TUGAS KEPERAWATAN KRITIS
ASUH A SUH A N KE K E PE R A WATA WAT A N I NTE NT E NSI NS I F K AR D I O N -STE M I
“
”
Dosen Pembimbing : Agus Wiwit S.Kep.,Ns, M.Kep Disusun oleh
: Kelompok 3 / 2A
1. Afrida Asya A
(201601001)
2. Ana Maziatul M.
(201601003)
3. Andriana Yustika R.
(201601004)
4. Antoni Risky C.
(201601005)
5. Ayung Wiji Utami
(201601006)
6. Desy Binti N.S
(201601012)
7. Firda Aulia Indriani
(201601024)
8. Hamdan Mawafi
(201601025)
9. Nanik Lestari
(201601045)
10. Nur 10. Nur Hambyah
(201601048)
11. Prima Sari Utama
(201601051)
12. Rizky Fatma P
(201601056)
PRODI DIII KEPERAWATAN AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAHKABUPATEN PONOROGO Jl. Ciptomangunkusumo No.82 A Ponorogo Tahun Ajaran 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat
dan
karunia-Nya
sehingga
kami
dapat
menyelesaikan
makalah ini dengan judul Aske A skep p i nte ntensi nsi f kardio kardio SK A N -STE -ST E MI . Makalah ini “
“
disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Kritis. Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yakni yakni Bapak Agus Wiwit Wiwit S.Kep.,Ns, M.Kep yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini. 2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini. 3. Teman-teman mahasiswa tingkat 2A Program Studi DIII Keperawatan Pemerintah
Kabupaten
Ponorogo
angkatan
2018/2019
yang
selalu
memberikan dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan demi tersusunnya makalah ini. Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Ponorogo,
Januari 2018
Penyusun
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat
dan
karunia-Nya
sehingga
kami
dapat
menyelesaikan
makalah ini dengan judul Aske A skep p i nte ntensi nsi f kardio kardio SK A N -STE -ST E MI . Makalah ini “
“
disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Kritis. Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yakni yakni Bapak Agus Wiwit Wiwit S.Kep.,Ns, M.Kep yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini. 2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini. 3. Teman-teman mahasiswa tingkat 2A Program Studi DIII Keperawatan Pemerintah
Kabupaten
Ponorogo
angkatan
2018/2019
yang
selalu
memberikan dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan demi tersusunnya makalah ini. Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Ponorogo,
Januari 2018
Penyusun
2
DAFTAR ISI
COVER ............................................. .................................................... ....................................................................... ................... KATA PENGANTAR ...................................................................................... ....... 2 DAFTAR ISI .......... ...................................................... ................................................................................................. ........................................... 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang bel akang ............................................................... .................................. 5 B. Rumusan masalah ................................................ ............................................ 6 C. Tujuan ............................................................................................. ................. 6 BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi .......................................................................................... ................. 7 B. Etiologi .......................................................................................... ................. 8 C. Patofisiologi ............................................... .................................................... 9 D. Manifestasi klinis ............................. ....................................................... .............................................................. ....... 10 E. Pemeriksaan penunjang ............................................... ................................... 11 F. Diagnosa banding ............................................... ............................................ 14 G. Stratifikasi resiko ........................................................ .. ......................................................................................... ................................... 17 H. Terapi ...................................... ...................................................... ....................................................................... ................. 18 I.
Pengobatan ................................................. .................................................... 21
J. Mobilisasi pada pasien SKA ................................................ .......................... 23 BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. Anamnesis ............................................................................ .......................... 25 B. Riwayat klinis ..................................................... ................................................................................................ ........................................... 25 C. Pemeriksaan fisik ................................................................. .......................... 26 D. Diagnosa keperawatan ................................................ ................................... 28
3
E. Intervensi keperawatan......................................................... keperawatan... ................................................................................ .......................... 29 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ............................. ...................................................... ....................................................................... ................. 38 B. Saran .......................................................... .... .......................................................................................................... .................................................... 39 DAFTAR PUSTAKA .............................................................. ....... ......................................................................................... .................................. 40
4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan spektrum klinis yang mencakup angina tidak stabil, infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha, 2011). Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada,yang menjadi salah satu gejala yang paling sering di dapatkan pada pasien yang datang ke igd, diperkirakan
5,3
juta
kunjungan
pertahun
(Sudoyo,
Setyohadi,
Alwi,
Simadibrata, & Setiati, 2010). Kira-kira 1/3 darinya disebabkan UA/NSTERMI,dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan RS untuk pasien UA/NSTERMI semakin meningkat, sementara angka infak miokard dengan elefasi ST (STEMI) menurun (Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2010). Keluhan utama SKA adalah nyeri dada, dan digolongkan lagi berdasarkan ada tidaknya elevasi segmen ST pada gambaran EKG (elektrokardiografi). Diagnosis awal SKA tanpa elevasi segmen ST digolongkan lagi berdasarkan hasil pemeriksaan enzim jantung, yaitu troponin. Jika troponin positif, diagnosisnya adalah infark miokard aku tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan jika negatif, diagnosisnya adalah angina tidak stabil (Myrtha, 2011). Oleh karena itu, manajemen yang optimal terhadap kondisi NSTEMI sangat penting.6 Anamnese, pemeriksaan fisik, EKG, pertanda biokimia, dan ekokardiografi merupakan alat-alat yang sangat penting digunakan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat.
