BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pendarahan
pasca
persalinan
(postpartum)
adalah
pendarahan
pervaginam 500 ml atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan pasca persalinan dapat disebabkan oleh atonia uteri, uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, plasenta, inversio uteri dan laserasi jalan lahir .
Perdarahan postpartum adalah sebab penting kematian ibu ¼ dari kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan postpartum, plasenta previa, solutio plasenta, plasenta, kehamilan ektopik, abortus dan ruptur uteri) uteri) disebabkan oleh perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia mengurangkan daya tahan tubuh. Perdarahan postpartum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
1. Perdarahan Pasca Persalinan Dini ( Early Postpartum Haemorrhage, Haemorrhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
1
2. Perdarahan masa nifas (Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat). Perdarahan pasca persalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
1.2. Tujuan
1.2.1 Mengetahui pengertian dari perdarahan postpartum primer 1.2.2 Mengetahui klasifikasi dari perdarahan postpartum primer 1.2.3 Mengetahui diagnosis dari perdarahan postpartum primer 1.2.4 Mengetahui teori dari perdarahan postpartum primer
1.3. Rumusan masalah
1.3.1 Apa yang yang menyebabkan perdarahan postpartum primer ? 1.3.2 Mengapa perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian ibu terbanyak pada pasca persalinan ? 1.3.3
Mengapa
kebanyakan
perdarahan
histerektomi ?
2
postpartum
ditangani
dengan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perdarahan Postpartum
Perdarahan setelah melahirkan adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur di sekitarnya, atau keduanya. Dengan demikian, perdarahan postpartum merupakan penjelasan suatu kejadian, dan bukan diagnosis. Di inggris, separuh kematian ibu hamil akibat perdarahn disebabkan oleh proses postpartum (Bonnar 2000). Apabila terjadi perdarahan berlebihan, harus dicari etiologi yang spesifik. Atonia uteri, retensi plasenta termasuk plasenta akreta dan variannya, serta laserasi traktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar kasus perdarahan postpartum. Dalam 20 tahun terakhir, retensio plasenta telah mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab tersering perdarahan postpartum yang keparahannya mengharuskan dilakukannya histerektomi. 2.1.1. Definisi perdarahan postpartum primer
Perdarahan post partum primer / perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang melebihi 500 cc pada 24 jam pertama setelah kala ti ga persalinan selesai. Secara tradisional, perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500 mL atau lebih darah setelah kala III persalinan selesai. Bagaimanapun, hampir
3
separuh wanita yang melahirkan pervaginam mengeluarkan darah dalam jumlah tersebut atau lebih, apabila diukur secara kuantitatif. Hal ini setara dengan pengeluaran darah 1000 ml pada seksio sesarea, 1400 ml pada histeroktomi sesarea elektif, dan 3000 sampai 3500 ml histeroktomi sesarea darurat. Wanita yang secara normal yang mengalami hipervolemia selama hamil biasanya akan mengalami peningkatan volume darah sebesar 30 sampai 60 persen, yang untuk wanita berukuran tubuh rata-rata setara dengan 1 sampai 2 liter. Karenanya ia dapat mentoleransi tanpa mengalami penurunan bermakna hematokrit postpartum, perdarahan saat pelahiran yang volumenya mendekati jumlah tambahan darah selama hamil. Pada satu penelitian, rata-rata hematokrit postpartum menurun sebesar 2,6 sampai 4,3 persen volume; sepertiga wanita tidak memperlihatkan penurunan atau malah mengalami peningkatan. Wanita yang mengalami seksio sesarea mengalami penurunan rata-rata hematokrit 4,2 persen volume, tetapi 20 persen tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, perdarahan selama persalinan pervaginam yang sedikit banyak melebihi 500 ml berdasarkan pengukuran yang akurat tidak selalu berarti penyimpangan. Pritchard dkk. (1962) mendapatkan bahwa sekitar 5 pers en wanita yang melahirkan pervaginam kehilangan lebih dari 1000 ml darah. Mereka juga mengamati bahwa jumlah darah yang diperkirakan keluar sering hanya separuh jumlah sebenarnya. Berdasarkan patokan perkiraan darah yang keluar 500 ml, perdarah postpartum terjadi pada sekitar 5 persen pelahiran. Karena itu di banyak institusi perkiraan perdarahan yang lebih dari 500 ml seyogyanya menyebabkan
4
ibu yang mengalami perdarahan berlebihan perlu diperhatikan dan mengingatkan dokter bahwa mungkin terdapat ancaman perdarahan yang berbahaya. 2.2. Klasifikasi Perdarahan Postpartum Primer 2.2.1. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah gagalnya uterus yang mempertahankan kontraksi dan retraksi normalnya. Relaksasi abnormal fundus uterus bertanggung jawab terhadap 75-90 % kasus perdarahan postpartum. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan tebuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat diperkirakan jauh sebelum pelahiran. Contoh-contoh ketika trauma menyebabkan perdarahan postpartum antara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi forseps, setiap manipulasi intarauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah seksio sesarea atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan dapat diperkirakan apabila digunakan
