MAKALAH TENTANG ZAKAT Diposkan oleh admin di 20.07 | Minggu, 29 April 2012 | 1 komentar Label: Makalah, Makalah Agama Islam, Makalah Pendidikan BAB I TEORI ZAKAT Pengertian Zakat Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam. Etimologi Secara harfiah zakat berarti “tumbuh”, “berkembang”, “menyucikan”, atau “membersihkan”. Sedangkan secara terminologi syari‟ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orangorang tertentu sebagaimana sebagaimana ditentukan.
Sejarah zakat Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalamAl-Qur‟an. Pada awalnya, Al -Qur‟an hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negaranegara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut. Pada zaman Khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari‟ah, mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan. Kejatuhan para khalifah dan negara-negara Islam menyebabkan zakat tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi. Hukum zakat Zakat merupakan salah satu rukun islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti shalat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Al-
Qur‟an dan As Sunnah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
Jenis zakat Zakat terbagi atas dua jenis yakni: Zakat fitrah Zakat yang wajib dikeluarkan Muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan. Zakat maal (harta) Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya perhitungannya sendiri-sendiri. Yang berhak menerima Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, yakni: Fakir – Mereka Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup. Miskin – Mereka Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup. Amil – Mereka Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat. Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk Mu‟allaf – Mereka menyesuaikan diri dengan keadaan barunya Hamba Sahaya – yang yang ingin memerdekakan dirinya Gharimin – Mereka Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya Fisabilillah – Mereka Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb) Ibnu sabil – Mereka Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan. Yang tidak berhak menerima zakat Orang kaya. Rasulullah bersabda, “Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga.” (HR Bukhari). Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya. Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat).” (HR Muslim). Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri. Orang kafir.
BAB II TEORI PENGELOLAAN ZAKAT
Qur‟an dan As Sunnah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
Jenis zakat Zakat terbagi atas dua jenis yakni: Zakat fitrah Zakat yang wajib dikeluarkan Muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan. Zakat maal (harta) Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya perhitungannya sendiri-sendiri. Yang berhak menerima Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, yakni: Fakir – Mereka Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup. Miskin – Mereka Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup. Amil – Mereka Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat. Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk Mu‟allaf – Mereka menyesuaikan diri dengan keadaan barunya Hamba Sahaya – yang yang ingin memerdekakan dirinya Gharimin – Mereka Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya Fisabilillah – Mereka Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb) Ibnu sabil – Mereka Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan. Yang tidak berhak menerima zakat Orang kaya. Rasulullah bersabda, “Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga.” (HR Bukhari). Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya. Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat).” (HR Muslim). Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri. Orang kafir.
BAB II TEORI PENGELOLAAN ZAKAT
1. Teori dan Pandangan Normatif Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran Negara hukum yang kini dianut oleh Negara-negara di dunia adalah Negara Kesejahtraan (Welfare State). Ciri utama dari Negara ini adalah adanya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahtraan umum bagi warga negaranya, dalam kaitannya dengan organisasi Negara, untuk mengatur organisasi Negara dan susunan pemerintahan maka setiap Negara memerlukan suatu konstitusi. Konstitusi dalam kenyataannya lengkap mengatur hubungan antar lembaga Negara, dan dengan warga Negara serta menyatakan diri sebagai Negara hukum. Untuk itu, partisipasi rakyat dalam berbagai fungsi kehidupan bernegara adalah merupakan salah satu sarana untuk mencapai penegakkan hukum ( Rule Of Law ) tersebut atau lebih dikenal dengan system demokratis. Dengan kata lain, Negara hukum harus ditopang dengan sistem demokrasi. Menurut H.D.Van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip Rechtstaat atau Negara hukum, sebagai berikut: 1. Pemerintahan berdasarkan undang-undang, undang-undang, pemerintah hanya memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh undang-undang dasar dan undang-undang lainnya. 2. Hak-hak asasi, terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah 3. Pembagian kekuasaan, kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan pada suatu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling mengawasi dan dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan. 4. Pengawasan lembaga kehakiman, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus dapat diajukan dan dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka. Pada abad ke-19 muncul konsep Rechtstaat dari Fredrich Julius Stahl. Menurut Stahl unsur-unsur Negara hukum (Rechtstaat) adalah sebgai berikut : a. Perlindungan hak asasi manusia; b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; c. Pemisahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; perundang-undangan; d. Peradilan administrasi administrasi dalam Perselisihan. Pada saat yang sama muncul pula konsep Negara hukum (Rule Of Law) dari A.V. Dicey yang lahir dalam naungan system Anglosaxon. Menurutnya unsur-unsur Negara hukum adalah sebagai berikut : a. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat. c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan. Selain itu menurut B. Arif Sidharta menyatakan, Negara hukum adalah Negara yang berintikan unsur-unsur dan asas-asas dasar sebagai berikut: Pertama, pengakuan, penghormatan dan perlindungan kepribadian umat manusia
(identitas) yang mengimplementasikan asas pengakuan dan perlindungan martabat dan kebebasan manusia, yang merupakan asas fundamental Negara hukum. Kebebasan disini mencakup kebebasan individu, kebebasan kelompok, kebebasan masyarakat etnis, dan kebebasan masyarakat nasional. Kebebasan dan kemungkinan pelaksanaan faktualnya tidak tanpa batas, melainkan ditentukan dan dibatasi faktor kesejahtraan, keadaan factual eksternal, pandangan kefilsafatan dan keagamaan, nilai-nilai serta penetapan asas-asas dan kaidah lainnya. Kedua, asas kepastian hukum yang mengimplementasikan hal berikut ini, para warga masyarakat harus bebas dari tindakan pemerintah dan pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan tindakan sewenang-wenang. dalam arti semua tindakan pemerintah harus bertumpu kepada aturan yang tertuang di dalam hukum positif. Ketiga, asas persamaan (similia similibus). Pemerintah dan para pejabatnya harus memberikan perlakuan sama kepada semua orang, dan undang-undang juga berlaku sama untuk semua orang. Keempat, asas demokrasi. Asas ini berkenaan dengan cara pengambilan keputusan , di mana setiap warga Negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi putusan dan tindakan pemerintah. Kelima, asas pemerintah dan para pejabatnya pengemban fungsi melayani masyarakat. Asas ini menjabarkan ke dalam seperangkat asas umum pemerintahan yang layak (algemeene beginselen van behoorlijk bestuur). Syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi harus terjamin dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan itu, suatu konsepsi yang sangat penting diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan adalah konsep tentang kewenangan sangat memegang peranan penting dalam Hukum Administrasi Negara. Kewenangan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Bevoegheid yaitu berkaitan erat dengan wewenang pemerintah dalam mengelola dan melaksanakan kekuasaan Negara, adapun mengenai ruang lingkup kewenangan tidak hanya meliputi pengambilan keputusan oleh penguasa tetapi juga menyangkut kewenangan untuk melaksanakan tugas pemerintah. Secara Teoritis kewenangan dapat diperoleh melalui tiga cara: a. Atribusi: pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan; b. Delegasi: pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain; c. Mandat: terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangan dijalankan oleh organ lain atas namanya. Menurut Bagir Manan (dalam Ridwan H.R) menjelaskan bahwa wewenang di dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (Macht). Kekuasaan hanya mengambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (Rechten en plichten). Konsep kewenangan menurut beberapa orang sarjana adalah sebagai berikut : • Philipus M. Hadjon: kewenangan pemerintah dapat beberapa kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi, yaitu kewenangan untuk memutuskan secara mandiri dan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar namun tetap tunduk pada
