Modul
KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK I JAKARTA, 25 FEBRUARI – 9 MEI 2008
PUSDIKLAT PERPAJAKAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481145 Fax (021) 5481394 www.bppk.depkeu.go.id/pajak
Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481145 Fax (021) 5481394 www.bppk.depkeu.go.id/pajak
DIKLAT TEKNIS SUB STANTIF DAS A
PAJAK I
MODUL 1 KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN
MATERI: • • • • •
Pembaharuan Undang-undang Pajak Beberapa Istilah dalam UU KUP NPWP/NP.PKP Surat Pemberitahuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran/Penyetoran/Pelaporan
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481155, 5481476, 5484404, 5329319 Fax (021) 5481394
DIKLAT TEKNIS SUB STANTIF DAS A
PAJAK I
MODUL 2 KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN
MATERI: • • • •
Pemeriksaan/Penyegelan Penetapan/Ketetapan Pajak Penagihan Pajak Mengangsur/Menunda Pembayaran Pajak
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481155, 5481476, 5484404, 5329319 Fax (021) 5481394
DIKLAT TEKNIS SUB STANTIF DAS A
PAJAK I
MODUL 3 KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN
MATERI: •
•
• •
Membetulkan, Mengurangkan atau Menghapuskan Sanksi Administrasi, Mengurangkan/Membatalkan SKP yang Tidak Benar, Keberatan, Banding dan Gugatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dan Pemberian Imbalan Bunga Pembukuan dan Pencatatan Ketentuan Khusus
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481155, 5481476, 5484404, 5329319 Fax (021) 5481394
DIKLAT TEKNIS SUB STANTIF DAS A
PAJAK I
MODUL 4 KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN
MATERI: • • •
Sanksi Administrasi Sanksi Pidana Penyidikan Tindak Pidana Pajak
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481155, 5481476, 5484404, 5329319 Fax (021) 5481394
MODUL
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN UNTUK DIKLAT PEMERIKSA PAJAK
DJONED GUNADI M
DEPATEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN
Menyatakan bahwa:
Modul ini diedit oleh Sutomo Hs SH
Tanggal
Bulan
Tahun
dan
telah diseminarkan intern Widyaiswara Serta dinyatakan layak sebagai sarana belajar Untuk Diklat Pemeriksa Pajak
KATA PENGANTAR
Modul pada dasarnya hanya berisi pokok-pokok bahasan dari suatu atau beberapa referensi yang menggambarkan apa yang menjadi tujuan umum dari suatu pembelajaran dan juga tujuan khusus dari suatu pembelajaran. Oleh karena itu peserta didik tidak mungkin dapat menguasai ilmu yang dia tekuni apabila hanya berharap dari membaca Modul saja. Kedudukan Modul adalah sebagai sekedar referensi materi pembelajaran dan juga medium dalam pembelajaran. Oleh karena pemecahan soal-soal dalam modul haruslah tetap bersandarkan kepada pengusaan materi sebagaimana dituliskan dalam referensi yang ada. Dalam Modul ini memberikan pokok-pokok bahasan yang bersifat penting dari Pengertian Pemeriksaan Pajak, Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak serta Produk yang daat diterbitkan dari temuan hasil pemeriksaan pajak serta ketentuan-ketentuan hukum yang melandasinya, sebagai dasar penguasaan hukum kepada Calon Pemeriksa Pajak. Pada dasarnya di dalam menjalankan pemeriksaan pajak, maka pemeriksa Pajak adalah beracara dengan Wajib Pajak artinya, bahwa suatu pemeriksaan pajak adalah legal audit atau pemeriksaan hukum. Oleh karena tujuan dari pemeriksaan pajak juga sangat tinggi yaitu “Menguji Pemenuhan Kepatuhan Kewajiban Perpajakan” bukan sekedar mengisi kebutuhan kas negara (not just
budgetair). Hal yang demikian sebagai bentuk tunututan dari pelaksanaan kewajiban perpajakan yang merupakan kewajiban kenegaran sebagaimana yang dituntut oleh undang-undang.
Penulis
(DJONED GUNADI M )
DAFTAR ISI K ATA PENGANTAR DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN
1
II. KB - 1 PENGERTIAN UMUM PEMERIKSAAN PAJAK A. URAIAN CONTOH
4
B. LATIHAN
19
C. RANGKUMAN
20
III.KB - 2 DASAR HUKUM PEMERIKSAAN PAJAK A. URAIAN CONTOH
21
B. LATIHAN
33
C. RANGKUMAN
34
IV. KB - 3 PRODUK HASIL PEMERIKSAAN A. URAIAN CONTOH
36
B. LATIHAN
40
C. RANGKUMAN
41
V. TES FORMATIF Tes Formatif I
42
Tes Formatif II
42
Tes Formatif III
43
VI. UMPAN BALIK UMPAN BALIK I
45
UMPAN BALIK II
47
UMPAN BALIK III
49
DAFTAR PUSTAKA Atwi Suparman - Desain Instruksional – Jakarta - Pusat Antar Universitas – Universitas Terbuka – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1997. Bambang Sunggono – Metodologi Penelitian Hukum – Jakarta – Manajemen PT Raja Grasindo Persada – cetakan pertama 1997. Departemen Keuangan RI – Peraturan Tindak Lanjut Perpajakan 2000 – Jakarta – Penerbit Eko Jaya – 2001. Gunadi M Djoned – Modul Maajemen Penagihaqn Pajak – Jakarta – Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan -2004. Gunadi M Djoned – Administrasi Pajak , Jakarta - Lembaga Pengkajian Keuangan dan Akuntansi Pemerintah (LPKAP) –Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan - 2006. Gunadi M Djoned – Modul Tata Usaha Perpajakan – Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan – 2005. Gunadi M Djoned – Modul Diklat Penyegaran Pemeriksa Pajak – Jakarta - Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan -2006. Gunadi, Msc - Akuntansi Pajak (sesuai dengan UU Pajak Baru – Jakarta – Penerbit Grasindo -1999. Hardi
- Pemeriksaan Pajak – Jakarta- Penerbit Kharisma – 2003.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983- Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakanyang telah mngalami perubahan terakhir melalu Undangundang Nomor 28 Tahun 2007.
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
I PENDAHULUAN PENGERTIAN Dalam perpajakan yang menganut self assessemnt system , maka pemeriksaan pajak bukanlah suatu bentuk keharusan di dalam pelaksanaan sistem perpajakan. Kewajiban perpajakan yang merupakan manifestasi kewajiban kenegaraan sepenuhnya di percayakan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) KUP yang menyatakan bahwa “ setiap Wakib Pajak waib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan adanya surat ketetapan pajak, sedangkan tugas aparat pajak adalah melakukan pelayanan, pengawasan dan pembinaan. Kebijaksanaan pemeriksaan pajak haruslah dilaksanakan dengan mempertim bangkan beberapa persyaratan yang antara lain: a. tujuan dari dilakukannya pemeriksaan pajak harus jelas; b. subyek yang akan diperiksa; c. obyek yang diperiksa; d. dasar hukum dari pemeriksaan pajak yang akan dilakukan; e. tata cara pemeriksaan dilakukan; dan f. produk dan dasar hukum dari produk hasil pemeriksaan; Sepanjang menyangkut tujuan pemeriksaan pajak maka ketentuan undang-undang mengatakan antara lain: a. untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan b. untuk tujuan lain; Pengertian menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan adalah meliputi: a. kepatuhan material , yaitu tata cara menghitung pajak; dan b. kepatuhan formal yaitu melaksanakan kewajiban pembayaran/ penyetoran pajak dan pelaporan pajak yang telah dihitung dan atau disetor. Hal yang demikian ini karena kewajiban menghitung sendiri pajak yang terutang, kemudian membayar atau menyetor dan melaporkan tersebut harus dilaksanakan
Dgm
1
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, oleh karena hal yang demikian itu maka wajar atau bukan mustahil akan terjadi perbedaan didalam memahami pengertian ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di dalam penelitian Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang kemudian menimbul kan dugaan perlu dilakukannya pemeriksaan pajak.
FAKTA YANG TERJADI Suatu kenyataan yang ironis adalah bahwa sekalipun pemeriksaan pajak bukan suatu keharusan, namun utang pajak atau tunggakan pajak sebagai hasil pemeriksaan mengkristal sedemikian besarnya sehingga menjadi tidak tertagih dan bahkan kemungkinan sebagian telah terjadi daluwarsa ( konon sampai jumlah 50% ), dan apabila menimbulkan sengketa pajak maka sebagian besar dari sengketa tersebut dimenangkan Wajib Pajak. Wajar timbul pertanyaan disini apa yang salah dengan pemeriksaan pajak, apalagi penerbitan SKPKB atau SKPKBT adalah merupakan sekedar koreksi rekonsiliasi pajak yang bukan merupakan perbuatan tindak pidana pajak (redaksi “dapat” dalam Pasal 13 ayat (1) KUP yang berarti bersifat falcutatif
atau pilihan). Fakta yang demikian ini perlu adanya keberanian introspeksi diri pada tubuh pemeriksa pajak, mendalami dan memahami ketentuan peraturan perundangundangan serta menjalankan tugas kewajiban dengan baik (amanah). Pemeriksa pajak adalah pejabat yang bekerja melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, apakah itu dilakukan secara individu maupun secara tim kerja, oleh karena itu harus bersifat independent. Pengertian independent di sini adalah bahwa pemeriksaan harus dilakukan sejalan dengan kemauan peraturan perundang-undangan yang ada, lain tidak. Di sini pemeriksa pajak di dalam menjalankan tugas pemeriksaan adalah beracara dengan Wajib Pajak, sehingga segala sesuatunya harus di tinggalkan kecuali bagaimana ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan menghendaki. Sebagai pelaksana hukum pemeriksa pajak memiliki kekuasaan yang sangat dahsyat, yaitu bahwa pajak terutang yang ditetapkannya akan di tagih dengan membawa nama “ Tuhan Yang Maha Esa” dan itupun tidak cukup, masih ditambah dengan sumpah yaitu “ Demi Keadilan.” Bagi Aparat Negara Republik Indonesia yang dasar negaranya adalah diawali dengan Ke Tuhanan Yang Maha Esa, menjadikan bulu kuduk kita bergidik apabila benar-benar Dgm
2
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
kita camkan tugas ini. Mengapa demikian? Karena sebagai petugas hukum di dalam menjalankan tugas tidak hanya sekedar berpedoman kepada inforcement of law saja, namun di dalam melaksanakan infocement of law tersebut harus dapat dicapai sekaligus yang namanya inforcement of justice.
TUJUAN INSTRUKSIOANAL UMUM Sebagai tujuan instruksional umum di sini adalah bahwa setelah membaca dan mengikuti pendidikan ini peserta didik mampu menjelaskan dan melaksanakan tugastugas pemeriksaan pajak dengan baik dan benar.
TUJUAN INSTRUKSIONAL K HUSUS Dan sebagai instruksional khusus adalah bahwa peserta didik setelah mengikuti pendidikan dan membaca Modul ini dapat: 1. menjelaskan dasar hukum dari pemeriksaan pajak; 2. menjelaskan tujuan dari pemeriksaan pajak; 3. menjelaskan subyek, obyek dari pemeriksaan pajak; 4. melaksanakan kewajiban melakukan pemeriksaan pajak; 5. menjelaskan dan memenuhi hak-hak Wajib Pajak di dalam pemeriksaan pajak; 6. menjelaskan dasar hukum dari suatu produk pemeriksaan pajak; 7. menghadapi kasus sengketa pajak, sebagai yang mewakili kepentingan Direktur Jenderal Pajak; 8. menjalankan tata cara pemeriksaan pajak dengan baik dan benar.
Dgm
3
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
II. KB. 1 PENGERTIAN UMUM PEMERIKSAAN PAJAK A. URAIAN CONTOH UMUM
Hukum formal perpajakan adalah hukum yang membawa ketentuan material perpajakan menjadi suatu kenyataan dengan baik dan benar. Jadi apalah artinya suatu ketentuan material yang baik, manakala ketentuan formal tidak di susun dengan baik atau apalah artinya ketentuan formal yang baik apabila didalam pelaksanaannya terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan, maka dapat dipastikan akan terjadi carut marut di dalam pelaksanaan hukum dimaksud. Misalnya pemeriksaan pajak adalah suatu bentuk “kewenangan” yang diberikan oleh Undang-undang kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan asas self assessment system . Namun apa artinya pengertian “kewenangan” tersebut apabila didalam pelaksanaan cenderung berubah menjadi “hak” atau “keharusan” atau menurut “selera Direktur Jenderal Pajak” . Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagai hukum formal dibidang perpajakan adalah merupakan lex specialis diantara hukum-hukum formal yang ada (KUH Pidana dan KUH Perdata), tetapi merupakan lex generalis dari ketentuanketentuan pelaksanaan yang ada, atau penulis sebut sebagai instrumen-instrumen didalam rangka melaksanakan KUP. Adapun instrumen-instrumen didalam melaksanakan Ketentuan Umum Dan tata Cara Perpajakan tersebut antara lain adalah: a. Tata Usaha Perpajakan b. Pemeriksaan Pajak dan Penyidikan Pajak; c. Penagihan Pajak (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000); Dgm
4
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
d. Peradilan Pajak (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997) ; Dari keempat instrumen dalam rangka melaksanakan Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan tersebut baru dua yang diatur dalam bentuk Undang-Undang yaitu UU. Penagihan Pajak dan UU Peradilan Pajak. Dengan pengaturan dalam bentuk undang-undang maka kedudukan, hak dan tanggungjawab Wajib Pajak serta aparat pajak semakin lebih jelas, sekalipun itu bukan sepenuhnya merupakan jaminan. Setiap lembaga atau badan atau unit kerja atau profesi mengenal istilah pemeriksaan, misalnya seorang dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasiennya, kemudian polisi atau jaksa melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, kemudian Inspektorat Jenderal suatu Departemen melakukan pemeriksaan atas suatu instansi pemerintah, kemudian Akuntan Publik melakukan pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan dari suatu perusahaan atau dapat juga Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak.