5
Manajemen SKA harus berfokus pada diagnosis yang cepat dan tepat, stratifikasi resiko, tindakan terapi yang sesuai untuk mengembalikan aliran darah pembuluh koroner dan mengurangi iskemik miokard.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kardio SKA NSTEMI? 2. Apa penyebab dan factor resiko dari NSTEMI? 3. Bagaimana patofisiologi dari NSTEMI? 4. Apa saja manifestasi klinis dari NSTEMI? 5. Pemeriksaan penunjang apa saja yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis NSTEMI? 6. Jenis diagnosis banding apa yang digunakan untuk menegakkan diagnosis NSTEMI? 7. Stratifikasi resiko jenis apa yang digunakan untuk NSTEMI? 8. Bagaimana terapi pada NSTEMI? 9. Apa saja jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi NSTEMI? 10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien NSTEMI? C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definsi SKA NSTEMI 2. Untuk mengetahui etiologi NSTEMI 3. Untuk mengetahui patofisiologi dari NSTEMI 4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari NSTEMI 5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada NSTEMI 6. Untuk mengetahui jenis diagnosis banding pada NSTEMI 7. Untuk mengetahui stratifikasi resiko yang digunakan pada NSTEMI 8. Untuk mengetahui terapi NSTEMI 9. Untuk mengetahui jenis obat yang digunakan pada pasien NSTEMI 10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien NSTEMI
6
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan oleh karenanya diperlukan pedoman tatalaksana sebagai rangkuman penelitian yang ada (Irmalita, et al., 2015). Sindrom koroner akut (SKA) merupakan spektrum klinis yang mencakup angina tidak stabil, infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI). Keluhan utama SKA adalah nyeri dada, dan digolongkan lagi berdasarkan ada tidaknya elevasi segmen ST pada gambaran EKG (elektrokardiografi) (Myrtha, 2011). Diagnosis awal SKA tanpa elevasi segmen ST digolongkan lagi berdasarkan hasil pemeriksaan enzim jantung, yaitu troponin. Jika troponin positif, diagnosisnya adalah infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan jika negatif, diagnosisnya adalah angina tidak1 stabil (Myrtha, 2011). Infark miokard akut tanpa elevasi (non ST elevation myokacardial infarcion = NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nikrosis miocard berupa peningkatan bio marker jantung (Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2010).
7
B. Etiologi
Infark miokard mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga (Irmalita, et al., 2015). 1. Diabetes mellitus Untuk kategori dislipidemia dapat dilihat proporsi DM tipe 2 dengan PJK pada yang tidak dislipidemia adalah lebih banyak (58,7%) dibandingkan dengan yang dislipidemia (28%). Berdasarkan uji chi square didapat nilai p=0,000. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat bermakna antara dislipidemia dengan kejadian PJK pada penderita DM tipe 2 (Yuliani, Oenzil, & Iryani, 2014). 2. Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu faktor yang sulit dikendalikan dampaknya terhadap penyakit jantung koroner. Berdasarkan penelitian mengenai penyakit jantung coroner dengan obesitas di Kelurahan Kebon Kelapa, Bogor menyatakan bahwa hipertensi juga diderita oleh mayoritas penderita PJK dengan obesitas yaitu sebesar 71,2 persen dengan p = 0,000. Hasil analisis multivariat juga memberikan risiko 1,8 kali dibandingkan yang tidak hipertensi (95% CI 1,31 – 2,53) (Rustika & Oemiati, 2014). 3. Obesitas Factor resiko perilaku pada PJK dengan obesitas adalah responden yang memiliki gangguan emosional yangbtinggi, hipertensi, kadar gula darah puasa tinggi, dua jam paska pembebanan glukosa tinggi, kolesterol tinggi, HDL rendah dan LDL tinggi mempunyai resiko untuk mendapatkan PJK dengan obesitas (Rustika & Oemiati, 2014).
