BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan struktur dan fungsi dari
sistem kardiovaskuler yang ditemukan pada saat lahir. Walaupun ada beberapa
abnormalitas yang terjadi sangat berat dan memerlukan penanganan segera
namun defek yang ringan akan tetap tidak tampak selama beberapa minggu,
bulan atau tahun bahkan tidak jarang akan tidak terdeteksi sampai usia
dewasa.1,2
Di Amerika penyakit jantung bawaan baik yang dikoreksi maupun yang
tidak diperkirakan meningkat 5% pertahun. Insiden penyakit jantung bawaan
diperkirakan sebesar 0.8%, dimana 85% diantaranya bertahan hidup sampai
dewasa.1
Penelitian telah menunjukkan bahwa defek genetik, faktor lingkungan,
masuknya toksin pada ibu dan penyakit ibu semua dapat berperan dalam
malformasi jantung. 2
Defek septum atrium (Atrial Septal Defect=ASD) merupakan kelainan
jantung bawaan yang paling sering terjadi. Kelainan jantung ini seringkali
baru diketahui pada pemeriksaan fisik rutin saat usia sekolah. Penyakit ini
2-3 kali lebih sering terjadi pada perempuan daripada pria. Sianosis dapat
timbul jika telah terjadi penyakit vaskuler paru (sindroma Eisenmenger).
Walaupun penderita ASD dapat hidup sampai dewasa tetapi resiko kematian
akan meningkat setelah usia 40 tahun.1,2,3
Penatalaksanaan defek septum atrium tergantung pada beberapa faktor
diantaranya gejala dan tanda yang ada, usia, ukuran defek, anatomi defek
dan ada tidaknya kelainan lain yang menyertai. Rehabilitasi medik diberikan
berdasarkan periode waktu yang tepat dimana bertujuan untuk mengoptimalkan
psikologi pasien, fungsi vokasional, juga mengurangi mortalitas dan
morbiditas penyakit jantung.4,5
BAB II
DEFEK SEPTUM ATRIUM
DEFINISI DAN MORFOLOGI
Defek septum atrium (Atrial Septal Defect=ASD) adalah tidak menutupnya
(defek) septum interatrial setelah lahir sehingga terjadi hubungan langsung
antara atrium kiri dan kanan.2
Berdasarkan lokasi defek ASD dikelompokkan menjadi :1,2
1. Defek septum atrium sekundum, bila defek terletak didaerah foramen
ovale. Tipe ini yang paling sering dijumpai (75%). Timbul karena resorbsi
berlebihan atau pembentukan yang tidak adekuat dari septum primum,
pembentukan yang tidak adekuat dari septum sekundum atau kombinasinya.
2. Defek septum atrium primum, bila defek terletak didaerah inferior dari
septum interatrial berdekatan dengan katup AV (merupakan bagian dari
defek septum atrioventrikular). Timbul karena kegagalan septum primum
menyatu dengan bantalan endokardial dan sering berhubungan dengan
pembentukan katup mitral dan trikuspid yang abnormal.
3. Defek sinus venosus, bila defek terletak dibagian septum atrium dekat
dengan masuknya vena kav kedalam atrium kanan sehingga terjadi gangguan
aliran vena pulmonalis dari paru-paru kanan ke atrium kanan. Timbul
karena absorpsi tidak lengkap dari sinus venosus pada atrium kanan.
4. Defek sinus koronarius. Tipe yang paling jarang, terjadi akibat adanya
gangguan pertumbuhan dinding inferior sinus koronarius dan atrium kiri.
INSIDEN
ASD relatif sering terjadi dengan insiden 1 dalam 1500 lahir hidup.1
dan >30% dari seluruh kelainan jantung bawaan. Dimana ASD sekundum lebih
sering terjadi pada perempuan dengan rasio 2:1 antara perempuan dan pria,
sedangkan pada tipe sinus venosus rasio 1:1.3
ETIOLOGI
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, terjadi akibat interaksi
genetik yang multifaktorial dan sistem lingkungan, sehingga sulit untuk
ditentukan satu penyebab yang spesifik.2
PATOFISIOLOGI
ASD sering tidak diketahui untuk 2 dekade pertama, diagnosis awal
sering didapatkan pada saat dewasa, kelangsungan pada saat dewasa adalah
penting, dengan angka harapan hidup semakin buruk pada pasien yang tak
diobati, yaitu dengan meningkatnya mortalitas sebesar 6% per tahun, setelah
usia 40 tahun. Gejala progresif dari palpitasi dan dispnea saat aktifitas
sering terjadi pada dewasa, dan disebabkan karena pembesaran jantung kanan,
hipertensi pulmonal, dan atrial aritmia.2
Pada kasus ASD mulanya karena tekanan di jantung kiri lebih besar dari
jantung kanan maka darah akan mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan
(left to right shunt) melalui defek interartrial baik saat sistolik maupun
diastolik. Defek akan semakin membesar seiring dengan bertambahnya usia.