Semua kegiatan profesional tersebut
melakukan pemeriksaan, yang membedakan diantaranya adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Pelaku dari yang menjalankan pemeriksaan tersebut ; Alasan dilakukannya pemeriksaan; Tujuan dari pada pemeriksaan tersebut dilakukan ; Subyek dan obyek yang diperiksa ; Tata Cara pemeriksaan dilakukan ; dan Tidak lanjut dari pada pemeriksaan tersebut;
Boleh jadi obyek yang diperiksa yang dilakukan oleh Akuntan Publik sama dengan pemeriksa pajak yakni Laporan Keuangan akan tetapi oleh karena alasan dan tujuan serta tindak lanjut dari pemeriksaan itu sendiri adalah berbeda, maka tata cara pemeriksaan pun dengan sendirinya berbeda. Pengertian pemeriksaan pajak didalam Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Pasal 1 angka 25 UU Nomor 28 Tahun 2007 , sebagai perubahan Pasal 1 angka 24 UU Nomor 16 Tahun 2000, sebagai perubahan dari Pasal 1 huruf s UU Nomor 9 Tahun 1994, dan sebagai perubahan dari Pasal 1 huruf s UU Nomor 6 Tahun 1983, sebagai berikut:
“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, alat keterangan, dan/ atau bukti yang dilaksanakan secara obyektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain
Dgm
5
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Pengertian pemeriksaan ini telah tiga kali perubahan Undang-Undang selalu mengalami perubahan dan perubahan yang terakhir yang menonjol adalah tambahan redaksi ‘… yang
dilaksanakan secara obyektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan…. .” Wajar suatu pertanyaan timbul yaitu, apakah perubahan-perubahan tersebut diikuti dengan perubahan kebijaksanaan pemeriksaan, tindakan pemeriksaan, tata cara pemeriksaan, bahkan sampai keperangai pemeriksa? Dengan sendirinya seharusnya mempengaruhi, akan tetapi jawaban yang sebenarnya saya serahkan kepada para pengambil kebijaksanaan dan pelaku pemeriksaan pajak.
Yang perlu kita kaji disini adalah beberapa pengertian yang terkandung dalam pengertian umum pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUP tersebut, yang antara lain: 1. Redaksi “ mencari – mengumpulkan - mengolah data “ yang diganti atau dirubah dengan “menghimpun dan mengolah data,” kegiatan ini dilakukan dengan tehnik pemeriksaan yang meliputi mengevaluasi – menganalisa – mentrasir angkaangka – menguji kebenaran pisik – menjustifikasi – merekonsiliasi – mengecek – verifikasi – vouching atau mengecek keaslian dan keabsahan suatu dokumen. Yang dengan sendirinya dilakukan secara acak terhadap obyek data yang dikehendaki. 2. Kemudian redaksi berikutnya “…… dan atau alat keterangan lainnya ……” dan/ atau mengandung maksud dapat salah satu ataupun kedua-duanya. Apabila alat keterangan lainnya tersebut perlu diperhatikan maka dilakukan proses pengujian keterkaitan (cross chek ) dalam rangka memanfaatkan informasi pihak ketiga atas alat keterangan lain tersebut dan konfirmasi baik atas alat keterangan lainnya ataupun atas data temuan dalam pemeriksaan. 3. Redaksi “ …….. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan………,” pengertian kewajiban perpajakan adalah meliputi: a. kewajiban material yakni menghitung besarnya pajak , dan b. kewajiban formal yakni membayar atau menyetor dan melaporkan penghitungan dan pembayaran/ penyetoran tersebut . Pengertian ini penting bagi pemeriksa pajak sebab pada biasanya Wajib Pajak berlindung kepada kewajiban perpajakan tersebut hanya pada kewajiban formal saja. Dan manakala pemeriksa pajak tersebut terkecoh ataupun tidak dapat menjawab alasan yang dikemukakan Wajib Pajak, maka dirinya dapat dipastikan timbul rasa kurang percaya diri dan gamang didalam menjalankan tugasnya, apalagi diperparah dengan pimpinan pemeriksa yang tidak pernah melakukan diskusi awal terhadap obyek yang akan diperiksa. Oleh karena itu perlu kiranya pemeriksa di dalam penyusunan rencana pemeriksaan mencari dugaan-dugaan adanya pelanggaran material dengan menyusun analisa zeitvergleif atau dari tahun Dgm
6
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
ketahun dan atau analisa bedriefvergleif atau atas perusahaan yang sejenis. Pengertian sebagaimana tersebut dimuka juga mengandung arti bahwa obyek yang diperiksa adalah kepatuhan, jadi apabila telah nyata-nyata ditemukan ketidak patuhan misalnya “WP tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan” maka disini bukan lagi dilakukan pemeriksaan, namun penyidikan apabila diketemukan data. 4. Redaksi “…………kepatuhan pemenuhan kewajiban ………,” pengertian pemenuhan ini mengandung arti suatu bentuk derajat pemenuhan atau tingkatan pemenuhan dari kewajiban perpajakan tersebut dan derajat ini yang menentukan usulan dari laporan hasil pemeriksaan. Sayangnya derajat-derajat pemenuhan kewajiban perpajakan ini belum pernah diatur didalam kebijaksanaan pemeriksaan pajak kecuali Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 04/ PJ.5/ ’86 tanggal 25 April ’86 yang menyatakan bahwa sebagai Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan adalah antara lain: a. Wajib Pajak dengan sengaja tidak mendaftarkan diri; b. Wajib Pajak dengan sengaja menyalah gunakan atau menggunakan dengan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak; c. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); d. Wajib Pajak dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar; e. Wajib Pajak dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, catatan, atau dokumen lain yang palsu atau yang dipalsukan seolah-olah benar; f. Wajib Pajak dengan sengaja tidak bersedia memperlihatkan atau meminjam kan pembukuan, catatanatau dokumen lainnya; g. Wajib Pajak dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. Dari ketentuan tersebut dimuka, maka apabila pemeriksa pajak menemukan kasus sebagaimana tersebut butir (d) sampai dengan butir (g) maka pemeriksaan dihentikan dan dibuat laporan untuk dilakukan penyidikan tindak pidana pajak, dan penyidik pajaklah yang akan menentukan jenis dari tindak pidana tersebut. Kemudian timbul pertanyaan disini adalah bagaimana hal dengan butir a sampai dengan c. Pengertian dari butir c yakni “Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan,” mengandung pengertian bahwa Wajib Pajak yang dimaksud kemungkinan sudah memiliki NPWP dan atau NPPKP atau kemungkinan Wajib Pajak yang dimaksud belum memiliki NPWP dan atau NPPKP, oleh karena itu undang-undang pajak mengadakan “lembaga NPWP dan atau NPPKP jabatan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) KUP. Jadi didalam pengertiannya Pasal 2 ayat (4) adalah NPWP dan atau NPPKP transitoris, artinya : a. tidak mungkin diterbitkan surat ketetapan pajak dan atau Surat Tagihan Pajak apabila Wajib Pajak dimaksud belum memiliki NPWP dan atau NPPKP; b. NPWP dan atau NPPKP jabatan adalah administrasi transitoris , yang kemungkinan dapat dibawa ke penyidikan tindak pidana pajak apabila pada Dgm
7
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
saat jatuh tempo tidak dibayar, dan jumlah utang pajak yang terjadi sebagai bukti adanya kerugian pendapatan negara atau dijadikan/ diberikan NPWP/ NPPKP yang definitif atas permohonan Wajib Pajak apabila atas utang pajak yang terjadi dilunasi. Berdasarkan uraian tersebut dimuka, maka setiap penerbitan NPWP dan atau NPPKP jabatan haruslah disertai dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Tagihan Pajak, yang bersifat transitoris artinya sebagai pengganti perhitungan kerugian pendapatan negara, karena undang-undang telah mengatakan bahwa mereka adalah Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan kewajiban pajak subyektip dan kewajiban pajak obyektip. Kemudian dari pada itu haruslah dibedakan kapan seseorang menjadi Wajib Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan dengan yang tidak menyelenggarakan pembukuan, hal ini dikarenakan bagi mereka yang tidak menjalankan pembukuan tidak dikenal istilah rugi usaha, sedangkan yang menyelenggarakan pembukuan dikenal istilah rugi usaha; 5. Redaksi “….. dan untuk tujuan lain…….,” menurut memori penjelasan dari Pasal 29 KUP pengertian untuk tujuan lain dijelaskan sebagai antara lain : a. menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penghasilan Pasal 21; b. mengukuhkan atau mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; c. memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. 6. Redaksi “…berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan” mengandung maksud bahwa pelaksanaan pemeriksaan dari awal sampai dengan akhir, baik bagi Wajib Pajak ataupun Pemeriksa Pajak harus dijalankan berlandas kan rambu-rambu peraturan perundang-undangan perpajakan. KEWAJIBAN PEMBUKUAN SEBAGAI OBYEK PEMERIKSAAN
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa pada dasarnya pemeriksaan adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak, sedangkan dasar dari pengisian Surat Pemberitahuan adalah pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak. Disini perlu kiranya para pemeriksa pajak memahami dengan benar akan kewajiban pembukuan sebagaimana dimaksud oleh peraturan perundang-undangan. Pengertian umum pembukuan menurut undang-undang pajak adalah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 26 yang KUP sebagai berikut:
“ Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan atau
Dgm
8
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir. “ Dari pengertian umum pembukuan sebagaimana tersebut dimuka, maka yang perlu dipahami oleh para pemeriksa pajak adalah bahwa: a. Undang-undang pajak menyatakan bahwa pengertian peredaran tidak sama dengan penyerahan, demikian juga pengertian pembelian adalah tidak sama dengan perolehan. Disini undang-undang menghendaki pembukuan untuk penyerahan barang atau jasa kena pajak bagi Wajib Pajak yang sekaligus sebagai Pengusaha Kena Pajak haruslah dibuat tersendiri terpisah dari buku pembelian atau penjualan umum. Pencocokan antara buku penyerahan dengan buku penjualan, demikian juga buku perolehan dengan buku pembelian adalah bersifat rekonsiliasi bukan equalisasi; b. Kemudian dari pada itu pengertian pencatatan harus dimengerti bukan hanya sebagai pencatatan secara manual, akan tetapi juga sistem pembukuan dengan komputer sebagamana dijelaskan didalam memori penjelasan Pasal 28 ayat (1) KUP tentang kewajiban pembukuan; c. Namun demikian pengertian pembukuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 26 tersebut janganlah sepenuhnya menjadi pegangan pemeriksa pajak, sebab bagian kalimat terakhir dari ketentuan tersebut cukup menyesatkan yakni anak kalimat yang berbunyi “…………… laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir”. Dengan sendirinya yang benar adalah setiap Tahun Buku berakhir. Oleh karena itu janganlah sampai terjadi pemeriksa pajak menyalahkan pembukuan Wajib Pajak yang ditutup bukan pada akhir Tahun Pajak, sebab apabila ini sampai terjadi akan menimbulkan performen Direktorat Jenderal Pajak yang buruk dimata Wajib Pajak. Kemudian dari pada itu ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang kewajiban pembukuan (Pasal 28 KUP) yang perlu penulis berikan catatan atau peringatan agar para pemeriksa pajak sangat berhati-hati didalam memahami ketentuan tersebut, yakni antara lain : a. Pasal 28 ayat (7) yang berbunyi:
“ Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan, atau biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.” Dari redaksi tersebut Pasal 28 ayat (7) KUP, penulis tidak tahu apakah suatu bentuk kesalahan teks undang-undang atau memang demikian maksud sipembuat undang-undang. Apabila ini suatu kesalahan teks dari undang-undang maka tidak pantas penulis memberikan komentar sebab undang-undang di sahkan oleh yang terhormat para anggota DPR (uneg-uneg hati ini penulis lontarkan demikian pula untuk pengertian umum Pasal 1 angka 26 KUP). Kemudian dari pada itu apabila ini memang maksud si pembuat undang-undang, menurut penulis rasa-rasanya Dgm
9
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
tidak semua rumah tangga perusahaan membutuhkan Buku Pembelian dan atau Buku Penjualan, misalnya perusahaan jasa, atau keagenan atau agen tunggal yang hanya mengurusi marketing. Dapat dibayangkan apabila ketentuan ini diperguna kan oleh pemeriksa pajak untuk menyalahkan pembukuan perusahaan Wajib Pajak yang sedang diperiksa, dan ini pasti sudah terjadi. b. Pasal 28 ayat (12) KUP. Penulis sangat menyayangkan revisi ayat (12) dengan dihapusnya redaksi “Pedoman penyelenggaraan pembukuan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak” mengapa penulis menyayangkan? sebab penulis adalah salah satu orang yang mendorong untuk ditimbulkannya ketentuan ini yang mana di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 belum diatur. Maksud dari ketentuan ayat (12) yang dihapus itu adalah untuk mengatur pembukuan dengan sistem komputer, dimana Wajib Pajak wajib melaporkannya ke Direktur Jenderal Pajak berikut disertai dengan “dokumentasi programnya,” serta programmer nya . Konon ceritanya sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan besar asing yang program pembukuannya disusun dinegara asal dengan bahasa asal negara mereka, adapun yang disusun di Indonesia hanyalah menyangkut sistem kepegawaian dan Pajak Penghasilan Pasal 21. Lepas ini benar atau tidak, yang jelas seorang pemeriksa pajak haruslah ekstra hati-hati dalam melakukan pemeriksaan perusahaan dimana pembukuannya di lakukan dengan sistem komputer. Memang Pasal 28 ayat (12) KUP tersebut yang menyangkut “Pedoman Pembukuan” sampai dengan dihapuskannya ketentuan tersebut belum pernah diterbitkan. c. Dalam kaitannya dengan Pasal 28 ayat (5) KUP yakni pembukuan dengan stelsel kas, yang perlu penulis ingatkan adalah bahwa pengertian stelsel kas menurut undang-undang pajak adalah tidak sama dengan stelsel kas menurut Akutansi. d. Kemudian perlu pula saya mengingatkan disini bahwa bagaimanapun undangundang pajak mengatur pembukuan, tetapi sepanjang menyangkut badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas maka undang-undang pajak juga harus memperhatikan pembukuan yang sebagaimana diatur dalam UU.No.1 Tahun 1995 tentang “Undang-Undang Perseroan Terbatas”. Adapun ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan adalah meliputi : Pasal 43 UU.PT, tentang mencatat dan menyimpan daftar pemegang saham, • kepemilikan saham direksi dan komisaris beserta keluarganya pada perseroan tersebut dan pada perseroan lain serta tanggal perolehannya, dan perubahan kepemilikan saham. •
•
Pasal 57 dan 58 UU.PT, tentang penyusunan Laporan Keuangan; Pasal 61 dan Pasal 62, tentang penyisihan laba sebagai cadangan, batasan jumlah cadangan, syarat penggunaan cadangan, pengaturan tentang dividen.
