REFERAT
KEJANG
DISUSUN OLEH: Wilson William 406148108
PEMBIMBING: dr. Susatyo Pramono Hadi, Sp. S
KEPANITERAAN ILMU SARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. LOEKMONO HADI KUDUS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA PERIODE 18 MEI - 20 JUNI 2015
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Wilson William
NIM
: 406148108
Fakultas
: Kedokteran
Universitas
: Universitas Tarumanagara Jakarta
Tingkat
: Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan
: Ilmu Penyakit Saraf
Periode Kepaniteraan : 18 Mei 2015 – 20 Juni 2015 Judul referat
: Kejang
Kudus, Mei 2015 Pembimbing Bagian Ilmu Saraf RSUD Kudus
dr. Susatyo Pramono Hadi, Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa atas seluruh bimbingan dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis sanggup menulis dan menyelesaikan referat berjudul “KEJANG“ dengan baik dan tepat waktu. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus periode 18 Mei 2015 – 20 Juni 2015. Dalam penulisan referat ini, penulis telah mendapat bantuan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Direktur Rumah Sakit RSUD Kudus yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan kepaniteraan ilmu saraf di RSUD Kudus.
2.
dr. Susatyo Pramono Hadi, Sp. S, dokter pembimbing yang telah menyediakan waktu, bimbingan, dan ilmu pengetahuan selama penulisan referat ini.
3.
dr. Slamet Trijono, Sp. S dan dr. Satya Gunawan, Sp. S, dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis selama menjalankan kepaniteraan di RSUD Kudus.
4.
Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan referat ini.
Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca.
Kudus, Mei 2015
Penulis
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Kejang didefinisikan sebagai kejadian mendadak berupa terganggunya kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan otonom yang sifatnya involunter dan berlangsung secara intermiten. Kejang disebabkan karena cetusan listrik abnormal, berlebihan,dan hipersinkron dari sekelompok sel-sel saraf kortikal.2 Definisi klasik dari epilepsi mengacu pada kejang terus menerus atau berulang yang berlangsung lebih dari 30 menit tanpa pemulihan kesadaran. Selama kejang, aliran darah otak, oksigen, konsumsi glukosa, karbon dioksida dan produksi asam laktat meningkat. Kejang singkat jarang menghasilkan dampak pada otak. Sedangkan pada kejang yang berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis metabolik, hiperkalemia, hipertermia, hipoglikemia, dan kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan neurologis permanen.3 Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis, ketidakseimbangan elektrolit, dan overdosis obat.4 Meskipun penyebab dari kejang beragam namun pada fase awal tidak perlu untuk melabelnya masuk pada kelompok mana, karena manajemen jalan nafas dan penghentian kejang adalah prioritas awal pada pasien dengan kejang aktif.2 Salah satu bentuk kejang yang sering dijumpai pada anak adalah kejang demam. Kejang demam adalah kejang disertai demam (suhu ≥ 100.4° F atau 38°C), tanpa infeksi sistem saraf. Kejang demam diklasifikasikan sebagai simpleks atau kompleks. Kejang demam simpleks didefinisikan sebagai kejang yang terjadi setelah demam yang berlangsung selama kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam kompleks didefinisikan sebagai kejang fokal, berlangsung lebih dari 15 menit, dan atau berulang dalam waktu 24 jam.3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan akibat pelepasan aktivitas listrik berlebihan di otak5. Epilepsi adalah kondisi dimana terjadi kejang berulang karena ada proses yang mendasari tanpa provokasi dan biasanya tidak terduga 6. Intractable seizure adalah kejang dimana penggunaan obat - obatan tidak cukup kuat untuk menangani kejang 7. Status epileptikus adalah kejang yang lebih dari 30 menit atau berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.7
2.2.