Terkait ukuran defek dan jumlah darah yang mengalir ke atrium kanan lambat
laun akan terjadi perubahan resistensi pembuluh darah pulmonal dan
peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Hipertensi pulmonal ini menyebabkan
ventrikel kanan bekerja lebih berat dan akhirnya mengalami tidak saja
dilatasi tetapi juga hipertrofi. Sementara itu aliran darah sistemik
cenderung berkurang karena pengisian ventrikel kiri dari atrium kiri juga
berkurang. Apabila tekanan di pulmonal, ventrikel kanan dan arium kanan
meningkat suatu saat akan menyamai bahkan dapat melebihi tekanan di atrium
kiri maka darah dari atrium kiri akan mengalir ke atrium kanan hanya pada
saat sistolik dan pada saat diastolik darah akan berbalik ke arium kiri
dari atium kanan. Keadaan seperti ini disebut pirau bidireksional
(bidirectional shunt). Pada kasus yang sudah lanjut aliran darah akan
berbalik sepenuhnya ke atrium kiri pada saat sistolik maupun diastolik
(right to left shunt) sehingga penderita akan tampak sianotik dan
hipoksemia. Perkembangan yang lanjut ini dikenal sebagai Eisenmengerisasi
atau sindroma Eisenmenger.1,2,3
Gambar 1. ASD tipe ostium sekundum3
GEJALA KLINIS
Mayoritas bayi dengan ASD asimptomatik. Kondisi ini sering dideteksi
secara kebetulan dengan adanya murmur pada pemeriksaan fisik rutin saat
usia sekolah.6 Gejala mungkin akan muncul pada remaja usia belasan atau dua
puluhan atau dewasa. Gejala yang muncul berupa dyspne saat aktivitas,
fatique, dan seringnya menderita infeksi saluran nafas bawah berulang.1,3
Jika ASD yang terjadi besar, aliran darah arteri pulmonalis akan relatif
lebih besar dibanding aliran darah sistemik ([Qp/Qs]>2.0/1.0) sehingga akan
menyebabkan gagal jantung kongestif dan gagal berkembang.3 Gagal jantung
kongestif jarang terjadi pada anak-anak tapi mungkin 5% akan mengalami
gagal jantung pada tahun pertama kehidupan. Pada orang dewasa gejala yang
paling sering adalah kelelahan dan palpitasi karena takiaritmia atrium
akibat dari pembesaran atrium kanan. Gejala yang muncul akan berkembang
sesuai dengan bertambahnya usia (pada dekade keempat dan kelima). Sianosis
jarang ditemukan kecuali bila defek besar atau sindrom Eisenmenger.3
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan adanya pulsasi sistolik
yang teraba sepanjang parasternal kiri bawah menunjukkan adanya kontraksi
dari ventrikel kanan yang dilatasi. Bunyi jantung 2 lebar dan menetap (wide
fixed splitting pattern) adalah tanda (hallmark) dari ASD meskipun tidak
selalu ada. Adanya sistolik murmur pada sela iga 2 parasternal kiri tanda
peningkatan aliran darah yang melalui katup pulmonal. Murmur mid diastolik
juga akan terdengar pada parasternal kiri bawah karena peningkatan aliran
melalui katup tricuspid. Pada saat terjadi kegagalan ventrikel kanan
terjadi, dapat terdengar pansistolik murmur dari regurgitasi trikuspid.1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada X foto toraks, jantung biasanya membesar karena dilatasi atrium
dan ventrikel kanan, dan adanya penonjolan arteri pulmonalis dengan
peningkatan vaskularisasi paru (plethora). Pada foto lateral terlihat
daerah retrosternal terisi akibat pembesaran ventrikel kanan.1
Pada EKG dapat didapatkan adanya sinus ritme / atrial fibrilasi atau
flutter. Aksis QRS mengarah ke kanan pada ASD sekundum. Tidak adanya
gelombang P pada lead inferior mengindikasikan low atrial pacemaker dan
sering terlihat pada sinus venosus-defek superior vena cava yang terletak
pada area nodus sinoatrial. Hipertrofi ventrikel kanan sering dengan
pembesaran atrium kanan dan blok bundle kanan kompit atau inkomplit.
Interval PR memanjang dan aksis gelombang P abnormal. Pasien dengan tipe
ostium primum, deviasi aksis kekiri sering dan diduga karena pemindahan dan
hipoplasi fasikel anterior kiri.1,3
Echocardiography menunjukkan tipe, ukuran dari ASD, pembesaran atrium
dan ventrikel kanan, aliran transatrial, arah dan besar aliran (QP/QS)
serta perkiraan tekanan sistolik ventrikel kanan dapat terlihat dengan
Doppler.1
Kateterisasi jarang diperlukan namun sangat berguna untuk menilai
tahanan vaskuler paru, untuk mendiagnosa penyakit arteri koroner yang
terjadi bersamaan pada orang dewasa yang lebih tua dan melihat adanya
peningkatan saturasi oksigen di atrium kanan.1
PENATALAKSANAAN
Penutupan spontan ASD akan terjadi dalam tahun pertama kehidupan.
Bahkan defek yang cukup besar pada saat neonatus (< 7mm) akan berkurang
ukurannya dan tidak perlu intervensi dikemudian hari. Sehingga sebagian
besar pasien dengan ASD tetap aktif dan asimptomatis dan pembatasan
aktivitas tidak diperlukan. Keputusan untuk melakukan penutupan biasanya
dilakukan saat mereka akan memasuki usia sekolah. Indikasi dilakukan
pembedahan pada pasien asimptomatik ini jika rasio aliran darah
pulmonal/sistemik (Qp/Qs) 1.5:1 atau ASD terkait overload volume pada
ventrikel kanan, adanya dilatasi jantung kanan dan ASD yang signifikan yang
tidak menunjukkan tanda penutupan spontan (>5mm), hipertensi pulmonal
(tekanan arteri pulmonal >2/3 tekanan darah arteri sistemik).1
Tindakan penutupan dapat dilakukan apabila terdapat left to right
shunt (1.5:1) atau adanya reaktifitas arteri pulmonal terhadap pemberian
vasodilator pulmonal (oksigen / nitric oxide) 1
Penutupan ASD sekundum dapat dilakukan secara perkutaneus, dengan
menggunakan alat fluoroskopi dan TEE atau echo intrakardial sebagai
penuntun. Metode ini dapat dilakukan pada ASD sekundum dengan diameter
<41mm dan dengan tepi yang adekuat untuk pemasangan alat. Tehnik ini
relatif aman dan efektif, dengan komplikasi mayor <1% dan penutupan dicapai
>90%. Penutupan dengan alat (Amplatzer atau double umbrella) akan
memperbaiki status fungsional pasien simptomatik dan kapasitas latihan
pasien asimptomatik dan simptomatik.