Satu hal penting yang selama ini belum dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam kaitannya dengan UU.PT adalah bahwa Rekonsiliasi Pajak haruslah didasarkan kepada Laporan Keuangan yang telah ditanda tangani oleh semua direksi dan komisaris, telah diaudit oleh Akuntan Publik dan disahkan didalam Rapat Umum Pemegang Saham. Jadi pada hakekatnya apabila Wajib Pajak Dgm
10
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
Perseroan Terbatas tidak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan maka haruslah melakukan perbaikan Surat Pemberitahuan. PERSYARATAN SEORANG PEMERIKSA PAJAK
Pengertian persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang pemeriksa pajak adalah suatu kemampuan yang dituntut didalam menjalankan tugas, dan ini dapat dibagi dua bagian yakni: 1. Persyaratan formal, yakni persyaratan pendidikan yang harus dimiliki oleh seorang pemeriksa pajak, baik pendidikan formal yang diperoleh dari bangku sekolah atau perguruan tinggi dan juga pendidikan keahlian yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan kedinasan ; dan 2. Persyaratan dalam kemampuan meningkatkan ketrampilan pemeriksaan pajak dalam setiap kali menjalankan praktek pemeriksaan pajak. Ketrampilan itu harus mampu ditingkatkan setiap kali praktek sejalan dengan perkembangan tata niaga, ekonomi, sosiologi masyarakatnya, hukum serta tehnologi dalam bertata niaga. Oleh karena itu ketidak mampuan pemeriksa didalam meningkatkan ketrampilan setiap kali didalam praktek pemeriksaannya dapat dipastikan dirinya akan tertinggal dan yang pada akhirnya akan merugikan tim kerja yang ada karena dirinya akan menjadi beban rekannya dan tidak dapat menjadi mitra kerja rekannya apalagi menjadi motor penggerak tim. Dengan sendirinya upaya mening katkan ketrampilan didalam praktek tersebut hanya akan dapat dilakukan dengan baik bagi pemeriksa pajak yang telah memenuhi persyaratan formal, tanpa memiliki kemampuan formal atau kemampuan dasar sangat sulit kiranya seorang pemeriksa pajak akan menjadi pemeriksa yang dapat berkembang. Beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki dan selalu diupaya kembangkan oleh seorang pemeriksa antara lain adalah: a. Penguasaan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksa pajak adalah pelaksana hukum yang kemungkinan didalam menjalankan tugasnya menerbitkan/ mengusulkan produk hukum berupa surat ketetapan pajak atau dalam istilah hukum sering disebut sebagai bischikking (Surat Keputusan). Kemudian Surat ketetapan pajak sebagai bischikking bukan mustahil akan menimbulkan sengketa dengan Wajib Pajak yang dapat
Dgm
11
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
menimbulkan upaya peradilan ataupun gugatan. Penguasaan peraturan perundang-undangan perpajakan ini meliputi baik ketentuan f ormal ataupun ketentuan material. (Catatan : Apakah suatu surat ketetapan pajak sebagai bischikking dapat digugat oleh Wajib Pajak ? baca Modul penulis tentang KUP atau Modul tentang “Peradilan Pajak.”) b. Penguasaan Pengetahuan Pembukuan.
Pengertian penghasilan sebagai obyek pajak didapat dari hasil penyusunan Laporan Keuangan, yaitu Neraca dan Daftar Laba/ Rugi yang didalam pemindahannya ke Surat Pemberitahuan dilakukan melalui rekonsiliasi pajak , yaitu pemindahan dari laba komersial ke laba material (laba menurut
undang-undang pajak). c. Penguasaan Tehnik lobbying:
Sebagaimana diketahui bahwa pemeriksaan pajak sering dikenal sebagai pekerjaan yang bersifat “an art” atau seni memeriksa, mengapa demikian ? Hal yang demikian ini terjadi karena pengertian utang pajak yang sangat
spesifik lain halnya dengan utang perdata pada umumnya. Di dalam utang perdata, timbulnya utang karena adanya perikatan antara kreditur yang menyerahkan uang sebagai utangan dengan debitur yang menerima uang utangan sekaligus menyerahkan jaminan dan kewajiban mengangsur utang tersebut berikut dengan pembayaran bunganya. Disini kedua-duanya memperoleh keuntungan dari perikatan yang terjadi, itupun penagihan atas utang dan atau bunganya kadang-kadang mengalami kesulitan. Berbeda halnya dengan pajak terutang yang timbul karena adanya taatbestand yakni suatu keadaan, peristiwa dan perbuatan yang menurut undang-undang pajak terutang pajak. Wajib Pajak yang menurut undang-undang sebagai yang memiliki pajak yang terutang tidak menerima timbal balik langsung dari pembayaran pajaknya, jadi bukan mustahil didalam penagihannya akan sangat mengalami kesulitan. Kemampuan lobbi ini sangat bermanfaat dalam: c.1. meyakinkan Wajib Pajak bahwa pemeriksa pajak didalam menjalankan pemeriksaannya dilakukan dengan fairly ; c.2. meyakinkan Wajib Pajak bahwa tidak ada gunanya menunda-nunda pembayaran pajak yang pada akhirnya hanya akan merugikan diri
Dgm
12
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
sendiri karena dikenakan beban bunga penagihan dan biaya-biaya penagihan; c.3. dengan demikian akan mempercepat pemasukan uang pajak ke kas negara; Kemudian dari pada itu dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 9 ayat (3) KUP dimana besarnya utang pajak dalam suatu surat ketetapan pajak yang harus dilunasi dalam jangka waktu sebulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan pajak, maka sebenarnya jangka waktu sebulan sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak tersebut adalah bukan merupakan tanggung jawab unit kerja penagihan oleh karena belum menjadi tunggakan pajak dan juga belum dapat dilakukan tindakan penagihan pajak. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) KUP tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pemeriksa untuk: •
•
meminta kepada Wajib Pajak membayar jumlah pajak yang terutang sebagai hasil pemeriksaan yang telah dilakukan ; memberikan data-data penanggung pajak dan obyek sita kepada pihak unit Penagihan apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo tetap tidak dibayar.
Mengapa demikian? karena kedua masalah tersebut dimuka adalah: *
selain sulit dilakukan oleh jurusita pajak juga kadangkala berada diluar jangkauan para jurusita pajak;
*
sebagai bentuk pertanggungjawaban dari jalannya pemeriksaan itu sendiri;
d. Penguasaan tehnik wawancara, interogasi dan investigasi.
Walaupun yang diperiksa adalah Laporan Keuangan sebagai dasar pengisian Surat Pemberitahuan, akan tetapi bukan berarti pemeriksaan pajak dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Akuntan Publik dalam memeriksa Laporan Keuangan kliennya. Seorang pemeriksa pajak harus menentukan
scope pemeriksaan yang berlandaskan kepada dugaan dimana kemungkinan tax fraude terjadi, kemudian mencari data serta membuktikan dari temuannya. Semua proses pelaksanaan pemeriksaan ini dilakukan melalui kemampuan menentukan critikal point dari obyek pemeriksaan serta kemampuan tehnik berwawancara atau interviu, interogasi ataupun kadang-kadang dengan
investigasi untuk mencari bukti-bukti bahwa apa yang diduga ataupun yang diperkirakan adalah benar adanya. Kemudian dari pada itu dalam melakukan
Dgm
13
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
wawancarapun ada beberapa etika berwawancara yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh pemeriksa pajak, apalagi mengingat bahwa fokus pemeriksaan adalah Laporan Keuangan serta tax rekonsiliasi yang bukan mustahil bukan Wajib Pajak/ Penanggung Pajak sendiri yang menyusunnya. Cara yang paling baik disini adalah mengajak bersama-sama Wajib Pajak/ Penanggung Pajak untuk melihat kembali pembukuan yang telah dijalankan dan bukannya menempatkan Wajib Pajak/ Penanggung Pajak sebagai pesakitan yang diperiksa. Oleh karena itu didalam menjalankan tehnik wawancara, interogasi ataupun investigasi ada beberapa kode etik yang harus dipegang oleh setiap pemeriksa yakni antara lain: d.1. Asas praduga tidak bersalah
Didalam pemeriksaan pajak pada dasarnya yang diperiksa adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak, oleh karena itu sebenarnya terminologi “pemeriksaan terhadap Wajib Pajak” adalah
terminologi yang salah tetapi sudah kaprah (menjadi kebiasaan). Kemudian dari pada itu didalam rumah tangga perusahaan maka pembukuan dan penyusunan Laporan Keuangan dilakukan oleh karyawan perusahaan, oleh karena itu cara yang paling baik didalam pelaksanaan pemeriksaan adalah dengan cara mengajak direksi perusahaan atau wakilnya atau penanggung pajak untuk bersama-sama meneliti atau melihat kembali apa yang telah dilakukan dengan pembukuannya. Dengan cara yang demikian ini akan mudah diketemukan data atau alat keterangan yang maksimal sehingga dapat dipakai dasar menentukan apakah yang tejadi hanya kesalahan penulisan dalam pencatatan biasa atau perbedaan pengertian hukum atas suatu transaksi, atau penghindaran pajak ataupun upaya penyelundupan pajak. Cara melibatkan direksi perusahaan atau wakilnya atau penanggung pajak didalam pemeriksaan hanya akan dapat dilakukan dengan optimal apabila pelaksanaan pemeriksaan tersebut dilandasi dengan praduga tidak bersalah. Tingkah laku, tindak tanduk serta ucapan yang dilandasi pemikiran “dugaan ada kesalahan, maka dilakukan pemeriksaan ” hanya akan menimbulkan perlawanan dari pihak yang diperiksa, dan Dgm
14
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
apabila demikian dapat dipastikan tidak akan menemukan data atau alat keterangan yang maksimal, apalagi dengan sistem perpajakan yang menganut asas self assessment . Disini pemeriksa harus menjaga faktor
psikologis Wajib Pajak yang oleh undang-undang telah dipercaya melaksanakan kewajiban perpajakan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan deterent effect yang positip. Pemeriksaan yang tidak menimbulkan deterent effect yang positip pada dasarnya kurang bahkan tidak bermanfaat bagi organisasi, karena hanya menimbulkan tambahan pendapatan negara yang bersifat sementara itupun dalam pengertian
“kemungkinan”, tetapi bukan mustahil justru akan membuat potensial income dari pajak bagi kas negara dimasa-masa yang akan datang menjadi hilang. d.2.Asas persamaan dimuka hukum (equility before the law ).
Tujuan diadakan hukum adalah agar dapat diwujudkannya yang namanya keadilan, kemudian apabila kita bicara tentang keadilan maka pengertian keadilan didalam pajak tidak sama dengan pengertian keadilan pada umumnya khususnya didalam hukum pidana ataupun perdata. Keadilan didalam pajak adalah bagaimana mengalihkan beban pembiayaan publik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada beban individu Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlandaskan filosofi self assessment dengan tidak lebih atau kurang disatu pihak, dan dipihak lain keadilan juga tergambarkan pula dari bagaimana penggunaan penerimaan uang pajak ter sebut bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adanya pengertian keadilan sebagaimana
yang
dimaksud
menimbulkan
bentuk-bentuk
sanksi
administrasi yang bermacam-macam dari mulai bunga, denda kenaikan dan bahkan sanksi pidana sesuai dengan kesalahan atau pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan Wajib Pajak didalam melaksanakan self
assessment , demikian pula seharusnya diatur sanksi yang dapat diberikan kepada pejabat pajak. Akan tetapi diadakan pula pasal-pasal yang bersifat
transitoris demi kepentingan kas negara, misalnya Pasal 2 ayat (4) KUP, Pasal 8 ayat (3) KUP dan Pasal 44B KUP. Dari sistematika pasal-pasal Dgm
15
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
yang ada, dapat kita ketahui bahwa undang-undang pajak dalam kaitannya yang mengatur hubungan antara Wajib Pajak dan Negara maka disini kedudukan kas negara adalah merupakan fokus penting yang harus diutamakan dari pada memberi hukuman badan kepada Wajib Pajak/ Penanggung Pajak dengan tidak meninggalkan penerapan sanksi pidana kepada Wajib Pajak/ Penanggung Pajak apabila memang tidak dapat dihindari. Namun demikian dalam rangka fokus kepentingan kas negara tersebut haruslah tetap berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga harus pula dihindarkan adanya tindakan superioritas pejabat pajak terhadap Wajib Pajak dengan alasan demi kepentingan kas negara. d.3.Asas Hak didampingi Ahli Hukum (Tax Legal ), Konsultan Pajak atau Akuntan Publik.