8
4. Kolesterol Dari hasil penelitian didapatkan frekuensi terbanyak pasien SKA di rumah sakit khusus jantung Sumatera Barat pada tahun 20112012 adalah pasien dengan kolesterol total <200 mg/dl sebanyak 54 pasien (55,1%) kejadian SKA terbanyak adalah kejadian NSTEMI yaitu sebanyak 1015 dari 4398 kasus yaitu sekitar 23% (Zahara, Syafri, & Yerizel, 2013).
C. PATOFISIOLOGI
9
D. Manifestasi klinis
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA (Departemen Kesehatan, 2006).
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut : 1. Lokasi : substermal, retrostermal, dan precordial 2. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. 3. Penjalaran
ke
:
leher,
lengan
kiri,
mandibula,
gigi,
punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. 4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat 5. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan 6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.
10
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala APTS/NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tandatanda gagal ventrikel kiri akut (Departemen Kesehatan, 2006). Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis (Departemen Kesehatan, 2006). Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI. Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru (Departemen Kesehatan, 2006). Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK) (Departemen Kesehatan, 2006).
E. Gambar EKG Pada NSTEMI
11
12
F. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengaN non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP) (Irmalita, et al., 2015). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut (Irmalita, et al., 2015). Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG
13
sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain: 1) Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit) 2) Gelombang Q yang menetap 3) Nondiagnostik 4) Normal Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan (Irmalita, et al., 2015). 2. Marka jantung Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG (Irmalita, et al., 2015). Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal , ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut (Irmalita, et al., 2015).
14
Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu (Irmalita, et al., 2015). Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat (Irmalita, et al., 2015). Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari (Irmalita, et al., 2015).
3. Pemeriksaan invasive (angiografi coroner) Angiografi
coroner
memberikan
informasi
mengenai
keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien
15
yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostic (Irmalita, et al., 2015). Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab (Irmalita, et al., 2015). Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner (Irmalita, et al., 2015). 4. Pemeriksaan non invasive Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang (Irmalita, et al., 2015). Selain
itu,
diagnosis
banding
seperti
stenosis
aorta,
kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan
ekokardiografi.
Jika
memungkinkan,
pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA (Irmalita, et al., 2015).
16
G. Diagnosis banding
Jenis
Nyeri dada
EKG
Enzim jantung
APTS
Angina
pada
waktu Depresi segmen T
Tidak
istirahat/aktivitas ringan
inversi gelombang T meningkat
(CCS
III-IV).
tidak ada gelombang
Crescendo
angina. Q
Hilang dengan nitrat NSTEMI
Lebih berat dan lama Depresi segmen ST
Meningkat
(>30
Tidak Inversi gelombang T
minimal 2x
nitrat,
nilai
hilang
STEMI
menit). dengan
batas
perlu opium.
atas normal
Lebih berat dan lama Hiperakut T
Meningkat
(>30
menit)
minimal 2x
hilang
dengan
tidak Elevasi segmen T nitrat, Gelombang Q
perlu opium
nilai
Inversi gelombang T
batas
atas normal
Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi
anamnesis
KEMUNGKINAN
KEMUNGKINAN KEMUNGKINAN
BESAR dari:
SEDANG dari :
Nyeri
dada
lengan
kiri
KECIL dari :
atau Nyeri dada atau Nyeri dada tidak yang dilengan kiri, pria, khas angina
berulang
usia
>70
tahun,
mempunyai riwayat diabetes mellitus PJK, termauk infark miokard Pemeriksaan Regurgitasi fisik
mitral,
hipotensi, diaphoresis,
Penyakit vascular Nyeri dada timbul ekstra kardiak
edema
17
setiap palpasi
dilakukan
paru, atau ronchi EKG
Depresi segment ST Gelombang ≥ 1mm atau inversi yang menetap gelombang T yang Depresi
Q Gelombang mendatar
segmen inversi
T atau
<1
mm
baru (atau dianggap ST 0,5-1 mm atau disadapan dengan baru)
dibeberapa inversi gelombang gelombang R yang
sadapan prekordial
T>1 mm
Marka
Kadar troponin I/T Normal
jantung
atau
dominan Normal
CKMB
meningkat
H. Stratifikasi resiko
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masingmasing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65 tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir (Irmalita, et al., 2015). Dari semua variable yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat mungki tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk UAP/NSTEMI (Irmalita, et al., 2015).