hukum. • Herbert A. Simons: wewenang adalah suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan dan berkaitan dengan atasan dan bawahan. • S.F. Marbun : wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum public (yuridis) juga sebagai kemampuan bertindak yang diberikan undang-undang untuk melakukan hubungan hukum. • Prajudi Atmosudirjo : wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik. Suatu hal yang penting dijelaskan, bahwa berbagai pemikiran mengenai kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, pelaksanaannya sangatlah dipengaruhi oleh faktor pemeran (faktor non-juridik nirmatif) dalam uraian berikut. 2. Teori Efektivitas Hukum (Sosiologis) Telah diungkapkan, bahwa pelaksanaan dan pengelolaan zakat tidak hanya diperankan oleh pemerintah; melainkan ditujukan kepada warga masyarakat, terutama warga yang memiliki kemampuan harta kekayaan berkewajiban mengeluarkan zakat (Muzakki), dan warga penerima zakat (Mustahiq). Berkenaan dengan itu, hukum merupakan suatu sarana yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan, keutuhan, ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Atau dengan kata lain, keseraian antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dengan ketentraman yang bersifat batiniah. Dengan demikian kehadiran hukum merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat, sehingga sulit dibayangkan apabila dalam suatu masyarakat dapat berjalan tertib tanpa adanya hukum yang mengaturnya. Eksistensi Undang-undang Pengelolaan Zakat sangatlah diperlukan bagi pengembangan kehidupan umat, terutama bagi Mustahiq yang relatif sangat lemah. Indikator kedua, pemahaman hukum, dalam arti sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi dari suatu peraturan. Dengan perkataan lain pemahaman hukum merupakan suatu pengertian atau penguasaan seseorang terhadap hukum tertentu, baik menyangkut substansi maupun tujuannya. Indikator ketiga, sikap hukum artinya seseorang mempunyai kecendrungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya, sehingga akhirnya masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. Berdasarkan teori psikologi struktur pembentukan sikap meliputi: a. Komponen kognitif (komponen konseptual) berkaitan dengan pengetahuan, pandangan terhadap obyek sikap; b. Komponen afektif (komponen emosional) yakni berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang terhadap obyek sikap; c. Komponen konatif (komponen perilaku) yakni komponen yang berhubungan dengan sikap tindak terhadap obyek sikap. Indikator keempat, pola perilaku hukum artinya seseorang berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. Mengenai hal ini Friedman mengemukakan bahwa : “Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a deliberate instance of legal behavior that bends toward the legal act that ovoked it. Or the legal behavior in the middle, one important type might be colled evasion. Evasive behavior
frustrates the goals of a legal act, but falls short of noncompliance or, as the case may be, legal culpability”. Berdasarkan pendapat tersebut, maka perilaku seseorang terhadap hukum dapat diklasifikasikan dalam bentuk ketaatan atau kepatuhan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan atau menghindar (evasion). Secara teoritis prilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor yang merupakan psikologik yang ada pada diri seseorang. Faktor ini condong menggerakkan orang yang bersangkutan untuk mempromosikan kepentingan pribadi atas dasar pertimbanganpertimbangan yang rasional, sehingga faktor inilah yang pertama-tama menggerakkan seseorang untuk taat terhadap suatu ketentuan, karena individu selalu berupaya mencari kemudahan dan kemanfaatan bagi dirinya. Selain faktor internal, faktor lain yang mempengaruhi prilaku seseorang adalah faktor-faktor yang eksis di luar diri seseorang (eksternal) yang berupa lingkungan sosial yang penuh dengan pengaturan dan pengharusan (dunia normatif). Faktor internal dapat disebut sebagai penggerak dan pengada prilaku, sedangkan faktor eksternal adalah faktor pembentukan atau pemolaannya . Dalam kehidupan bermasyarakat, kedua faktor tersebut sangat penting artinya karena akan menentukan pola prilaku yang diwujudkan. Pengaruh kedua faktor itu akan tampak dari warga masyarakat yang selalu bergerak dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang akan mendukung prilakunya. Selanjutnya Giddens mengemukakan ada tiga hal yang mem pengaruhi lahirnya prilaku yaitu: Pertama reflaxtif of action, kedua ratioanalization of action dan ketiga motivation of action. Reflextion monitoring of action, tindakan para individu yang diwujudkan berdasarkan pengalaman dan tindakan para individu tersebut tercipta karena adanya hubungan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Rationalization of action, yaitu suatu tindakan yang dilakukan individu berdasarkan alas an yang logis/rasional karena adanya pengetahuan dari individu yang bersangkutan. Motivation of action yaitu suatu kemauan dari para individu yang didasarkan pada aspek kesadaran dan ketidak sadaran individu terhadap kognisi dan emosinya. Prilaku seseorang seringkali dilakukan secara sadar dan ketidak sadaranya, prilaku yang dilandasi dengan penuh kesadaran akan membawa manfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Karena itu prilaku hendaknya didukung oleh niat yang baik dan dengan kesedaran yang tinggi. Fishbein, dalam hal ini mengemukakan bahwa niat seseorang untuk berprilaku di pengaruhi oleh persepsinya tentang manfaat prilaku tersebut serta persepsinya tentang sikap kelompok panutannya. Selanjutnya Fishbein mengemukakan beberapa proposisi yakni: a. Prilaku seseorang dipengaruhi oleh niatnya untuk melakukan perilaku tersebut; b. Niat seseorang untuk melakukan prilaku tertentu dipengaruhi oleh keyakinannya (beliefs) mengenai konsekwensi dari tindakan tersebut serta manfaatnya bagi dirinya; c. Niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai harapan-harapan kelompok panutan serta motivasinya untuk memenuhi harapan tersebut. Menurut Hobbes dan Freud, pada dasarnya perilaku individu manusia adalah egoistis dan
karenanya cenderung memuaskan kepentingannya sendiri . Akibat sifat manusia yang cenderung memuaskan kepentingannya sendiri, maka seringkali menimbulkan benturanbenturan kepentingan dengan pihak lain yang apabila tidak dikendalikan akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan sosial (deviasi sosial). Untuk menganalisis bekerjanya hukum sebagai suatu sistem, Friedman menyatakan bahwa “ A legal system in actual operation is complex organism in which structure, substance and culture interact ” . Yang dimaksud dengan komponen struktur adalah bagian-bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme misalnya organisasi-organisasi/lembaga-lembaga hukum). Komponen substansi yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh system hukum (misalnya norma-norma hukum, termasuk peraturan perundang-undangan, keputusan yang dibuat oleh pengadilan atau yang ditetapkan oleh badan pemerintah). Sedangkan komponen kultur merupakan komponen pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum itu ditengah kultur/budaya masyarakat (terdiri dari nilai-nilai dan sikap publik). Pengukuran terhadap efektivitas hukum atau pelaksanaan hukum dapat dilihat melalui norma yang ada di dalam undang-undang itu sendiri, dimana yang dimaksud dengan norma disini terutama dalam penelitian ini adalah Pengelolaan Zakat menurut Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999. Selain melalui norma yang terdapat di dalam Undangundang itu sendiri, efektivitas hukum dapat dilihat dari pemahaman masyarakat terhadap norma yang ada artinya bahwa bagaimanakah penguasaan seseorang terhadap materi atau isi dari peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dapat dilihat dari prilaku aparat penegak hukum artinya bahwa penegak hukum adalah merupakan ujung tombak dari penegakan hukum di lapangan. Yang menjadi permasalahan adalah ketika substansi undang-undangya sangat responsip, prilaku masyarakat menunjukkan ketaatan terhadap norma tadi tetapi jika aparatnya tidak mampu melaksanakan norma tadi, maka akan terjadi ketimpangan dalam hal penegakan hukum di masyarakat. Mengkaji bekerjanya hukum dalam masyarakat, menurut Robert B. Seidman ada 3 (tiga) unsur yang berkaitan didalamnya yaitu: a. Lembaga pembuat peraturan; b. Lembaga penerap peraturan (birokrasi); c. Pemegang peran.