ASD sinus venosus atau ostium primum atau ASD sekundum dengan anatomi
yang tidak sesuai tidak dapat dilakukan penutupan dengan alat. Tehnik lain
dengan melalui penjahitan langsung atau dengan patch perikard atau
sintetik.6 Anak atau dewasa muda yang sudah mengalami perubahan bentuk pada
jantung kanannya sering kembali normal setelah pembedahan.1,3 Prosedur ini
dilakukan melalui sternotomi digaris tengah tapi inframammary atau
minithoracotomy lebih disukai. Mortalitas pembedahan <1%. Tehnik ini akan
memperbaiki status fungsional dan kapasitas latihan pada pasien
simptomatik, memperbaiki harapan hidup dan mengeliminasi gagal jantung
kongestif terutama jika dilakukan saat usia muda. Namun pembedahan ASD
dewasa tidak akan mencegah fibrilasi atrium atau stroke terutama jika
dilakukan setelah usia 40 tahun.1,3
Keberhasilan penutupan defek septum atrium berkaitan dengan perbaikan
fungsional, peningkatan kemampuan latihan, terkadang disertai penurunan
ukuran jantung kanan dan penurunan tekanan intracardiac. Komplikasi dari
penutupan ASD seperti embolisasi, atrial aritmia, stroke, perforasi ruang
jantung. Pembentukan trombus yang terjadi berkaitan dengan resiko
tromboemboli.1,7
Pada anak-anak dengan defek sekundum dapat dilepaskan dari perawatan
setelah 6 bulan penutupan sempurna telah dikonfirmasi, baik merupakan
tindakan pembedahan atau menggunakan alat. Setelah penutupan menggunakan
alat, pasien memerlukan aspirin setidaknya 6 bulan dan profilaxis
endocarditis sampai alat melekat dengan endotel (tidak ada pirau residual)
setelah itu pasien tidak memerlukan pencegahan khusus / profilaxis
endocarditis. Pada pasien dewasa yang menjalani pembedahan atau pemasangan
alat, adanya aritmia sebelum dan sesudah operasi dan pasien dengan
disfungsi ventrikel harus tetap dibawah pengawasan kardiologi.1
PROGNOSA
Kematian selama 20 tahun pertama tidak sering tapi setelah usia 40
tahun mortalitas meningkat kira-kira 6 persen pertahun. Gagal jantung
kongesti yang paling sering menyebabkan kematian pada pasien yang tidak
dilakukan operasi. Penyebab lain adalah emboli atau trombosis pulmonal,
emboli paradoksikal, abses otak dan infeksi. Setelah operasi, komplikasi
yang mengancam kehidupan pada anak adalah jarang, namun aritmia atrium dan
perikarditis paska operasi sering dilaporkan. Prognosa jangka panjang untuk
harapan hidup normal dan kapasitas fungsional sangat baik. Sedangkan
kehamilan dengan sindrom Eisenmenger sangat di kontraindikasikan karena
mempunyai resiko mortalitas ibu 50% dan fetus 60%.1,2
BAB III
REHABILITASI MEDIK PADA DEFEK SEPTUM ATRIUM
Tujuan umum dari rehabilitasi adalah untuk mengoptimalkan psikologi
pasien, meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari, fungsi vokasional, juga
mengurangi mortalitas dan morbiditas penyakit jantung.4,8 Rehabilitasi pada
paska penutupan defek septum atrium pada dasarnya dibagi dalam 2 bagian
yaitu
1. Rehabilitasi sebelum operasi
2. Rehabilitasi setelah (paska) operasi
Rehabilitasi sebelum operasi
Bertujuan untuk mencegah physiologic deconditioning sehingga membantu
meminimalkan komplikasi paska operasi. Pasien dapat diberikan terapi fisik
dada, seperti, latihan pernapasan, incentive spirometri, dan tehnik
membersihkan jalan nafas. Pemberian oksigen melalui nasal kanul dapat
diberikan untuk menjaga saturasi oksigen diatas 90%. Pemberian latihan
lingkup gerak sendi pasif dan mobilisasi ringan dapat untuk menjaga tonus
otot dan mencegah kontraktur terkait berbaring di rumah sakit. Support
mental juga diperlukan untuk mengurangi ketakutan dan kecemasan sehingga
pasien lebih tenang untuk menjalani operasi. Untuk edukasi pasien atau
orang tua pasien khususnya pasien anak usia 3-12 tahun. Penjelasan yang
terlalu berlebihan justru akan menambah cemas dan stres sebelum
operasi.9,10
Rehabilitasi setelah operasi
Progam Rehabilitasi Medik. 11
"Tahap 0 "Latihan napas, gerak bebas anggota gerak atau kalau perlu"
" "latihan pasif, tidur dengan posisi enak untuk mengurangi "
" "keluhan. ADL dibantu. Perawat/ terapis menenangkan "
" "penderita yang gelisah, kalau perlu konsultasi psikolog/ "
" "psikiatris pada penderita yang gelisah atau dengan "
" "problem emosional lain. Tahap ini terutama untuk pasien "
" "dengan sakit berat, gagal jantung NYHA III/ IV, aritmia, "
" "IMA dengan komplikasi, dan lain-lain. "
"Tahap 1 "Latihan napas, latihan aktif anggota gerak (masing-masing"
" "2 – 4 gerak) 2 kali sehari. Tidur miring-miring atau "
" "setengah duduk dengan sandaran. ADL masih dibantu. "
"Tahap 2 "Duduk dengan sandaran di tempat tidur 3 kali 10 – 15 "
" "menit sehari, latihan napas dan anggota gerak sambil "
" "duduk atau baring. Makan dan minum dapat sambil duduk, "
" "kalau perlu dibantu. "
"Tahap 3 "Duduk sendiri di tempat tidur 3 kali 15 – 20 menit "
" "sehari, latihan napas dan anggota gerak pada posisi duduk"
" "ditambah latihan gerak leher dan kepala. ADL sambil duduk"
" "(makan, minum, cuci muka, gosok gigi, dll). "
"Tahap 4 "Duduk ongkang-ongkang di tepi tempat tidur 3 kali 10 – 15"