zat-zat
anastetik
berhalogen
dalam
konsentrasi
tinggi
yang
menyebabkan relaksasi uterus. Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan mengalami hipotonia setelah persalinan. Dengan demikian, wanita dengan janin besar, janin multiple atau hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri. Kehilangan darah pada persalinan kembar, sebagai contoh, rata-rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak. Wanita yang
5
persalinannya yang ditandai dengan his yang terlau kuat atau tidak efektif juga besar kemungkinan mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah melahirkan. Demikian juga, persalinan yang dipicu atau dipicu dengan oksitosin lebih rentan mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum. Wanita dengan paritas tinggi mungkin beresiko besar mengalami atonia uteri. Fuchs dkk. Melaporkan hasil akhir pada hampir 5800 wanita pada 7 atau l ebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan postpartum sebesar 2,7 persen pada para wanita ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan populasi obstetri umum. Babinszki dkk (1999) melaporkan insiden perdarah postpartum sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada wanita dengan para 4 at au lebih. Risiko lain adalah apabila wanita yang bersangkutan pernah mengalami perdarahan postpartum. Akhirnya kesalahan penatalaksanaan persalinan kala III berupa
upaya
untuk
mempercepat
pelahiran
plasenta
selain
daripada
mengeluarkannya secara manual. Pemijatan dan penekanan secara terus-menerus terhadap uterus yang terus menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak sempurna dan pengeluaran darah meningkat. Gambaran Klinis
Perdarahan postpartum sebelum plasenta lahir disebut perdarahan kala III. Berbeda dengan pendapat umum, apabila perdarahan dimulai sebelum atau setel ah pelahiran plasenta, atau pada keduanya, mungkin tidak akan terjadi perdarahan
6
masif, tetapi terjadi perdarahan terus-menerus yang tampaknya sedang tetapi menetap sampai timbul hipovolemia serius. Perembesan yang terus-menerus ini, terutama pada perdarahan setelah plasenta lahir, dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum hamil, derajat hipovolemia-terinduksi kehamilan, dan derajat anemia saat pelahiran. Gambaran perdarahan postpartum yang dapat mengecoh adalah kegagalan nadi dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar sampai terjadi kehilangan darah sangat banyak. Wanita normotensif mungkin sebenarnya mengalami hipertensi sebagai respon terhadap perdarahan, paling tidak pada awalnya. Selain itu wanita yang sudah mengalami hipertensi mungkin dianggap normotensif walaupun sebenarnya mengalami hipovolemia berat. Yang tragis, hipovolemia ini mungkin belum diketahui sampai tahap sangat lanjut. Wanita dengan pre eklamsia berat biasanya tidak mengalami hipervolemia terinduksi kehamilannya. Karena itu, ia sering sangat peka atau bahkan tidak toleran terhadap apa yang sebenarnya merupakan perdarahan normal. Karena itu, apabila dicurigai terjadi perdarahan berlebihan pada wanita dengan hipertensi kehamilan
yang
berat,
harus
dilakukan
upaya-upaya
untuk
segera
mengidentifikasi berbagai gambaran klinis dan laboratorium yang mengharuskan pemberian larutan kristaloid dan darah dalam jumlah besar. Apabila fundus kurang terpantau setelah melahirkan, darah mungkin tidak keluar dari vagina, tetapi tertimbun dalam uterus. Dalam hal ini rongga uterus
7
dapat teregang oleh 1000 ml atau lebih darah sementara petugas kesehatan yang membantu
lalai
mengidentifikasi
uterus
yang
besar
atau,
setelah
mengidentifikasikannya, secara salah memijat gumpalan lemak abdomen. Karena itu, perawatan uterus postpartum jangan diserahkan kepada petugas yang kurang berpengalaman. 2.2.2. Retensio Plasenta
Perdarahan postpartum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil, tetapi plasenta yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas. Inspeksi plasenta setelah pelahiran harus dilakukan secara rutin. Apabila ada bagian plasenta yang telah hilang, uterus harus dieksplorasi dan sisa plasenta dikeluarkan, terutama pada perdarahan postpartum yang berlanjut. Walaupun jarang, retensi lobus suksenturiata dapat menyebabkan perdarahan postpartum. Perdarahan lanjut yang mungkin disebabkan oleh polip plasenta. Pada sebagian besar kasus, plasenta terlepas secara spontan dari tempat implantasinya dalam waktu beberapa menit setelah janin lahir. Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu ini tidak selalu jelas, tetapi tampaknya cukup sering disebabkan oleh kontraksi uterus yang tidak adekuat. Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi, dengan sedikit atau tanpa desidua, sehingga tidak terdapat garis pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke miometrium. Apabila plasenta tertanam kuat dengan cara ini, kondisinya disebut plasenta akreta.