· Selanjutnya oleh Seidman dinyatakan bahwa tingkah laku pemegang peran dapat ditentukan oleh peraturan-peraturan hukum yang disampaikan kepadanya, dan oleh keseluruhan kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja didalam masyarakat. Dan lembaga penerapan sanksi/peraturan akan bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku tergantung dari adanya sanksi yang ada padanya. Setiap tingkah laku pemegang peran dapat merupakan umpan balik yang disampaikan kepada pembuat peraturan. Namun bekerjanya hukum tidak hanya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan itu saja, tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya. Termasuk faktor-faktor anyg turut menentukan respon yang akan diberikan oleh pemegang peran adalah: a. sanksi yang terdapat didalamnya; b. aktivitas dari lembaga-lembaga/ badan pelaksanan hukum; c. seluruh komplek kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya lagi yang bekerja atas diri si pemegang peran itu.
Beberapa Faedah Zakat Faedah Diniyah (segi agama) Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan. Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq “alaih Nabi Shallallaahu „alaihi wa Sallam” juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda. Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW. Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak) Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya. Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak. Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan) Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia. Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah. Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah. Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika
harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat. Hikmah Zakat Hikmah dari zakat antara lain: Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin. Pilar amal jama‟i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da‟i yang berjuang dan berda‟wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT. Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan Untuk pengembangan potensi ummat Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat. Zakat dalam Al Qur‟an ü QS (2:43) (“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah beserta or ang-orang yang ruku‟”.)
ü QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, ma ka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”) ü QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan). BAB III PRAKTEK ZAKAT DI INDONESIA Praktek Zakat di Indonesia Masyarakat di Indonesia biasanya menyalurkan zakat biasa lewat panitia zakat di masjidmasjid ataupun juga melaui lembaga-lembaga zakat nasional dan swasta yang telah ditunjuk pemerintah. Dalam penyaluran zakat di Indonesia sepertinya sudah tersalur dengan baik, masyarakat yang berhak menerimanya pun telah menerima atau bisa dibilang tepat sasaran.
Contoh dari lembaga-lembaga zakat di Indonesia ialah seperti ; Ø Dompet Dhuafa Republika Ø Rumah Zakat Ø Bina Insan Prestasi Ø Portal Infaq Ø Baitul Maal Hidayatullah Ø Baitulmaal Muamalat Ø Pos Keadilan Peduli Umat Ø Dan lain-lain. Permasalan Zakat di Indonesia v Persoalan Zakat adalah sesuatu yang tidak pernah habis dibicarakan, wacana tersebut terus bergulir mengikuti peradaban Islam. Di Indonesia Persoalan yang muncul atas zakat sekarang : Pertama, Peran zakat sebagai salah satu rukun Islam yang harus ditunaikan oleh umat Islam yang mampu (muzakki) hanya menjadi kesadaran personal. Membayar zakat merupakan kebajikan individual dan sangat sufistik sehingga lebih mementingkan dimensi keakhiratan. Semestinya zakat adalah menjadi sebuah gerakan kesadaran kolektif, taruhlah kita bisa canangkan gerakan sadar zakat, seperti yang pernah dicanangkn oleh Presiden Megawati pada tanggal 2 Desember 2001 di Masjid Istiqlal pada acara peringatan Nuzulul Qur‟an, sehingga zakat menjadi tulang punggung perekonomian umat. Karena, Zakat bukan hanya sekedar kewajiban yang mengandung nilai teologis, tetapi juga kewajiban finansial yang mengandung nilai sosial yang tinggi. Persoalan ini, tidak lepas juga dari pamahaman umat (yang wajib zakat) terhadap makna subsansi zakat. Zakat hanya sebagai suatu kewajiban agama (teologis) untuk membersihkan harta milik dari kekotoran. 1 Pemahaman masyarakat seperti itu tentang zakat, akhirnya zakat di berikan tanpa melihat sisi kemanfaatan ke depan bagi yang berhak menerimanya (Mustahiq). Tanpa melihat, bahwa Zakat memainkan peran penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumen. Dengan zakat distibusi lancar dan kekayaan tidak melingkar di sekitar golongan elit (konglomerat). Namun akhir-akhir ini kesadaran di kalangan umat Islam menengah atas lainnya makin membaik. Selain membayar pajak mereka juga membayar zakat. Kedua, meningkatnya kesadaran umat Islam dalam membayar zakat tidak disertai dengan pengumpulan dan penyaluran yang terencana secara komprehensif. Bagaimana zakat yang punya peran sangat penting dalam menentukan ekonomi umat bisa dapat terkelola dengan baik dan professional-produktif. Pengelolaan yang tidak baik dan profesional menjadikan zakat tidak produktif dalam ikut andil mengembangkan ekonomi umat. Kita dulu punya BAZIS (Badan Amil Zakat dan Shodaqah) yang semi-pemerintah,