Pada dasarnya ada kemungkinan Wajib Pajak didalam menyusun Laporan Keuangan ataupun didalam menyusun rekonsiliasi pajak didampingi atau dilakukan oleh pihak lain, atau Laporan Keuangan yang telah disusun telah diaudit oleh pihak lain yakni kantor Akuntan Publik dan kantor Akuntan Publikpun telah memberikan opininya, sehingga wajar apabila didalam pemeriksaan pajak Wajib Pajak dapat/ meminta didampingi oleh pihak-pihak terkait yang diperlukannya. Justru seharusnya bagi Wajib Pajak-Wajib Pajak tertentu yang tidak mampu menggunakan jasa tax legal maka sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak membantu menyiapkan tenaga bantuan hukum tersebut. d.4.Asas Obyek Yang Diperiksa.
Yang diperiksa adalah Surat Pemberitahuan Wajib Pajak, oleh karena itu dari mulai pemilihan didalam penggunaan wewenang pemeriksaan, perencanaan, sampai dengan proses pemeriksaan haruslah bertumpu kepada pos-pos yang ada didalam Surat Pemberitahuan. Ketidak lengkapan atau kekurang lengkapan Wajib Pajak didalam mengisi dan melaporkan Surat Pemberitahuan yang dikarenakan tidak atau kurang lengkapnya formulir isian Surat Pemberitahuan tidak dapat dipersalahkan dan ditanyakan kepada Wajib Pajak. Hal ini sejalan dengan pengertian
Dgm
16
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
yang terkandung dalam Pasal 3 ayat (6) KUP yang mengatakan : “ Bentuk
dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus dilampirkan ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. ” Jadi pada dasarnya kekeliruan Pejabat Tata Usaha Pajak didalam menentukan bentuk serta isi dari Surat Pemberitahuan adalah suatu kelalaian jabatan dari Pejabat Tata Usaha Pajak yang tidak dapat dipindahkan pertanggung jawabannya kepada Wajib Pajak . d.5. Asas Ketentuan Material.
Pemeriksaan pajak bukan untuk memasalahkan legal atau tidaknya suatu penghasilan, dari tindak susila ataupun dari tindak asusila, dari mana sumber penghasilan tersebut datangnya, serta tidak memasalahkan bagaimana tatacara penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. Peraturan perundang-undangan Pajak Penghasilan menganut “world wide income” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan sebagai berikut: “penghasilan sebagai obyek pajak
penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik dari dalam Indonesia atau dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan alam bentuk apapun, termasuk huruf a sampai dengan huruh p“ . (selain yang tersebut dalam Pasal 4 ayat (3) PPh – catatan penulis) Jadi
disini
undang-undang
pajak
didalam
menentukan
besarnya
penghasilan ataupun biaya tidak terikat dengan asas legalitas atau formal, akan tetapi asas material atau fakta yang sesungguhnya. Misalnya pembebanan pengeluaran bukannya hanya tergantung dari bukti pengeluaran semata akan tetapi apakah pengeluaran yang dimaksud ada hubungannya dengan untuk mendapatkan, menagih atau mempertahankan penghasilan apa tidak. Demikian pula misalnya dalam memandang penghasilan, tidak cukup berdasarkan apa yang tercatat dalam dokumen, akan tetapi fakta yang sebenarnya bagaimana? Misalnya disini adalah, seorang pemeriksa pajak didalam melakukan pemeriksaan menemukan dokumen dengan nilai Dgm
17
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
pekerjaan atau peredaran sebesar Rp.100 Milyar – kemudian setelah dilakukan koreksi disana sini diperoleh laba usaha sebesar Rp.40 Milyar atau laba usaha sebesar 40 % (empat puluh persen), suatu hal yang tidak masuk diakal apabila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang sejenis dan ini adalah suatu hal yang tidak mungkin, tetapi fakta temuan adalah demikian! Pertanyaannya adalah mengapa dapat demikian? Hal yang demikian ini dapat terjadi karena nilai Rp.100 Milyar tersebut adalah nilai yang di mark up sebesar misalnya 30 % (tiga puluh persen) atau Rp.30 Milyar yang mana oleh Wajib Pajak jumlah dimaksud harus dibebankan dalam perusahaan dengan cara dibagi-bagi (suatu pembebanan
biaya gelap yang tidak mudah), dengan demikian laba yang sebenarnya hanyalah Rp.10 Milyar. Dalam kasus yang demikian ini apabila pemeriksa pajak tetap kokoh pada temuannya yakni Laba Rp.40 Milyar maka Pajak Penghasilan yang harus dibayar kira-kira Rp.12 Milyar atau lebih besar Rp.2 Milyar dari pada laba perusahaan yang sebenarnya dan jumlah di maksud harus dibayar dengan pengurangan modal perusahaan, suatu hal yang sebenarnya sama-sama tidak diharapkan baik oleh Wajib Pajak ataupun negara sebagai penerima pembayaran pajak. Cara yang terbaik disini adalah tetap mengenakan laba sesuai temuan minus mark up , dan pengakuan mark up dari Wajib Pajak digunakan untuk memeriksa siapa yang melakukan mark up dengan tidak memasala hkan tindak pidana umumnya, karena sejumlah uang mark up tersebut adalah “penghasilan” sebagai obyek pajak penghasilan. d.6. Asas didalam pelaksanaan penyegelan.
Pemeriksaan pajak adalah bukan penyidikan pajak, sehingga tindakantindakan sebagaimana penyidik biasa dilakukan didalam pemeriksaan tidak boleh dilakukan, misalnya menyita barang dan melakukan penggeledahan.
Segala
tindakan
pemeriksa
haruslah
seizin
dan
sepengetahuan Wajib Pajak, misalnya melihat dan meminjam buku-buku. Didalam undang-undang pajak tindakan yang diizinkan pemeriksa selain melihat dan meminjam buku adalah melakukan penyegelan ruangan atau tempat yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan buku-buku atau Dgm
18
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
dokumen. Walaupun demikian tindakan penyegelan tidak dapat dilakukan dengan cara yang semena-mena. Penyegelan ini hanya dapat dilakukan setelah dengan baik-baik pemeriksa meminta kepada Wajib Pajak untuk memasuki ruangan atau tempat yang diperkirakan tempat menyimpan buku-buku atau dokumen-dokumen perusahaan. Penyegelan ataupun pembukaan segel haruslah dilakukan dengan sepengetahuan Wajib Pajak untuk menghindarkan datangnya fitnah yang tidak dikehendaki. e. Memiliki Karakter Sebagai Pemeriksa Pajak.
Pengertian karakter adalah tabiat – watak – sifat kejiwaan – akhlak atau budi pekerti yang membedakan antara seseorang dengan seseorang yang lain. Pengembangan karakter ketingkat yang lebih tinggi akan menjadi lebih mudah apabila pemeriksa pajak memiliki kemampuan dasar pemeriksaan pajak. Jadi karakter sebagai pemeriksa pajak ini akan berkembang sejalan dengan ketrampilan didalam pemeriksaan pajak. Beberapa karakter yang baik bagi pemeriksa pajak antara lain adalah: e.1. rasa ingin tahu tetapi bukannya sok tahu; e.2. tidak memiliki sifat sok mengguruhi, sok kuasa, sok pejabat, dan dimabuk dengan kebanggaan-kebanggaan semu; e.3. tidak mau menang sendiri dan merasa dirinya yang paling benar; e.4. tegas tetapi tidak sok kuasa ; e.5. sebagai pelaksana hukum yang baik ; dan e.6. menghayati tugas, dan bukan mengkhianati tugas.
B. LATIHAN Setelah saudara membaca Modul ini dan mengikuti penjelasan yang diberikan serat diskusi yang telah diselenggarakan maka saudara diminta untuk menyelesaikan soal latihan sebagai tersebut dibawa ini: 1. Jelaskan apa tujuan dari suatu pemeriksaan pajak di adakan? 2. Jelaskan pengertian dari menghimpun dan mengolah data atau alat keterangan? 3. Jelaskan apa yang menjadi obyek pemeriksaan pajak? 4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pembukuan sebagai obyek pemeriksaan pajak? 5. Jelaskan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemeriksa pajak? 6. Bagaimana pembukuan stelsel kas menurut undang-undang pajak dilakukan? Dgm
19
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
7. Jelaskan pengertian dari asas equility? 8. Jelaskan perbedaan pemeriksaan dalam sistem self assessment dengan sistem
official assessment ?
C. R ANGKUMAN Sebagai rangkuman dari Pengertian Umum Pemeriksaan Pajak kami berikan sebagai berikut: 1. Setiap profesional didalam menjalankan tugas-tugas kesehariannya mengenal istilah pemeriksaan yang masing-masing memiliki pengertian yang berbeda; 2. Yang menjadi obyek dari pemeriksaan pajak adalah Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak; 3. Tujuan dari pemeriksaan pajak adalah bukan untuk menerbitkan surat ketetapan pajak, namun lebih tinggi dari itu yaitu, menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perjakan yang dilaskanakan oleh Wajib Pajak; 4. Pemeriksaan Pajak harus dilakukan oleh aparatur pajak yang memenuhi persyaratan –persyaratan minimal yaitu persyaratan formal dan persyaratan dalam kemampuan meningkatkan atau mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga dapat menjadi pemeriksa pajak yang benar-benar profesional; 5. Pemeriksa Pajak haruslah aparat fungsional pemeriksa pajak yang memiliki karakter menonjol didalam menjalankan tugasnya;
Dgm
20
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
III. KB. 2 DASAR HUKUM PEMERIKSAANPAJAK A. URAIAN CONTOH KETENTUAN YANG MENGATUR
Pengertian dasar hukum pemeriksaan pajak adalah suatu landasan hukum yang di tunjuk dalam ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan suatu kewenangan atau keharusan pemeriksaan pajak didalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan. Adapun ketentuan yang mengatur yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum pemeriksaan pajak adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) KUP sebagai berikut :
“ Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemebuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.” kemudian diayat (2) nya berbunyi:
“Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.” Pembahasan ketentuan yang mengatur:
1. Redaksi
“…berwenang…”, mengandung maksud suatu kekuasaan yang
dijalankan dengan penuh tanggung jawab , dan bukan dengan cara sewenang-
wenang akan tetapi yang harus terkait dengan tujuan dari pada pemeriksaan itu sendiri yakni “menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan” . Oleh karena itu penentuan siapa yang harus diperiksa dan tata cara pemeriksaan, haruslah selalu dilakukan menurut ketentu-an peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dgm
21
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
Masalahnya sekarang adalah timbul pertanyaan antara lain : 1.1.bagimana undang-undang mengatur “pengertian berwenang” tersebut? dan bagaimana yang terjadi sebagai pelaksanaan dilapangan ? 1.2.bagaimana penerapan pengertian “kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan” tersebut menurut undang-undang dan bagimana penerapannya dilapangan ? 1.3.Apakah yang dimaksud dengan “ pemeriksaan harus dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan ?“ Marilah kita coba menjawab beberapa pertanyaan yang timbul dari pengertian Pasal 29 ayat (1) KUP sebagaimana huruf (a) sampai dengan huruf (c) tersebut. 1.1 Didalam ketentuan formal perpajakan atau yang dikenal dengan KUP tidak di jelaskan dengan rinci pengertian “berwenang” dari Pasal 29 ayat (1) tersebut baik didalam batang tubuhnya ataupun didalam memori penjelasannya. Akan tetapi apabila kita kaji dengan seksama dari sistematika pasal-pasal yang terkandung dalam Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan maka dapatlah kita ketahui bahwa pengertian berwenang tersebut meliputi antara lain : a. Kewenangan yang diartikan harus dilakukan pemeriksaan
Pengertian ini menyangkut Surat Pemberitahuan Lebih Bayar baik Lebih Bayar karena adanya klaim dari Wajaib Pajak (Pasal 17B KUP) ataupun Lebih Bayar tanpa adanya klaim dari Wajib Pajak (Pasal 17). Dengan sendirinya didalam pengkajian akan timbul pertanyaan mengapa Surat Pemberitahuan Lebih bayar harus dilakukan pemeriksaan, khususnya Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan? Sebagai jawabannya adalah bahwa di dalam Pajak Penghasilan sistem perpajakan yang berlandaskan kepada asas self assessment si pembuat undang-undang memandang bahwa Surat Pemberitahuan Lebih Bayar adalah suatu hal yang hampirhampir tidak mungkin terjadi kecuali adanya force mayeur yang tak dapat dihindari, mengapa demikian ? Dua hal yang mendasari alasan ini adalah :
Pertama, pembayaran didalam tahun berjalan (PPh Pasal 25) yang harus dilakuan
Wajib
Pajak
dalam
undang-undang
pajak
hanya
memperhitungkan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan tahun lalu disatu pihak sedangkan dipihak lain setiap rumah tangga usaha ataupun
Dgm
22
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
setiap Wajib Pajak selalu berusaha dan atau berharap penghasilan tahun ini akan menjadi lebih besar dari pada tahun lalu. Oleh karena itu didalam perhitungan menentukan besarnya pembayaran masa tahun ini (PPh Pasal 25), besarnya pemotongan pajak dan atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga tahun yang lalu bersifat netral artinya dikurangkan terlebih dahulu dari pajak penghasilan yang akan dijadikan dasar perhitungan penentuan besarnya PPh.Pasal 25 tahun ini.