8
a. Penatalaksanaan
Masalah yang menyertai pelahiran plasenta dan perkembangan selanjutnya cukup bervariasi, bergantung pada tempat implantasi, kedalaman penetrasi miometrium, dan jumlah kotiledon yang terlibat. Besar kemungkinan plasenta akreta fokal dengan implantasi di segmen atas uterus lebih sering terjadi daripada yang diketahui. Kotiledon yang terlibat mungkin terlepas dari miometrium dengan perdarahan yang cukup banyak, atau kotiledon terlepas dari plasenta dan melekat ke tempat implantasi disertai peningkatan perdarahan, segera setelahnya atau belakangan. Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), plasenta akreta fokal seperti itu mungkin merupakan salah satu mekanisme pembentukan apa yang disebut sebagai polip plasenta. Pada kelainan yang luas, perdarahan menjadi berlebihan sewaktu dilakukan upaya untuk melahirkan plasenta. Pada sebagian kasus, plasenta menginvasi ligamentum latum dan seluruh serviks. Pengobatan yang berhasil bergantung pada pemberian darah pengganti sesegera mungkin dan hampir selalu dilakukan histerektomi segera. Scarantino dkk. (1999) melaporkan pemakaian koagulasi sinar argon untuk hemostasis di segmen bawah uterus. Pada plasenta akreta totalis, perdarahan mungkin sangat sedikit atau tidak ada, paling tidak sampai dilakukan upaya pengeluaran plasenta secara manual. Kadang-kadang, tarikan tali pusat dapat menyebabkan inversio uteri. Selain itu, upaya-upaya yang biasa dilakukan pada pengeluaran secara manual tidak akan berhasil karena bidang pemisah antara permukaan maternal plasenta dan dinding uterus tidak terbentuk. Dahulu, bentuk tersering penatalaksanaan “konservatif”
9
adalah pengeluaran secara manual sebanyak mungkin plasenta dan menampon uterus. Dalam ulasan Fox (1972), 25 persen wanita yang ditangani secara konservatif meninggal. Dengan demikian, terapi paling aman bagi kasus seperti ini adalah histerektomi segera. b. Teknik Pengeluaran Secara Manual
Harus diberikan analgesia atau anastesia yang adekuat serta digunakan teknik bedah yang aseptik. Setelah fundus dipegang melalui dinding abdomen oleh salah satu tangan, tangn yang lain dimasukkan kedalam vagina dan didorong kedalam uterus menelusuri tali pusat. Segera setelah plasenta tercapai tepinya diidentifikasi, dan sisi luar tangan disisipkan di antara plasenta dan dinding uterus. Kemudian dengan punggung tangan berkontak dengan uterus, plasenta dikupas dari perlekatannya di uterus dengan gerakan seperti memisahkan halamanhalaman buku. Setelah seluruhnya dilepaskan, plasenta dipegang dengan seluruh tangan, kemudian secara perlahan dikeluarkan. Selaput ketuban dikeluarkan pada saat yang sama dengan menyisirnya dari desidua secara hati-hati, bila perlu menggunakan forseps cincin untuk menjepitnya. Sebagian dokter cenderung mengusap rongga uterus dengan spons. Apabila hal ini dilakukan, perlu dipastikan bahwa spons tidak tertinggal di uterus atau vagina. 2.2.3. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan suatu keadan dimana bagian atau uterus (fundus uteri) memasuki kavum uteri sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri, bahkan kedalam vagina atau keluar vagina dengan dinding
10
endometriumnya sebelah luar. Inversi total uterus setelah janin lahir hampir selalu disebabkan oleh tarikan kuat terhadap tali pusat yang melekat ke plasenta yang tertanam di fundus. Inversio uteri inkomplet juga dapat terjadi. Yang ikut berperan dalam inversio uteri adalah tali pusat yang kuat dan tidak mudah terlepas dari plasenta ditambah dengan tekanan pada fundus dan uterus yang lemas, termasuk segmen bawah uterus dan serviks. Plasenta akreta mungkin berperan walaupun inversio uteri dapat terjadi meski plasenta tidak terlalu lekat. Shah-Hosseini dan Evrard (1989) melaporkan insiden sekitar 1 dari 6400 pelahiran di Women and Infants Hospital of Rhode Island. Dari 11 inversio yang teridentifikasi, sebagian besar terjadi pada wanita primipara, pengembalian segera uterus yang mengalami inversi tersebut melalui vagina berhasil pada sembilan kasus. Platt dan Druzin (1981) melaporkan 28 kasus dari lebih 60.000 pelahiran, dengan insiden sekitar 1 per 2100. Pada layanan obstetrik di Parkland Hospital, kami menjumpai beberapa kasus dalam setahun dan sebagian besar adalah pelahiran “risiko rendah”. a.