sekarang kita punya Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibina oleh pemerintah atas keinginan masyarakat. Hanya saja, system kelembagaan zakat tidak sama dengan lembaga pajak yang sudah dinilai kuat, tampaknya BAZIS/ BAZ/ LAZ masih terkesan lemah dan tidak mudah menetapkan target. Ditambah lagi dengan persoalan amanah yang kurang dimiliki oleh penyelenggara zakat. Sebenarnya, ada tiga kata kunci yang harus dipegang oleh organisasi pengelola zakat agar menjadi good organization governance, yaitu Amanah, Professional dan Transparan. Ketiga, sisi pendukung Legal-formal kita kurang proaktif dalam melihat potensi zakat yang sekaligus sebagai aplikasi dari ketaatan kepada agama bagi umat Islam. Seperti yang disampaikan Pimpinan DSUQ Bandung bahwa potensi zakat secara finansial dalam setahun di Indonesia bisa terkumpul mencapai 2 trilliun rupiah. Jumlah itu baru yang bisa di hitung dari jumlah orang kaya (muzakki) yang terdeteksi. Tapi kenyataannya, pengumpulan zakat, masih dibawah standar rasio rata-rata jumlah umat Islam yang kena kewajiban zakat (muzakki). Semestinya sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, negara proaktif dalam menyikapi kebutuhan umat, dimana ajaran Islam yang asasi seperti zakat menjadi tulang punggung perekonomian umat dengan melahirkan Undangundang zakat dari sejak kemerdekaan. v Lahirnya Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat yang disahkan pada tanggal 23 September 1999, walau tidak ada kata terlambat, tidak begitu banyak memberikan angin segar kepada umat Islam dalam mewujudkan suatu tatanan perekonomian yang kuat. Tetapi kita masih bisa bersyukur, dengan lahirnya Undangundang tersebut, walau terjadi tarik menarik kepentingan (penguasa dan rakyat) dalam lahirnya Undang-undang tersebut. Ditambah lagi dengan adanya perubahan atas Undangundang PPh No. 17 Tahun 2000 yang disahkan tanggal 2 Agustus 2000 dimana zakat menjadi pengurang pembayaran pajak.penghasilan. Kedua undang-undang tersebut memberikan jaminan kepada umat Islam bahwa zakat akan terkelola dengan baik, walau tidak sedikit kekhawatiran bahwa undang-undang itu hanya sebuah gerakan yang setengah hati yang hanya membesarkan hati umat Islam dan akan berhenti di tengah jalan. v Kekhawatiran itu tenyata terbukti dengan adanya stagnanisasi dalam usaha sosialisasi dan realisasi kedua undang-undang tersebut. Terjadinya banyak kendala dalam sosialisasi, realisasi dan tekhnis menjadi faktor yang sangat dominan dalam terjadinya stagnan undang-undang tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi ? kita mungkin melihat dengan kaca mata sinis terhadap pemerintah dalam menerapkan konsep zakat, dengan mengatakan, bahwa Undang-undang zakat yang ada hanya sebagai gerakan setengah hati. Atau kita bisa melihat dengan beragam kelemahan yang ada pada Undang-undang No. 38/99 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 7/83 Jo.UU No.10/94 Jo.UU No. 17/2000 tentang Pajak Penghasilan sebagai pengurang pembayaran pajak apabila sudah membayar zakat bagi umat Islam, seperti yang disampaikan Hadi Muhammad dalam sebuah makalahnya atas kelemahan Undang- undang tersebut, mengatakan : “metode Prepaid Tax lebih baik ketimbang metode Deductible Expenses yang digunakan dalam UU No. 38/99, karena sebetulnya hanya merupakan usaha excuse dari aparat ditjen pajak untuk menunjukkan toleransi birokrasi terhadap ketentuan berzakat umat Islam.”
ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT ISLAM Oleh : Mohammad Fathi Rabbani Eki s 2 M ahasiswa I nstitut Studi I slam Dar ussalam Gontor K ampus Siman
ABSTRAK Zakat sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataan ekonomi, serta sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat menduduki peran penting dalam perekonomian masyakat secara umum maupun kalangan Muslim, karenanya menarik untuk dikaji kembali sebagai salah satu potensi dana umat yan sangat besar guna memecahkan berbagai masalah sosial masyarakat. Ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pondasi ek onomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu, sejalan dengan pendapat Dr. Muhammad Syauki Al- Fanjari “ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai den gan pokok Islam dan politik ekonominya”.
Kata kunci
A.
: Ekonomi Islam, Zakat, Pemberdayaan.
PENDAHULUAN
Masalah zakat ini adalah masalah klasik yang selalu menjadi impian setiap orang muslim untuk mewujudkan keadilan sosial bagi kelompok miskin dan lemah. Namun dalam kerangka teoritis, zakat dapat menjelma menjadi suatu alur pemikiran yang mewujudkan kesejahteraan sosial. Walaupun pada sisi empirisnya, zakat hanyalah angan-angan yang tak pernah terwujud untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini dalam ajaran Plato yang dapat dipetik beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah : Bahwa di dunia ini ada kecenderungan siklus hidup, segala sesuatunya tidak abadi. Kaitannya dengan zakat dalam perspektif ekonomi adalah suatu potensi yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat, sejak masuknya agama Islam. Tetapi sangatlah dipertanyakan bahwa potensi zakat sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataaan ekonomi, serta sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat belumlah dikelola dan didayagunakan secara maksimal dalam ruang lingkup daerah. Padahal jika potensi zakat ini dikelola dengan baik tentu akan dapat membawa dampak besar dalam kehidupan ekonomi masyarakat, terutama dalam upaya mengentaskan kemiskinan.1[1] Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah konsep zakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi mayarakat Islam, mengingat banyak kalangan yang belum sepenuhnya melirik potensi besar dari zakat sebagai sebuah harta karun. Kenyataan di lapangan banyak orang yang belum sesungguh hati mengelola zakat sebagai sumber perekonomian masyarakat terutama masyarakat Islam itu sendiri. Karena itu perlu penataan kembali badan atau unit yang mengelola hal ini. B.
KONSEP EKONOMI ISLAM
Sebagai sebuah agama, Islam senantiasa memberikan pijakan dan tuntutan yang jelas dan mengikat kepada umatnya. Islam secara universal mengarahkan bagaimana umatnya mampu memadukan dalam dirinya kesadaran trasendental dalam bentuk peribadatan kepada Allah SWT dan bagaimana ia mampu mengimplementasikan kesadaran sosial dalam bentuk aktualisasi
1[1] Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun 1997. Hal : 35
ajaran pokok Islam dalam kehidupan sehari-hari. Entah itu masalah agama, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Dalam memberikan batasan atau definisi tentang ekonomi, lebih khusus ekonomi Islam, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sarjana dalam mengkategorikan ekonomi Islam, baik sebagai ilmu atau sebagai sistem. Sebelum mendefinisikan ilmu ekonomi Islam, kita harus memahami terlebih dahulu pengertian ekonomi secara populer dikalangan ahli ekonomi konvensional, karena istilah ekonomi itu sendiri adalah suatu hal baru dalam Islam, walaupun substansi kajian ekonomi sudah ada dan sudah teraplikasi dalam ajaran Islam. C.
