MAKALAH MONOPOLI ZAKAT OLEH NEGARA (Diajukan untuk memenuhi UTS pada mata kulia Hukum Zakat dan Wakaf) Dosen : H. Aden Rosadi, M. Ag
Nama
: Nurdin
Nim
: 1210304016
Semester: IV Jurusan : PMH (Perbandingan (Perbandingan Madzhab dan Hukum) Hukum) Fakultas : Syari’ah dan Hukum
PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Filantropi Islam telah mengakar dalam praktik masyarakat Islam di Indonesia sejak lama. Zakat, yang menjadi fokus utama kajian di sini, adalah suatu kegiatan keagamaan yang nilai dan praktiknya setua masuknya Islam di Nusantara. Secara spesifik, masyarakat Muslim telah mempraktikkan zakat sejak abad tiga belas Masehi. Bahkan menurut Daud Ali masyarakat Islam di Nusantara telah menggunakan zakat sebagai sumber dana untuk mengembangkan ajaran Islam, dan juga melawan penjajah. Secara keseluruhan, pada masa Islam hadir di Nusantara dan masa kolonial, filantropi Islam di praktikkan oleh masyarakat Islam secara tercerai berai, sporadik, spontan, dan diskriminatif. Adalah K.H. Ahmad Dahlan pada awal abad 20 yang mengusulkan perlunya dibentuk pengelolaan zakat secara terlembaga. Karenanya, fenomena kelembagaan filantropi Islam melalui organisasi modern di Indonesia adalah fenomena baru. Sementara pada zaman pendudukan Jepang, politik agama netral (seperti politik Islam kolonial Belanda) tersebut tetap berlaku. Tidak banyak yang berubah dalam pengelolaan zakat. Bahkan kemungkinan adanya penggalangan dana zakat pada masa Jepang juga sangat kecil. Setelah 17 Agustus 1945, tradisi pengumpulan zakat tetap dilaksanakan oleh para petugas jawatan urusan agama. Juga terdapat upaya-upaya untuk menggalakkan penggalangan dana zakat di berbagai daerah. Bahkan, beberapa pejabat pemerintah daerah turut serta berpartisipasi dalam penggalangan dana tersebut. Sejak Indonesia merdeka tidak ada suatu badan Negara yang berfungsi untuk mengelola filantropi Islam, kecuali yang ada di kota Aceh 1959. Salah satu bentuk filantropi masyarakat Aceh yang tercatat sejarah adalah sumbangan pesawat Seulawah untuk Negara dalam masa perjuangan fisik. Singkatnya dalam masa kemerdekaan sampai awal orde baru yang berlangsung adalah pola kelembagaan filantropi interpersonal, yang merata di hampir seluruh wilayah Indonesia. Realita ini menunjukkan bahwa kelembagaan filantropi Islam melalui organisasi belum disadari urgensinya oleh masyarakat Islam Perhatian yang besar untuk memobilisasi filantropi Islam secara efektif
baru tercetus di era orde baru. Pada peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara, 26
Oktober 1968, Presiden Suharto menyatakan urgensi akan efektifitas pengelolaan zakat, dan juga menegaskan bahwa dirinya siap menjadi amil zakat. Anjuran Presiden tersebut mendorong terbentuknya lembaga organisasi pelaksana, pertimbangan dan pengawasan, dan ujungnya terbentuklah badan amil zakat (BAZIS) pada 5 Desember 1968 dengan SK Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, No. Cb-14/8/18/68 di DKI Jakarta, yang selanjutnya diikuti oleh berbagai propinsi lainnya di Indonesia (Arskal Salim, 2003:158). Singkatnya, kerja-kerja filantropik BAZIS di Indonesia telah dirasakan manfaatnya oleh umat Islam tidak saja untuk kepentingan karitas, tetapi juga menunjang pembangunan lembaga keumatan, seperti sarana pendidikan (sekolah, madrasah, pesantren), dan juga sarana ibadah (masjid),
termasuk
sarana
sosial
(rumah
sakit).