Klasifikasi Kejang Kejang dapat diklasifikasikan menjadi6 : 1. Kejang parsial Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu hemisfer serebri (pada daerah yang terbatas dan terlokalisir di korteks). Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada seseorang yang mengalami kejang. Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi : a) Kejang parsial simpleks Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering ditandai dengan perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan abnormal dari sensorik, autonom, dan psikis. Biasanya sering pula timbul gejala atau sensasi awal dari kejang (Aura) yang terdiri dari rasa tidak nyaman pada epigastrium,ketakutan,dan halusinasi.
b) Kejang parsial kompleks Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang ini diakibatkan penyebaran cetusan pada jaringan otak secara bilateral,kearah basal pada bagian frontal dan
sistem limbik. 80% kejang ini berasal dari lobus temporal dan sisanya dari lobus frontal serta occipital. Pada saat kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali disertai mual dan muntah. c) Kejang parsial dengan kejang umum sekunder Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik. 2. Kejang Umum Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan kedua hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang umum dapat dikelompokkan menjadi : 1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure) Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering terjadi. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba, namun pada beberapa kasus kejang ini didahului oleh aura (motorik atau sensorik). Aura nya terdiri dari ansietas,irritabilitas,penurunan konsentrasi dan rasa sakit pada kepala. Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran selama episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang berhenti. 2. Kejang tonik Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Pada hal ini tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot yang progresif. 3. Kejang klonik Kejang klonik ditandai dengan gerakan yang menyentak,repetitif,tajam,lambat. 4. Kejang mioklonik Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan menyentak,involunter,mendadak,dan cepat. Kejang tipe ini dapat terjadi hingga ratusan kali per hari.
5. Kejang atonik Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba (drop attack). 6. Kejang absens Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik secara tiba – tiba, kehilangan kesadaran sementara secara singkat yang disertai dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Sedangkan pada kejang absens atipikal ditandai dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai dengan perubahan kesadaran7. 3. Kejang tak terklasifikasi Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial.6 2.3.
Etiologi dan Faktor resiko Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan
ekstrakranial. 1. Intrakranial Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, trauma kepala, dan perdarahan intracranial. 2. Ekstrakranial Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme seperti hipoglikemia,
hipokalsemia,
hepatik
ensefalopati,
uremia,
hiperproteinemia,
hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke otak9.
Faktor resiko : Trauma kepala,stroke,ensefalitis virus,alkohol,Alzheimer,ketidakseimbangan elektrolit,meningitis,cedera kepala sedang,tumor,gangguan metabolik,infeksi sistim saraf pusat,anomali kongenital,penyakit serebrovaskular,penyakit degeneratif.
2.4.
Patofisiologi a) Kemampuan membrane sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan. b) Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA). c) Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmitter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi berulang.
2.5.
Diagnosis 2.5.1. Anamnesa 1. Kejadian Pre-Iktal Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian sebelum episode kejang terjadi : Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti keadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya? Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau – bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara – suara, mual, merasa ketakutan dan sebagainya? Apa yang dilakukan sesaat sebelum kejang terjadi? Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang mengkonsumsi obat – obatan tertentu? Apakah sedang menderita penyakit tertentu? Apakah sedang demam sebelum kejang terjadi? Apakah pernah mengalami kejang sebelumnya? Jika pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi? Jika pernah mengalami kejang, apakah berobat rutin dan mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur? Apakah pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala, beberapa jam atau hari sebelum kejang? 2. Kejadian saat kejang Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian saat episode kejang terjadi : Berapa lama kejang berlangsung? Seperti apa bentuk kejang yang terjadi? Apakah kehilangan kesadaran saat kejang? Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang terjadi?
Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah tetap sadar atau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi? 3. Kejadian post – iktal Apakah langsung sadar setelah kejang berhenti? Apakah merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau tampak seperti tidak terjadi apa – apa? Apakah mengingat kejadian saat kejang berlangsung? 2.5.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda – tanda vital yang diperiksa meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh. Periksa kepala juga dilakukan untuk menilai apakah ada kelainan bentuk, tanda – tanda trauma kepala, serta tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher untuk melihat terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan. 2.5.3. Pemeriksaan Penunjang Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis pasien yang tepat sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga dapat membantu dalam mempertajam diagnosis dari kejang tersebut. Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan adalah : 1. Pungsi Lumbal Pungsi lumbal dianjurkan pada : Pasien yang diduga mengalami infeksi intracranial sebagai penyebab kejang (meningitis). Dalam melakukan pungsi lumbal tanpa memandang usia. Didapatkan positif bila adanya pleositosis,protein LCS meningkat. Bahkan jika pungsi lumbal dilakukan dan hasilnya negatif, dapat dipertimbangkan untuk pemberian pengobatan meningitis, karena cairan cerebrospinal (CSF) mungkin normal pada fase awal perjalanan penyakit meningitis.1 2. Pencitraan Magnetic Resonance Imaging di kerjakan pada pasien-pasien dengan epilepsi simptomatik, usia >18 tahun, perkembangan yang abnormal serta bila defisit fokal neurologis +.
