REFERAT STASE OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
“MOLA HIDATIDOSA”
DI SUSUN OLEH: VIDIA AMRINA RASYADA 2011730167
KEPANITERAAN UMUM RUMAH SAKIT ISLAM PONDOK KOPI SMF ILMU OBSTERTRI-GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2015
BAB I PENDAHULUAN
Penvakit trofoblas ialah penyakit yang mengenai sel-sel trofoblas dimana terjadi suatu keabnormalan konsepsi plasenta yang disertai sedikit atau bahkan tanpa perkembangan janin (Sebire, 2008; Sumapraja,2005; Hadijanto, 2010). Di dalam tubuh wanita sel trofoblas hanya ditemukan bila wanita itu hamil. Di luar kehamilan sel-sel trofoblas dapat ditemukan pada teratoma dari ovarium, karena itu penyakit trofoblas yang berasal dari kehamilan disebut sebagai Gestational Trophoblastic Disease, sedangkan yang berasal dari teratoma disebut Non Gestational Throphoblastic Disease. Penyakit trofoblas mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi ganas dan menimbulkan berbagai bentuk metastase keganasan dengan berbagai variasi (Manuaba, 2007).
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dibandingkan dengan negara-negera Barat. Di negara-negara Barat dilaporkan 1:2000 kehamilan. Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi sekitar 1: 120 kehamilan (Prawirohadjo, 2009). Di Amerika Serikat dilaporkan insidensi mola sebesar 1 pada 1000-1200 kehamilan. Di Indonesia sendiri didapatkan kejadian mola pada 1 : 85 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada usia reproduktif (15-45 tahun); dan pada multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita mola akan lebih besar. Mola hidatidosa terjadi pada 1-3 dalam setiap 1000 kehamilan. Sekitar 10% dari seluruh kasus akan cenderung mengalami transformasi ke arah keganasan, yang disebut sebagai gestational trophoblastic neoplasma. Di negara maju, kematian karena mola hidatidosa hampir tidak ada, mortalitas akibat mola hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosis yang lebih dini dan terapi yang tepat. Akan tetapi di negara berkembang kematian akibat mola masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Kematian pada mola hidatidosa biasanya disebabkan oleh karena perdarahan, infeksi, eklamsia, payah jantung dan tirotoksikosis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana terjadi keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan perkembangan parsial atau tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada vilus berproliferasi dan mengeluarkan hormon human chononic gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa.
2. Epidemiologi Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per 120 kehamilan) daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di Indonesia, mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang penting dengan insiden yang tinggi (data RS di Indonesia, 1 per 40 persalinan), faktor risiko banyak, penyebaran merata serta sebagian besar data masih berupa hospital based. Faktor risiko mola hidatidosa terdapat pada usia kurang dari 20 tahun dan di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik
3. Etiologi Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya yang kini telah diakui adalah : 1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan. 2. usia ibu yang terlalu muda atau tua (36-40 tahun) beresiko 50% terkena penyakit ini.
3. imunoselektif dari sel trofoblast 4. keadaan sosioekonomi yang rendah 5. paritas tinggi 6. defisiensi vitamin A 7. kekurangan protein 8. infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas. Berbagai teori telah diajukan, misalnya teori infeksi, defisiensi zat makanan, terutama protein tinggi. Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari Acosta Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio ekonomi rendah. Akhirakhir ini dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan sebuah sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23x (haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46xx, sehingga mola hidatidosa bersifat homozigot, wanita dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi pembuahan oleh 2 sperma, sehingga terjadi 46xx atau 46xy. Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada golongan sosio ekonomi rendah, umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun, dan dengan paritas tinggi. insiden penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif berupa pencegahan kehamilan di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun dengan jumlah anak tidak lebih dari tiga Juga disebutkan defisiensi lemak hewani dan karotene, kebiasaan merokok, pemakaian pil kontrasepsi kombinasi merupakan faktor resiko. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status estrogen, kontrasepsi oral dan faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko walaupun masih belum jelas hubungannya.