" "menit. Duduk di tempat tidur 3 kali 30 menit sehari. "
" "Latihan-latihan lain ditingkatkan. Untuk pria dapat turun"
" "dari tempat tidur untuk berkemih jika diinginkan. ADL ke "
" "kamar mandi diantar dengan kursi roda (masih dibantu). "
"Tahap 5 "Berdiri dan berjalan sekitar tempat tidur (+ 5 m) dua "
" "kali sehari. Latihan lain ditingkatkan, masih dalam "
" "posisi duduk. Makan minum dapat dengan duduk di kursi di "
" "samping tempat tidur. "
"Tahap 6 "Jalan dalam ruangan sejauh 10 m, dua kali sehari. Latihan"
" "lain tetap. ADL ke kamar mandi diantar dengan kursi roda,"
" "tapi sudah boleh mandi sendiri, masih perlu pengawasan. "
"Tahap 7 "Jalan sejauh 30 m dilanjutkan senam kalistenik sambil "
" "berdiri, terutama gerak lengan dan bahu. Ke kamar mandi "
" "jalan sendiri dengan pengawasan, ADL ditunggu diluarnya. "
"Tahap 8 "Jalan sejauh 100 m, latihan kalistenik ditambah "
" "pergerakan badan. ADL ke kamar mandi pengawasan dari jauh"
" "(pasien lapor kalau akan ke kamar mandi/ WC). "
"Tahap 9 "Jalan sejauh 300 m, kalistenik ditambah latihan gerak "
" "tungkai. ADL sendiri. Membaca yang ringan-ringan atau "
" "nonton T.V. "
"Tahap 10"Jalan sejauh 500 m, intensitas kalistenik ditingkatkan. "
"Tahap 11"Latihan naik turun tangga 1 tingkat (+ 20 – 25 anak "
" "tangga). Aktivitas dalam ruang/ kamar bebas tapi "
" "hati-hati. "
"Tahap 12"Low level / graded exercise testing dengan beban 60 – 70 "
" "% dengan ergocycle. "
Program rehabilitasi jantung pasca operasi dibagi menjadi 3 fase,
yaitu: Fase I (pasca operasi dalam perawatan rumah sakit [RS]), Fase II
(pasca perawatan RS/ outpatient), Fase III (fase pemulihan/ jangka panjang)
11
Fase I: Pasca Operasi dalam Perawatan di RS (7 – 14 hari).10,12
- Pasca bedah, di ICU, rehabilitasi dimulai segera sesudah pasien sadar
dari efek pembiusan dan lepas dari respirator. Dimulai dengan latihan
napas (breathing exercise [BE]) dan batuk (huffing) yang diulang 2 – 3
kali tiap jam selama pasien terjaga. Bila terdapat banyak lendir di
saluran napas atau paru, dapat dibantu dengan pengaturan posisi untuk
drainase sputum, tapping, perkusi, atau fibrasi. Beberapa saat
kemudian dilanjutkan dengan latihan Tahap I (latihan pasif dan aktif
anggota gerak [minimal latihan ankle pumping], tidur miring-miring
atau setengah duduk sandaran). Sementara ADL masih dibantu.
- Mulai hari kedua, latihan dapat dimulai dengan Tahap II latihan atau
terapi fisik dada (BE, latihan batuk dan postural drainage). Pada hari
ketiga, jika tidak ada komplikasi dapat dilanjutkan dengan Tahap III
dan IV. Dan pada hari keempat, pasien sudah mulai jalan sekitar tempat
tidur (bila drain dan lain-lain sudah dilepas). Hari kelima sudah
dapat dipindahkan ke ruangan (UPJ), disini rehabilitasi dilanjutkan
sampai Tahap XII). Pasien dapat dipulangkan pada hari keduabelas pasca
operasi bila tidak ada komplikasi.
- Selama program mobilisasi bertahap tersebut, juga diberikan edukasi
(tentang proses pemulihan pasca operasi jantung; perlunya mobilisasi
dan aktivitas fisik terprogram pasca operasi; pada pasien-pasien
dengan pemberian anti-koagulan pasca operasi, perlu diberi penjelasan
untuk tidak melakukan gerakan yang memungkinkan cedera pada sendi aatu
luka; serta edukasi diit dengan melibatkan anggota keluarga) dan
aktivitas rekreasional ringan (membaca, puzzle, dll).
- Bila terdapat gejala-gejala komplikasi seperti gagal jantung,aritmia,
dan gejala komplikasi lain, program rehabilitasi disesuaikan.
- Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum memulai suatu aktivitas/
latihan, selama aktivitas/ latihan, dan sesudahnya:(11)
Tekanan darah (TD):
Sebelum aktivitas/ latihan tekanan darah sebaiknya 180/ 120
mm Hg
Selama dan sesudah latihan kenaikanTD tidak boleh 200/ 130
mmHg dan TD sistolik tidak boleh 20 mm Hg dan jangan pula
turun 10 mmHg
Skala Borg's Rating of Perceived Exertion (RPE) 13
"Skore "Pengerahan Tenaga yang Dirasakan "
"6 " "
"7 "Sangat, sangat ringan "
"8 " "
"9 "Sangat ringan "
"10 " "
"11 "Agak ringan "
"12 " "
"13 "Agak sedikit berat "
"14 " "
"15 "Berat "
"16 " "
"17 "Sangat berat "
"18 " "
"19 "Sangat, sangat berat "
"20 " "
Frekuensi jantung (heart rate, HR):
Sebelum latihan aktif sebaiknya jangan 100 kali/menit dan
sebelum latihan pasif jangan 120 kali/menit atau jangan 50
kali/ menit (bradikardi)
Selama dan sesudah latihan jangan naik 20 kali/menit dan
jangan turun 10 kali/ menit
Pada HR yang tidak teratur (atrium fibrilasi) harus dihitung
jumlah pulse deficit (selisih HR dan denyut nadi) dalam 1 menit
penuh (dihitung secara bersamaan):
bila 20 kali/ menit jangan diberikan latihan aktif atau
mobilisasi jalan
bila 10 – 20 kali/ menit dapat diberikah aktivitas Tahap I
(Tabel 1), dan kemudian pada hari selanjutnya ditingkatkan
bila hemodinamik tetap stabil
Skala Borg's RPE (Tabel 2): bersama-sama target HR digunakan untuk
menentukan intensitas dan durasi aktivitas atau latihan. Aktivitas
dan latihan dapat ditingkatkan jika skala Borg < 14.