PANDANGAN BEBERAPA AHLI TENTANG EKONOMI ISLAM
Menurut Fuad Fachruddin dan Heri Sudarsono, dalam Al-Qur’an ekonomi Islam diidentifikasikan dengan iqtishad yang artinya umat yang pertengahan atau bisa diartikan menggunakan rezeki yang ada disekitar kita dengan cara berhemat agar kita menjadi manusiamanusia yang baik dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan kepadanya2[2]. Dari sini bisa dinyatakan bahwa nama ekonomi Islam bukan nama buku dalam terminologi Islam, tidak ada peraturan atau undang-undang yang menyatakan harus bernama ekonomi Islam. Sehingga bisa saja orang mengatakan “ekonomi illahinya”, “ekonomi syariah”, “ekonomi qur’ani” ataupun hanya “ekonomi” saja. Nama ekonomi Islam lebih populer dikarenakan masyarakat lebih mudah mengidentifikasi nama Islam dimana nama tersebut lebih “familiar” dengan masalah sehari-hari. Nama ekonomi Islam dipengaruhi oleh penafsiran kita terhadap praktek ekonomi Islam yang kita temukan. Bila pengalaman ekonomi Islam berkaitan dengan aturan-aturan tentang perintah dan larangannya, maka makna ekonomi Islam lebih banyak berkaitan norma. Hal ini akan membangun pengertian bahwa ekonomi Islam sebagai ilmu normatif.3[3]
2[2] Abdurrahman, Ensklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta, Peradnyo Paramita, Tahun 1991. Hal : 14
3[3] Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi , Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun 1997. Hal : 40
Bila pengalaman yang kita temukan banyak berkaitan tentang persoalan aktual, misalnya praktek bank dan lembaga keuangan syariah dan sebagainya maka menghasilkan makna nama ekonomi Islam yang berbeda. Adapun secara terminologi, menurut Abdullah Abdul Husain At-Tariqi para pakar ekonomi Islam mendefinisikan “Ekonomi Islam” dengan sedikit berbeda, antara lain : 1.
Dr. Muhammad Bin Abdullah Al Arobi mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.4[4]
2. Dr. Muhammad Syauki Al-Fanjari mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok Islam dan politik ekonominya.5[5] 3. Dengan posisinya yang merupakan cabang dari ilmu fiqih, maka kami mendefinisikan bahwa : ekonomi Islam adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat apliktip yang diambil dari dalildalilnya yang terperinci tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan cara-cara mengembangkan harga.6[6] Abdullah Abdul Husain At-Tariqi menjelaskan ekonomi Islam bukan merupakan bagian ilmu tentang keyakinan, namun umumnya merupakan asumsi-asumsi, karena posisinya yang menjadi bagian dari hasil pengambilan dalil-dalil umum tentang ekonomi, hadis-hadis ahad standar perkiraan atau sejenisnya. Walaupun begitu, perkiraan ini haruslah diamalkan sebagaimana dalil yang qat’i. pengamalannya juga dikategorikan sebagai ilmu.7[7] Mengenai bahan ekonomi Islam sebagai ilmu, Arkhom Khan sebagaimana yang dikutip oleh Heri Sudarsono dalam bukunya Konsep Ekonomi Islam menjelaskan, ekonomi Islam berarti 4[4] Abdullah Abdul At-Tariqi Husain, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004. Hal : 20
5[5] Ibid , Hal : 21 6[6] Ibid, Hal : 23 7[7] Ibid, Hal : 27
juga metode mengakomodasi berbagai faktor ekonomi dengan melibatkan seluruh manusia yang mempunyai potensi yang berbeda guna melibatkan sumberdaya ekonomi yang ada di bumi. Ilmu ekonomi
memustakan
studi
tentang
kesejahteraan
manusia
yang
dicapai
dengan
mengorganisasikan sumber daya atas dasar kerjasama dan partisipasi. Pengembangan ekonomi Islam adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Langkah ini oleh beberapa ahli ilmu ke-Islaman ditempuh melalui upaya pemantapan dan pemberdayaan masyarakat melalui reaktualisasi fungsi zakat.8[8] Pada prinsipnya para ahli / ulama Islam melihat ekonomi Islam tidak hanya berfungsi sebagai sebuah ritual sosial serta bagaimana mengatur manusia dalam mencapai kesejahteraan bersama tetapi juga sebagai sebuah ilmu. Ilmu menurut kami sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad adalah pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis serta telah teruji kebenarannya. Dan dalam Islam, menurut ilmu adalah kewajiban baik bagi laki-laki maupun perempuan. D.
PRINSIP DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM
Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun yang dapat berfikir jernih dan logis, bahwa Islam merupakan sistem hidup. Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam yang terdiri atas aturanaturan mencakup keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar aturan-aturan tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu : aqidah, akhlak dan syari’ah yang terdiri atas bidang muamalah (sosial), dan bidang ibadah (ritual).9[9] Menurut KH Abdullah Zaky Al-Koap prinsip pokok ekonomi Islam terbagi atas lima hal penting, yaitu : 1.
Kewajiban Berusaha
8[8] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun 2004. Hal : 15
9[9] Abdullah Abdul At-Tariqi Husain, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004. Hal : 7
Islam tidak mengizinkan umatnya menjauhkan diri dari pencaharian kehidupan dan hidup hanya dari pemberian orang. Tidak ada dalam masyarakat Islam, orang-orang yang sifatnya non produktif (tidak menghasilkan) dan hidup secara parasit yang menyandarkan nasibnya kepada orang lain. 2.
Membasmi Pengangguran Kewajiban setiap individu adalah bekerja, sedangkan negara diwajibkan menjalankan usaha membasmi pengangguran. Tidak boleh ada pengangguran.
3.
Mengakui Hak Milik Berbeda dengan paham komunis, Islam senantiasa mengakui hak milik perseorangan berdasarkan pada tenaga dan pekerjaan, baik dari hasil sendiri ataupun yang diterimanya sebagai harta warisan. Selain dari keduanya tidak boleh diambil dari hak miliknya kecuali atas keridhaan pemiliknya sendiri.
4.
Kesejahteraan agama dan sosial Menundukkan ekonomi dibawah hukum kepentingan masyarakat merupakan suatu prinsip yang sangat penting masa kini. Prinsip ini ditengok oleh Islam dengan suatu instruksi dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai kepala Negara Islam. Yang diantaranya adalah kewajiban untuk mengambil zakat kepada kaum muslimin.
5.
Beriman kepada Allah SWT Pokok pendirian terakhir ialah soal ketuhanan. Mengimankan ketuhanan dalam ekonomi berarti kemakmuran yang diwujudkan tidak boleh dilepaskan dari keyakinan kutuhanan. Sewajarnya urusan ekonomi jangan melalaikan kewajiban kepada Allah SWT, harus menimbulkan cinta kepada Allah SWT, menafkahkan harta untuk meninggikan syi’ar Islam dan mengorbankan harta untuk berjihad dijalan Allah SWT,10[10] E.
PENGERTIAN ZAKAT
Secara etimologi (bahasa) kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari (
) . Zakat
yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik, ditinjau dari sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji : semua digunakan dalam qur’an dan hadis. Kata dasar zakat berarti 10[10] Ibid, Hal : 30
bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu zaka, artinya tumbuh, sedang setiap sesuatu yang bertambah disebut zaka artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zakat disini berarti bersih.11[11] Dalam terminologi fikih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, disamping berarti mengeluarkan sejumlah itu sendiri demikian Qardhawi mengutip pendapat Zamakhsari. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Sedangkan menurut terminology syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta
11[11] Sumber : http://www.salafy.or.id
tertentu yang telah mencapai syariat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.12[12] Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan pengertian menurut istilah sangat nyata dan erat kekali. Bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjdi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah suci dan bersih (baik). F.
