan. 1) Modifikasi gaya hidup a) Terapi diet Terapi diet untuk lansia dapat merupakan sebuah masalah tersendiri karena adanya berbagai keterbatasan, antara lain berupa : keterbatasan finansial, tidak mampu menyediakan bahan makanan karena masalah transportasi/mobilitas, tidak mampu menyiapkan makanan (terutama pada lansia pria tanpa istri), keterbatasan dalam mengikuti instruksi diet karena adanya gangguan fungsi kognitif, berkurangnya pengecapan karena berkurangnya kepekaan dan jumlah reseptor pengecap, meningkatnya kejadian konstipasi pada lansia. Total kalori dan komposisi makanan juga harus diperhitungkan b) Olah raga Berikut ini adalah pertimbangan manfaat-risiko olah raga pada lansia.
Tabel 3.1 Peran Olahraga dalam penatalaksanaan DM pada Lansia
Karena pada lansia, seringkali dijumpai juga penyakit penyerta seperti
osteoartritis,
parkinson,
gangguan
penglihatan,
dan
gangguan keseimbangan, maka olah raga sebaiknya dilakukan di lingkungan yang memang dekat, dan jenis olah raga yang dilakukan lebih bersifat isotonik daripada isometrik.
2) Metformin Dalam konsensus ADA-EASD (2008), metformin dianjurkan sebagai terapi obat lini pertama untuk semua pasien DM tipe 2 kecuali pada mereka yang punya kontraindikasi terhadap metformin misalnya antara lain gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >133 mmol/L atau 1,5 mg/dL pada pria dan >124 mmol/L atau 1,4 mg/dL pada wanita), gangguan fungsi hati, gagal jantung kongestif, asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia dan pengguna alkohol. Namun, karena kreatinin serum tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal yang sebenarnya pada usia sangat lanjut, maka metformin sama sekali tidak dianjurkan pada lansia >80 tahun. Metformin bermanfaat terhadap sistem kardiovaskular dan mempunyai risiko yang kecil terhadap kejadian hipoglikemia. Meskipun demikian, penggunaan metformin pada lansia dibatasi oleh adanya efek samping gastrointestinal berupa anoreksia, mual, dan perasaan tidak nyaman pada perut (terjadi pada 30% pasien). Untuk mengurangi kejadian efek samping ini, dapat diberikan dosis awal 500 mg, kemudian ditingkatkan 500 mg/minggu untuk dapat mencapai kadar gula darah yang diinginkan. Walaupun terapi awal dengan modifikasi gaya hidup dan metformin pada mulanya efektif, hal yang terjadi secara alami pada sebagian besar pasien DM tipe 2 adalah kecenderungan naiknya gula darah seiring dengan berjalannya waktu dengan prevalensi 510% per tahun. Sebuah studi UKPDS menyatakan bahwa 50% pasien yang terkontrol dengan obat-obatan tunggal memerlukan penambahan obat kedua setelah 3 tahun; dan setelah 9 tahun, 75% pasien memerlukan terapi multipel untuk mencapai target HbA1C <7%. Berikut ini adalah faktor yang turut memperburuk kontrol gula darah tersebut :
a) Penurunan kepatuhan terhadap modifikasi gaya hidup (diet, olah raga, dan usaha menurunkan berat badan) maupun kepatuhan minum obat hipoglikemik. b) Adanya penyakit lain atau mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
meningkatkan
resistensi
insulin,
mempengaruhi
pelepasan insulin, atau meningkatkan produksi glukosa hati. Hal ini terutama berperanan pada lansia penderita DM yang umumnya mengkonsumsi banyak obat. c) Progresivitas DM tipe 2 dapat berupa meningkatnya resistensi insulin atau defek sekresi insulin. Konsensus ADA dan EASD menganjurkan pemeriksaan HbA1C setiap 3 bulan serta penambahan obat kedua jika target terapi HbA1C <7% tidak tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan metformin (lihat algoritma). Untuk dapat mencapai target HbA1C, diperlukan target kadar gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar gula postprandial <180 mg/ dL. Untuk pasien DM yang tidak gula darahnya tidak terkendali dengan kombinasi modifikasi gaya hidup dan metformin, ada 4 golongan obat-obatan yang dapat diberikan menurut konsensus ADA-EASD. Obat-obatan ini terdiri dari 2 