Namun,
secara
umum
perkembangan dunia filantropi di era Orde Baru cenderung statis dan stagnan. Babak baru filantropi Islam terjadi saat krisis ekonomi (termasuk bencana alam) merundung Indonesia, dan juga terbukanya iklim demokrasi di era reformasi sejak akhir 1990-an. Krisis ekonomi merupakan ‘pemantik api’ yang membakar semangat komunitas Muslim guna menyahuti problem tersebut. Yayasan Dompet
Du’afa
(YDD),
tidak
diragukan,
dibentuk
oleh
sebagian
karyawan
harian Republika untuk merespon kelaparan yang hebat di Gunung Kidul, Yogyakarta. Demikian halnya, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) lahir untuk merespon berbagai bencana alam (natural disasters), khususnya banjir dan gempa bumi, yang merajalela di berbagai wilayah Indonesia Selain YDD dan PKPU, ada beberapa lembaga filantropi Islam lainnya, yaitu Dompet Sosial Ummul Qura (YDSUQ), Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF), Yayasan Daarut Tuhiid, dan lain-lain memiliki visi dan misi perjuangan yang sama: kemaslahatan umat. Singkatnya, fenomena tumbuhnya organisasi filantropi Islam (OFI) yang berbasis masyarakat dan popular dengan sebutan Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah (LAZIS), menandai suatu babak baru pengelolaan filantropi Islam, yang sebelumnya dimonopoli oleh Negara. Berakhirnya monopoli zakat oleh Negara adalah hal yang kondusif bagi proses filantropi Islam untuk keadilan sosial di Indonesia. Menurut Timur Kuran, ketika zakat dikelola secara tersentralisasi oleh Negara maka cenderung yang terjadi adalah korupsi, evasi, mis-manajemen, mis-alokasi dan upaya distribusi yang hasilnya tidak nyata bagi mustahik. Pada saat ini kedua organisasi filantropi Islam tersebut, BAZIS dan LAZIS, telah memiliki legalitas hukum untuk
menjalankan aktivitasnya secara sah (Keputusan Menteri Agama RI No.581 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat). Secara keseluruhan meski BAZIS dal LAZIS sejauh ini telah maksimal mengelola filantropi Islam namun sesungguhnya hasilnya belum optimal menyembuhkan nestapa kemiskinan. Ini terjadi terutama berkaitan dengan watak pengelolaan zakat yang bersifat karitatif dan juga minimnya akuntabilitas (Draft laporan Riset PBB, 2004: 61). Selain itu, pola berderma secara interpersonal sangat dominan. Hal ini tercermin dari sebagian besar muzakki (94%) menyerahkan zakatnya langsung kepada mustahik; hanya 4% dana ZIS yang diserahkan melalui BAZIS, 2% melalui LAZIS, semacam YDD. Sejauh ini YDD mengumpulkan jumlah terbesar yakni 2%. Sementara potensi zakat di Indonesia diperkirakan berkisar antara 6 dan 9 milyar rupiah. Bahkan, berdasar riset PBB UIN Jakarta terdapat 19,3 triliun rupiah per tahun potensi dana umat dari sektor zakat, infak dan sedekah. (Draft Report PBB UIN Jakarta dan FF. 2004:53). Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis memilih judul “Monopoli zakat oleh negara”.
BAB 11 PEMBAHASAN
A. PENGELOLAAN ZAKAT PADA MASA RASUL Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga yang diajarkan sejak zaman Rasulullah Saw. dengan demikian zakat menurut sejarah telah berkembang seiring dengan laju perkembangan Islam itu sendiri. Gambaran tersebut meliputi sejarahnya pada masa awal Islam dan perkembangan pemikiran zakat pada tatanan hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka modern. Pada masa awal Islam, yakni masa rasulullah SAW, dan para sahabat, prinsip-prinsip Islam telah dilaksanakan secara demonstratif, terutama dalam hal zakat yang merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Secara nyata, zakat telah menghasilkan perubahan ekonomi yang menyeluruh dalam masyarakat Muslim. Hal itu sebagai akibat pembangunan kembali masyarakat yang didasarkan kepada perintah Allah, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Jadi masyarakat dibimbing menuju kehidupan cinta kasih, persaudaraan dan altruisme. 1
Diungkapkan oleh Ibrahim (1998 : 125-132) , bahwa citra baik mengenai pengumpulan zakat semasa kehidupan Rasulullah dilakukan dengan cara mengumpulkan zakat perorangan dan membentuk panitia pengumpulan zakat. Qardhawi membagi perkembangan zakat pada masa awal Islam ke dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan Madinah. Dikemukakan olehnya, bahwa bentuk zakat pada periode Makkah adalah zakat tak terikat(bisa dikataan infaq), karena tidak ada ketentuan batas dan besarnya zakat yang dikeluarkan. Adapun pada periode Madinah, sudah ada penegasan bahwa zakat itu wajib dan dijelaskan beberapa hukumnya. Perhatian Islam pada periode Makkah adalah pen anggulangan problema kemiskinan. Setelah rasulullah SAW wafat, khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq diberkahi dengan wawasan mendalam tentang dasar-dasar dan hukum-hukum Islam kemudian memperteguh pengumpulan dan pendistribusian zakat yang telah diajarkan Rasulullah SAW. disebutkan oleh Ibrahim, bahwa Abu Bakar Shiddiq mengikuti petunjuk Rasulullh SAW. berkenaan dengan sistem pembagian zakat diantara orang-orang muslim yang berhak menerimanya. Ia biasanya membagikan 1