Kedua, apabila Wajib Pajak dalam tahun ini menurut perkiraannya akan nyata-nyata mengalami penurunan usaha maka dia dapat menempuh dua jalan yakni menggunakan fasilitas Pasal 25 ayat (6) huruf f PPh yang mengatur
tentang
tata
cara
mengajukan
permohonan
penurunan
pembayaran PPh. Ps.25 yang telah ditentukan, dan ata u menggunakan ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf e KUP, yakni mengajukan keberatan terhadap pemotongan dan atau pemungutan yang dilakukan pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan uraian tersebut dimuka, maka pengkajian terhadap Surat Pemberitahuan Lebih Bayar Pajak Penghasilan haruslah bertumpu kepada dua hal pula yakni pertama apakah perangkat undang-undang dalam menjamin hak-hak Wajib Pajak sudah dijalankan dengan baik atau belum ? atau apakah terjadi fluktuasi perekonomian nasional/ internasional yang mendadak sehingga menyebabkan usaha Wajib Pajak merugi ? Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai, yang pengenaannya terbatas kepada adanya Pertambahan Nilai dari arus barang atau jasa dalam perniagaan, maka tidaklah masuk akal terjadi penurunan nilai dalam arus barang didalam tata niaga. Restitusi disini hanya pantas terjadi dalam kasus Pajak Keluarannya dibebaskan dari pengenaan PPN atau dikenakan PPN dengan Tarip 0 % ( nol persen) misalnya kegiatan ekspor. b. Pemeriksaan Dengan Pilihan, ini dilakukan untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan Kurang Bayar, Nihil, atau Rugi dengan tidak disertai kalim Lebih Bayar, ataupun Wajib Pajak yang telah menerima Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Mengapa demikian?
karena
ada
kemungkinan
didalam
melaksanakan
self
assessment Wajib Pajak ini telah melakukan dengan baik, oleh karena itu
Dgm
23
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
pemeriksaan dilakukan dengan pilihan manakala ternyata ada dugaan bahwa Wajib Pajak masih ada data atau alat keterangan yang memberikan petunjuk bahwa kemungkinan ada kekurangan didalam menjalankan kewajiban perpajakan. Pilihan ini dapat dari data atau alat keterangan yang bersumber dari perbendaharaan data ataupun dari analisa-analisa Laporan Keuangan baik yang bersifat dari tahun ketahun ataupun analisa dengan perusahaan-perusahaan sejenis. Kemudian dari pada itu Direktur Jenderal Pajak sebagai pimpinan yang melaksanakan undang-undang melalui Surat Edarannya Nomor SE-03/ PJ.7/ ’01 Tanggal 06 Juni –’01 mengatur tentang pemeriksaan pajak menerbitkan kebijaksanaan yang antara lain sebagai berikut : a. Pemeriksaan rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan
terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan-nya. Adapun sebagai kreteria pemeriksaan rutin adalah : a.1. a.2.
Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang menyatakan Lebih Bayar ; Surat Pemberitahuan Wajib Pajak Badan yang menyatakan Rugi tetapi tidak Lebih Bayar ; a.3. Data Prioritas dan atau Alat Keterangan; a.4. Terdapat Kerjasama Operasi (KSO) atau Konsorsium ; a.5. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT PPH.21 Lebih Bayar ; a.6. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang masa pajak terakhir dari suatu tahun pajak yang menyatakan lebih bayar baik yang minta restitusi maupun yang kompensasi ; a.7. Surat Pemberitahunan untuk bagian tahun pajak sebagai akibat adanya perubahan tahun buku yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal Pajak; a.8. Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyalahi ketentuan penggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ; a.9. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan membangun sendiri; a.10 Wajib Pajak atas permintaan sendiri mengajukan untuk dilakukan pemeriksaan pajaknya, misalnya untuk kepentingan RUPS; a.11. Dan lain-lainnya, misalnya ada data atau alat keterangan, pemusatan tempat terutang PPN, Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT PPh 21 Tahunan atau Masa selama tiga kali berturut-turut. Adapun alasan pemeriksaan diluar ketentuan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar penulis tidak tahu apa yang menjadi dasar hukumnya.
Dgm
24
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
b. Pemeriksaan Kreteria Seleksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu berdasarkan skor otomatis secara komputerisasi. c. Pemeriksaan Khusus, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib
Pajak berdasarkan keterangan atau masalah yang berkaitan dengannya, ini meliputi antara lain : c.1. Wajib Pajak yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perpajakan; c.2. Wajib Pajak tertentu berdasarkan pengaduan masyarakat melalui Kotak Pos 5000 ; c.3. Wajib Pajak tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak. Komentar Penulis terhadap kreteria pemeriksaan khusus ini adalah: begitu diduga Wajib Pajak melakukan tindak pidana, ini • sebenarnya bukan kewenangan pemeriksa pajak lagi, akan tetapi menjadi kewenangan penyidik pajak, oleh karena itu penerapan tindak pidana Pasal 38 haruslah didahului dengan pemberian kesempatan untuk melakukan pengungkapan akan ketidak benaran yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak (Pasal 8 ayat (3) KUP. Dan dari pemeriksaan ini semestinya tidak benar apabila sampai diterbitkan SKPKB. •
•
•
Pemeriksaan pajak yang didasarkan oleh pengaduan adalah tidak dapat dibenarkan, kecuali apabila pengadunya jelas orangnya dan obyek yang diadukan tersebut telah dilakukan penelitian dan wajar untuk dilakukan pemeriksaan. Cara-cara yang demikian ini selain tidak mendidik juga tidak etis didalam pelaksanaan hukum adminis-trasi, bisa-bisa pejabat pajak yang membuat pengaduan untuk dapat turun melakukan pemeriksaan. Undang-undang jelas-jelas tidak memberikan hak kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan pemeriksaan berdasarkan pertimba-ngan pribadinya. Pertimbangan pribadi ini sangat berbahaya karena pengertiasn wewenang dapat berubah menjadi sewenang-wenang apalagi dengan tidak jelas sumber dari pada pertimbangan tersebut. Dengan direvisinya TAP MPRS Nomor XX Tahun ’66 maka tindakan apapun yang dilakukan pejabat pajak yang tidak jelas sumber hukumnya, maka Wajib Pajak dapat melakukan gugatan.
d. Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi , yaitu pemeriksaan yang dilakukan
atas cabang, perwakilan, pabrik, dan atas tempat usaha bagi Wajib Pajak domisili;
Dgm
25
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
e. Pemeriksaan Tahun Berjalan , yaitu pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
yang dilakukan dalam tahun pajak berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh jenis pajak (all taxes) dan untuk mengumpulkan data atau keterangan atas kewajiban pajak lainnya; f. Pemeriksaan Bukti Permulaan,
yaitu pemeriksaan yang dilakukan
untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan. Ini mungkin lebih tepat apabila dipakai termino-logi penyelidikan bukti permulaaan tindak pidana dibidang perpajakan. Adapun didalam pelaksanaan pemeriksaan, maka pemeriksaan dapat dilakukan dengan: •
•
Pemeriksaan Lapangan, yang meliputi : Pemeriksaan Lengkap, yaitu pemeriksaan untuk yang lazim digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya dan Pemeriksaan Sederhana, yaitu pemeriksaan dengan menerapkan tehnik-tehnik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan dikantor maupun dilapangan ; dan Pemeriksaan untuk tujuan lain yakni Pemeriksaan Sederhana Lapangan yang dilakukan untuk tujuan lain misalnya : untuk menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 21, atau mengukuhkan dan atau mencabut Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak, atau memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
2. Redaksi “…….…menguji pemenuhan kepatuhan kewajiban perpajakan…..…,” mengandung pengertian bahwa tujuan pemeriksaan adalah bukan hanya sekedar untuk menetapkan pajak, oleh karena itu produk dari pemeriksaan banyak tergantung dari temuan pemeriksa itu sendiri sampai dimana pelaksanaan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak. Yang patut disayangkan disini adalah bahwa kebijaksanaan pemeriksaan sendiri belum memberikan petunjuk bagaimana pengertian “pemenuhan kewajiban“ tersebut dijabarkan didalam pelaksanaan, bahkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 04/ PJ.5/ ’86 Tanggal 25/’04 -1986, seolah-olah dimentahkan oleh Surat-surat Edaran yang diterbitkan berikutnya. Suatu pertanyaan timbul mengapa pengertian “pemenuhan kewajiban“ tersebut harus dilakukan penjabaran? Dan sebagai jawabannya adalah, penjabaran lebih lanjut dari pengertian “pemenuhan kewajiban” sangat penting karena banyak sekali pasal-pasal pengaturan didalam
Dgm
26
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
sistem perundang-undangan (KUP) yang bersifat ganda bahkan lebih dari ganda, misalnya adalah: a. Pengaturan Pasal 2 ayat (4) dengan Pasal 13 ayat (1) KUP, kemudian Pasal 14 ayat (1) huruf d dan e KUP dengan Pasal 38 dan Pasal 39 KUP. Pada dasarnya pelanggaran sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan juga Pasal 14 ayat (1) huruf d dan huruf e adalah juga merupakan pelanggaran atau kejahatan yang dapat diancam dengan tindak pidana dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 38 atau Pasal 39 KUP; b. Pengaturan Pasal 38 KUP dengan Pasal 39 KUP, belum jelas diatur bagaimana menentukan apakah suatu perbuatan tindak pidana dibidang perpajakan tersebut hanya merupakan kealphaan atau pelanggaran yang diancam dengan Pasal 38 KUP atau suatu perbuatan sengaja atau kejahatan yang diancam dengan Pasal 39 KUP; c. Pengaturan Pasal 8 ayat (3) dengan Pasal 38 KUP , belum jelas diatur apakah pelaksanaan Pasal 38 KUP tersebut haruslah melalui upaya tawaran pengung-kapan ketidak benaran dari Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak apa tidak, atau dengan kata lain apakah penyidikan tindak pidana perpajakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 KUP dapat langsung dilakukan tanpa melalui upaya penggunaan kesempatan Pasal 8 ayat (3) KUP terlebih dahulu? Disini penulis menyarankan agar pelaksanaan ketentuan Pasal 38 KUP hanya bisa dilakasanakan manakala Wajib Pajak menolak untuk melakukan pembetulan kesalahan melalui pengungkapan ketidak benaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) KUP; d. Pengaturan Pasal 8 ayat (3) KUP dengan Pasal 13 ayat (1) KUP, bagaimana halnya apabila Wajib Pajak telah pernah menggunakan kesempatan Pasal 8 ayat (3) KUP, apakah dapat diterbitkan surat ketetapan pajak (dalam hal ini misalnya SKPKB) diwaktu berikutnya sebelum masa daluwarsa datang, apabila ya alasan serta dasar hukumnya apa ? dan apabila tidak apa ? Dalam kasus ini penulis berpendapat bahwa tidak tertutup dikemudian hari diterbitkan SKPKB manakala didalam pelaksanaan pembetulan melalui pengungkapan ktidak benaran Surat Pemberitahuan terdapat kesalahan yang bersifat formal yaitu sekedar rekonsiliasi pajak; e. Dan ketentuan-ketentuan yang lain. 1.3. Redaksi dalam pertanyaan terakhir yakni
“………pemeriksaan harus
dilakukan dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan,” mengandung maksud bahwa dalam hal Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban formal kewajiban perpajakan dengan baik, maka pemeriksaan hanya dapat dilakukan manakala kewajiban perpajakan materialnya ada data atau keterangan yang menimbulkan dugaan bahwa belum dilaksanakan dengan baik. Pemeriksaan pajak tidak dapat dilakukan hanya dengan alasan demi
Dgm
27
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
kepentingan diluar kerangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan misalnya demi kepentingan penerimaan kas negara, sebab alasan yang demikian ini hanya akan menimbulkan dampak ikutan yang lebih luas yang tidak mustahil berupa dampak yang negatip. Memang kemungkinan terjadi bahwa sebagai akibat pemeriksaan akan menimbul kan tambahan penerimaaan pada kas negara, akan tetapi dalam alam self assessment melakukan pemeriksaan dengan alasan demi kepentingan kas negara adalah suatu hal yang sulit untuk dibenarkan undang-undang. HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PEMERIKSAAN PAJAK Pengertian hak dan kewajiban
Berbicara tentang hak dan kewajiban maka khusus yang menyangkut hak Wajib Pajak maka Undang-Undang Pajak tidak mencamtumkannya, baik dalam batang tubuhnya ataupun dalam memori penjelasan yang ada. Disini stelsel undang-undang pajak seolah olah menempatkan Wajib Pajak di dalam pemeriksaan pajak adalah sebagai obyek pemeriksaan, padahal yang sebenarnya yang menjadi obyek pemeriksaan adalah Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak. Namun demikian apabila kita perhatikan dari pengertian pasal-pasal yang ada dan kebijaksanaan pemeriksaan yang ada maka hak-hak Wajib Pajak tersebut dapat disimpulkan. Mengapa demikian ? Karena pada dasarnya sebagian besar apa yang menjadi kewajiban pemeriksa adalah merupakan hak Wajib Pajak dan apa yang menjadi kewajiban Wajib Pajak pada dasarnya adalah hak pemeriksa. Sejauh yang dapat diambil tentang hak Wajib Pajak didalam pemeriksaan pajak antara lain adalah: a. Menanyakan identitas pemeriksa yang antara lain meliputi nama, pangkat, jabatan dan tanda pengenal sebagai pemeriksa pajak ; b. Menanyakan dan mendapatkan surat pemberitahuan tertulis bahwa dirinya akan diperiksa, serta menanyakan Surat Perintah Pemeriksaan yang bersangkutan; c. Menanyakan dan mendapatkan penjelasan sebagai alasan mengapa dirinya diperiksa ; d. Diberikan bukti permintaan peminjaman dan bukti peminjaman buku-buku atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau dokumen lain yang dipinjam oleh pemeriksa; e. Menanyakan dan mendapatkan penjelasan (kalau perlu secara tertulis) dari pemeriksa tentang pembukuan yang dianggap benar menurut pemeriksa,
Dgm
28
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
apabila pembukuan yang telah diselenggarakan dianggap tidak benar oleh pemeriksa pajak; f. Mendapatkan pemberitahuan secara tertulis atas temuan hasil pemeriksaan, dan diberi kesempatan untuk menjelaskan temuan dimaksud ; g. Mendapatkan jaminan atas kerahasiaan perusahaan. Penjelasan atas hak-hak Wajib Pajak.