golongan yaitu terapi tingkat 1/langkah 2 yang terdiri dari sulfoniliurea dan insulin serta terapi tingkat 2 yang terdiri dari tiazolidindion dan agonis Glucagon Like Peptide1/GLP-1. Di antara semua obat ini, sulfonilurea adalah yang paling cost-effective, sedangkan insulin dianggap sebagai terapi yang paling efektif dalam mencapai target gula darah. Namun, sulfonilurea dan insulin berhubungan dengan risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Tingkat 1/Langkah 2 (Tier 1/Step 2) 1) Sulfonilurea Sulfonilurea dapat digunakan ketika ada keadaan yang merupakan kontraindikasi untuk metformin, atau digunakan
sebagai dalam kombinasi dengan metformin jika gula darah target belum tercapai. Sulfonilurea jenis apapun yang digunakan tunggal menyebabkan penurunan HbA1C sebesar 1-2%. Mekanisme kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi insulin sel b pankreas. Pada studi UKPDS, tampak tidak ada perbedaan dalam hal efektivitas dan keamanan penggunaan sulfonilurea (klorpropramid, glibenklamid, dan glipizid), tetapi sulfoniliurea generasi kedua dengan masa kerja singkat lebih dipilih untuk lansia dengan DM. Sedangkan klorpropramid dipilih untuk tidak digunakan pada lansia karena masa kerja yang panjang, efek
antidiuretik,
dan
berhubungan
dengan
hipoglikemia
berkepanjangan. Di antara sulfonilrea generasi kedua, glipizid mempunyai risiko hipoglikemia yang paling rendah sehingga merupakan obat terpilih untuk lansia. Meskipun demikian, semua sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia. Oleh karena itu, pemberiannya harus dimulai dengan dosis yang rendah dan ditingkatkan secara bertahap untuk mencapai gula darah target, sembari dilakukan pengawasan untuk mencegah terjadinya efek samping.
2) Insulin Berdasarkan konsensus ADA-EASD, insulin dapat diberikan bila target gula darah tidak tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian metformin. Selain itu, insulin juga diberikan pada keadaan adanya kondisi akut, seperti sakit berat, keadaan hiperosmolar, ketosis, dan pada pembedahan. Keputusan untuk memulai pemberian insulin dibuat berdasarkan pertimbangan akan kemampuan penderita untuk menyuntikkan sendiri insulin, dan keutuhan fungsi kognitif. Pada lansia yang bergantung pada orang lain untuk memberikan insulin, maka gunakan insulin masa kerja panjang (long-acting) dengan dosis sekali sehari, walaupun ini
tidak dapat memberikan kontrol gula darah sebaik yang dicapai dengan pemberian insulin basal bolus atau regimen dua kali sehari. Pada lansia yang hanya menggunakan insulin basal, saatnya pemberian insulin bukan hal yang penting. Jika kontrol gula darah atau glukosa postprandial target tidak tercapai dengan pemberian basal insulin, maka dapat diberikan insulin kerja singkat (shortacting). Namun, pada pemberian bolus insulin short acting, saatnya makan merupakan faktor penting, dan sering menimbulkan masalah pada pasien yang renta yang tidak dapat menyuntikkan insulinnya sendiri. Dibandingkan dengan insulin jenis lain, insulin analog paling mendekati pola sekresi insulin endogen basal pada orang dewasa sehat. Walaupun demikian, penggunaan insulin berhubungan dengan efek samping peningkatan berat badan dan hipoglikemia. Dari berbagai studi dilaporkan bahwa efek samping hipoglikemia lebih jarang terjadi pada penggunaan analog insulin (detemir dan glargine) dibandingkan NPH. Sementara itu, didapati efek peningkatan berat badan dengan nilai yang sama (+ 3 kg dalam 6 bulan) baik pada golongan analog insulin maupun NPH. Bila kegagalan sel β pankreas mensekresi insulin sudah demikian parah, diperlukan pemberian insulin untuk kontrol gula darah, sehingga insulin memegang peranan penting dalam tata laksana DM. Lansia merupakan kelompok populasi yang rentan terhadap efek samping hipoglikemia. Oleh sebab itu, diperlukan edukasi bagi lansia dan pengasuhnya tentang pengenalan gejala hipoglikemia dan penanganannya.