Perjalanan Klinis
Inversio
uteri
paling
sering
menimbulkan
perdarahan
akut
yang
mengancam nyawa, dan bila tidak ditangani segera dapat mematikan. Dahulu dinyatakan bahwa syok cenderung tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar. Evaluasi yang cermat terhadap efek transfusi darah dalam jumlah besar pada kasus-kasus semacam itu tidak mendukung konsep tersebut, tetapi malah semakin menjelaskan bahwa perdarahan pada kasus ini sering sangat deras, tetapi seringkali kurang diperhitungkan.
11
b.
Terapi
Tertundanya penanganan akan sangat meningkatkan angka kematian. Sejumlah langkah perlu dilakukan segera dan secara simultan : 1. Asisten, termasuk ahli anestesiologi, segera dipanggil. 2. Uterus yang baru mengalami inversi dengan plasenta yang sudah terlepas mungkin dengan mudah dapat dikembalikan dengan cara mendorong fundus dengan telapak tangan dan jari tangan mengarah ke sumbu panjang vagina. 3. Sebaiknya dipasang dua sistem infus intravena, dan pasien diberi larutan Ringer Laktat serta darah untuk mengatasi hipovolemia. 4. Apabila masih melekat, plasenta jangan dilepas sampai sistem infus terpasang, cairan dialirkan, dan anestesia sebaiknya halotan atau enfluran telah diberikan. Obat tokolitik, misalnya terbutalin, ritodrin, atau magnesium sulfat, dilaporkan berhasil digunakan untuk relaksasi uterus dan reposisi. Sementara itu, uterus yang mengalami inversio, apabila prolapsnya melebihi vagina, dimasukkan ke dalam vagina. 5. Setelah plasenta dikeluarkan, telapak tangan diletakkan di bagian tengah fundus dengan jari terekstensi untuk mengidentifikasi tepi-tepi serviks. Kemudian dilakukan tekanan dengan tangan sehingga fundus terdorong ke atas melalui serviks. 6. Segera setelah uterus dikembalikan ke posisi normalnya, obat yang digunakan untuk relaksasi dihentikan dan secara bersamaan pasien diberi
12
oksitosin agar uterus berkontraksi sementara operator mempertahankan fundus dalam posisi normal. Pada awalnya, kompresi bimanual akan membantu mengendalikan perdarahan lebih lanjut sampai tonus uterus pulih. Setelah uterus berkontraksi dengan baik, operator harus terus memantau uterus melalui vagina untuk mencari tanda-tanda inversio lebih lanjut. c.
Intervensi Bedah
Umumnya uterus yang mengalami inversio dapat dipulihkan ke posisinya yang normal dengan teknik-teknik di atas. Apabila uterus tidak dapat direposisi dengan manipulasi vagina karena adanya cincin konstriksi yang tebal, wajib dilakukan laparotomi. Secara bersamaan, fundus kemudian dapat didorong dari bawah dan ditarik dari atas. Apabila cincin konstriksi tetap menghambat reposisi, secara hati-hati serviks diinsisi di sebelah posterior agar fundus terpajan. Teknik bedah ini dijelaskan oleh Van Vugt dkk. (1981). Setelah fundus direposisi, obat anastetik yang digunakan untuk melemaskan miometrium dihentikan, infus oksitosin dimulai, dan insisi uterus diperbaiki. 2.2.4. Laserasi Traktus Genitalia a. Laserasi Perineum
Semua laserasi perineum, kecuali yang paling superfisial, disertai oleh cedera bagian bawah vagina dengan derajat bervariasi. Robekan semacam ini dapat cukup dalam untuk mencapai sfingter anus dan meluas menembus dinding vagina dengan kedalaman bervariasi. Laserasi bilateral ke dalam vagina biasanya memiliki panjang yang tidak sama dan dipisahkan oleh bagian mukosa vagina
13
yang berbentuk lidah. Perbaikan laserasi ini harus menjadi bagian setiap operasi untuk memperbaiki laserasi perineum. Apabila otot dan fasia vagina serta perineum di bawahnya tidak dijahit, pintu keluar vagina dapat mengendur dan memudahkan terbentuknya rektokel dan sistokel. b. Laserasi Vagina
Laserasi terbatas yang mengenai sepertiga tengah atau atas vagina tetapi tidak berkaitan dengan laserasi perineum atau serviks lebih jarang dijumpai. Laserasi ini biasanya longitudinal dan sering terjadi akibat cedera yang ditimbulkan oleh tindakan forseps atau vakum, tetapi dapat juga terjadi pada pelahiran spontan. Laserasi ini sering meluas ke dalam menuju jaringan di bawahnya dan dapat menimbulkan perdarahan bermakna yang biasanya dapat diatasi dengan penjahitan yang tepat. Laserasi ini mungkin terlewatkan, kecuali apabila dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina bagian atas. Perdarahan pada keadaan uterus berkontraksi kuat merupakan bukti adanya laserasi saluran genitalia, retensi sisa plasenta, atau keduanya. Laserasi dinding anterior vagina yang terletak didekat uretra sering terjadi. Laserasi ini sering superfisial dengan sedikit atau tanpa perdarahan, dan perbaikan biasanya tidak diindikasikan. Apabila laserasinya cukup besar sehingga diperlukan perbaikan, dapat terjadi kesulitan berkemih sehingga perlu dipasang kateter Foley. c. Cedera Pada Serviks