CT scan lebih sensitif untuk lesi kalsifikasi di intrakranial yang dapat menyebabkan kejang.1 3. Electroencephalography (EEG) EEG paling penting dalam menegakkan diagnosis dan karakteristik spesifik sindroma epilepsi. EEG memiliki sensitivitas yang rendah pada anak di bawah usia tiga tahun dengan kejang dan peran yang terbatas 2.6.
dalam diagnosis gangguan ensefalopatik akut.1 Diagnosis Banding Ketika menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa harus segera menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui apakah yang dialami seorang benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut adalah beberapa kondisi yang dapat
disalahartikan sebagai kejang : 1. Sinkop Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur, penderita tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop biasanya terjadi pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan kejang terjadi secara tiba – tiba, kapan saja, dan dimana saja. 2. Breath holding spells Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea, biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Ada beberapa tipe dari Breath holding spells yang menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic spell dan pallid spell. Pada cyanotic spell, diikuti dengan menahan napas, sianosis, rigiditas otot serta seringkali disertai dengan gerakan seperti kejang pada ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan rangsangan nyeri, diikuti dengan penderita tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang singkat. 3. Paroxysmal movement disorders Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang abnormal dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang terjadi. Tics adalah gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada bagian tubuh manapun. Tics muncul terutama pada keadaan stres dan biasanya dapat ditekan kemunculannya. Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh yang berlangsung selama beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas normal. Distonia akut ditandai dengan kontraksi wajah dan batang tubuh secara involunter dengan postur yang abnormal dan wajah yang meringis. 4. Pseudoseizures (gangguan psikiatrik)
Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang sebenarnya dan sering terjadi pada seseorang yang memiliki riwayat epilepsi. Pseudoseizures memiliki 1 periode yang lebih lama,dicetuskan oleh psikogenik,tidak jatuh, kelopak mata bergetar disertai air mata,dan pemeriksaan EEG tidak ditemukan kelainan,sebaliknya ditemukan kelainan pada kejang. Namun didapatkan kelainan pada EMG berupa spasmofilia pada pseudoseizures . 5. Migrain Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh. 6. Spasme tetanus Timbul yang dicetuskan oleh suatu provokasi fisik dengan tanpa penurunan kesadaran. Biasanya pasien merasakan nyeri pada otot saat spasme di otot wajah,erector trunci dan dinding abdomen. 2.7.
Tatalaksana 2.7.1. Penilaian Awal Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia. 2,4 Penilaian awal terdiri dari : 1. Airway Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan napas tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan cara head tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang, mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu dibersihkan dari sekret oleh suction. 2,4
2. Breathing Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari
laju pernapasan, suara
napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit. Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oksimetry.