Tingkat 2 (Tier 2) Obat-obatan pada terapi tingkat 2 belum banyak dibuktikan secara klinis seperti yang digunakan pada terapi tingkat 1, sehingga penggunaannya masih terbatas, termasuk pada lansia. Berikut ini
sedikit pembahasan mengenai obat-obat yang digunakan pada terapi tingkat 2. 1) Tiazolidindion Tiazolidindion
merupakan
kelompok
obat
yang
dapat
memperbaiki kontrol gula darah dengan meningkatkan kepekaan jaringan perifer terhadap insulin. Penggunaan tiazolidindion (pioglitazon dan rosiglitazon) sebagai monoterapi menyebabkan penurunan HbA1C sebesar 0,5-1,4%. Pada berbagai studi klinis didapatkan bahwa kontrol gula darah dengan rosiglitazon lebih lama dibandingkan dengan metformin. Tidak seperti obat DM lainnya, tiazolidindion memperbaiki berbagai marker fungsi sel β pankreas yang antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan. Namun, efek ini hanya sementara, setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion, terjadi penurunan fungsi sel β pankreas. Di luar manfaat tersebut, tiazolidindion mempunyai beberapa efek samping, antara lain peningkatan berat badan dan edema yang terkait dengan risiko kardiovaskular. Studi menunjukkan bahwa risiko gagal jantung meningkat sebesar 1,2-2 kali lipat pada penggunaan tiazolidindion dibandingkan obat hipoglikemik lain. Gagal jantung terjadi pada median terapi selama 6 bulan, baik pada dosis tinggi maupun rendah, dan ini terutama terjadi pada lansia. Baik pioglitazon maupun rosiglitazon berisiko menimbulkan gagal jantung. Bahkan rosiglitazon juga berisiko memicu kejadian iskemia miokard (peningkatan risiko relatif 40%) sehingga konsensus ADA/EASD (2008) tidak menganjurkan rosiglitazon untuk terapi DM tipe 2. Berbeda dengan rosiglitazon, pioglitazon dapat mengurangi kejadian kardiovaskular karena pioglitazon dapat memperbaiki profil lipid aterogenik. Efek samping lain dari tiazolidindion adalah meningkatnya risiko fraktur >2 kali lipat, terutama pada panggul. Efek samping ini dapat terjadi setelah penggunaan tiazolidindion 12-18 bulan.
Risiko fraktur ini sama baik dengan dosis tinggi maupun rendah, pada pasien lansia maupun nonlansia, dan pada pria maupun wanita.
2) Agonis GLP-1 Sistem gastrointestinal memegang peranan penting dalam homeostasis glukosa. Hal ini terlihat berupa lebih banyaknya respons
insulinotropik
pada
pemberian
nutrisi
per
oral
dibandingkan pada pemberian glukosa intravena. Yang berperanan dalam hal ini adalah hormon inkretin yang terdiri dari GLP-1 dan Glucose-dependent Insulinotropic Poplypeptide/GIP). Pada pasien DM tipe 2, sekresi GIP setelah makan hanya sedikit terganggu, sementara sekresi GLP-1 terganggu secara nyata. Pemberian GLP1 parenteral meningkatkan sekresi insulin secara dose-dependent dan juga menurunkan sekresi glukagon, sehingga menurunkan kadar gula darah puasa dan postprandial. Hal ini tidak terjadi pada pemberian GIP parenteral. Sayangnya GLP-1 cepat didegradasi oleh enzim DPP-4. Untuk mengatasi hal ini, saat ini dikembangkan agonis reseptor GLP-1 yang memperpanjang masa kerja GLP-1 endogen dan melawan efek enzim DPP-4. Pemberian agonis reseptor GLP-1 akan meningkatkan aksi kerja GLP-1 (menurunkan kadar gula darah, mengurangi sekresi glukagon, menurunkan berat badan,
menimbulkan
rasa
cepat
kenyang,
memperlambat
pengosongan lambung). Walaupun tidak digunakan sebagai monoterapi dalam tata laksana DM tipe 2, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa pada penggunaan agonis reseptor GLP-1 terjadi penurunan HbA1C sebesar 0,5-1,5 %. Penggunaan obat golongan tingkat 2 berdasarkan konsensus ADA-EASD tampaknya menjanjikan untuk tata laksana DM, namun masih terbatasnya penelitian dan pengalaman klinis terhadap obat-obatan tersebut menyebabkan penggunaannya masih
terbatas. Oleh sebab itu, kelompok obat ini belum dianjurkan untuk digunakan pada lansia.