Didalam praktek kadangkala pemeriksa yang tidak melakukan persiapan dengan baik, mereka akan mengalami kesulitan manakala Wajib Pajak menanyakan apa yang menjadi alasan dirinya diperiksa, sedangkan semua ketentuan formal perpajakan telah dilaksana- kan dengan baik tidak ada kekurangan. Oleh karena itu sebelum pemeriksaan dilakukan maka pemeriksa perlu melakukan persiapan dengan mencari kemungkinan-kemungkinan adanya pelaksanaan kewajiban material yang belum dilaksanakan dengan baik. Kemudian dari pada itu peminjaman buku-buku atau dokumen dan lain sebagainya serta koreksi perpajakan yang dilakukan pemeriksa hanya dapat dilakukan terhadap buku-buku atau dokumen yang ada bukti permintaan peminjamannya, atau adanya data diluar buku-buku atau dokumen yang dimaksud. Terhadap hak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf e maka pemeriksa perlu memberikan penjelasan secara tertulis,
walaupun permintaan penjelasan
dilakukan dengan secara tidak tertulis. Hal yang demikian penting agar pemeriksa tidak bertindak semena-mena dengan menyalahkan Wajib Pajak disatu pihak dan dipihak lain guna kepentingan Wajib Pajak didalam menghadapi kemungkinan pemeriksaan diwaktu-waktu yang akan datang. Begitu pula yang menyangkut pengertian “Kerahasiaan Wajib Pajak“, ini adalah merupakan delik aduan yang mana didalam delik aduan kedudukan korban adalah lemah, karena untuk mengadu mereka harus benar-benar tahu bahwa kerahasiaannya dilanggar oleh pejabat pajak dan ini bukan hal yang mudah. Oleh karena itu maka didalam kebijaksanaan pemeriksaan pajak Direktur Jenderal Pajak haruslah sangat hati-hati didalam menentukan pihak diluar Direktorat Jenderal Pajak untuk ikut melaksanakan pemeriksaan pajak, sekalipun dikemas dengan nama “Tenaga Ahli”. Pengertian tanaga ahli didalam pemeriksaan pajak adalah bukan untuk melaksanakan pemeriksaan pembukuan dari awal sampai akhir apalagi sampai menentukan besarnya pajak yang terutang, akan tetapi pemeriksaan atas kasus-kasus tertentu dalam pelaksanaan pemeriksaan atau halhal tertentu dalam pelaksanaan pemeriksaan yang belum atau tidak mungkin dapat
Dgm
29
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
ditangani pemeriksa pajak karena disana dibutuhkan keahlian khusus, misalnya menentukan rendemen suatu proses produksi barang-barang kimia, melakukan penilaian atas aktiva tetap (tanah dan bangunan tertentu) dan sebagainya. Ketentuan yang mengatur tentang kewajiban Wajib Pajak
Ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban pemeriksa pajak adalah sebagaimana diatur dalam: Pasal 29 ayat (3), yang berbunyi:
“ Wajib Pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen yang menjadi dasarnya dan lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau obyek yang terutang pajak; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; c. memberikan keterangan yang diperlukan. Melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 ketentuan ayat ( 3) ini ditambah dengan ayat (3a) yang menentukan bahwa “ kewajiban menyerahkan buku-buku, catatan atau dokumen yang diminta harus diserahkan dalam jangka waktu satu bulan sejak permintaan disampaikan,” dan ayat (3b) yang mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak secara jabatan, yang sebnarnya tidak pelu diatur disini karena bias dengan pengaturan di Pasal 13 ayat (1) dan juga bias dengan ketentuan pidana, yang seolah-olah undang-undang pajak mau dibawa kembali ke sistem official assessment. Kemudian Pasal 29 ayat (4) yang berbunyi sebagai berikut :
“ Apabila didalam pengungkapan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk mera-hasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). “ Kemudian Pasal 30 KUP yang bebunyi:
“ Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, bila Wajib pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b.” Memang cukup ironis bahwa kewajiban melayani jalannya suatu pemeriksaan diatur dengan begitu rinci dalam batang tubuh undang-undang disatu pihak, dilain pihak hak-hak Wajib Pajak dalam suatu pemeriksaan pajak sama sekali tidak diatur dalam batang tubuh undang-undang.
Dgm
30
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
Pembahasan :
a. Redaksi “…dan atau….,” dalam memperlihatkan dan atau meminjamkan…., mengandung pengertian bahwa dalam rangka pemeriksaan pajak Wajib Pajak dapat hanya memperlihatkan buku, catatan atau dokumen saja, tetapi juga harus memperlihatkan serta meminjamkan buku, catatan, dan atau dokumen kepada pemeriksa pajak. Masalahnya sekarang adalah, kapan hanya memperlihatkan saja dan kapan harus memperlihatkan dan meminjamkan buku, catatan serta dokumen yang dimaksud ? Dengan sendirinya manakala meminjamkan buku, catatan atau dokumen tersebut akan mengganggu aktivitas Wajib Pajak maka kewajiban meminjamkan tersebut ditiadakan, misalnya dalam pemeriksaan tahun berjalan apabila buku, catatan atau dokumen dipinjamkan justru dengan sendirinya akan menggangu aktivitas pembukuan yang diselenggarakan Wajib Pajak. Oleh karena itu pemeriksa yang memaksakan diri untuk meminjam buku, catatan serta dokumen yang mendukung pembukuan dalam rangka pemeriksaan tahun berjalan sama saja dengan mengingkari tugas pemerintahan didalam pengumpulan pajak. Dalam kasus yang demikian, pemeriksa tersebut bekerja asal kerja dengan tidak mamahami makna dan tujuan kerja, dan dapat dipastikan akan merusak sistem kerja yang sudah ada. b. Pengertian dokumen adalah: -
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan; dan atau
-
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas, atau obyek yang terutang pajak.
Dengan sendirinya dokumen-dokumen diluar yang tersebut dimuka adalah bukan merupakan kewajiban Wajib Pajak untuk memperlihatkan dan atau meminjam kan, namun demikian bukan berarti tidak boleh memeprlihatkan atau meminjamkan. Satu hal yang harus diperhatikan disini adalah bahwa pemeriksa pajak didalam menjalankan tugas adalah tidak sama dengan penyidik pajak yang dapat melakukan tindakan penggeledahan; c. Redaksi “….memberi kesempatan…..” dari ayat (3) huruf b, mengandung maksud bahwa kesempatan mana apabila diminta oleh pemeriksa. Apabila pemeriksa tidak meminta untuk dapat memasuki ruangan yang dimaksud maka Wajib Pajak tidak perlu menunjukkan semua ruangan yang ada didalam
Dgm
31
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
lingkungan kantornya. Pada dasarnya keteledoran, kesalahan dan bahkan mungkin kebidohan pejabat pemeriksa pajak adalah tidak etis apabila Wajib Pajak yang akan dipersalahkan. d. Redaksi memberi keterangan yang diperlukan, artinya keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa pajak. Jadi apabila pemeriksa pajak tidak meminta keterangan maka Wajib Pajak tidak wajib memberikan keterangan. e. Redaksi “….maka kewajiban merahasiakan itu ditiadakan……” mengandung maksud bahwa didalam pemeriksaan pajak kewajiban merahasiakan oleh Wajib Pajak tersebut ditiadakan manakala pemeriksa pajak meminta keterangan didalam pemeriksaan. Pengertian kewajiban merahasiakan tersebut adalah dalam kaitannya dengan sistem pencatatan bukan diluar itu. Misalnya kerahasiaan mencampur atau meramu saus didalam pembuatan rokok sehingga sedemikian rupa atas jenis rokok yang sama memiliki rasa yang sama, walaupun mungkin dibuat dalam jangka waktu yang berbeda dan dalam jumlah yang besar. Atau mungkin ramuan yang menyebabkan suatu makanan memiliki rasa yang khas berbeda dari yang lainnya. f. Penyegelan tempat atau ruangan hanya dapat dibenarkan apabila Wajib Pajak tidak bersedia memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan dimaksud bukan karena alasan lain. Kemudian dari pada itu penyegelan dilakukan haruslah sepengetahuan Wajib Pajak dan demikian pula pada saat pembukaan segel, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki. Yang harus diperhatikan disini adalah bahwa pemeriksa pajak tidak dibenarkan melakukan penggeledahan tempat atau ruangan dimana tempat pemeriksaan dilakukan. Kemudian dari pada itu perlu kami sampaikan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang sanksi terhadap pemeriksa pajak yangternyata tidak menjalankan tugas dengan baik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tambahan UU Nomor 28 tahun 2007 yaitu. Pasal 36A yang antara lain: Pasal 36A ayat (1) KUP:
“ Pegawai pajak yang karena kelaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenakan sanksi sanksi sesuai dengan ketentuan perundangundangan.”
Dgm
32
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
Redaksi tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dapat berarti merugikan keuangan negara atau Wajib Pajak. Apabila merugikan keuangan negara maka itu adalah urusan pimpinan masing-masing, namun apabila sampai merugikan Wajib Pajak merupakan delik aduan yang dapat dibawa ke masalah perdata maupun pidana; Pasal 36A ayat (2) KUP :
“ Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Depatemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbuktimelakukannya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Redaksi “ diadukan” mengandung arti bahwa kasus ini adalah merupakan delik aduan, dan pengadunya dapat pimpinan pegawai yang bersangkutan maupun Wajib Pajak yang merasa tidak puas akan tindakan pewagai pajak diluar kewenangannya tersebut. Pasal 36A ayat (3) KUP:
“ Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaiman dimaksud dalam Pasal 368 KUH Pidana.” Pasal 36A ayat (4) KUP:
“ Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukumdengan menyalagunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran,atau untuk mengerjakan sesuatu untuk dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.”
B. LATIHAN Setelah saudara mengikuti pembelajaran dan membaca Modul ini maka tugas berikutnya adalah mencoba menyelesaikan soal-soal latihan berikut ini: 1. Jelaskan kewajiban Wajib Pajak di dalam jalannya pemeriksaan pajak? 2. Jelaskan apa yang menjadi hak-hak Wajib Pajak didalam jalannya pemeriksaan pajak ?
Dgm
33
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
3. Apakah kewenangan memasuki semua ruangan dalam proses emeriksaan sama dengan penggeledahan, jelaskan jawaban saudara? 4. Apakah setiap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Lebih Bayar harus diperiksa ? ketentuan mana yang mengatur dan mengapa demikian? 5. Jelaskan pengertian anak kalimat terakhir dari redaksi Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi “………. Dalam rangka menentukan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.”!
C. R ANGKUMAN Sebagai rangkuman dari bagian dasar hukum pemeriksan pajak adalah sebagai berikut: 1. Dasar hukum dari pemeriksaan pajak adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang [Pasal 29 ayat (1) KUP] kepada Direktur Jenderal Pajak, artinya adalah suatu pelaksanaan tugas yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, bukannya berarti dapat sewenang-wenang; 2. Kewenangan tersebut dalam batang tubuh undang-undang dijabarkan sebagai suatu hal yang harus dilakukan misalnya Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dan suatu hal yang pelaksanaan pemeriksaan berdasarka suatu pemilihan berdasarkan data atau alat keterangan atau hasil penelitian misalnya misalnya Surat Pemberitahuan Kurang Bayar, Nihil atau Surat Pemberitahuan Wajib Pajak dengan kreterian tertentu [Pasal 17C ayat (1) KUP] atau Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu [Pasal 17D ayat (1) KUP]; 3. Obyek yang diperiksa adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak beserta penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan sebagai dasar pengisian Surat Pemberitahuan dan dokumen-dokumen lain yang endudkungnya; 4. Tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji pemenuhan kepatuhan kewajiban perpajakan dan ntuk tujuan lain sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangannya;
Dgm
34
Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak
5. Dalam proses pelaksanaan pemeriksaan pajak maka harus diperhatikan akan yang menjadi hak-hak Wajib Pajak, selain hak dan kewajiban Pemeriksa Pajak;
Dgm
35
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
IV. KB. 3 PRODUK DARI PEMERIKSAAN PAJAK A. URAIAN CONTOH Sebagaimana telah diuraikan dimuka bahwa tujuan dari pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, dengan sedirinya produk dari hasil pemeriksaan juga banyak tergantung sampai dimana pelaksanaan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut dilaksanakan. Di dalam undang-undang tidak dijelaskan tersendiri tentang derajat dari pemenuhan kepatuhan dalam kaitannya dengan tujuan pemeriksaan pajak. Akan tetapi apabila kita pahami dengan seksama sistematika dari ketentuan pasal-pasal yang ada maka dapat disimpulkan bahwa produk hasil pemeriksaan dapat berupa antara lain: I. USUL DITERBITKAN SURAT KETETAPAN PAJAK
Kemungkinan produk dari hasil pemeriksaan yang pertama, adalah berupa usulan untuk diterbitkannya surat ketetapan pajak, dan ini dapat berupa: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)-Pasal 13 ayat (1) KUP; atau b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)-Pasal 15 KUP; c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) – Pasal 17 dan 17B KUP; atau d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)- Pasal 17A KUP; atau e. usul tambahan yakni berupa Surat Tagihan Pajak (STP) Pasal 14 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f. Usulan produk tersebut huruf (a) yaitu SKPKB dan (b) yaitu SKPKBT ketentuan yang mengatur bersifat falkultatif artinya, tidak merupakan keharusan yang di dahului dengan kata “…dapat… .” Pengertian dari redaksi “..dapat…” adalah bahwa: penerbitan SKPKB atau SKPKBT adalah harus memenuhi ketentuan yang ada dan bukan merupakan suatu koreksi atau temuan adanya dugaan
Dgm
36
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
perbuatan
tindak pidana dibidang perpajakan sebagaimana dimaskud
dalam Pasal 38 dan Pasal 39 KUP; memberikan amanah kepada pemeriksa pajak untuk mencari produk lain dari temuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan undangundang – misalnya Pasal 8 ayat (3) KUP atau Pasal 38 KUP atau Pasal 39 KUP; Sedangkan usulan produk penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf (c ); huruf (d) dan huruf (e) adalah bersifat imperatif artinya, suatu hal yang harus dilakukan karena menyangkut hak dari Wajib Pajak (untuk SKPLB dan SKPN) dan juga kewajiban dari Wajib Pajak (untuk STP). 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Adapun perbedaan antara SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf a dan huruf c dengan SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d KUP adalah terletak di proses temuan dari hasil pemeriksaan itu sendiri. SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf a dan huruf c adalah SKPKB biasa, sedangkan SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d adalah SKPKB yang sebelum diusulkan untuk diterbitkan didahului dengan “tuduhan” atau “dakwaan” berupa pelanggaran Pasal 3 ayat (3) KUP atau pelanggaran Pasal 28 atau 29 KUP yang sebenarnya sudah masuk didalam kawasan perbuatan “Tindak Pidana Dibidang Perpajakan.” Oleh karena itu disini pemeriksa harus sangat berhati-hati, sebab apabila dakwaan atau tuduhan tersebut dapat dibuktikan tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) KUP, maka keputusan sengketa pajak atau putusan peradilan pajak dapat saja membatalkan surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan. Dan apabila ini sampai terjadi maka dapat saja menimbulkan gugatan “Tata Usaha Negara” yang berkelanjutan ke gugatan “perdata,” apabila Wajib Pajak memenangkan gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negaranya.. Kemudian dari pada itu maka penerbitan masing-masing SKPKB harus jelas disebutkan ketentuan yang mendasarinya karena apabila timbul sengketa pajak masing-masing diatur dengan tata cara yang berbeda;
Dgm
37
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
Sedangkan SKPKB sebagaimana dimaksud dalam huruf (e) adalah merupakan tambahan melalui UU Nomor 28 Tahun 2007 sebaqgai melengkapi ketentuan Pasal 2 ayat (4) KUP jo ayat (4a) KUP. Perbedaan antara masing-masing ketetapan didalam Pasal 13 ayat (1) adalah: Pasal 13 ayat (1) huruh a / cPasal 13 ayat (1) huruf b / d.1.Dasar Hukum nya * Penerbitannya :Pasal 13 (1) a/c * Penerbitannya :PasaL 13 (1) b/d * Perhitungannnya :Pasal 16 PPh * Perhitungannya :Pasal 14 ayat (5) atau Pasal 14 ayat (6) -(lama) (perhitungan untuk PPh OP/Bd.) (perhitungan untuk PPh OP/Bd.) 2. Sifat Ketetapan .