Parameter
Usia >65 tahun
1
Lebih dari 3 faktor resiko*
1
18
Angiogram coroner sebelumnya menunjukan >50%
1
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
1
Setidaknya 2 episode nyeri saat istirahat dalam 24 jam terakhir
1
Deviasi ST >1 mm saat tiba
1
Peningkatan marka jantung (CK, Troponin)
1
*factor resiko : hipertens, merokok, riwayat penyakit dalam keluarga, dislipdemia. Stratifikasi resiko berdasarkan TIMI score : Skor TIMI
Resiko
Resiko kejadian kedua
0-2
Rendah
<8,3%
3-4
Menengah
<19,9%
5-7
Tinggi
≤ 41%
Skala Heart score untuk menentukan stratifikasi resiko pada NStemi : Heart score History
EKG
Score
Sangat curiga chest pain tipikal
2
Curiga chest pain tipikal
1
Chest pain atipikal
0
ST
elevasi
2
repolarisasi
1
depresi/ST
signifikan
Gambaran
ECG
non spesifik Normal
0
>64
2
46-64
1
<46
0
>2 faktor resiko*/riwayat CAD
2
1 atau 2 faktor resiko
1
Tidak ada factor resiko
0
Age
Risk factor
19
Troponin
>2x nilai normal
2
2x nilai normal
1
Dalam nilai normal
0
*factor resiko : DM, Hipertensi, hyperlipidemia, riwayat CAD dalam keluarga, obesitas. Interprestasi HEART score : Score
Peluang kejadian merugn akibat PJK/SKA (MACE)
0-3
6 minggu setelah pengkajian sekarang kemungkinan nyeri dada 2,5%
4-6
6 minggu setelah datang peluang kambuh 20,3%, pasien perlu rawat inap
7-10
6 minggu setelah rawat inap jika pasien datang maka tidak perlu rawat inap lagi tetapi langsung dilakukan tindakan invasif
I. Terapi
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasive melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: 1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent ) (Kelas I-C). Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high risk ) (Tabel 10) 2. Strategi invasif awal (early ) dalam 24 jam (Kelas I-A) Dengn salah satu kriteria risiko tinggi (high risk ) primer (Tabel 11) 3. Strategi invasif awal (early ) dalam 72 jam (Kelas I-A) Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk ) atau dengan gejala berulang
20
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (Kelas III-A) Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini: 1. Nyeri dada tidak berulang 2. Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung 3. Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6 hingga 9) Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9) 4. Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia) Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti HEART score dan TIMI juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien pasien ini berdasarkan evaluasi PJK (Irmalita, et al., 2015). Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif. Risk Score >3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas (Irmalita, et al., 2015).
J. Pengobatan
1. Anti Iskemia a. Penyekat Beta ( Beta blocker ). Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri.
21
b. Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner
baik
yang
normal
maupun
yang
mengalami
aterosklerosis. c. Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV node. 2. Antiplatelet a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan. b. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari. c. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman. 3. Penghambat Reseptor Glikoprotein Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). 4. Antikogulan Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
22
mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. 5. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. 6. Statin Tanpa
melihat
nilai
awal
kolesterol
LDL
dan
tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutarycoenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra.
K. Mobilisasi Pada Pasien SKA
Penelitian tentang “The feasibility of early physical activity inintensive care unit patients: a prospective observational one-center study”. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa mobilisasi miring kanan dan kiri kemudian bertahap dengan aktivitas berjalan kaki serta latihan duduk di kursi dapat meningkatkan denyut jantung, peningkatan laju pernafasan, tekanan darah arteri dan saturasi oksigen. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa probabilitas denyut jantung 130 denyut/menit atau meningkat 20% selama intervensi adalah 36% (16-63) dengan latihan miring kanan dan kiri. Hasil ini secara signifikan lebih besar dari latihan dengan berjalan kaki (8% (2-23), P = 001), dan duduk di kursi (5% (2-13), P = 001). Hal ini sesuai dengan manfaat mobilisasi yaitu pada sistem kardiovaskuler, pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung (pacemaker) di
23
nodus SA berkurang, terjadi hipertrofi atrium kiri, kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama, respon inotropik dan kinotropik terhadap stimulasi beta-adrenergik berkurang curah jantung maksimal, peningkatan Atrial Natriuretic Peptide (ANP) serum dan resistensi vaskuler perifer. Pada fungsi paru terjadi penurunan Forced Expiration Volume 1 second (FEV1) dan Forced Volume Capacity (FVC), berkurangnya efektivitas batuk dan fungsi silia dan meningkatnya volume residual. Adanya ‘ventilation perfusion mismatching’ menyebabkan PaO2 menurun seiring bertambahnya usia : 100 – (0,32 x umur), serta adanya aktivitas dapat meningkatkan frekuensi dan kedalaman untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk menambah oksigen. (Bourdin, 2010)
24
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SKA KARDIO NSTEMI
A. ANAMNESIS
Nyeri dada seperti diikat, atau rasa tidak enak pada bagian tengah : a.