3) Obat-obatan lain Dalam konsensus ADA-EASD, sekelompok obat yang dalam penelitian terlihat kurang efektif dalam menurunkan kadar gula darah berikut dimasukkan dalam kelompok obat-obatan lain. Kelompok ini juga belum banyak diteliti dan harganya lebih mahal. Termasuk dalam kelompok ini penghambat a-glukosidase, glinid, pramlintide, penghambat DPP-4.
b. Penatalaksanaan Hipertensi Banyak
penelitian
menunjukkan
bahwa
pentingnya
terapi
hipertensi pada lanjut usia; dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan tekanan darah pada lanjut usia hendaknya dengan perhatian khusus, mengingat beberapa orang
lanjut
usia
menunjukkan
pseudohipertensi
(pembacaan
spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah yang berat. Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih dan sangat bervariasinya TDS. 1) Sasaran tekanan darah Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada JNCVI dimana pengendalian tekanan darah (TDS <140 mmHg dan TDD <90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-Eur trial merekomendasikan penurunan TDS < 160 mmHg sebagai sasaran intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah awal.
2) Modifikasi pola hidup Mengubah pola hidup/intervensinon farmakologis pada penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah : menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam,
mempertahankan
asupan
kalium
yang
adekuat,
mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obatobatan.
3) Terapi farmakologis Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan
dalam
memberikan
obat
antihipertensi.
Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VI pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin
sangat
bermanfaat;
namun
demikian
terbatas
penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung
kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik.
2. Penatalaksanaan Secara Khusus Terhadap Pasien a. Penatalaksanaan terhadap Ny. C Dari hasil home visit yang kami lakukan terhadap Ny. C, kami dapat menyimpulkan beberapa penatalaksanaan baik itu farmakologi maupun non-farmakologi untuk Ny. C agar penyakit yang dideritanya sekarang tidak menjadi lebih parah. Untuk penatalaksanaan farmakologi untuk Ny. C, kami menyarankan agar ia melanjutkan konsumsi obat diabetesnya yaitu glibenklamid, namun harus lebih teratur, karena sebelum kunjungan kami, dia mengkonsumsi obat tersebut tidak sesuai anjuran dokter dan hanya meminum obatnya saat dia merasa kesehatannya terganggu karena diabetes tersebut. Saat ini dia tidak teratur meminum obat antihipertensinya karena dia sering terbatuk setelah meminum obat sehingga dia tidak dapat beristirahat dengan nyaman. Untuk itu kelompok kami menyarankan agar Ny. C kontrol ke dokter terlebih dahulu dan menceritakan keluhan yang dia alami setelah mengkonsumsi obat antihipertensinya tersebut agar obat antihipertensinya dapat diganti dengan yang lain oleh dokter dan tidak menyebabkan gangguan lain pada dirinya sehingga dia dapat mengontrol tekanan darahnya tanpa rasa tidak nyaman yang ditimbulkan obat antihipertensinya. Untuk penatalaksanaan non-farmakologisnya, kelompok kami menyarankan agar Ny. C tetap melakukan aktivitasnya sehari-hari, dan lebih menjaga pola makan serta keamanan di lingkungan rumahnya. Kami juga menyarankan kepada Ny. C untuk lebih teratur lagi memeriksakan kesehatannya ke sarana kesehatan untuk mengontrol tekanan darah dan kadar gula darahnya sehingga dengan begitu tingkat kesehatannya akan lebih meningkat .
b. Penatalaksanaan terhadap Ny. E Dari hasil home visit yang kelompok kami lakukan, kami memberi saran kepada Ny. E baik itu untuk penggunaan obat-obatan yang dia konsumsi maupun pola hidupnya. Untuk Ny. E, kelompok kami menyarankan untuk tetap mengkonsumsi obat hipoglikemik dan antihipertensi yang sedang dia konsumsi sesuai dengan peresepan dokter. Kami juga menyarankan agar dia lebih rajin lagi memeriksakan kesehatannya ke bagian pelayanan kesehatan, tidak hanya saat ada posbindu lansia saja yang dilaksanakan pada tanggal 17 setiap bulannya. Untuk penatalaksanaan non-farmakologinya, kami menyarankan kepada Ny. E agar dia tetap menjaga pola makannya dengan memakan nasi sedikit, banyak konsumsi sayur dan buah, dan menggunakan pemanis untuk pasien khusus diabetes. Untuk lingkungan rumahnya, kami menyarankan kepadanya untuk menjaga lantai rumahnya agar tidak licin dan agar dia tidak jauh dari tongkatnya yang digunakan sebagai alat bantu untuk berjalan. Selain itu kelompok kami juga menyarankan kepda Ny. E agar sering membersihkan kamar mandinya tetapi tidak sembari jongkok agar kamar mandinya tidak licin dan aman untuk dia gunakan.. Untuk penatalaksanaan psikisnya, karena dia merasa kesepian, kelompok kami sudah memberikan nomor handphone kami juga, agar jika sewaktu-waktu dia membutuhkan teman berbicara, kami dapat menemaninya. Kelompok kami juga mungkin sesekali akan mengunjunginya walaupun hanya menemaninya mengobrol agar dia tidak terlalu kesepian.