Serviks mengalami laserasi pada lebih dari separuh pelahiran pervaginam. Sebagian besar laserasi ini berukuran kurang dari 0,5 cm. Robekan serviks yang
14
dalam dapat meluas ke sepertiga atas vagina. Namun, pada kasus-kasus yang jarang serviks dapat mengalami avulsi total atau parsial dari vagina, disertai kolporeksis di forniks anterior, posterior, atau lateral. Cedera ini kadang-kadang terjadi setelah rotasi forseps yang sulit atau pelahiran yang dilakukan pada serviks yang belum membuka penuh dengan daun forseps terpasang pada serviks. Meski jarang, robekan serviks dapat meluas ke segmen bawah uterus dan arteri uterina serta cabang-cabang utamanya, bahkan ke peritoneum. Robekan ini mungkin sama sekali tidak diperkirakan, tetapi umumnya bermanifestasi sebagai perdarahan eksternal yang deras atau pembentukan hematom. Robekan luas di rongga vagina harus dieksplorasi secara hati-hati. Apabila ada kecurigaan perforasi peritoneum, atau perdarahan retro atau intraperi cedera separah ini, eksplorasi intrauterin untuk mencari kemungkinan ruptur juga harus dilakukan. Biasanya diperlukan perbaikan secara bedah, serta anastesia yang efektif, transfusi darah dalam jumlah besar, dan asisten yang cakap. Pada persalinan, laserasi serviks berukuran sampai 2 cm harus dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari. Robekan ini biasanya cepat sembuh dan
jarang
menimbulkan
kesulitan.
Dalam
penyembuhan,
robekan
ini
menyebabkan perubahan signifikan terhadap bentuk bulat os eksterna sebelum pendataran dan pembukaan serviks menjadi bentuk yang cukup memanjang ke lateral setelah pelahiran. Sebagai akibat robekan ini, mungkin terjadi eversio serviks disertai pemajanan kelenjar-kelenjar endoserviks penghasil mukus. Kadang-kadang, selama persalinan bibir anterior serviks yang edematosa terjepit dan tertekan di antara kepala janin dan simfisis pubis. Apabila iskemianya
15
parah, bibir serviks dapat mengalami nekrosis dan avulsi. Walaupun jarang, keseluruhan porsio vaginalis servisis dapat mengalami avulsi. Terlepasnya serviks secara anular atau sirkular ini jarang terjadi pada obstetri modern. Terapi
Robekan serviks yang dalam memerlukan perbaikan bedah. Apabila laserasi terbatas pada serviks, atau bahkan apabila agak meluas ke dalam forniks vagina, penjahitan serviks setelah dipajankan di vulva biasanya akan memberi hasil memuaskan. Visualisasi paling jelas diperoleh apabila asisten melalukan tekanan kuat pada uterus ke arah bawah sementara operator menarik porsio dengan forseps ovum atau spons. Karena perdarahan biasanya datang dari sudut atas luka, jahitan pertama dipasang tepat di atas sudut dan diarahkan ke operator. Laserasi vagina yang menyertai dapat ditampon dengan kassa untuk menghambat perdarahan sementara dilakukan perbaikan laserasi serviks. Dapat digunakan jahitan interrupted atau jelujur dengan benang yang dapat diserap. Penjahitan yang terlalu bersemangat dalam upaya untuk memulihkan penampakan normal serviks dapat meyebabkan stenosis saat uterus mengalami involusi. 2.2.5. Ruptur Uteri
Insiden ruptur uteri mungkin cukup bervariasi diantara institusi. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2000), untuk tujuan surveilans pemakaian data dan pemulangan dari rumah sakit tidak akurat. Walaupun frekuensi ruptur uteri dari semua kuasa mungkin tidak banyak menurun selama beberapa dekade terakhir, etiologi ruptur telah cukup banyak berubah dan hasil akhirnya sudah jauh lebih baik. Akan tetapi, masih dilaporkan adanya kematian
16