Diinduksi oleh aktivitas atau lebih jarang oleh emosi
b.
Bias menjalar kerahang dan ke lengan
c.
Berkurang dengan istirahat dan tablet atau semprotan GTN
d.
Kadang bias mengalami sesak nafas saat beraktivitas.
Nyeri timbul seperti diikat bahkan bisa lebih hebat dan berlangsung lebih lama :
Bisa menjalar ke rahang sampai ke lengan
Seringkali disertai mual muntal, berkeringat, dan cemas.
Bisa ditambah komplikasi gagal jantung, syok, dan aritmia
Tanyakan secara rinci mengenai nyeri dada dan gejala lain. Pertimbangkan tingkat nyeri dada yang lain, seerti emboli paru, diseksi aorta, dan refluks esophagus.
Pertimbangkan
kemungkinan
kontraindikasi
pemberian
trombolisis (Gleadle, 2005).
B. RIWAYAT KLINIS
Mayoritas pasien (>80%) datang dengan nyeri dada. Gejala khas dan data dibandingkan dengan serangan memanjang angina berat, sementara serangan angina tidak khas berlangsung selama 5-10 menit, nyeri dada ada infark miokard biasanya berlangsung minimal 30 menit. Nyeri atau rasa berat menekan dan bisa disertai keringat dinginatau rasa takut. Meskiun nyeri dapat menyebar ke lengan atau rahang kadang gejala terutama timbul dari epigastrium, yang dapat menyebabkan kesulitan diagnostic. Pada manula, dan
25
epnderita diabetes, nyeri mungkin hanya sedikit atau tidak ada sama sekali (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006). Infak miokard akut terjadi setelah aktivitas berat atau emosi ekstrem, jarang ada puncak aktivitas. Hingga 50% pasien terbangun dari tidur karena nyeri dan sekitar sepertiga pasien melanjutkan aktivitasnya meskipun mengalami nyeri dada. Saat ditanyakan, pasien mengakui adanya gejala tidak jelas beberapa harpi atau minggu sebelum kejadian termasuk malaise, lelah atau nyeri dada tidak spesifik (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
Sesak nafas Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri, mengindikasikan ancaman gagal ventrikel dan kadang terjadi sebagai manifestasi satu-satunya infark miokard. Ansietas dapat menyebabkan ventilasi. Pada kasus ini tanpa gejala, sesak nafas lanjut merupakan tanda disfungsi ventrikel kiri bermakna (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
Gejala gastrointestinal Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah dan
dikatakan lebih sering terjadi pada infark inferior. Stimulasi diafragmatik pada infark inferior juga data menyebabkan cegukan (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
Gejala lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinko atau aritmia (misalnya stroke, iskemia ekstremitas) (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tampilan umum Pasien tampak pucat, berkeringatm dan gelisah karena aktivitas berlebih simpatis. Mungkin terdapat gangguan pernapasan yang jelas dengan takipnea dan sesak nafas (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
26
Demam derajat sedang dengan suhu kurang dari 38c timbul 12-24 jam setelah nyeri mungkin berguna untuk diagnosis jika emeriksaan enzim jantung belum tersedia (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
Apakah pasien perlu diresusitasi segera?
Pastikan jalan napas dan pernapasan. Beri oksigen. Pasang jalur intravena, monitor EKG dan EKG 12-lead
Apakah pasien tampak sakit berat?
Apakah pasien kesakitan, tertekan, nyaman, muntah, cemas, berkeringat, pucat, sianosis, atau takipnea?
Apakah perfusi pasien cukup ataukah perifer teraba dingin?
Adakah stigmata kolesterolemia atau merokok?
Adakah anemia atau sianosis atau parut bedah (misalnya bekas CABG)?
Nadi
: perhatikan kecepatan, irama, isi dan sifat. Apakah
nadi perifer samakuat dan teraba?
TD
: apakah sama dikedua lengan?