PANDANGAN BEBERAPA ULAMA TENTANG ZAKAT
Para ulama fiqih, memiliki pemahaman yang sangat beragam tentang masalah zakat. Diantaranya adalah sebagaimana dibawah ini : Menurut Didin Hafidhuddin zakat secara termologi adalah mengeluarkan sebagian harta dengan persyaratan tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu (mustahik) dengan syaratsyarat tertentu pula. Wahbah Zuhaili dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana yang dikutip oleh Suyitno dalam buku Anatomi Fiqih Zakat mendefinisikan zakat dari sudut empat Imam Mazhab, yaitu : 1)
Madzhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian yang tertentu dari harta yang
tertentu pula yang sudah mencapai nishab (batas jumlah yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, manakalah kepemilikan itu penuh dan sudah mencapai haul (setahun) selain barang tambang dan pertanian; 2)
Madzhab Hanafi berpandangan bahwa zakat adalah menjadikan kadar tertentu dari
harta tertentu pula sebagai hak milik yang sudah ditentukan oleh pembuat syari’at semata-mata karena Allah SWT; 3)
Menurut Madzhab Syafi’i, zakat adalah nama untuk kadar yang dikeluarkan dari
harta atau benda dengan cara-cara tertentu.
12[12] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat , Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun 2004. Hal : 21
4)
Madzhab Hambali memberikan definisi zakat sebagai hak (kadar tertentu) yang
diwajibkan untuk dikeluarkan dari harta tertentu untuk golongan yang tertentu dalam waktu yang tertentu pula. 5)
Dalam Kifayatul Akhyar dijelaskan nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberi kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. 6)
Menurut Al-Syarkoni seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy, mengatakan
bahwa zakat adalah memberikan sebagian harta yang cukup nisab kepada orang fakir dan sebagainya yang tidak berhalangan secara syara’.13[13] Secara umum, dapat dipahami bahwa zakat adalah penyerahan atau penunaian hak dan kewajiban yang terdapat dalam harta untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60. 60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. G. ZAKAT SEBAGAI PEMBERDAYA EKONOMI UMMAT Zakat merupakan sesuatu yang tidak asing lagi terdengar di telinga kita sebagai masyarakat muslim, bahkan zakat tersebut merupakan sesuatu yang sakral dan wajib diaplikasikan bagi setiap masyarakat muslim yang mampu. Setiap 2,5 % (minimalnya) 13[13] Wahba Al-Zahayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung PT Remaja Rosda Karya Tahun 1997. Hal : 29-31
dari harta yang dimiliki setiap orang mampu (kaya) wajib dikeluarkan kepada yang membutuhkan, karena di 2,5 % itu bukan hak dari si pemilik harta. Harta tersebut merupakan hak bagi masyarakat yang membutuhkan. Zakat tersebut bisa merupakan zakat yang dapat dikonsumsi langsung (Zakat Konsumtif) maupun Zakat yang tidak berhenti di konsumsi, tetapi justru Zakat yang berbentuk investasi dan terus diproduksi (Zakat Produktif). Yaitu berupa pendidikan bagi anak yang kurang mampu, penyuluhanpenyuluhan di daerah miskin, pemberian modal usaha bagi si penerima zakat, dll. Ternyata, tidak salah bahwa Islam telah mensyari‟atkan Zakat bagi umatnya yang
mampu untuk dilaksanakan. Faktanya, zakat sangat berperan bagi pembangunan ekonomi masyarakat modern ini. Disamping itu pula, zakat sangat berperan terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat. 14[14] Distribusi kesejahteraan masyarakat tersebut dapat digambarkan melalui Equilibrium (Keseimbangan) Pasar. Ditinjau dari fungsinya, Zakat memiliki 2 peran yang sangat penting :
a.
Zakat berfungsi untuk mengurangi tingkat pendapatan yang siap dikonsumsi oleh segmen orang kaya (muzakky) . Oleh karena itu, pengimplementasian zakat diharapkan akan mampu mengerem tingkat konsumsinya orang kaya sehingga kurva permintaan segmen kaya tidak terlalu meningkat terlalu tajam. Hal ini pada akhirnya akan memiliki dampak positif, yaitu menurunnya dampak atas peningkatan harga-harga komoditas.
b.
Zakat berfungsi sebagai media transfer pendapatan sehingga mampu meningkatkan daya beli orang miskin. Dalam hal ini diharapkan dengan menerima zakat, maka segmen miskin akan meningkatkan daya belinya sehingga mampu berinteraksi dengan segmen kaya. 15[15] Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah zakat konsumtif akan menumbuhkan perekonomian ? Apakah zakat konsumtif akan menimbulkan dampak yang leih baik dibanding zakat produktif ? Mari kita lihat dasar analisis berikut.
14[14] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta, PT Rajawali Pers, 2009. Hal : 404 15[15] Ibid , Hal : 405
Pembayaran Zakat pada tahap pertama akan menurunkan permintaan orang kaya dari DH1 menuju DH2. Turunnya permintaan ini akan diterima oleh orang miskin sehingga akan berpengaruh terhadap pasar segmen miskin. Jika zakat diterima dalam bentuk barang konsumsi, maka permintaan permintaan orang miskin akan
dari Ds1 menuju Ds2 sehingga akan
mendorong harga di segmen meningkat. Namun, jika zakat diterima dalam bentuk modal kerja atau produktif, maka penawaran segmen miskin akan meningkat dari Ss1 menuju Ss2. Jumlah permintaan segmen kecil akan meningkat lebih kecil namun diikuti oleh harga yang menurun. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa zakat konsumtif aupun zakat produktif akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian selama penurunan permintaan segmen kaya (XH1XH2) akan diimbangi oleh peningkatan volume perdagangan segmen miskin(Xs3-Xs0) yang lebih besar Hal ini dipengarui oleh : 1.
Kepekaan konsumen miskin terhadap harga barang. Semakin konsumen miskin peka atau elastis terhadap harga, maka zakat produktif akan memiliki dampak inflasioner lebih rendah dan peningkatan output lebih tinggi daripada zakat konsumtif.
2.
Hubungan antara harga dan penjualansegmen miskin. Semakin elastis penawaran segmen miskin, maka semakin tinggi efek zakat konsumtif terhadap penigkatan output daripada zakat produktif.
3.
Hasrat untuk konsumsi segmen miskin. Hasrat ini menunjukkan seberapa besar bagian pendpatan yang akan dikonsumsi dan bisa dicerminkan dari nilai elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Semakin elastis permintaan terhadap pendapatan berarti tambahan pendapatan segmen miskin akan dihabiskan untuk konsumsi, dan hal ini semakin meningkatkan besarnya efek zakat konsumtif. Dari gambaran ini, tidak selalu zakat produktif memiliki efek terhadap perekonomian yang lebih baik, hal ini terutama dipengaruhi oleh perilaku ekonomi masyarakat mustahiq.16[16]
16[16] Ibid , Hal; 407-408
G.