EKG dan gejala-gejala yang timbul akibat latihan/ aktivitas
- Sebelum pasien dipulangkan, perlu dibuat program rehabilitasi yang
dapat dilakukan di rumah (home program) untuk pasien-pasien yang biasa
atau dengan resiko rendah atau program aktivitas latihan di pusat
rehabilitasi rumah sakit bagi pasien-pasien dengan resiko tinggi atau
yang memerlukan pengawasan (monitoring) yang lebih intensif
(supervised training program).10
- Penentuan tingkat/ level aktivitas atau latihan sesuai dengan
kapasitas fungsional jantungnya dapat dilakukan berdasarkan pengamatan
terhadap pasien selama periode pasca operasi dan kriteria obyektif,
yaitu dengan suatu submaximum strest test atau low-level exercise
tolerance test (ETT) yang dilakukan sebelum pasien dipulangkan untuk
menilai respons fisiologis pasien terhadap usaha submaksimum
(submaximum effort), atau untuk menilai tingkat resiko pasien (pasien
dikatakan resiko tinggi jika timbul aritmia, iskemia miokard, dan
terjadi penurunan tekanan darah selama atau setelah ETT). Pasien-
pasien dengan (sebelum operasi) volume overload, regurgitasi katup,
dan pirau dari kiri ke kanan (left-to-right shunt) umumnya mempunyai
toleransi latihan yang baik. Sedangkan pasien dengan (sebelum operasi)
pressure overload, hipertensi pulmonal, stenosis katup dan right-to-
left shunt mempunyai toleransi latihan yang buruk, meskipun telah
dilakukan operasi, oleh karena itu untuk pasien dengan kondisi ini
perlu dilakukan pembatasan aktivitas atau latihan dan diterapkan
aktivitas dengan konservasi/ hemat energi. Pasien juga perlu diajarkan
untuk dapat melakukan self-monitoring.10
Fase II: Pasca Perawatan RS/ Outpatient (4 – 8 minggu)
- Untuk pasien biasa atau resiko rendah, dapat dilakukan dirumah dengan
self-monitoring. Sedangkan untuk pasien resiko tinggi atau yang
memerlukan intervensi dan monitoring yang intensif dilakukan di pusat
rehabilitasi (rumah sakit).13
- Pemberian program latihan bersifat individual dan secara periodik
dievaluasi dan diperbaharui, dengan pertimbangan pada:
Jenis latihan:13
Latihan untuk cardiovascular conditioning seharusnya isotonic,
ritmik, dan aerobik; dan menggunakan massa otot yang besar; serta
tidak menggunakan komponen isometrik. Latihan aerobik merupakan
jenis latihan yang baik bagi pasien-pasien dengan penyakit jantung,
karena latihan aerobik dapat meningkatkan endurance dan kapasitas
fungsional kardiovaskuler. Jenis latihan ini penting dalam
rehabilitasi jantung, karena dapat meningkatkan ADL dan kemampuan
yang berkaitan dengan pekerjaan pasien. Jenis latihan ini antara
lain: jalan, jalan cepat dan jogging; bersepeda (statik atau
bergerak); dan renang.
Intensitas:13
Intensitas latihan dapat ditentukan dengan menggunakan:
Metode American Heart Association (AHA): target HR 70 – 85 %
HR maksimum yang dicapai saat ETT atau 220 – usia pasien
Metode Karvonen: HR range dihitung dengan HR puncak saat ETT
dikurangi HR istirahat. Kemudian 40 – 60 % dari nilai HR range
ditambahkan pada HR istirahat untuk menentukan zona target HR
untuk latihan
Pengukuran konsumsi oksigen: 67 – 80 % dari konsumsi oksigen
maksimum yang didapat dari ETT (didapat dari penghitungan HR
dan pengukuran udara ekspirasi)
Metode beban kerja:
Intensitas latihan sebesar dua per tiga METs maksimal
yang dicapai dala ETT, atau
150 KPM (25 watts) lebih rendah dari level maksimum yang
dicapai dalam cycle ergometer stress test
Skala Borg's RPE: umumnya 11 – 15
Untuk pasien dengan obat-obat yang mempengaruhi HR (heart
rate-altering medication), aktivitas latihan sebesar 85 % dari
symptom-limited HR atau 70% - 90% dari beban kerja maksimum
yang dicapai dalam ETT, menghasilkan perubahan fisiologis yang
bermanfaat.
Durasi dan frekuensi latihan:
Durasi dan frekuensi tergantung pada tingkat kebugaran individu
dan intensitas latihan.
Durasi latihan yang umum dengan intensitas latihan sebesar 70 %
dari HR maksimum adalah 20 – 30 menit pada conditioning level.
Jika individu menginginkan intensitas yang lebih tinggi, maka
durasi latihan dikurangi menjadi 10 – 15 menit
Pada pasien dengan kondisi yang kurang baik, latihan harian 3 –
5 menit
Frekuensi latihan yang baik adalah tiga kali per minggu selama
12 minggu atau lebih
Format latihan: dimulai dengan aktivitas pemanasan dan diakhiri
aktivitas pendinginan (specific warm-up and cool-down activities)
Gejala-gejala yang menjadi peringatan (warning symptom) untuk
menghentikan latihan, misalnya: dispneu, fatigue, pusing, mual,
muntah, sinkop ataupun nyeri dada
Hindari latihan yang berlebihan, yang dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal, terutama pada pasien dengan pengobatan anti-
koagulan
Latihan lengan dan bahu dengan intensitas tinggi sebaiknya
dihindarkan selama 3 – 6 bulan setelah operasi (sternum-splitting
incision)
Evaluasi dengan ETT dapat dilakukan 4 minggu dan 6 minggu pasca
operasi.
Fase III: Fase Pemeliharaan/ Jangka Panjang13
- Setelah menyelesaikan aktivitas latihan formal dalam suatu program
rehabilitasi jantung (Fase II) selama kira-kira 12 minggu, pasien-
pasien dapat melanjutkan aktivitas conditioning fisiknya untuk
memelihara tingkat kebugaran optimal yang telah dicapai.
- Mereka dapat melanjutkan aktivitas latihan yang sama dengan tetap
berpedoman pada target HR atau skala Borg's RPE untuk mencegah
aktivitas yang berlebihan (overexertion)
- Latihan dapat dilakukan di rumah, Klub Jantung Sehat, atau pada tempat
kerja
- Untuk dalam memotivasi pasien dalam melanjutkan aktivitas latihan,
maka dianjurkan agar aktivitas latihan dijadikan bagian dari kegiatan
rekreasional individu
- Evaluasi dengan ETT dapat dilakukan pada bulan ke-3 dan ke-6.
