KEJANG DEMAM I. Definisi Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (1). Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun(2). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(4). Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam(3). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(1). Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (4). Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahuluidemam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam(4). Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat(3). II. Epidemiologi Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20 % kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23 bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki(2). III.Etiologi Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih(2). IV. Faktor Resiko Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam(3). Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan kecenderungan genetik
(1,3)
. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada 1
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi(1,3). Faktor
resiko
terjadinya
epilepsi
di
kemudian
hari
yaitu
adanya
gangguan
neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks(1). V. Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler(6). Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO 2 dan air (6). Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel(6). Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya : a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. b.Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan(6). Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel 2
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang (6). Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang(6). Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia(1). Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadihipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yangmengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak(6). Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi(6). VI. Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam(7). Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam(6). Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Bila dalam riwayat penderita pada umur – umur sebelumnya terdapat periode periode dimana anak menderita suhu yangsangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang; 3
maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati – hati, mungkin kejang yang ini ada penyebabnya(2). Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang tiba – tiba merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang(2). Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik – klonik seperti kejang grand mal; kadang – kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang demamsederhana masih mungkin(2). b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Kejang dengan salah satu ciri berikut : 1. Kejang lama lebih dari 15 menit. 2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam(7). Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % kejangn demam(4). Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial(4). Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara anak yang mengalami kejang demam(4). VII.
Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media kut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf(6). Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu: 1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) 4
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever). Modifikasi kriteria Livingston(6): 1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun. 2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit. 3. Kejang bersifat umum. 4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam. 5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal. 6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan. 7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali. Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam(6).
VIII. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. b. Pungsi lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitiskarena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada : 5
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan. 2. Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan. 3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. c. Elektroensefalografi Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. d. Pencitraan Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT – scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti : 1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis) 2. Paresis nervus VI 3. Papiledema IX. Diagnosis Banding Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya : 1. Meningitis 2. Ensefalitis 3. Abses otak Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak) (6)
. Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi
seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotik maka perlu pertimbangan pungsi lumbal (3).
X. Penatalaksanaan a. Penatalaksanaan Saat Kejang (4) 6
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5 menit,dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan caradan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10 – 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 – 8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamapakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya. b. Pemberian Obat Pada Saat Demam (4) 1. Antipiretik Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan. 2. Antikonvulsan Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkanataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % - 39 % kasus.
7
Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejangdemam. 3. Pemberian Obat Rumat (4) a. Indikasi pemberian obat rumat Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salahsatu) : 1. Kejang lama > 15 menit. 2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. 3. Kejang fokal. 4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila : •
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
•
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
•
Kejang demam > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakanindikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik. b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dandalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsihati. Dosis asam valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis, dan fenobarbital 3 – 4mg/kgBB/hari dalam 1 – 2 dosis.
XI. Edukasi Pada Orang Tua (4)
8
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangidengan cara yang diantaranya : a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik. b. Memberitahukan cara penanganan kejang. c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali. d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang (4) a. Tetap tenang dan tidak panik. b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang. e. Tetap bersama pasien selama kejang. f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti. g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
Vaksinasi (4) Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalamikejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pascavaksinasi DPT adalah 6 – 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan setelahvaksinasi MMR 25 – 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral ataurektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian
XII.
Prognosis 9
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. a.
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembanganmental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitianlain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainanini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal(4). Kejang yang lebih dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 10 menit, diduga biasanya telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap(2). Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi (3,5) : 1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %. Umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. 2. EpilepsiResiko untuk mendapatkan epilepsi rendah. 3. Kelainan motorik 4. Gangguan mental dan belajar b. Kemungkinan mengalami kematian Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan (4). c. Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam (4)
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah : a. Riwayat kejang demam dalam keluarga b. Usia kurang dari 12 bulan c. Temperatur yang rendah saat kejang d. Cepatnya kejang setelah demam Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama. (4)
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah : 10
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama. b. Kejang demam kompleks. c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10 % 49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.
DAFTAR PUSTAKA
11
1.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas Makassar. 2.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
KesehatanAnak FKUI Jakarta. 1985 3.
Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; 4.
Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 27.1982 5.
Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006. 6.
Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006
12