JVP
: meningkat atau tidak?
Gerak dada
: apakah mengembang simetris?
Denyut apeks?
Apakah nyeri timbul/perberat saat ditekan?
Auskultasi
: apakah lapang paru bersih? Adakah bunyi tambahan-
ronchi, rub, atau whezzing? Periksa bunyi jantung untuk mencari murmur, gesekan perikard, dan irama gallop.
Periksa edema perifer,pergelangan tungkai, dan sacrum.
Abdomen
: adakah nyeri tekan, tahanan, nyeri lepas, bising usus,
organomegali, aneurisma?
Adakah keluaran urine?
SPP: adakah kelemahan, deficit fokal?
EKG sangat fital dalam diagnose MI.
27
Periksa dengan teliti untuk kemungkinan akibat MI:
Aritmia
Syok kardiogenik
Gagal jantung (khususnya edema paru)
Disfungsi katup (khususnya regurgitasi mitral) dan jarang defek ventrikuloseptal. Jika pasien mengalami nyeri dada dan syok atau tampak sakit berat,
pertimbangan MI, angina tak stabil, pneumotoraks, emboli paru, dan diseksi aorta.
D. DIAGNOSE KEPERAWATAN
1. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi ektrikal. DO : -
Hasil EKG menunjukan ST depresi
-
Troponin meningkat 2x diatas normal
-
Sesak nafas
DS : -
Pasien mengatakan nyeri dada menjalar ke rahang sampai ke lengan kiri
-
Pasien memiliki riwayat penggunaan aspirin
-
Terdapat riwayat penyakit yang memicu resiko SKA
2. Nyeri berhubungan dengan kurangnya suplai darah ke miokardium, perubahan metabolisme, peningkatan produksi asam laktat DO : -
Tampak berkeringat
-
Koping tidak efektif
-
Sesak nafas karena kekurangan oksigen disebabkan oleh nyeri
28
DS : -
P : nyeri bertambah apabila digunakan untuk beraktivitas
-
Q : nyeri seperti tertindih, tertekan
-
R : nyeri menjalar dari rahang sampai ke lengan kiri
-
S : 8-10
-
T : nyeri berlangsung ≥30 menit nyeri tidak hilang dengan nitrat
3. Ansietas behubungan dengan DO : -
Tampak ketakutan
-
Gelisah
-
Berkeringat
DS : - Takut akan kematian karena penyakitnya
E. INTERVENSI KEPERAWATAN No
Diagnosa
Tujuan & Kriteria Hasil
.
Keperawatan
(NOC)
1.
Risiko
tinggi
penurunan
curah volume
jantung
Tujuan
yang dipompa
:
Intervensi (NIC)
Kecukupan 1) Manajemen darah
dari
yang ventrikel
resiko
jantung a. Lakukan
penilaian
berhubungan
kiri.
komprehensif terhadap
dengan penurunan
Kriteria Hasil :
status
kontraktilitas ventrikel
1) Keefektifan kiri,
perubahan
pompa
jantung
(yaitu,
hemodinamik memeriksa
tekanan darah, denyut
a. Tekanan darah sistol
jantung, denyut nadi,
frekuensi, irama,
dalam rentan normal
tekanan vena jugularis,
konduksi ektrikal.
(100-130 MmHg).
tekanan vena sentral,
b. Tekanan darah diastol
29
atrium kiri, dan kanan,
dalam rentan normal
tekanan ventrikel dan
(70-80 MmHg).
tekanan
c. Denyut
nadi
perifer
normal
(70-
100x/menit) d. Tidak
arteri
pulmonalis), tepat. b. Berikan
adanya
suara
jantung abnormal.
dengan
fisik
pemeriksaan berkala
populasi
pada beresiko
e. Tidak mengalami mual.
(misalnya, pasien gagal
f. Tidak terjadi kelelahan.
jantung).
g. Tidak terjadi dyspnea pada saat istirahat. h. Tidak
mengalami
intoleransi aktivitas. i. Tidak nampak pucat.