ibu (Ripley,1999). Bahkan, 20 persen kematian ibu karena perdarahan disebabkan oleh ruptur urteri (Nagaya dkk, 1999). Eden dkk (1986) mengulas pengalaman mereka dengan ruptur uteri selama periode 53 tahun di Duke University. Dari tahun 1931 sampai 1950 insidennya adalah 1 dari 1280 pelahiran dibandingkan dengan 1 dari 2250 dari tahun 1973 sampai 1983. Rachagan dkk (1991) melaporkan insiden serupa sekitar 1 dari 3000 selam periode 21 tahun. Miller dan Paul (1996) melaporkan insiden sekitar 1 dari 1235 pada hampir 190.000 pelahiran di Los Angeles County-University of Southern Callifornia Women’s Hospital. Lebih dari 90 persen kasus berkaitan dengan riwayat seksio sesarea. Menurut pengalaman kami, ruptur uteri sejati, seperti yang akan didefinisikan, telah menjadi sangat jarang. Selama periode 5 tahun dari tahun 1990 sampai 1994, ketika hampir 74.000 wanita melahirkan di Parkland Hospital, hanya terdapat empat kasus ruptur uteri dengan insiden sebesar 1 dari 18.500 pelahiran. Angka yang rendah ini berkaitan dengan kebijakan kami untuk tidak melakukan induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin pada wanita dengan riwayat seksio sesarea. a. Definisi
Uterus yang ruptur dapat langsung terhubung dengan rongga peritoneum (komplet) atau mungkin dipisahkan darinya oleh peritoneum viseralis yang menutupi uterus atau oleh ligamentum latum (inkomplet). Kita perlu membedakan antara ruptur dan terlepasnya (dehiscence) jaringan parut seksio sesarea. Ruptur mengacu kepada pemisahan insisi uterus lama
17
diseluruh panjangnya disertai ruptur selaput ketuban sehinga rongga uterus dan rongga peritoneum dapat berhubungan. Dalam keadaan tersebut, seluruh atau sebagian janin biasanya menonjol kedalam rongga peritoneum. Selain itu, dari tepi jaringan parut atau dari perluasan kebagian uterus yang sebelumnya normal, terjadi perdarahan yang bermakna. Sebaliknya pada dehiscence, selaput ketuban tidak mengalami ruptur dan janin tidak menonjol kedala rongga peritoneum. Biasanya terlepasnya uterus tidak mengenai seluruh jaringan parut uterus poritoneum di atasnya utuh, dan perdarahan tidak ada atau minimal. b. Penatalaksanaan
Perdarahan yang berlanjut setelah pemberian oksitosik berkali-kali mungkin berasal dari laserasi traktus genitalia yang tidak terdeteksi, termasuk pada beberapa kasus, ruptur uteri. Dengan demikian, apabila perdarahan menetap, jangan
sia-siakan
waktu
mengupayakan
pengendalian
perdarahan
yang
sembarangan, penatalaksanaan berikut harus segera dimulai: 1. Lakukan kompresi uterus bimanual. Teknik ini berupa pemijatan aspek posterior uterus dengan tangan yang terletak diabdomen dan pemijatan dengan kepalan tangan yang lain melalui vagina aspek anterior uterus. Prosedur ini kan mengendalikan sebadian besar perdarahan. 2. Cari bantuan! 3. Mulai tranfusi darah. Golongan darah setiap pasien kebidanan harus diketahui, bila mungkin sebelum persalinan, dan dilakukan uji Coombs indirek untuk mendeteksi antibodi eritrosit. Apabila uji tersebut negatif,
18
cross-match darah tidak diperlukan. Pada keadaan darurat yang ekstrem, dapat diberikan darah ”donor universal” golongan darah Orh-negatif. 4. Lakukan ekplorasi rongga uterus secara manual untuk mencari retensi sisa plasenta atau laserasi. 5. Lakukan inspeksi menyeluruh terhadap serviks dan vagina dengan pemajanan yang memadai. 6. Pasang satu lagi kateter intravena diameter besar sehingga kristaloid dan oksitosin dapat diberikan bersama dengan transfusi darah. 7. Pasang kateter foley untuk mementau pengeluaran urin, yang merupakan parameter yang baik untuk perfusi ginjal. Resusitasi kemudian dilakukan seperti yang dijelaskan berikut. Transfusi darah harus dipertimbangkan pada setiap kasus perdarah postpartum ketika masase uterus perabdominam dan obat oksitosik gagal mengatasi perdarahan. Dengan tranfusi serta kompresi uterus secara manual dan oksitosin intravena secara stimultan, tindakam lain jarang diperlukan. Atonia yang membandel mungkin
mengharuskannya
dilakukannya
histeroktomi
sebagai
tindakan
penyelamatan nyawa. Sebagai alternatif, ligasi arteri uterina, ligasi arteri iliaka interna, atau embolisasi angiografik. 2.2.6. Kelainan Koagulasi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam
19
hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid. Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).