Yasin Ibrahim, Cara Mudah Menunaikan Zakat, Membersihkan Kekayaan Menyempurnakan Puasa Ramadhan, (Bandung : Pustaka Madani 1998) Hal 125
semua jenis harta kekayaan secara merata tanpa memperhatikan status masyarakat (Muhajirin dan Anshar). Sebagai tempat penampungan harta zakat, khalifah memiliki sebuah baitul maal di kampung al-Sunh, yang ditinggal begitu saja tanpa penjagaan, karena semua harta zakat selalu tersalurkan kepada orang yang berhak menerimanya tanpa sisa sedikitpun. Umar bin khatab, khalifah kedua, mengikuti langkah Rasulullah SAW. dan khalifah pertama. Abu Bakar Shiddiq, mengenai keuangan zakat dan kebijakankebijakan administrasi. Bila para pengumpul zakat yang diutusnya berlaku kurang adil, Umar sendiri yang turun tangan untuk memberikan hak kepada yang membutuhkannya. Pada zaman khalifah Ustman bin Affan, pengumpulan zakat tidak lagi dipusatkan pada khalifah. Karena, orang-orang sudah memiliki pandangan yang berbeda dalam menyerahkan zakat, ada yang langsung kepada orang miskin dan ada pula yang menyerahkannya kepada para utusan Ustman. Disamping itu, daerah kekuasaan Islam sudah luas sehingga pengaturan zakat ditangani oleh gubernur daerah masing-masing. Selanjutnya, setelah wafatnya Ustman, Ali bin Abi Thalib diakui sebagai khalifah terakhir. Walaupun pemerintahannya ditandai dengan kekacauan politik, namun hal itu tidak menghalanginya untuk mengatur sistem kolektif pengumpulan dan pembagian. Kemudian, setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir, sejarah perkembangan zakat berlanjut pada pemerintahan khalifah Muawiyah. Pada masa ini penghimpunan zakat diperdebatkan dan sebagian besar para ahli hukum Islam memfatwakan bahwa masyarakat tidak wajib memebayar zakat kepada negara jika petugas yang ditunjuk tidak datang mengumpulkannya. Pada masa ini juga penghimpunan zakat dan pembayaran pajak lainnya berada di bawah satu atap kantor, dan juga tercatat banyak sekali korupsi dan ketidak adilan dalam distribusi zakat ini. Beberapa upaya untuk menghentikan penyalahgunaan dana zakat, mendorong para ahli hukum Islam dalam pola derma secara interpersonal.
B. PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA Mengapa pemerintah perlu ikut campur untuk mengurusi zakat ?. Selain mengacu kepada landasan yuridis surat al-Taubah ayat 103, juga karena zakat (di indonesia) ditempatkan sebagai bagian dari hukum publik, bukan hukum private 2
sehingga pemerintah ikut terlibat di dalamnya.
Oleh karena zakat menjadi urusan publik, maka pemerintah pada tahun 1999 segera mengeluarkan Undang undang Nomor 38 tentang Pengelolaan Zakat. Secara keseluruhan meski BAZIS dan LAZIS sejauh ini telah maksimal mengelola filantropi Islam namun sesungguhnya hasilnya belum optimal menyembuhkan nestapa kemiskinan. Sehubungan dengan hal itu pada 27 Oktober revisi terhadap Undang-undang No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat telah disepakati oleh DPR RI dengan harapan bahwa Undang-undang tersebut dapat lebih memperkuat regulasi terkait pengelolaan zakat di indonesia. Undang-undang ini juga diharapkan dapat menjadikan pengelolaan zakat lebih profesional, transparan, dan akuntabel. Namun, bagi sebagian lain, khususnya kalangan Lembaga Amil Zakat (LAZ), undang-undang ini menyisakan beberapa kekhawatiran dan ketidakpuasan. Salah satu poin yang banyak dikhawatirkan adalah pasal 38 dari undangundang tersebut yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat, yaitu mengumpulkan, mendistribusikan, atau mendayagunakan zakat, tanpa izin pejabat yang berwenang. Pejabat yang dimaksud berasal dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan lembaga amil zakat milik Ormas, serta lembaga amil zakat yang berafiliasi kepada Baznas. Jika mengabaikan hal itu, maka pihak bersangkutan terancam denda Rp 50 juta atau kurungan penjara selama satu tahun, sebagaimana diatur dalam pasal 41. Pasal itu dianggap hanya menjamin keberadaan 3 Lembaga Amil Zakat yang ada, yakni Baznas dan Bazda, LAZ milik ormas dan LAZ yang berafiliasi dengan Baznas, sementara bagi LAZ selain dari tiga kelompok itu tidak dapat diakui keberadaanya. Padahal kita tahu bahwa di negeri ini banyak bermunculan Lembaga Amil Zakat yang berskala nasional, regional, bahkan di tingkat masjid dan tidak berafiliasi kepada ormas atau Baznas. Yang menjadi pertanyaan bagaimana nasib lembaga-lembaga itu? Apakah akan dibubarkan begitu saja?.