B. Cara Mengevaluasi 1. Evaluasi Diabetes Melitus Evaluasi
merupakan
langkah
terakhir
dalam
proses
penatalaksanaan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara
terus menerus dengan melibatkan pasien, dokter, keluarga dan anggota tim kesehatan lainnya. (Tjokronegoro, 2002) Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana penatalaksanaan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang. (Tjokronegoro, 2002) Evaluasi pada klien dengan DM yaitu : a.
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
b.
Kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
c.
Gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
d.
Pasien tidak kelelahan.
e.
Pasien tidak mengalami injury
2. Evaluasi Hipertensi Walaupun dokter dapat mendiagnosa adanya kondisi hipertensi berdasarkan pada pemeriksaan tekanan darah saja, namun dokter perlu melakukan berbagai pemeriksaan lain, dengan tujuan: a.
mencari
berbagai
faktor
risiko
bagi
terjadinya
penyakit
‘kardiovaskuler’, termasuk mencari adanya gaya hidup yang mendukung hal tersebut. b.
mencari penyebab hipertensi, apakah merupakan suatu hipertensi primer atau suatu hipertensi sekunder.
c.
mencari ada tidaknya kerusakan pada organ-organ target hipertensi. Evaluasi yang dilakukan dokter untuk menemukan ketiga hal diatas
dapat meliputi wawancara keluhan, pemeriksaan fisik dan melakukan berbagai pemeriksaan laboratorium. Hipertensi sendiri umumnya tidak menimbulkan keluhan, namun mungkin saja terdapat keluhan lain serta penemuan fisik/laboratorium yang mendukung bagi dokter untuk menentukan apa faktor risiko yang menyebabkan seseorang mengidap hipertensi, serta sudah sejauh mana dampak hipertensi pada orang tersebut. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dokter dapat meliputi:
a.
pemeriksaan laboratorium,
b.
pemeriksaan pencitraan/radiologis (seperti foto ‘Rontgen’, CT-Scan, angiografi koroner, dsb)
c.
pemeriksaan EKG (’elektrokardiografi’).
d.
pemeriksaan funduskopi ‘mata’. Pemeriksaan penunjang umumnya dapat ‘sensitif’ untuk dapat
mengungkap perihal faktor risiko, penyebab dan dampak hipertensi pada seseorang. Misalnya, selain hipertensi ternyata dari hasil pemeriksaan penunjang seseorang diketahui pula sudah mempunyai penyakit ginjal kronik, atau pembesaran jantung, kerusakan pembuluh darah mata, terdapat plak di arteri koroner jantung dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002 Kurniawan, Indra. 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Usia Lanjut. MKI vol. 60 no 12. Bangka Belitung Martono, Hadi dkk. 2011. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Balai Penerbit FKUI. Jakarta Kaplan, Harold I dkk. 2010. Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara Publisher. Tangerang. Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta Perkumpulan
Endokrinologi
Indonesia
(PERKENI).
2006.
Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : Perkeni Sheps, Sheldon G. 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: PT Intisari Mediatama Corwin, Elizabeth J. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Julianti, D, dkk., 2005, Bebas Hipertensi Dengan Terapi Jus, Puspa Swara, Jakarta Hayens, B., et. al., 2003. Buku Pintar Menaklukan Hipertensi. Penerbit Ladang Pustaka dan Intimedia. Jakarta Dekker, E. (1996). Hidup dengan Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : CV Muliasari. Santoso, Fredy. Diet Pencegah Hipertensi. 2009. Diakses Tanggal 10 April 2013 Kuswhardani, Tuty RA. 2010. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia.Bagian Penyakit Dalam FK. Unud, RSUP Sanglah Denpasar. Bali.