2.3. Diagnosis Perdarahan Postpartum Primer 2.3.1. Diagnosis Atonia Uteri
Kecuali apabila penimbunan darah intrautenin dan intravagina mungkin tidak teridentifikasi, atau pada beberapa kasus ruptur uteri dengan perdarahan intraperitoneum, diagnosis perdarahan postpartum seharusnya mudah. Pembedaan sementara antara perdarahan akibat atonia uteri dan akibat laserasi ditegakkan
20
berdasarkan kondisi uterus. Apabila pedarahan berlanjut walaupun uterus berkontraksi kuat, penyebab perdarahan kemungkinan besar adalah laserasi. Darah merah segar juga mengisyaratkan adanya laserasi. Untuk memastikan peran laserasi sebagai penyebab perdarahan, harus dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina, serviks dan uterus. Kadang-kadang perdarahan disebabkan baik oleh atonia maupun trauma, terutama setelah pelahiran operatif besar. Secara umum, harus dilakukan inspeksi serviks dan vagina setelah setiap pelahiran untuk mengidentifikasi perdarahan akibat laserasi. Anastesia harus adekuat untuk mencegah rasa tidak nyaman saat pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap rongga uterus serviks, dan keseluruhan vagina harus dilakukan setelah ekstraksi bokong, versi podalik internal, dan pelahiran pervaginam pada wanita yang pernah menjalani seksio sesarea. Hal yang sama berlaku pada perdarahan berlebihan selama kala II persalinan.
2.3.2. Diagnosis Retensio Plasenta
Pada awal kehamilan, kadar alfafetoprotein serum ibu mungkin meningkat. Perdarahan antepartum sering terjadi, tetapi pada sebagian besar kasus, perdarahan sebelum pelahiran disebabkan adanya plasenta previa yang menyertai. Invasi miometrium oleh vilus plasenta di tempat bekas jaringan parut seksio sesarea dapat menyebabkan ruptur uteri sebelum persalinan. Kami pernah menjumpai kasus seperti ini pada usia kehamilan sedini 12 minggu pada seorang wanita yang menjalani eksplorasi atas indikasi kehamilan ektopik. Archer dan
21
Furlong (1987) melaporkan hemoperitoneum masif akibat plasenta perkreta pada usia gestasi 21 minggu. Namun, pada wanita yang kehamilannya berlanjut sampai aterm, persalinan kemungkinan besar akan normal apabila tidak ada plasenta previa atau jaringan parut uterus yang terlibat. Terdapat
kemungkinan
bahwa plasenta
inkreta
dapat
didiagnosis
antepartum. Cox dkk. (1988) melaporkan satu kasus plasenta previa dengan plasenta inkreta yang diidentifikasi secara ultrasonografis berdasarkan tidak adanya ruang sonolusen di subplasenta. Mereka berhipotesis bahwa daerah sonolusen subplasenta yang normalnya ada ini menggambarkan desidua basalis dan jaringan miometrium di bawahnya. Tidak adanya daerah sonolusen ini konsisten dengan keberadaan plasenta inkreta. Pasto dkk. (1983) mengkonfirmasi bahwa tidak adanya zona sonolusen subplasenta atau “zona hipoekoik retroplasenta” sesuai dengan plasenta inkreta. Yang lebih baru adalah pemakaian magnetic resonance imaging (MRI) untuk mendiagnosis plasenta akreta. 2.3.3. Diagnosis Inversio Uteri
1. Dijumpai pada kala III atau post partum dengan gejala nyeri yang hebat, perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi strangulasi dan nekrosis. 2. Pemeriksaan dalam : – Bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus
22
uteri cekung ke dalam. – Bila komplit, di atas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak. – Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik).