Berdasarkan hasil tes ini dapat ditentukan kapasitas fungsional
jantung penderita saat itu, efektivitas obat yang diberikan,
kemungkinan terjadinya aritmia pada waktu latihan, kemungkinan
berkembangnya penyakit kardiovaskuler tersebut, kemungkinan perlunya
pemeriksaan lebih lanjut, ramalan prognosisnya di kemudian hari, dll.
Dari rangkuman hasil rehabilitasi dibuat program latihan di rumah dan
batasan aktivitas-aktivitas yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam
kurun waktu tertentu (biasanya 3 bulan).
Terapi okupasi.10
Terapi okupasi meliputi edukasi dan latihan meliputi :
a. Konservasi energi
Prinsip:
- Pacing (jeda saat aktivitas)
- Planning (perencanaan)
- Priority (prioritas)
- Positioning (posisi tubuh yg tepat)
- Relaxation (relaksasi atau kontrol pernafasan)
b. ADL
Latihan ADL sesuai prinsip-prinsip energi konservasi, misalnya :
"Mandi dan toileting "
"Kamar mandi dan toilet/WC sebaiknya dalam satu kamar "
"Toilet harus dekat dengan bak mandi "
"Menggunakan toilet duduk atau modifikasi duduk "
"Menggunakan shower waktu mandi atau selang "
"Mandi dengan duduk di bangku "
"Menggunakan long handle bath sponge "
"Melengkapi dinding kamar mandi dengan graps bar "
"dll "
"Berpakaian "
"Memakai atau melepas celana, kaos kaki, stoking, sepatu "
"dengan duduk "
"Memakai yang longgar, nyaman dipakai dan dari bahan yang "
"mudah dalam perawatannya "
"Memakai bra mengancingkannya di depan lalu diputar ke "
"belakang atau bra dengan model tanpa tali tapi dengan "
"kancing/ ritsluiting / velcrow didepan "
"Hindari pemakaian baju yang kancingnya di belakang "
"Lemari pakaian tidak boleh terlau tinggi atau terlalu rendah "
"Merapikan pakaian dengan setrika listrik di atas meja dan "
"dengan duduk di kursi "
"Akan bermanfaat jika menggunakan alat bantu seperti (sock "
"aid, reacher) "
"Mencuci "
"Mencuci dengan duduk "
"Menggunakan mesin cuci jika memungkinkan "
"Jangan mencuci terlalu banyak pakaian "
"Minta bantuan anggota keluarga untuk mencuci pakaian dari "
"bahan yang berat "
"Jemuran jangan terlalu tinggi yang melebihi tinggi kepala "
"Belanja "
"Membuat daftar barang belanjaan dan merencanakan tempat yang "
"akan dituju "
"Belanja untuk keperluan satu atau dua minggu "
"Minta bantuan penjaga toko atau anggota keluarga untuk "
"mengangkut barang belanjaan "
"Gunakan kereta dorong untuk mengumpulkan belanjaan "
"Belanja melalui telepon atau memesan barang untuk diantar "
"Memasak "
"Merencanakan menu masakan dan merencanakan urutan kegiatan "
"memasak "
"Mempersiapkan bahan-bahan yang akan dimasak dengan duduk "
"Menggunakan rice cooker jika memungkinkan "
"Menggunakan magic jar untuk menyimpan makanan hangat "
"Memasak dengan duduk "
"Mengontrol pernafasan dalam setiap gerakan aktivitass "
"Istirahat setelah melakukan satu tahap aktivitas "
c. Konseling masalah vokasional
d. Latihan relaksasi
BAB IV
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. Nur Khayati
Umur : 33 tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam.
Alamat : Rejosari RT 7 RW 3 Mororejo Kaliwungu
Semarang
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
No.CM : C573239
Ruang rawat : UPJ Wanita
Masuk RSDK : 10 Mei 2016
Tanggal periksa : 11 Mei 2016
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Mudah lelah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak awal 2016, pasien mengeluh sering merasa lebih cepat lelah.
Lelah dirasakan apabila pasien melakukan pekerjaan saat dirumah maupun
diwarung. Awalnya tidak terlalu dirasakan pasien. Lelah dirasakan berat
tetapi tidak dirasakan adanya sesak napas. Untuk aktivitas sehari-hari
pasien masih dapat melakukannya dengan mandiri dan tanpa keterbatasan.
Kurang lebih 3 bulan terakhir, Pasien mengeluh gejalanya semakin
berat. Pasien mulai mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari,
Pasien merasakan lelah jika berjalan > 25 meter, keterbatasan melakukan
pekerjaan rumah, dan berjualan di toko, Jika pasien merasakan lelah
pasien juga merasakan seperti sesak napas dan jantungnya seperti berdebar-
debar. Lelah dan jantung berdebar-debar akan dirasakan berkurang jika
pasien beristirahat. kemudian Pasien berobat di RSDK dan dilakukan
Echocardiografi. Kemudian pasien disarankan untuk menjalani operasi bedah
jantung.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya disangkal
Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
Riwayat kencing manis sebelumnya disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit jantung (-).
Riwayat tekanan darah tinggi (-)
Riwayat kencing manis (-).
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga, memiliki pekerjaan sampingan warung
dirumahnya, suami seorang sopir, dengan 2 anak yang belum mandiri. Biaya
pengobatan BPJS PBI.
Kondisi rumah pasien dinding tembok, luas 6x10m2, 1 lantai, lantai
sebagian keramik, wc rumah jongkok, tidak ada pegangan dan menggunakan
bak mandi. Terdapat trap-trapan ada di depan dan di dalam rumah,
penerangan baik.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Kesadaran komposmentis, kontak dan pengertian baik.
BB : 50 kg , TB : 158 cm , BMI : 20 (normal)
Tanda Vital : T : 110 / 80 mmHg.
N : 88x/menit.
RR : 20x/menit.
T : 360C (aksila).
Status mental : Orientasi baik, pola pikir realistik, kooperatif.
Kepala : Mesosefal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : Nafas cuping hidung (-), discharge (-).
Telinga : Nyeri ketok mastoid (-), discharge (-).
Mulut : Sianosis (-).
Leher : JVP R+2 cm H2O, pembesaran limfonodi leher (-),
trakea di tengah.
Thoraks :
Paru-paru : I : Simetris saat statis dan dinamis.