c. Kurangi dengan
kecemasan memberikan
informasi yang akurat dan
perbaiki
setiap
kesalahpahaman. d. Monitor adanya tanda dan
gejala
masalah
status
volume
(misalnya,
distensi
vena,
peningkatan
tekanan
di
vena
jugularis interna kanan, refleks vena jugularis positif pada abdomen, edema, asites, crackles, dyspnea, ortopne). e. Monitor adanya tanda dan pada
gejala status
(misalnya,
30
masalah perfusi hipotensi
simptomatik, dingin di ujung kaki dan tangan, termasuk lengan dan kaki;
mental
obtundation
atau
mengantuk
terus;
elevasi di tingkat serum kreatinin
dan
hiponatremia; darah
BUN, tekanan
sempit,
tekanan
dan nadi
proporsional 25% atau kurang. f. Lakukan
auskultasi
pada jantung. g. Monitor
dan
catat
tekanan darah, denyut jantung,
irama,
dan
denyut nadi. h. monitor curah jantung, indeks
kardiak
dan
kerja stroke ventrikuler, yang sesuai. i. Berikan inotropik
obat-obat positif
dan
obat-obat kontraktilitas. j. Monitor perifer,
denyut
nadi
pengisian
kapiler, suhu dan warna
31
ekstremitas k. Tinggikan
kepala
tempat tidur. l. Jaga
keseimbangan
cairan
dengan
pemberian
cairan
IV
atau diuretik m. Minimalkan
stress
lingkungan n. Berkolaborasi
dengan
dokter, sesuai indikasi 2) Manajemen
syok
:
jantung a. Monitor gejala
tanda
dan
penurunan
jantung b. Auskultasi suara nafas terhadap bunyi crack les atau suara tambahan lainnya c. Catat tanda dan gejala penurunan
curah
jantung d. Monitor
adanya
ketidakadekuatan perfusi arteri coroner (perubahan ST dalam EKG, peningkatan enz jantung, angina) sesuai
32
kebutuhan e. Monitor dan evaluasi indicator
hipoksia
jaringan f.
Berikan oksigen sesuai kebutuhan
g. Tingkatkan
perfusi
jaringn yang adekuat (dengan resusitsi cairan dan atau vasopressor untuk mempertahankan tekanan rata-rata arter (NAP) > 60 mmHg) sesuai kebutuhan 2.
Nyeri
dada
Tujuan : Rasa nyeri dapat 1) Manajemen nyeri
berhubungan
berkurang atau hilang.
dengan
Kriteria Hasil :
a. Lakukan
pengkajian
komprehensif
yang
kurangnya suplai 1) Kontrol nyeri
meliputi
darah
a. Nyeri dapat terkontrol.
karakteristik,
b. Efek
onset/durasi, frekuensi,
ke
miokardium, perubahan
peningkatan
laktat.
obat
terpantau.
metabolisme,
produksi
samping
kualitas, intensitas atau
c. Klien dapat mengambil tindakan
asam
lokasi,
untuk
mengurangi nyeri. d. Dapat
mengambil
tindakan
untuk
beratnya
nyeri
dan
faktor pencetus. b. Gunakan
strategi
komunikasi terapeutik untuk
mengetahui
memberikan
pengalaman nyeri dan
kenyamanan.
sampaikan penerimaan
e. klien dapat membatasi
33
pasien terhadap nyeri.
aktivitas.
c. Gali
bersama
pasien
faktor-faktor
yang
dapat menurunkan atau memperberat nyeri. d. Berikan
informasi
mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri
akan
dirasakan,
dan
antisipasi
dari
ketidaknyamanan akibat prosedur. e. Kendalikan
faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi pasien
respon terhadap
ketidaknyamanan (misalnya,
suhu
ruangan, pencahayaan, suara bising). f. Kurangi atau eliminasi faktor-faktor
yang
dapat mencetuskan atau meningkatkan
nyeri
(misalnya,
ketakutan,
kelelahan,
keadaan
monoton dan kurang pengetahuan). g. Pilih
34
dan
implementasikan tindakan yang beragam (misalnya, farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal)
untuk
memfasilitasi penurunan nyeri, sesuai dengan kebutuhan. h. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri. i. Berikan
individu
penurun
nyeri
optimal
yang dengan
peresepan analgesik. j. Dukung yang
istirahat/tidur
adekuat
membantu
untuk
penurunan
nyeri. 3
Ansietas
yang
Tujuan
:
klien
berhubungan
mengurangi
dengan rasa takut
dari ringan.
akan
Kriteria Hasil :
kematian,
dapat 1) Pengurangan
ansietasnya
a. Gunakan yang
penurunan status 1) Tingkat kecemasan kesehatan, situasi krisis, atau
ancaman,
a. Dapat
dengan tenang. berjalan
mondar-mandir. c. Tidak
pendekatan tenang
dan
meyakinkan.
beristirahat b. Nyatakan dengan jelas
perubahan b. Tidak
kesehatan
kecemasan
mengalami
distress.
harapan
terhadap
perilaku klien. c. Pahami situasi krisis yang
terjadi
perspektif klien.