* Koreksi Surat Pemberitahuan biasa
* Ketetapan jabatan yi. yang didahului dengan dakwaan pelanggaran kewa jiban perpajakan
3.Dalam kasus timbul sengketa Pajak
* WP.memberikan sanggahan terha- * WP.membuktikan ketidak benaran dap perhitungan pemeriksa dan yakni ketidak benaran formal atau perhitungan menurut WP. ketidak benaran material.
2. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Demikian pula dengan SKPLB Pasal 17 dan Pasal 17B KUP, yang membedakan disini adalah sumber dari obyek pemeriksaan dilakukan. Dalam SKPLB Pasal 17 pemeriksaan dilakukan atas Surat Pemberitahuan Lebih Bayar karena tidak adanya klaim dari Wajib Pajak, artinya Surat Pemberitahuan yang semula bukan Lebih Bayar setelah dilakukan edit/ penelitian menjadi SPT Lebih Bayar. Sedangkan SKPLB Pasal 17B memang dilakukan dari pemeriksaan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu maka penerbitan SKPLB atas keduanya haruslah ditunjukkan dengan jelas akan ketentuan yang mendasarinya apakah SKPLB eks Pasal 17 atau SKPLB eks Pasal 17B, hal ini karena penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) atas kedua produk ini diatur berbeda – Pasal 11 ayat (2) KUP; Dgm
38
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
Perbedaan kedunya adalah sebagai berikut: SKPLB Pasal 17 KUP
SKPLB Pasal 17B KUP
a.Obyek pemeriksaan adalah SPT Lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran (misalnya SPT LB hasil edit).
a. Obyek pemeriksaan adalah SPT LB yg disertai dengan permohonan pengem balian kelebihan pembayaran.
b.Penerbitan surat ketetapan pajak tidak terikat dengan jangka waktu 12 (dua belas ) bulan sejak Surat Pemberitahuan disampaikan.
b. Penerbitan surat ketetapan pajak terikat dengan jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak disampaikannya SPT. LB.
c.Daluwarsa penerbitan surat ketetapan pajak adalah 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutang pajak, Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak berakhir.
c. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas ) bulan sejak SPT LB disampaikan belum diterbitkan surat ketetapan pajak maka permohonan kelebihan dianggap diterima, dan SKPLB harus diterbitkan paling lambat satu bulan sejak jangka waktu tersebut berakhir (Pasal 17 ayat (2) KUP).
d.Surat Perintah Membayar Pajak(SPMP) harus diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak Surat Permohonan Pengem balian diajukan Wajib Pajak setelah diterimanya SKPLB (Pasal 11 ayat (2) KUP.
d. Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) harus diterbitkan paling lambat satu bulan sejak SKPLB diterbitkan (Ps.17 ayat (3) jo ayat (2) KUP.
e.Keterlambatan penerbitan SPMKP pemerintah membayar bunga 2 % (dua persen) sebulan dihitung sejak satu bulan setelah Surat Permohonan Pengem balian sampai dengan saat penerbitan SPMKP(Pasal 11 ayat (3) KUP.
e. Keterlambatan penerbitan SPMKP pemerintah membayar bunga 2 % (dua persen) sebulan yang dihitung sejak satu bulan setelah penerbitan SKPLB sampai de-ngan penerbitan SPMKP (Ps.11 ayat (3) KUP)
II. USUL DILAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PAJAK
Kemungkinan kedua adalah berupa usulan untuk dilakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan. Dengan sendirinya sebelum dilakukan penyidikan dilakukan maka terlebih dahulu dilakukan pengamatan dan penyelidikan, dan andaikata hasil pengamatan adalah berupa dugaan pidana pelanggaran Pasal 38 KUP, maka Wajib Pajak dapat diberikan kesempatan untuk melakukan “pengungkapan ketidak Dgm
39
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
benaran” dari Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) KUP dengan membayar kekurangannya berikut dengan sanksi 150% (seratus lema puluh persen) dari jumlah yang kurang dibayar. Terhadap kesempatan yang telah diberikan tersebut apabila Wajib Pajak tidak bersedia mengungkapkan ketidak benaran dimaksud (mungkin Wajib Pajak yakin bahwa dirinya benar) maka penyidikan tindak pidana Pasal 38 KUP baru dilakukan. Maksud dari sipembuat undang-undang dalam kasus ini adalah demi kepentingan kas negara dilakukan percepatan masuknya uang pajak ke kas negara dengan tanpa menghukum Wajib Pajak yang kemungkinan dapat mengganggu penerimaan dimasa yang akan datang. Suatu pertanyaan timbul yakni, apakah suatu pengamatan dan penyelidikan kemungkinan tindak pidana dibidang perpajakan tersebut selalu harus didahului dengan tindakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) KUP? Jawabannya dengan sendirinya adalah tidak demikian. Pengamatan dan penyelidikan kemungkinan adanya tindak pidana dibidang perpajakan dapat saja dilakukan tanpa perlu melalui pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 29 ayat (1) KUP manakala data atau keterangan yang ada “sudah jelas” nyata-nyata menunjukkan akan adanya kemungkinan tindak pidana dimaksud.
Tetapi yang jelas, segala
tindakan terhadap Wajib Pajak haruslah jelas dasar hukumnya. Perlu diketahui bahwa terminologi “penyelidikan” adalah terminologi monopoli KUHAP yang hanya untuk aparatur Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), oleh karena itu dalam sistem hukum pajak dipergunakan “Pemeriksaan Bukti Permulaan.”
B. LATIHAN 1. Jelaskan perbedaan antara SKPKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf (a) dan (c ) dengan Pasal 13 ayat (1) huruf (b) dan huruf (d)? 2. Jelaskan bagaimana tata cara penerbitan SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf (e)? 3. Jelaskan perbedaan antara SKPLB produk pemeriksaan Pasal 17 KUP dengan SKPLB produk Pasal 17B KUP? 4. Jelaskan perbedaan antara Wajib Pajak dengan kreteria tertentu dengan Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu? Dgm
40
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
5. Apakah mungkin timbulnya novum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sama sekali tidak menimbulkan jumlah pajak yang terutang bertambah? Apabila tidak mungkin alasannya apa? Apabila mungkin produk pemeriksaannya apa?
C. R ANGKUMAN 1. Tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, oleh karena sebagai produk hasil pemeriksaan juga banyak tergantung dari sampai sejauh mana pemenuhan kepatuhan perpajakan tersebut dilakukan; 2. Salah satu bentuk usulan produk pemeriksaan adalah diterbitkannya Surat ketetapan pajak yang meliputi SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SPKN serta produk tambahan yaitu Surat Tagihan Pajak; 3. Dari beberap jenis usulan tersebut diatur dalam pasal-pasal yang bersifat falkultatif atau pilihan yaitu SKPKB dan SKPKBT dan yang bersifat imperatif atau keharusan yaitu SPKLB dan SPKN; 4. Bentuk usulan lain adalah Pembetulan Surat Pemberitahuan dengan cara Pengungkapan Ketidakbenaran terhadap Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan; 5. Produk terakhir dari temuan pemeriksaan adalah usulan untuk dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, karena adanya dugaan melakukan perbuatan tindak pidana pajak;
Dgm
41
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
V. TES FORMATIP Sebagai Akhir pembelajaran maka disini saudara diminta untuk mengejakan tes formatif untuk mengukur penyerapan pembelajaran yang sauadara peroleh.
Tes Formatif I.
1. Jelaskan perbedaan pengertian pemeriksaan yang dilakukan oleh para profesional dalam menjalankan tugas pemeriksaan menurut profesinya masing-masing? 2. Jelaskan kegiatan-kegiatan pemeriksaan pajak dalam rangka menghimpun dan mengolah data? 3. Jelaskan pengertian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan? 4. Berikan komentar saudara terhadap muatan yang ada dalam Pasal 28 ayat (7) KUP! 5. Jelaskan pertanyaan ini, mungkinkah pemeriksaan pajak dilakukan oleh mereka yang tidak tahu ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan?
Tes Formatif II 1.
Jelaskan pengertian “wewenang” dalam kalimat Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk……… .”? 2. Dalam sistem perpajakan yang menganut self assessment system suatu keanehan bahwa dapat terjadi perhitungan lebih bayar diakhir tahun. Coba jelaskan bagaimana terjadinya dan bagaimana pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang terjadi Lebih Bayar harus dilakukan? 3. Demikian pula suatu keanehan bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang pada dasarnya dikenakan pajak terhadap pertambahan nilai arus barang kena pajak atau jasa kena pajak dapat terjadi lebih bayar. Jelaskan bagaimana penanganan pemeriksaan klaim lebih bayar tersebut harus dilaksanakan?
Dgm
42
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
4 Jelaskan apakah ketentuan Pasal 31 tentang tata cara pemeriksaan tersebut telah diatur dan ditetapkan dengan baik? 5. Bagaimana hak-hak Wajib Pajak dalam proses pemeriksaan diatur dalam batang tubuh undang-undangnya?
Tes Formatif III.
1. Jelaskan pengertian “..dapat… “ dalam kalimat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebag aimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) KUP? 2. Bagaimana hubungan antara Pasal 12 ayat (3) dengan Pasal 13 ayat (1) KUP dimaksud? 3. Surat Pemberitahuan PPh Pasal 21 tahun pajak ’01 disampaikan pada tanggal 30 Maret ’02 dengan rincian sebagai berikut : Penghasilan Bruto Pegawai Tetap (sumber 1721 A)
:Rp.350.000.000,-
Penghasilan Bruto Pegawai Tidak tetap (sumber 1721B) :Rp.340.000.000,Penghasilan Bruto ( dari 10 peg. tetap dan 30 tak tetap) :Rp.690.000.000,Pajak Penghasilan Pasal 21
Rp.72.500.000,-
Dibayar
Rp.70.000.000,-
Kurang bayar (dilunasi)
Rp. 2.500.000,-
Terhadap Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan pemeriksaan dan hasil pemeriksaan melaporkan sebagai berikut : a. Jumlah Penghasilan bruto sama yakni
Rp.690.000.000,-
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang
Rp. 89.500.000,-
Terbitkan SKPB nya! b. Berbeda dengan contoh tersebut dimuka apabila hasil pemeriksaan : Penghasilan Bruto karyawan tetap
:Rp.375.000.000,-
Penghasilan karyawan tidak tetap
:Rp.360.000.000,-
Jumlah Penghasilan bruto
Rp.735.000.000,-
Pajak Penghasilan pasal 21 terutang
Rp.92.500.000,-
Terbitkan SKPKBnya!
Dgm
43
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
4. PKP A dan B menyampaikan SPT PPN bulan Juni ‘05 SPT Juni ’05
PKP. A
PKP. B
Pajak Keluaran
Rp. 2.000,-
Rp.2.000,-
Pajak masukan
Rp. 1.800,-
Rp.2.300,-
Kurang bayar/ (Lebih bayar) Rp. 200,Dilunasi/ (dikompensasikan) Rp.