Pa : Stem fremitus kanan = kiri.
Pe : Sonor seluruh lapangan paru kanan dan kiri.
A : SD : vesikuler.
ST : wheezing -/- , ronkhi -/-.
Jantung : I : Iktus kordis tak tampak.
Pa : Iktus kordis teraba setinggi sela iga V
linea mid klavikularis sinistra.
Pe : Konfigurasi jantung melebar ke
caudolateral.
A : HR: 88x/menit, bising (+), gallop (-).
Abdomen : I : Datar, venektasi (-).
Pa : Supel,nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tak teraba.
Pe : Timpani,pekak alih (-).
A : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas : Superior Inferior
D/S D/S
Akral dingin -/- -/-
Udem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Trofi eutrofi/eutrofi eutrofi/eutrofi
Kekuatan 5/5 5/5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG (11 Mei 2016)
Kesimpulan : atrial fibrilasi, Complete Right Bundle Branch Block, Right
ventricular hyperthrophy
X-foto thorax (11 Mei 2016)
Klinis : ASD
COR : CTR >50%
Apeks jantung bergeser ke laterocranial
Batas jantung bergeser ke lateral kanan
Penonjolan conus pulmonalis
Pulmo : corakan vaskular tampak normal
Tak tampak bercak pada kedua lapang paru
Tampak penebalan hilus kanan ( cenderung struktur vaskular
Sinus kostofrenikus kanan lancip, kiri suram
Kesan
Cardiomegaly (right ventrikular, right atrium) disertai penonjolan
conus pulmonalis
Pulmo tak tampak kelainan
Echocardigrafi (21 April 2016)
Dimensi ruang jantung : LA, RA RV dilatasi
Sinus solitus, AV-VA concordance, all PV to LA
LVH (-) globar normokinetik, gerakan septum paradox
LV D-shape (+) IVS intak, trombus (-) efusi pericardial (-)
Dilataasi MPA, LPA, dan RPA
ASD sekundum 40-45 mm bidirektional shunt
Fungsi sistolik LV baik dengan LVEF 67% (Teichz)
Fungsi diastolik LV disfungsi gr II (pseudonormal) dengan E/A 1.11 E/e
12,8
Fungsi sistolik RV baik dengan TAPSE 29mm
Katub-katub:
o AoV : 3 kuspis, baik
o MV : MR moderate, MVP
o TV : TR moderate (VC 6mm, TR max PG 50mmHg, RAP 10mmHg)
o PV : PR mild
o PH : likelyhood PH
Kesimpulan :
Dilatasi LA, RA, RV, LV –D Shape
Dilatasi MPA, LPA dan RPA
ASD sekundum 40-45 mm bidirectional shunt
Fungsi sistolik LV baik LVEF 67% (Teinchz)
MR moderate, MVP, TR moderate, PR mild, PH likelyhood
Laboratorium hematologi (10 mei 2016)
"Tanggal "10/5/2016"Nilai normal "
"Hb "14.1 "12-15 gr% "
"Ht "33.1 "35-47 % "
"Eritrosit "3.7 "4,4 – 5,9 jt/mm3 "
"MCH "29.1 "27-32 pg "
"MCV "88.5 "76-96 fl "
"MCHC "32.9 "29-36 g/dl "
"Lekosit "6.7 "4-11rb/mm3 "
"Trombosit "330 "150-400rb/mm3 "
"Protein Total "5.6 "6.4-8.2 g/dl "
"Albumin "4.2 "3.4-5.0 g/dl "
"Ureum "30 "15-39 mg/l "
"Kreatinin "1.3 "0,6–1,30 mg/dl "
"Magnesium "1,23 "0.74 – 0.99 mmol/L "
"Calsium "2.4 "2.12 – 2.52 mmol/L "
"Phosphat organik"4.5 "2.4-5.1 mg/dL "
"Natrium "137 "136-145 mmol/L "
"Kalium "3.7 "3,5-5,1 mmol/L "
"Chlorida "101 "98-107 mmol/L "
"HbsAg "0.0 " "
"PPT "9.8 "9.4-11.3 detik "
"PTT kontrol "10.9 " "
"PTTK "30.1 "23.4-36.8 detik "
"APTT kontrol "12.9 " "
V. DIAGNOSIS
Klinis : Mudah lelah, Jantung berdebar
Anatomi : Defek septum atrium
Etiologi/faktor resiko : Kongenital.
Diagnosa fungsional :
Body function and stuctures: defek septum atrium, Post ASD Closure,
Activity: Keterbatasan ADL ( berjalan > 25 meter, naik turun tangga,
lelah saat mandi menggunakan gayung )
Participation: kesulitan dalam menjalankan toko sebagai usaha sampingan
pasien.
Faktor lingkungan: WC jongkok tanpa pegangan, kamar mandi masih
menggunakan bak.
VI. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa :
Digoxin 0,125g / 12 jam
Furosemid 40 g / 24 jam
Spironolacton 25 gr/24 jam
Lanzoprazol 30 gr/24 jam
b. Tindakan pembedahan : ASD Closure (12 Mei 2016)
c. Rehabilitasi Medik
Fisioterapi
Breathing exercise, + voldyne (target 1750 cc)
Latihan batuk efektif
Aktif ROM exercise
Edukasi pre dan post ASD Closure
Psikologi
Support mental bagi pasien agar tidak takut menghadapi operasi.