KESIMPULAN
Secara umum umat Islam mengharapkan agar pelaksanaan zakat dapat dilakukan dengan sebaik- baiknya berdasarkan syari’at Islam. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah termasuk ulama dan ilmuwan agar implementasi zakat terlaksana. Untuk itu sebenarnya konsep operasional penerapan zakat, dapat dijadikan contoh dan terus dikembangkan pada masa sekarang, serta diaktualisasikan sesuai dengan pertumbuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan memberdayakan zakat secara optimal (mulai dari pemetaan data muzakki, pencatatan muzakki, pengumpulan dana/benda zakat, pendistribusian dana/benda zakat, pemetaan dan pencatatan penerima zakat) yang selalu diupdate, insya Allah masalah perekonomian khususnya tentang kemiskinan finansial masyarakat kita akan mendapat enjeksi solutif, sehingga kita akan melihat lahirnya masyarakat yang sejahtera dari sisi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ensklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta, Peradnyo Paramita, Tahun 1991. Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun 1997. http://www.salafy.or.id
Husain, Abdullah, Abdul At-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004. Wahba Al-Zahayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung PT Remaja Rosda Karya Tahun 1997. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta, PT Rajawali Pers, 2009. Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun 2004.
Diposkan oleh Mohammad Fathi Rabbani di 05.20 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
ZAKAT DALAM PRESSPEKTIF EKONOMI
A. Deskripsi Masalah Dalam pandangan ahli fiqih pembahasan tentang zakat merupakn suatu bagian dari pembahasan hukum isslam.sebagian dari pembahasan hukum, pembahasan zakat terfokus pada sah dan tidak sah pemungutan dan penyerahan zakat, boleh atau tidak bolehnya pemungutan dan penyerahan zakat, wajib atau tidak wajibnya sesuatu kekayaan dipungut zakatnya dan sebagainya. Zakat adalah ibadah yang mengandung dua dimensi: dimensi hablum minalloh atau dimensi vertical dan dimensi hablumminannas atau dimensi horizontal.Ibadah zakat bila ditunaikan dengan baik, akan meningkatkan kualitas keimanan, membersihkan dan menyujikan jiwa, dan mengembangkan serta memberkahakan harta yang dimiliki. Jika dikelola dengan baik dan amanah serta mampu meningkatkan etos dan etika kerja umat, serta sebagai institusi pemerataan ekonomi. Zakat merupakan bagian dari Rukun Islam yang ketiga dan merupakan suatu sumber pokok dalam penataan ekonomi di dalam Islam. Ekomomi yang berintikan zakat akan memunculkan sifat tazkiyah yaitu ekonomi yang dipenuhi dengan nilai-nilai zakat yaitu nilai kebersihan, kejujuran, keadilan, pertumbuhan, perkembangan dan penghargaan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Masalah-masalah pokok ekonomi mencakup pilihan-pilihan yang berkaitan dengan konsumsi, produksi, distribusi dan pertumbuhan sepanjang waktu. Jika zakat mampu dikelola dengan baik dan di dayagunakan dengan baik dan merata akan menjadikan sistem ekonomi menjadi adil dan stabil dan akan memperkecil jurang antara orang kaya dan miskin. Seiring dengan berkembangnya sektor-sektor perekonomian zaman ini menjadikan zakat semakin berkembang, bagaiman kita melihat pada sektor pertanian, sector industri yang mana terus mengalami peningkatan, kemudian sektor jasa yang sekarang banyak diminati oleh masyarakat.seperti usaha yang terkait dengan surat berharga dll. Yang mana sektor tersebut akan menjadikan sumber obyek zakat semakin luas dan meningkat. Dengan berkembangnya obyek zakat tersebut membuat para pakar ilmu hukum Islam menawarkan konsep-konsepnya,seperti yang telah di rumuskan oleh Masdar F Fuadi bahwasannya profesi, perusahaan, surat-surat berharga, perdagangan mata uang, hewan ternak yang diperdagangkan, investasi properti, asuransi syari’ah merupakan obyek yang dikenai zakat. B. Teori Zakat Prespektif Ekonomi Untuk bisa melahirkan satu format hukum Islam yang eksistensinya menjaga diri pada kemaslahatan universal menghargai rasa keadilan sosial dan hak asasi manusia, maka ijtihad
menjadi ikhtiar pertama yang mutlak harus dilakukan. Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini berjalan bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran atau hal-hala yang bersifat zhanni (teks yang tidak pasti) dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini seagai qot’I (teks yang dianggap pasti). Menurut masdar, dengan meletakkan maslahat seagai asas ijtihad maka konsep lama tentang qot’i dan zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya.[1] Dalam pandangan masdar, apa yang disebut sebagai dalil qot’I adalah nilai kemaslahatan dan keadilan, yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dalil zhonni adalah seluruh ketentuan teks, ketentuan normative yang bisa digunakan untuk menterjemahkan yang qot’I (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah qot’I, dan hanya bisa dilkukan pada wilayah zhonni .[2] Berangkat dari konsep qot’I dan zhonni yang ditawarkan masdar, ia lantas menawarkan konsep baru tentang zakat. Dalam amatannya, zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalan yang banyak dihadapi umat manusia yakni ketidakadilan. Ajaran zakat bukanlah ajaran untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatan dan keadilan semesta. Inti dari ajaran zakat yang mutlak, universal, dan tidak berubah adalah (1) siapa pun yang memiliki kelebihan harta maka ia harus menginfakkan sebagian harta yang diterimanya itu, (2) harta ynga diinfakkan oleh atau dipungut dari yang mampu itu harus ditasarufkan untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat, dengan memprioritaskan mereka yang lemah. Disamping orang-orang islam sendiri tetap harus mendapat perhatian dalam pembagian zakat, agar bisa meringankan beban ekonomi mereka. Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan menyeluruh, lintas, agama, suku dan golongan.[3] Umat islam khusunya para umaro’ dan ulama’, tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebakan oleh Negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat islam telah benar-benar memisahkan Negara dari agama. Pemisahan ini menyebabkan umat islam menanggung beban yang sangat berat karena harus melaksanakan dua macam kewajiban, yaitu menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayar pajak sebagai kewajiban warga Negara. Akibatnya kewajiban mengeluarkan zakat selalu terkalahkan oleh keharusan memayar pajak.[4] Gagasan yang menarik yang harus kita garis bawahi dari masdar adalah tentang obyek zakat yang harus diperluas cakupannya. Untuk zaman sekarang tidaklah adil jika kita hanya menggunakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, semetara itu kelapa sawit, apel, kopi, dan tembakau yang tidak kalah nilai ekonomisnya, kita bebaskan saja dari kewajiban membayar zakat. Tidak adil juga ketika kita kenakan beban sedekah wajib atas pendapatan pada sektor pertanian sedangkan dari sektor industri dan jasa kita bebaskan. Jika Nabi SAW tidak membicarakan suatu jenis kekayaan tertentu maka hal itu hanya karena jenis kekayaan tersebut belum ada pada masa Nabi. Sebab jika suatu jenis tersebut ada pada zaman nabi maka tentu ia juga dikenakan zakat, seperti jenis kekayaan yang lain yang telah ditentukan. Oleh karena itu tidak perlu lagi kita memahami jenis barang yang wajib dikeluarkan oleh zakatnya seperti yang disebut dalam nash, akan tetapi lebih penting adalah menangkap subtansi dari kewajiban zakat itu sehingga diperluas cakupannya.[5]