2
Ramdani Wahyu, Administrasi Islam di Indonesia, Bandung Januari 2011, Hal 126
Apakah monopoli zakat oleh negara akan terulang kembali seperti pada masa orde baru?
Penulis sebenarnya sepakat jika ada i’tikad baik dari kalangan dewan untuk menjadikan pengelolaan zakat di negeri ini semakin baik. Terlebih, kita juga tahu bahwa potensi zakat di indonesia begitu luar biasa. Saya juga sepakat jika kemudian digulirkan wacana zakat sebagai pengganti pajak. Hanya saja permasalahannya sekarang, banyak stakeholder yang bermain dalam ranah zakat. entah ada berapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) di negeri ini, baik yang terdaftar maupun tidak. Semua stakeholder itu tentu punya kepentingan masing-masing. Disinilah dewan dan pemerintah harus bijak dalam menetapkan revisi terkait UU pengelolaan zakat. semua pemangku kepentingan perlu diajak berembug dan di dengar pendapatnya sebelum akhirnya dapat menghasilkan keputusan terbaik. Idealnya memang di sebuah negara yang berlandaskan aturan Islam, pengelolaan zakat dipegang oleh pemerintah atau khalifah. Namun situasi ideal itu tampaknya masih jauh dari kondisi Indonesia saat ini, oleh karenanya, yang paling memungkinkan, dilakukan peninjauan ulang terhadap Undang-unang itu dengan memperhatikan pandangan semua pihak terkait. Ingta, potensi zakat yang begitu luar biasa perlu pengelolaan yang luar biasa pula. Jangan sampai aturan Allah berupa kewajiban berzakat dikelola dengan sembrono atau bahkan digunakan untuk meraih kepentingan pribadi dan golongan.
C. LANDASAN YURIDIS PENGELOLAAN ZAKAT Dalam ajaran agama islam, pemungutan zakat sebaiknya dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat At-taubah : 103
103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan
dan
mensucikan
mereka
dan
mendoalah
untuk
mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Perintah untuk mengambil zakat dalam ayat diatas adalah ditujukan kepada Rasulullah kemudian dikembangkan kepada pengganti rasul. Dalam hal ini kewajiban pengembilan dan pengelolaan zakat oleh pemerintah masuk dalam ranah ijtihadi, artinya pengganti rasul itu bukan hanya imam (pemerintah), tetapi organisasi filantropi islam, dan ulama sebagi pewaris para nabi pun masuk dalam kategori pengganti rasul. Oleh karena itu ketika zakat dikelola secara tersentralisasi oleh negara cenderung yang terjadi adalah korupsi, evasi, mis-manajemen, misalokasi dan upaya distribusi yang hasilnya tidak nyata bagi mustahik maka Oranisasi Flantropi Islam yang profesional dan mempunyai akuntabilitas menjadi solusi terbaik dan Pemerintah sebagai wakil kemaslahatan publik cukup sebagai pengawas atas penerimaan dan penggunaan ZIS yang dikelola.
KESIMPULAN Zakat yang mempunyai potensi besar dalam memperbaiki keadaan ekonomi suatu negara harus dikelola secara apik. Dalam hal ini pemerintah sebagai wakil kemaslahatan publik sudah sepatutnya membuat inovasi agar zakat bisa benar-benar menjadi solusi kemiskinan warga negara jangan sampai pengelolaan zakat cenderung dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan pribadi a khirnya tidak sampai kepada para mustahiknya. Lebih jauh disamping dapat membantu masyarakat yang tidak mampu, hubungan agama dan negara dapat saling terkait dan semakin menemukan titik harmoninya. Keterlibatan negara dalam persoalan zakat adalah sebagai legislator, supervisor dan sekaligus sebagai fasilitator, bukan sebaliknya. Negara tidak memberi ruang kepada organisasi flantropi islam untuk ikut mengembangkan pengelolaan zakat yang akhirnya apabila negara terlalu mensentralisasi pengelolaan zakat maka cenderung memonopoli zakat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Yusuf Qardhawi, Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, (Surabaya: Danakarya 1996)
2. Yasin Ibrahim, Cara Mudah Menunaikan Zakat, Membersihkan Kekayaan Menyempurnakan Puasa Ramadhan, (Bandung : Pustaka Madani 1998)
3. El zawa (lembaga penelitian zakat dan wakaf) UIN Malang 4. Draft Report PBB UIN Jakarta dan FF. 2004:53 5. Nur iman Ramadhona, draft tesis Analisa Yuridis Tentang Zakat Bagi PNS Dilihat Dari Perspektif Hukum Islam, Universitas dipenogoro Semarang, 2006