( Rp. 300,-)
200,-
( Rp. 300,-)
Nihil
Nihil
a. Setelah dilakukan pemeriksaan, Laporan Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa jumlah pajak keluaran sudah benar, sedang besarnya Pajak masukan dilakukan koreksi berdasarkan peraturan perundang-undangan menjadi Rp.1.600,-. b. Laporan Hasil Pemeriksaan ternyata sebaliknya yakni Pajak Masukan telah benar dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dilakukan koreksi terhadap Pajak Keluaran misalnya menjadi Rp.2.500,-. Terbitkan SKPKBnya! 5. Wajib Pajak belum memiliki NPWP dan NPPKP dan tidak menyampaikan SPT. Dari alat keterangan yang ada per 20 Nopember ’01 diketemukan jumlah penyerahan untuk : Bulan April, Mei, dan Juni masing-masing Bulan Juli Jumlah
Rp.1.000 ,Rp.2.000,Rp.5.000,-
Pertanyaannya adalah langkah apa yang diambil pemeriksa pajak apabila : Pengusaha tersebut memang benar-benar tidak memungut PPN ? Pengusaha tersebut ternyata memungut PPN ? ( untuk mudahnya cara, anggap jumlah tersebut telah memenuhi syarat sebagai PKP).
Dgm
44
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
VI. UMPAN BALIK Setelah saudara membaca dan mempelajari Modul ini serta mengerjakan soal-soal latihan yang ada. Maka bersama ini kami berikan umpan balik sebagai rujukan jawaban soal yang diberikan. Apabila jawaban saudara telah baik (80%) benar maka saudara dapat meneruskan pembelajaran yang ada.
Umpan Balik I
1. Setiap profesional dalam bidang tugasnya selalu mengenal terminologi pemeriksaan, yang dengan sendirinya masing-masing berbeda di dalam pengertiannya. Yang membedakan pengertian pemeriksaan untuk masingmasing profesional antara lain adalah: a. Tujuan dilakukan pemeriksaan , sekalipun masing-masing profesional tersebut sama-sama melakukan pemeriksaan, misalnya dokter, hakim, jaksa, kepolisian, pengacara, dan lain-lainnya namun dipastikan tujuan pemeriksaan adalah berbeda sekalipun mungkin obyek yang diperiksa adalah sama. Seorang akuntan (baik akuntan publik maupun akuntan intern) dan juga Pemeriksa Pajak sama-sama memeriksa Laporan Keuangan yang sama namun tujuannya adalah berbeda. Akuntan Publik menilai kewajaran Laporan Keuangan sedangkan akuntan intern menilai sistem yang telah diterapkan, dan Pemeriksa Pajak menilai kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang tersurat maupun yang tersirat dari Laporan Keuangan tersebut serta mencari kemungkinan terjadinya tax fraude b. Subyek yang diperiksa adalah berbeda, kepolisian dan dokter yang diperiksa adalah manusianya sekalipun tujuannya adalah berbeda, sedang- kan pemeriksaan pajak subyek yang diperiksa bukan merupakan hal yang penting.
Dgm
45
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
Dalam pemeriksaan pajak subyek baru menjadi hal yang penting manakala ada dugaan perbuatan tindak pidana dibidang perpajakan c. Obyek yang diperiksa, sekalipun mungkin obyek yang diperiksa sama namun pendekatan didalam pemeriksaan tetap berbeda; d. dasar hukum pemeriksaan, sebagai dasar hukum pemeriksaan adalah tergantung dari tugas yang mendasar para profesional tersebut bekerja; e. tata cara pemeriksaan, masing-masing prfesional akan menerapkan tata cara pemeriksaan sejalan dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan serta disiplin ilmu yang ditekuninya; f. produk hasil pemeriksaan, masing-masing berbeda sejalan dengan tujuan dari pemeriksaan yang dilaksanakan oleh masing-masing profesional; jumlah nilai soal nomor 1 adalah masing-masing 2,5 atau total 15. 2. Kegiatan pemeriksaan pajak dalam rangka menghimpun dan mengolah data antara lain adalah mengevaluasi data, menganalisa, mentrasir kebenaran angkaangka, menguji kebenaran pisik, menjustifikasi atau membuat keputusan, merekonsiliasi dengan data lain, mengecek, memverikikasi data terebut, vaouching atau mengecek kebenaran pisik (keaslian data) dan keabsahan suatu data atau dokumen; (nilai -10) 3. Pengertian
kepatuhan
pemenuhan
kewajiban
perpajakan
pada
dasarnya
menyangkut dua aspek pemenuhan kewajiban yaitu: a. pemenuhan kewajiban material, yaitu melaksanakan perhitungan jumlah pajak yang
terutang
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan; dan nilai 5 b. pemenuhan
kewajiban
formal,
yaitu
penuhan
didalam
pelaksanaan
pembayaran atau penyetoran, dan pelaporannya; nilai 5 Total nilai soal nomor 3 adalah 10 4. Muatan yang terkandung dalam Pasal 28 ayat (7) KUP cukup membingungkan disamping suatu bentuk pengaturan yang berlebihan yang kemungkinan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Membingungkan terlihat dari redaksi “….sekurang-kurangnya….,” padahal yang dimaksud dengan pembukuan
Dgm
46
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
adalah memang sebagaimana diatur disitu yaitu sedemikian rupa sehingga dapat diketahui jumlah harta dan kewajiban serta modal (nilai 5). Kemudian berlebihan karena tidak semua rumah tangga perusahaan membutuhkan “Buku Pembelian” dan “Buku Penjualan”
(nilai 5) misalnya usaha-usaha yang bergerak
dibidang jasa (nilai 5). Pengaturan yang berlebihan ini dapat merugikan Wajib
Pajak manakala pemeriksa pajak berjiwa robot dengan pengetahuan pembukuan yang hanya seadanya, sekalipun tidak ada disebutkan dengan jelas kata “Buku”; ( jumlah nilai 15)
5. Pertanyaan ini cukup konyol, sebab bagaimana mungkin pemeriksaan pajak dilaksanakan oleh orang yang tidak tahu undang-undang pajak, sedangkan pemeriksa pajak didalam pemeriksaan adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jadi suatu hal yang tidak mugkin (nilai 5). Kemungkinan hanya terjadi apabila “orang dimaksud” berkedudukan sebagai tenaga ahli, bukan sebagai pemeriksa pajak (nilai 5). Jumlah nilai 10 Jumlah nilai soal latihan adalah 60 equivalent dengan 100.
Umpan Balik II
Setelah saudara membaca dan mempelajari bagian “Dasar Hukum Pemeriksaan” maka saudara diminta untuk mengerjakan soal-soal latihan. Dan berikut ini adalah umpan balik yang kami berikan. Apabila jawaban saudara banyak benarnya atau 80% (delan puluh persen) benar, maka saudara dapat melanjutnya ke bagian selanjutya. Namun apabila kurang kami sarankan untuk mengulang kembali. 1. Pengertian wewenang adalah suatu pelaksanaan tugas yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab (nilai 5), sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya ( nilai 5) -total nilai 10;
2. Logika umum dalam perpajakan yang menganut self assessment , khususnya untuk pajak penghasilan tidak mungkin terjadi lebih bayar (nilai 5), karena rumah tangga perusahaan pasti memperhitungkan arus dana likuiditasnya dengan baik (nilai 5). Adapun terjadinya lebih bayar karena adanya ketentuan
Dgm
47
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
yang menyimpang dari pengertian self assessment yaitu withholding tax atau pemotongan dan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga (nilai 5). Dalam
kasus-kasus khusus self assessment mungkin saja terjadi lebih bayar dalam hal: a. kondisi force mayeur diakhir tahun yang tidak sempat dilakukan perubahan pembayaran pajak dalam Masa Pajak, misalnya akibat kurs mata uang asing yang membebani perusahaan (5); atau b. mekanisme hukum yang tidak jalan, misalnya kemungkinan lebih bayar yang terjadi yang diantisipasi oleh Wajib Pajak dengan baik, tidak mendapat tanggapan dengan baik oleh Direktur Jenderal Pajak (5). Oleh karena pemeriksaan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar seharusnya dititik beratkan kepada dua kemugkinan kejadian tersebut dimuka guna perbaikan sistem pelayanan dibidang perpajakan (nilai 5). - Soal Nomor 2 ini nilai 30. 3. Demikian pula dalam kasus Pajak Pertambahan Nilai yang obyeknya pertambahan nilai arus barang kena pajak atau jasa kena pajak logikanya dalam kondisi normal tidak akan terjadi kelebihan pembayaran pajak (PK< PM),
kecuali terjadi tarip pajak dalam penyerahan dikenakan 0% (nol persen) misalnya ekspor (nilai 5). Dalam kasus ekspor maka pemeriksaan ditujukan kepada: a. Bukti Pemberitahuan Ekspor (PEB) dan dokumen-dokumen pendukung nya dan dilakukan konfirmasi dengan R/C penerimaan ekspor (nilai 5); b. Buku perolehan dan buku penyerahan yang dikonfirmasikan dengan Bk. Pembelian dan Bk. Penjualan baik ekspor maupun dalam negeri, serta dengan pihak yang melakukan penyerahan- Faktur PM (nilai 5); c. Dokumen-dokumen pemesanan dari pihak importir di Luar Negeri dan atau surat-surat penawaran yang terjadi serta persyaratan ekspor impor khususnya yang menyangkut pembayaran ( nilai 5); Jumlah nilai 20 4. Pasal 31 KUP yang diserahkan pengaturannya lebih lanjut oleh undang-undang kepada Menteri Keuangan adalah menyangkut tentang “tata cara pemeriksaan” artinya (nilai 5), menyangkut tentang tehnik pemeriksaan dan juga prosedure pemeriksaan agar terlaksanakan keseragaman, ketertiban, dan kesatuan tindakan
Dgm
48
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
didalam pelaksanaan pemeriksaan pajak (nilai 5). Sedangkan pengaturan selama ini melalui Keputusan Menteri Keuangan hanyalah menyangkut peristilahan umum, tujuan pemeriksaan, ruanglingkup dan jangka waktu pemeriksaa, norma dan pedoman pemeriksaan serta jenis-jeis pemeriksaan, serta hak dan kewajiban pemeriksa dan yang diperiksa dan sama sekali tidak diatur tentang tehnik dan prosedure pemeriksaan (nilai 15). Jumlah nilai 25 5. Dalam batang tubuh undang-undang sama sekali tidak ada satu ayatpun yang mengatur hak-hak Wajib Pajak (nilai 5). Disini undang-undang pajak seolah-olah menempatkan kedudukan Wajib Pajak adalah sebagai obyek pemungutan belaka (nilai 5), tidak nampak pengertian bahwa pelaksanaan kewajiban perpajkan adalah sebagai kewajiban kenegaraan (nilai 5).Jumlah nilai 15 Jumlah nilai soal latihan adalah 100 equivalent dengan 100.
Umpan Balik III.
1. Jelaskan pengertian “..dapat… “ dalam kalimat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) KUP? 2. Bagaimana hubungan antara Pasal 12 ayat (3) dengan Pasal 13 ayat (1) KUP dimaksud? 3. Surat Pemberitahuan PPh Pasal 21 tahun pajak ’01 disampaikan pada tanggal 30 Maret ’02 dengan rincian sebagai berikut : Penghasilan Bruto Pegawai Tetap (sumber 1721 A)
:Rp.350.000.000,-
Penghasilan Bruto Pegawai Tidak tetap (sumber 1721B) :Rp.340.000.000,Penghasilan Bruto ( dari 10 peg. tetap dan 30 tak tetap) :Rp.690.000.000,Pajak Penghasilan Pasal 21
Rp.72.500.000,-
Dibayar
Rp.70.000.000,-
Kurang bayar (dilunasi)
Rp. 2.500.000,-
Terhadap Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan pemeriksaan dan hasil pemeriksaan melaporkan sebagai berikut :
Dgm
49
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
a. Jumlah Penghasilan bruto sama yakni
Rp.690.000.000,-
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang
Rp. 89.500.000,-
Terbitkan SKPBnya!
b. Berbeda dengan contoh tersebut dimuka apabila hasil pemeriksaan : Penghasilan Bruto karyawan tetap
:Rp.375.000.000,-
Penghasilan karyawan tidak tetap
:Rp.360.000.000,-
Jumlah Penghasilan bruto
Rp.735.000.000,-
Pajak Penghasilan pasal 21 terutang
Rp.92.500.000,-
Terbitkan SKPKBnya! 4. PKP A dan B menyampaikan SPT PPN bulan Juni ‘05 SPT Juni ’05
PKP. A
PKP. B
Pajak Keluaran
Rp. 2.000,-
Rp.2.000,-
Pajak masukan
Rp. 1.800,-
Rp.2.300,-
Kurang bayar/ (Lebih bayar) Rp. 200,Dilunasi/ (dikompensasikan) Rp. Nihil
200,-
( Rp. 300,-) ( Rp. 300,-) Nihil
a. Setelah dilakukan pemeriksaan, Laporan Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa jumlah pajak keluaran sudah benar, sedang besarnya Pajak masukan dilakukan koreksi berdasarkan peraturan perundang-undangan menjadi Rp.1.600,-. b. Laporan Hasil Pemeriksaan ternyata sebaliknya yakni Pajak Masukan telah benar dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dilakukan koreksi terhadap Pajak Keluaran misalnya menjadi Rp.2.500,-. Terbitkan SKPKBnya! 5. Wajib Pajak belum memiliki NPWP dan NPPKP dan tidak menyampaikan SPT. Dari alat keterangan yang ada per 20 Nopember ’01 diketemukan jumlah penyerahan untuk :
Dgm
50
Produk dalam Pemeriksaan Pajak
Bulan April, Mei, dan Juni masing-masing Bulan Juli Jumlah
Rp.1.000 ,Rp.2.000,Rp.5.000,-
Pertanyaannya adalah langkah apa yang diambil pemeriksa pajak apabila : Pengusaha tersebut memang benar-benar tidak memungut PPN ? Pengusaha tersebut ternyata memungut PPN ? ( untuk mudahnya cara, anggap jumlah tersebut telah memenuhi syarat sebagai PKP).
Dgm
51