35
dari
d. Tidak terjadi perasaan d. Berikan gelisah.
informasi
faktual
terkait
e. Dapat berkonsentrasi.
diagnosis,
f.
dan prognosis.
Tidak
terjadi
peningkatan darah.
perawatan,
e. Dorong keluarga untuk
g. Tidak menarik diri.
mendampingi
h. Tidak terjadi gangguan
dengan cara yang tepat.
tidur.
f.
Berikan
klien
objek
yang
menunjukkan perasaan aman. g. Jauhkan
peralatan
perawatan
dari
pandangan (klien). h. Dengarkan klien. i.
Puji/kuatkan
perilaku
yang baik secara tepat. j.
Identifikasi pada saat terjadi
perubahan
tingkat kecemasan. k. Berikan
aktivitas
pengganti
yang
bertujuan
untuk
mengurangi tekanan. l.
Dukung
penggunaan
mekanisme
koping
yang sesuai. m. Instruksikan untuk
menggunakan
teknik relaksasi.
36
klien
n. Atur penggunaan obatobatan
untuk
mengurangi kecemasan secara tepat. o. Kaji untuk tanda verbal dan
non
kecemasan.
37
verbal
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan spektrum klinis yang mencakup angina tidak stabil, infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI). Keluhan utama SKA adalah nyeri dada, dan digolongkan lagi berdasarkan ada tidaknya elevasi segmen ST pada gambaran EKG (elektrokardiografi) (Myrtha, 2011). Infark miokard mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga (Irmalita, et al., 2015). Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala APTS/NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut (Departemen Kesehatan, 2006).
Jenis
Nyeri dada
EKG
Enzim jantung
APTS
Angina
pada
waktu Depresi segmen T
Tidak
istirahat/aktivitas ringan
inversi gelombang T meningkat
(CCS
III-IV).
tidak ada gelombang
Crescendo
angina. Q
Hilang dengan nitrat NSTEMI
Lebih berat dan lama Depresi segmen ST
Meningkat
(>30
Tidak Inversi gelombang T
minimal 2x
nitrat,
nilai
hilang
STEMI
menit). dengan
batas
perlu opium.
atas normal
Lebih berat dan lama Hiperakut T
Meningkat
(>30
minimal 2x
menit)
tidak Elevasi segmen T
38
hilang
dengan
nitrat, Gelombang Q
perlu opium
Inversi gelombang T
nilai
batas
atas normal
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI. Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru (Departemen Kesehatan, 2006).
B. Saran
Seperti pada makalah lainnya pada umumnya sudah pasti tidak lepas dari yang namanya kritik dan kesalahan dalam pembuatan dan penulisannya.Ini semua dikarenakan keterbatasan kemampuan penyusun dalam menyusun makalah ini. Namun penyusun akan berusaha untuk memperbaiki kesalahan dalam pembuatan makalah. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dalam pembuatan makalah yang selanjutnya dapat lebih baik lagi. Penyusun siap menerima kritik dan saran yanng diberikan.
39
DAFTAR PUSTAKA
Bourdin, G. (2010). The feasibility of early physical activity in intensive care unit patients : a prospective observational one-center study. France: University de Lyon. Departemen Kesehatan. (2006). Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Departemen Kesehatan, 26-29. Gleadle, J. (2005). At a Glence Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Surabaya: EMS. Gray, H. H., Dawkins, K. D., & Simpson, I. A. (2006). Kardiologi. Surabaya: EMS. Haryangsah, R. (2013). PENGARUH TATA RUANG BANGSAL RUMAH SAKIT JIWA TERHADAP KESELAMATAN DAN KEAMANAN PASIEN. DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 31 No. 2, 114-118. Irmalita, Juzar, D. A., Andrianto, Setianto, B. Y., Tobing, D. P., Firman, D., et al. (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia, 1. Myrtha, R. (2011). Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA). CDK 188 vol. 38 no. 7 , 541. Niman, S. (t.thn.). Penerapan Telepsikiatrik Untuk Pendidikan Kesehatan di Keperawatan Jiwa. Magister Keperawatan Jiwa (1106043293) Universitas Indonesia. Rustika, & Oemiati, R. (2014). Penyakit Jantung Koroner (PJK) dengan Obesitas di Kelurahan Kebon Kelapa, Bogor (Baseline Studi Kohor Faktor Resiko PTM). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 17 No. 4, 391. Sudoyo, A. W., Setyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. K., & Setiati, S. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.
40