C. Teori Zakat Prespektif Didin Hafidudin Al-Qur’an merupakan rujukan dan sumber hukum utama kaum muslimin, al-Qur’an telah banyak menyinggung sumber zakat dengan dua pendekatan. Yakni pendekatan Ijmali (global) segala macam harta yang dimiliki yang memenuhi persaratan zakat. Dan yang kedua pendekatan Tafsili (teruari) yaitu menjelaskan beberapa jenis harta yang apabila telah memenuhi persaratan zakat , maka wajib dikeluarkan zakatnya, dengan pendekatan ijmali ini semua jenis harta yang belum ada contoh konkritnya zaman Rasulullah SAW, akan tetapi karena perkembangan ekonomi, menjadi benda yang bernilai, maka harus dikeluarkan zakatnya.[6] Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menetapkan sumber zakat sebagai contoh yang dibahas, adalah sebagai berikut: 1. Sumber zakat tersebut masih dianggap hal yang baru, sehingga belum mendapatkan pembahasan secara mendalam dan terinci. Berbagai macam kitab Fiqih, terutama kitab fiqih terdahulu belum banyak membicarakannya, misalnya zakat profesi. 2. Sumber zakat tersbebut merupakan ciri utama ekonomi modern, sehingga hampir di setiap Negara berkembang, merupakan sumber zakat yang potensial contoh zakat investasi properti, zakat perdagangan mata uang, dll. 3. Sementara ini zakat selalu dikaitkan dengan kewajiban kepada perorangan, sehingga badan hukum yang melakukan kegiatan usaha tidak dimaksudkan ke dalam sumber zakat. Padahal zakat itu disamping harus di lihat dari segi muzaki, juga harus di luhat dari segi hartanya. Karena sumber zakat badan hukum perlu mendapatkan pembahasan, misalnya zakat perusahaan. 4. Sumber zakat sektor modern yang mempunyai nilai yang sangat signifikan yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan perlu mendapatkan perhatian secara keputusan status zakatnya, seperti usaha tanaman anggrek,burung wallet, ikan hias dll. Demikian pula sektor rumah tangga modern pada segolongan tertentu kaum muslimin yang bercukupan, bahkan cenderung berlebihan, hal ini dapat tercermin dalam jumlah dan harga kendaraan serta aksesoris rumah tangga yang dimilikinya.[7] Dalam kaitannya dengan perekonomian modern yang terdiri dari sektor pertanian, industri dan jasa jika dikaitkan dengan kegiatan zakat, maka ada yang tergolong flows dan ada pula yang tergolong pada stoks[8].flows ialah berbagai aktifitas ekonomi yang dapat dilakukan dalam waktu jam, hari, ulan, dan tahun tergantung pada akadnya. Sedangkan stoks adalah hasil kotor yang dikurangi keperluan keluarga dari orang perorang yang harus dikenakan zakat pada setiap tahunnya sesuai dengan nisob. Dengan menggunakan metode purposive sampling berdasarkan kriteri-kriteria diatas maka terpilihlah sumber zakat yang beraneka ragam seperti contoh di bawah ini: a. Zakat profesi
b. Zakat perusahaan c. Zakat surat-surat berharga d. Zakat perdagangan mata uang e. Zakat hewan ternak yang diperdagangkan f. Zakat madu dan produk hewani g. Zakat investasi properti h. Zakat Asuransi Syariah i. Zakat tanaman anggrek, ikan hias, burung wallet j. Zakat Aksesoris rumah tangga modern
D. Zakat Dalam Prespektif Islam Semua penghasilan melalui kegiatan professional tersebut, apabila telah mencapai nishob, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nashnya yang umum. Misalnya Firman Alloh dalam surat Adz-Dzariyaat: 19 þ’Îûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrã�óspRùQ$#ur ÇÊÒÈ Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian Al-Qurtubi[9] (Wafat 671 M) dalam Tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur’an menyatakan bahwa yang dimaksud dalam surat adz-Dhariyat ayat 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya. Sayyid Qutub[10] (Wafat 1965 M) dalam tafsirnya Fi Dhilalil Qur’an ketika menafsirkan firman Alloh dalam surat al-Baqarah ayat 267 menyatakan , bahwa nash ini mencakup seluruh hasil manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan oleh Alloh dari dalam dan atas bumi, seperti hasil pertanian, maupun hasil pertambnagan seperti minyak. Karena itu nash itu mencakup sema harta, baik yang terdapat pada masa Rosululloh maupun zaman
sesudahnya, maka semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagiaman yang telah diterangkan dalam sunnah Rasululloh, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang diqiyaskan kepadanya. Sementara itu para Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishob, meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara pengeluarannya. Dalam pasal 11 ayat v2 Bab IV Undang-Undang No 38 Tahun 1999 yentang pengelolaan zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: emas, perak, uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian,perkebunan,perikanan, pertambangan, peternakan, hasil pendapatan dan jasa dan rikaz. Para ulama terdahulu pun maupun sekarang mengistilahkan harta yang wajib di zakati dengan menggunakan istilah al-Amwal, dan sebagian ulama yang lain menggunakan istilah khusus alMaal al-Mustafad seperti yang ada dalam fiqh zakat dan al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu[11] Alasan yang lain sesuai dengan ciri agama Islam adalah prinsip keadilan tentang penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan hanya dengan menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yangh konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat ketika sudah satu nishob. Karena itu sangat adil pula apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, ahli hukum, konsultan dll. E. Analisis Berdasarkan landasan-landasan yang telah disebutkan diatas kiranya penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasannya semua harta yang dapat dari hasil yang halal dan yang mempunyai nilai lebih satu nishob maka wajib dikeluarkan zakatnya sesuai dengan qiyasnya. DAFTAR PUSTAKA Ø Fuad.Mahsun, 2005. Hukum Islam Indonesia dari nalar partisipatoris hingga emasipatoris: Yogyakarta;lkis Ø Didin Hafidudin, 2002.Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema INsani Pres Ø Kahf .Monzer, 1995.Ekonomi Islam: Telaah Analitik tehadap fungsi system Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Ø Al-Qurtubi, 1993. Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Beirut: Daar el-kutub Ilmiyah, , Ø Qutub .Sayyid, 1977.Fi Zhilalil Qur’an, (Beirut: Daar el-Surq,) Ø Hafidudin.Didin, 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta:Gema INsani Pre