2.3.4. Diagnosis Laserasi Traktus Genitalia
Robekan serviks yang dalam harus selalu dicurigai pada kasus perdarahan masih selama dan setelah kala tiga persalinan, terutama apabila uterus berkontraksi dengan kuat. Perlu dilakukan pemeriksaan yang cermat, dan pemeriksaan dengan jari tangan saja pada serviks yang lunak kurang memuaskan. Karena itu, luas cedera hanya dapat benar-benar diketahui setelah dilakukan pemajanan terbaik diperoleh dengan menggunakan retraktor vagina sudut tegak lurus yang dipegang oleh asisten sementara operator menjepit serviks dengan forseps cincin. Berdasarkan kekerapan terjadinya robekan dalam setelah prosedur operatif mayor, serviks harus selalu diinspeksi setelah kala tiga semua persalinan sulit, bahkan apabila tidak terjadi perdarahan.
2.3.5. Diagnosis Ruptur Uteri
Nyeri abdomen dapat tiba-tiba, tajam dan seperti disayat pisau. Apabila terjadi ruptur sewaktu persalinan, kontraksi uterus yang intermiten, kuat dapat berhenti dengan tiba-tiba. Pasien mengeluh nyeri uterus yang menetap.
23
Gejala-gejala lainnya meliputi berhentinya persalinan dan syok, yang mana dapat diluar proporsi kehilangan darah eksterna karena perdarahan yang tidak terlihat. Nyeri bahu dapat berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum.
Pemeriksaan abdomen : sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau perubahan kontur uterus yang tiba-tiba dapat menunjukkan adanya ekstrusi janin. Fundus uterus dapat terkontraksi dan erat dengan bagian-bagian janin yang terpalpasi dekat dinding abdomen di atas fundus yang berkontraksi. Kontraksi uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba menghilang. Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen sering sangat lunak, disertai dengan nyeri lepas mengindikasikan adanya perdarahan intraperitoneum.
2.3.6. Diagnosis Kelainan Koagulasi
Perdarahan pervaginam : menoragia (perdarahan haid yang lama atau berlebihan) adalah gejala ginekologi yang paling biasa. Dapat dihubungkan dengan riwayat penyakit dahulu epistaksis, perdarahan gastrointestinalis, petekia, ekimosis, atau perdarahan berlebihan pada operasi, persalinan, ekstraksi gigi, trauma atau haid terdahulu.
Pemeriksaan umum : bisa terlihat beberapa tempat perdarahan. Petekia memberi
kesan
suatu
abnormalitas
vaskular
atau
trombosit.
Ekimosis
menggambarkan defisiensi faktor koagulasi atau trauma pembuluh darah.
24
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan
Perdarahan post partum primer / perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang melebihi 500 cc pada 24 jam pertama setelah kala tiga persalinan selesai.
Klasifikasi
Atonia uteri
Laserasi trakttus genitalis
Retensio plasenta
Plasenta Akreta
Ruptura uteri
Inversio Uteri
Kelainan koagulasi
Diagnosis
Atonia uteri adalah gagalnya uterus yang mempertahankan kontraksi dan
retraksi
normalnya.
Relaksasi
abnormal
fundus
uterus
bertanggung jawab terhadap 75-90 % kasus perdarahan postpartum.
Laserasi traktus genitalis (serviks, vagina atau perineum) bertanggung jawab terhadap 6-19 % kasus perdarahan postpartum dini. Fundus uteri keras dan berkontraksi dengan baik.
25
Retensio plasenta adalah perubahan menetap karena uterus tidak mampu berkontraksi dan retraksi secara normal. Diagnosa ini dicurigai apabila inspeksi menunjukan area robekan tidak lengkap atau tercabik-cabik.
Plasenta akreta adalah keadaan yang disebabkan karena tidak adanya desidua basalis baik sebagian atau seluruhnya terutama lapisan yang berbusa.
Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat di lampauinya daya regang miometrium. Penyebabanya disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik.
Inversio uteri adalah kelainan putaran uterus dari dalam keluar, dengan permukaan dalam korpus ada didalam atau di luar vagina.
Kelainan koagulasi.
3.2. Saran
Dengan selesainya makalah ini, diharapkan kami sebagai anggota kelompok maupun teman-teman sekalian mengetahui pengertian, klasifikasi, diagnosis, maupun teori dari perdarahan postpartum primer.
26
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F.Gary, dkk. Obstetri Williams, edisi 21, EGC, Jakarta, 2006. Prawirohardjo, Srwono. 2008. Ilmu Kebidanan, YBP-SP. Jakarta Prawirohardjo, Srwono. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal . YBP-SP. Jakarta. Ben-Zion Taber, M.D. Kapita Selekta, Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi, EGC, Jakarta, 1994. Fakultas Kedokteran UNPAD, Obstetri Patologi, edisi 2, EGC. Jakarta, 2005. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. EGC, Jakarta.
27