Jika menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen melalui perangkat bag-valve - mask. 2,4 3. Circulation Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi. Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal, intramuskular atau rute bukal. Intraosseous acces (IO) dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu periksa tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau setelah kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang hipoglikemi tersebut. 2,4 4. Disability Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain, Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang disertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi mungkin juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin dan trisiklik
atau peningkatan tekanan
intrakranial.2,4 Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal, baik selama atau setelah kejang dan perhatikan postur, apakah terdapat dekortikasi atau deserebrasi sikap dimana sebelumnya posturnya normal. Hal ini menunjukan bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk untuk menunjukkan tanda – tanda meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan atau berulang-ulang dari obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran. 2,4
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera. 2,4 2.7.2. Menilai kembali ABC Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran kembali ke normal
atau setelah setiap pemberian dosis obat anti – epilepsi. Jika
memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri. 2,4 2.7.3. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant) Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi. Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan biaya yang minimal. Terapi lini pertama: 1. Diazepam Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Manfaat dari diazepam intravena maupun rektal pada pasien yang mengalami kejang memberikan hasil yang baik. Dosis intravena 10 mg/kg. Bila mana tidak ada perbaikan maka pasien tersebut membutuhkan pengobatan lini kedua. Diazepam memiliki efek depresi pernafasan.2 Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :
1. Fenitoin Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama. Dalam dosis intravena 15-20 mg/kg, kejang terkontrol dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin memerlukan pengenceran dengan NaCL 0,9%. Fenitoin memiliki efek depresi pernapasan yang lebih kecil daripada fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan pertama anti konvulsan lini kedua.2 2. Fenobarbital Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun 1912 dan digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan anti konvulsan yang lainnya,
fenobarbital dianggap lebih murah dan sangat efektif. Setelah
pemberian intravena terdapat distribusi bifasik dan sangat menyebar melalui seluruh pembuluh darah termasuk pembuluih darah otak. Meskipun
penetrasi ke otak telah dilaporkan terjadi 12-60 menit setelah pemberian, penetrasi ini terjadi lebih cepat dalam status epileptikus karena peningkatan aliran darah otak. Fenibarbital digunakan sebagai anti konvulsan lini kedua. Dosis pemberian adalah 10-20 mg/kg.2 3. Midazolam Midazolam sangat efektif sebagai antikonvulsan karena menghentikan sebagian besar kejang dalam satu menit setelah injeksi intravena dari 0,050,1 mg/kg dan secara intramuskular dalam waktu 5-10 menit. Dosis tunggal midazolam bukal 0,5mg /kg telah terbukti meminimalisir risiko depresi pernapasan.2
Gambar 1. Assesment and Initial Management of Seizures in Children2
2.7.4. Tatalaksana Kejang Demam 1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuskular ataupun yang lebih praktis midazolam intranasal.10 Jika kejang masih terlihat maka penanganan dengan intra vena diazepam dan lorazepam adalah mutlak.1 2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi lumbal pada saat pertama kali terjadinya kejang demam.10 3. Pengobatan profilaksis
Intermittent : anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38◦C) dengan menggunakan diazepam oral atau rektal,
klonazepam atau kloralhidrat supositoria.10 Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat tiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam10 Diazepam rektal (0,5 mg /kg) atau lorazepam (0,1 mg/kg) harus diberikan jika akses intravena tidak dapat diberikan. Midazolam yang diberikan secara bukal (0,5 mg/kg; dosis maksimal 10 mg/kg) lebih efektif daripada diazepam rektal.1 Pemberian midazolam secara bukal dicapai dengan mengalirkan sesuai dosis antara pipi dan gusi dari rahang bawah dengan pasien dalam posisi pemulihan dari fase kejang. Penyerapan teknik ini secara langsung melalui mukosa bukal, memberikan hasil yang lebih cepat daripada midazolam yang ditelan.2 Lorazepam yang diberikan secara intravena setidaknya sama efektifnya dengan diazepam intravena dan berhubungan dengan efek samping yang lebih sedikit (termasuk depresi pernafasan) dalam pengobatan kejang tonik klonik akut.1