Terapi okupasi
Latihan peningkatan kemampuan AKS paska penutupan defek septum atrium
Edukasi untuk melakukan konservasi energi
Sosial Worker
Evaluasi sosial ekonomi
VII. FOLLOW UP
"13 Mei 2016 "FT: "
"H+1 pasca ASD Closure "Breathing exercise "
"KU : lemah "Pasif ROM exercise "
"Keluhan : nyeri luka paska "Mobilisasi miring-miring "
"operasi (+) " "
"TD : 147/54 mmHg " "
"N : 63 x/ menit " "
"RR : 17 x/ menit " "
"T : 36,8 0C " "
"SpO2 : 100% " "
"14 Mei 2016 "Rencana pindah HCU "
"H+2 pasca ASD Closure "FT: "
"KU : sedang, komposmentis "Breathing exercise "
"Keluhan : nyeri luka paska "Latihan batuk efektif "
"operasi ( ) "Aktif ROM exercise "
"TD : 110/80 mmHg "Mobilisasi ½ duduk 600-900 "
"N : 78 x/ menit " "
"RR : 20 x/ menit " "
"T : 36,5 0C " "
"SpO2 : 100% " "
"15 Mei 2016 "FT: "
"H+3 pasca ASD Closure "Breathing exercise "
"Keluhan : (-) "Latihan batuk efektif "
"KU : sedang, komposmentis di HCU "Aktif ROM exercise "
"TD : 120/63 mmHg "Mobilisasi duduk tegak "
"N : 80 x/ menit " "
"RR : 20 x/ menit " "
"T : 36,5 0C " "
"SpO2 : 100% " "
"16 Mei 2016 "Rencana pindah ruang perawatan "
"H+4 pasca ASD Closure "biasa "
"KU : baik, komposmentis di HCU "FT: "
"Kel : (-) "Breathing exercise "
"TD : 110/71 mmHg "Latihan batuk efektif "
"N : 68 x/ menit "Aktif ROM exercise "
"RR : 20 x/ menit "Mobilisasi duduk di tepi tempat "
"T : 36,5 0C "tidur, ongkang-ongkang "
"SpO2 : 100% " "
"17 Mei 2016 "FT: "
"H+5 pasca ASD Closure "Breathing exercise, voldyne 500cc"
"KU : baik, komposmentis di ruang "Latihan batuk efektif "
"perawatan biasa "Aktif ROM exercise "
"Kel : (-) "Mobilisasi berdiri di samping "
"TD : 143/70 mmHg "tempat tidur – berjalan disekitar"
"N : 85 x/ menit "tempat tidur "
"RR : 16 x/ menit " "
"T : 36,5 0C " "
"SpO2 : 100% " "
"18 mei 2016 "FT: "
"H+6 pasca ASD Closure "Breathing exercise, voldyne 750cc"
"KU : baik, komposmentis di ruang "Latihan batuk efektif "
"perawatan biasa "Aktif ROM exercise "
"Kel : (-) "Mobilisasi berjalan di sekitar "
"TD : 126/63 mmHg "tempat tidur – berjalan 25 meter "
"N : 60 x/ menit " "
"RR : 18 x/ menit " "
"T : 36,5 0C " "
"SpO2 : 100% " "
"19 mei 2016 "FT: "
"H+7 pasca ASD Closure "Breathing exercise, voldyne "
"KU : baik, komposmentis di ruang "1100cc "
"perawatan biasa "Latihan batuk efektif "
"Kel : (-) "Aktif ROM exercise "
"TD : 110/60 mmHg "Mobilisasi berjalan 50 meter – "
"N : 86 x/ menit "100 meter "
"RR : 22 x/ menit " "
"T : 36,5 0C " "
"SpO2 : 100% " "
"20 mei 2016 "Rencana pulang "
"H+8 pasca ASD Closure "FT: "
"KU : baik, komposmentis di ruang "Breathing exercise, voldyne "
"perawatan biasa "1400cc "
"Kel : (-) "Latihan batuk efektif "
"TD : 120/60 mmHg "Aktif ROM exercise "
"N : 72 x/ menit "Mobilisasi berjalan 100 meter "
"RR : 20 x/ menit " "
"T : 36,5 0C " "
"SpO2 : 100% " "
DAFTAR PUSTAKA
1. Webb GD, Smallhorn JF, Therrien J, Redington AN. Congenital Heart
Disease. In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P. Heart Disease, A Textbook of
Cardiovascular Medicine, 8th ed, W.B. Saunders Co., Philadelphia, 2008:
1561-1624.
2. Fuster, Walsh, Harrington. Hurst's The Heart, 13th ed, McGraw-Hill,
2011:2578-80.
3. Berg. David. Atrial Septal Defect. In: Lilly L. Pathophysiology of heart
disease,Lippincott Williams & Wilkins, 2011: 370-371
4. Tan JC. Cardiac Problems. In: Tan JC. Practical Manual of Physical
Medicine and Rehabilitation, Mosby, 1998: 708-723.
5. Thaulow E, Fredriksen PM. Exercise and Training. In: Gatzoulis MA, Webb
GD, Daubeney PEF. Diagnosis and Management of Adult Congenital Heart
Disease, Churchill Livingstone, 2003: 145-9.
6. Howell BA. Thoracic Surgery. In: Campbell SK, Linden DWV, Palisano RJ.
Physical Therapy for Children, WB Saunders, Philadelphia, USA, 1995: 737-
60.
7. Prasad SA, Main E. Paediatrics. In: Pryor JA, Prasad SA. Physiotherapy
for Respiratory and Cardiac Problems Adults and Paediatrics, Churchill
Livingstone, London, 2002: 425-69.
8. Pollock ML, Wilmore JH. Prescribing Exercise for Rehabilitation of the
Cardiac
Patient. In: Pollock ML, Wilmore JH. Exercise in Health and Disease,
2nd ed,
W.B. Saunders Co, Philadelphia, 1990: 485-620.
9. State MW, Perloff JK. Psychiatric and Psichosocial Disorders. In:
Perloff JK, Child JS. Congenital Heart Disease in Adults, 2nd ed, WB
Saunders Philadelphia, 1998: 227-35.
10. Moldover JR, Bartels MN. Cardiac rehabilitation. Dalam: Braddom RL.
Editor. Physical medicine & rehabilitation. Philadelphia : WB Saunders,
1996: 649 – 69
11. Trimulyani N. Rehabilitasi Medik di UPJ RS Dr Kariadi Semarang. Kongres
Nasional II Ikatan Dokter Ahli Rehabilitasi Medik Indonesia.
Semarang,1991: 18-20.
12. Ranawati A. Rehabilitasi medik pra dan pasca torakotomi. Dalam: Makalah
pelatihan rehabilitasi medik kardiorespirasi wilayah indonesia timur.
Bandung: RS Hasan Sadikin, 2002.
13. Flores AM, Zohman LR. Rehabilitation of the cardiac patient. In: DeLisa
JA, Gans BM, eds. Rehabilitation medicine principles and practice. 3rd
ed. Philadelpjia: J.B. Lippincott company, 1998: 1337 - 57.