2.7.5. Tatalaksana Intractable Seizures Pada penanganan intractable seizure, terdapat beberapa obat yang masih digunakan. Penggunaan obat – obatan tersebut hanya dipakai pada beberapa kasus penyakit dengan kondisi intactable seizure, obat – obatan tersebut adalah : 1. Valproate (Depacote) Asam valproat dapat digunakan pada penanganan kasus kejang partially,tonic-clonic,mioclonus,dan absence (petit mal). Dosis maintenance yang dipakai sekitar 10-60 mg/kg/hari, diberikan sebanyak 2 hingga 4 kali sehari. Dosis harian harus dimulai pada dosis 10 mg/kg/hari dan ditingkatkan sebanyak 10 mg/kg/hari setiap minggunya sampai level serum terapeutik tercapai yaitu 50-100 µg/ml. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan traktus gastrointestinal, kenaikan berat badan, mengantuk, dan alopesia. Tremor dan trombositopenia merupakan dose related effect. Asam valproat juga mengganggu metabolisme dari
obat antikonvulsan lain yaitu meningkatkan jumlah obat fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, diazepam, clonazepam, dan ethosuksamid di dalam darah.7 2. Lamotrigine (Lamictal) Obat ini juga dapat digunakan untuk pengobatan kejang pada Lennox – Gustaut syndrome. Dosis maintenance yang digunakan sekitar 5-15 mg/kg/hari, tetapi dikarenakan obat ini mengganggu kerja antikonvulsan lainnya, penetapan dosis harus dilakukan ketika diberikan bersamaan dengan antikonvulsan lainnya. Lamictal harus diberikan dosis rendah pada awal pemberian jika diberikan pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat dan pada dosis tinggi diberikan jika pasien yang juga meminum fenitoin, karbamezepin, fenobarbital, atau pirimidon. Efek samping dari obat ini adalah gangguan traktus gastrointestinal, somnolen, pusing, sakit kepala, dan diplopia. Efek yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya ruam kemerahan di kulit yang dapat merupakan tanda – tanda dari Stevens – Johnson syndrome7. 3. Felbamate (Felbatole) Obat ini dipakai untuk refractory seizure yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan lain. Penggunaan obat ini sebagian besar dipakai untuk Lennox – Gustaut syndrome. Dosis yang diberikan sekitar 15-45 mg/kg, diberikan 3 sampai 4 kali sehari. Pemberian harus dimulai dengan dosis yang paling rendah berdasarkan kisaran dosis terapeutik dan harus digunakan sebagai terapi tunggal dikarenakan resiko terjadinya efek samping lebih tinggi jika diberikan bersamaan dengan antikonvulsan lain. Pada interaksi obat, felbamat meningkatkan kadar serum fenobarbital, fenitoin, asam valproat, dan menurunkan kadar karbamazepin. Efek samping yang dapat disebabkan obat ini adalah anoreksia, nausea, vomiting, insomnia, dan letargi dengan efek samping yang dikhawatirkan yaitu anemia aplastik dan hepatotoksisitas berat. Semua pasien yang mendapatkan obat ini disarankan untuk selalu dipantau dengan pemeriksaan laboratorium darah rutin dan fungsi hati.7 4. Vigabatrin (Sabril)
Obat ini efektif digunakan pada kasus refractory partial seizure. Dosis maintenance yang dipakai adalah 30-150 mg/kg/hari dan diberikan sehari atau dua hari sekali. Jika setelah pemberian, kondisi kejang pasien tidak terdapat kemajuan, hal tersebut berarti obat tersebut resisten.7 5. Topiramate (Topamax) Obat ini efektif digunakan pada pengobatan Lennox – Gustaut syndrome dan complex partial seizure. Dosis yang diberikan pertama kali yaitu 1 mg/kg/hari dengan dosis target maintenance sebesar 3-9 mg/kg/hari. Interaksi dengan obat antikonvulsan lainnya sangat sedikit. Topiramat memiliki beberapa efek samping yang sangat mengkhawatirkan yaitu masalah kepribadian yang paling umum. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah anoreksia, penurunan berat badan, masalah dalam tidur, kelelahan, sakit kepala, diplopia, gangguan bicara. Efek samping yang serius dari topiramat adalah nefrolitiasis dan harus hati – hati pada pemberian topiramat kepada pasien yang memiliki riwayat batu ginjal atau sedang dalam ketogenic diet.7 6. Tiagabine (Gabitril) Obat ini dipakai untuk terapi tambahan pada kasus refractory partial seizure. Dosis pemberian diawali dengan 0,1 mg/kg/hari dan dinaikkan hingga mencapai dosis target yaitu 0,5-1 mg/kg/hari sampai dapat mengontrol kejang secara adekuat. Efek samping yang disebabkan oleh obat ini adalah kelelahan, pusing, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, dan mood depresi.7
7. Levetiracetam (Keppra) Obat ini efektif sebagai terapi tambahan pada refractory partial seizures. Dosis maintenance sekitar 10 sampai 60 mg/kg/hari. Efek sampingnya adalah sakit kepala, anoreksia, kelelahan, dan infeksi termasuk rinitis, otitis media, gastroenteritis, dan faringitis. Pemakaian pada orang dewasa dilaporkan dapat mengakibatkan leukopenia tetapi tidak pernah didapatkan pada pasien anak.7 8. Oxcarbazepine (Trileptal)
Respon yang paling baik ditunjukkan oleh pasien dengan refractory partial epilepsy , dan mixed type seizure ( tonic-clonic). Dosis rata – rata untuk mengontrol kejang adalah 45 mg/kg/hari. Pada studi ini didapatkan efek samping kemerahan pada kulit. Dan efek samping lain yang ditunjukkan adalah pada pemberian dosis yang tinggi menyebabkan diplopia dan pusing kepala yang langsung menghilang jika dosis obatnya diturunkan. Efek samping lain yang terlihat yaitu asimptomatik transient hyponatremia, mengantuk, sakit kepala, nausea dan muntah, ataksia dan agitasi. Semua efek samping tersebut terlihat pada pemberian awal dan menghilang setelah beberapa hari. 12 2.7.6.
Operasi biasanya menjadi pilihan terakhir dalam penanganan kejang. Rasio kesuksesan unruk menghentikan kejang sekitar 50– 90% tergantung penyebab dari kejang tersebut dan lokasi dari kelainan yang terdapat di otak (lobektomi dan lesionektomi).13
2.8.Edukasi keluarga perjalanan penyakit Edukasi pasien dan pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari pengelolaan kejang. Langkah – langkah yang perlu dilakukan antara lain: 1. Membantu keluarga untuk mengatasi pengalaman yang menakutkan dan menyingkirkan asumsi bahwa akan meninggal saat kejang pertama. 2. Memastikan keluarga mengerti bahwa tidak ada peningkatan risiko gangguan intelektual jika kejang kurang dari 30 menit. 3. Memberikan keluarga informasi tentang risiko kekambuhan kejang berikutnya.1 2.9.Penanganan pertama saat di rumah Hal yang harus dilakukan pertama saat seseorang dirumah sedang terjadi kejang adalah tetap tenang dan jangan panik, jangan memaksa atau memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Pastikan pasien aman dengan menempatkan mereka pada lantai dan menyingkirkan benda-benda yang bisa melukai mereka. Perhatikan waktu saat mulai dan berhentinya kejang, karena hal ini penting untuk diketahui dokter. Jangan mengguncang pasien untuk membangunkan mereka atau menahan pasien saat pasien mengalami kejang aktif. Bawalah pasien ke dokter atau instansi kesehatan setempat sesegera mungkin.14
2.10.Prognosis Kejang dapat dirawat dengan obat-obatan. Sehingga dapat mencegah kerusakan neurologis lebih lanjut. Maka akan semakin baik bila terdapat riwayat kejang kontrol kepoli saraf untuk mendapat perawatan agar menurunkan kejadian kerjang tersebut.
2.11.Komplikasi Pada kejang yang berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis metabolik, hiperkalemia, hipertermia, hipoglikemia, dan kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan neurologis permanen.
BAB III KESIMPULAN
3.0.Kesimpulan Kejang di sebabkan berbagai faktor resiko oleh sebab itu sebaiknya bila ada keluhan kejang sebaiknya segera di pemeriksakan ke dokter spesialis saraf agar segera mengetahui penyakit yang menyebabkan kejang agar segera mendapatkan penanganan yang terbaik dan mencegah terjadi komplikasi lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA 1. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia Medical Association. 2010. 2. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines. NSW Department of Health. 2009. 3. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child With a Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 2011 Feb:2(127);390-394 4. Convulsions in Children. Pediatric Guidelines. 2006. October;1-3 5. Sampson HA dan Leung D. Seizures in Childhood. Di dalam: Kliegman et al. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th edition. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
6. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al. Epilepsy. Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition: McGraw Hill. 2008.
7. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am. 2006;53:257277 8. Major P, Thiele E.A. Seizures in Children: Determining the Variation. Pediatrics in Review. 2007;28:363-371. 9. Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency & Critical Care UK Annual Congress. 2013 10. Deliana M. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002:2(4);59-62. 11.Fallah R, Karbasi A.S, Golestan M. Efficacy and Safety of Lamotrigene in Lennox – Gastaut Syndrome. Iran Journal Child Neurology. 2009 December;3338. 12.Tavazolli A,Ghofrani M,Rouzrokh M,Eznollah A.Efficacy of Oxarbazepine Add – On Therapy on Intractable Seizures in Children. Journal of Neuroscience and Behavioural Health, 2010 September;3:30-34. 13.Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershon A. Rudolph’s Pediatrics 22nd Edition. San Fransisco:McGraw-Hill. 2012.
14. Febrile Convulsions in Children. Victoria Departement of Health. December 2010.