4. Klasifikasi Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai janin maka disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai janin atau bagian dari janin disebut mola parsialis atau Parsials mole
Gambaran
Mola Komplit
Mola Parsial
Kariotipe
46,XX atau 46,XY
Umumnya 69,XXX atau 69,XXY (tripoid)
Patologi Edema villus
Difus
Bervariasi,fokal
Proliferasi trofoblastik
Bervariasi, ringan s/d berat
Bervariasi, fokal, ringan s/d sedang
Janin
Tidak ada
Sering dijumpai
Amnion, sel darah
Tidak ada
Sering dijumpai
Diagnosis
Gestasi mola
Missed abortion
Ukuran uterus
50% besar untuk masa
Kecil untuk masa
kehamilan
kehamilan
Kista teka-lutein
25-30%
Jarang
Penyulit medis
Sering
jarang
Penyakit pascamola
20%
<5-10%
Tinggi
Rendah – tinggi
merah janin Gambaran klinis
Kadar hCG
5. Patofisiologi Menurut Sarwono, 2010, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologik yaitu : hasil pembuahan dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3 – 5 minggu dan karena pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi penimbunan cairan di dalam jaringan mesenkim villi. Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola memberikan beberapa petunjuk mengenai asal mula dari lesi ini. Kebanyakan mola hidatidosa adalah mola “lengkap” dan mempunyai 46 kariotipe XX. Penelitian khusus menunjukkan bahwa kedua kromosom X itu diturunkan dari ayah. Secara genetik, sebagian besar mola hidatidosa komplit berasal dari pembuahan pada suatu “telur kosong” (yakni, telur tanpa kromosom) oleh satu sperma haploid (23 X), yang kemudian berduplikasi untuk memulihkan komplemen kromosom diploid (46 XX). Hanya sejumlah kecil lesi adalah 46 XY. Pada mola yang “tidak lengkap” atau sebagian, kariotipe biasanya suatu triploid, sering 69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah 69 XXX atau 69 XYY. Kadang-kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini, berbeda dengan mola lengkap, sering disertai dengan janin yang ada secara bersamaan. Janin itu biasanya triploid dan cacat.
Gambar Susunan sitogenetik dari mola hidatidosa. A. Sumber kromosom dari mola lengkap. B. Sumber kromosom dari mola sebagian yang triploid Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas:
1. Teori missed abortion. Teori ini menyatakan bahwa mudigah mati pada usia kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Hal inilah yang menyebabkan gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan karena kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan angiogenesis. 2. Teori neoplasma Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Park. Pada penyakit trofoblas, yang abnormal adalah sel-sel trofoblas dimana fungsinya juga menjadi abnormal. Hal ini menyebabkan terjadinya reabsorpsi cairan yang berlebihan kedalam villi sehingga menimbulkan gelembung. Sehingga menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembunggelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, sehingga menyerupai buah anggur, atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau mata ikan. Ukuran gelembung-gelembung ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1-2 cm. Secara mikroskopik terlihat trias: (1) Proliferasi dari trofoblas; (2) Degenerasi hidropik dari stroma villi dan kesembaban; (3) Hilangnya pembuluh darah dan stroma. Sel-sel Langhans tampak seperti sel polidral dengan inti terang dan adanya sel sinsitial giantik (syncytial giant cells). Pada kasus mola banyak dijumpai ovarium dengan kista lutein ganda berdiameter 10 cm atau lebih (25-60%). Kista lutein akan berangsur-angsur mengecil dan kemudian hilang setelah mola hidatidosa sembuh.
6. Gambaran Klinik a. Perdarahan Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling umum ditemui. Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif. Gejala perdarahan biasanya terjadi antara bulan pertama sampai bulan ke tujuh dengan rata-rata minggu ke 1214. Dapat dimulai sesaat sebelum aborsi atau lebih sering dapat muncul secara intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak hingga menyebabkan syok atau
kematian. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut gejala anemia sering dijumpai terutama pada wanita malnutrisi. Efek dilusi dari hipervolemia terjadi pada wanita dengan mola yang lebih besar. Anemia defisiensi Fe sering ditemukan, demikian pula halnya dengan kelainan eritropoiesis megaloblastik, diduga akibat asupan yang tidak mencukupi karena adanya mual dan muntah disertai peningkatan kebutuhan asam folat karena cepatnya proliferasi trofoblas. Perdarahan juga sering disertai pengeluaran jaringan mola. Darah yang keluar berwarna kecoklatan. b. Ukuran uterus bisa lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia kehamilan) Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat daripada kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien mola. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besarnya dengan kehamilan normal, walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan trofoblas tidak terlalu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya dying mole. Uterus mungkin sulit untuk diidentifikasikan secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita nullipara. Hal ini disebabkan karena konsistensinya yang lembut di bawah dinding perut yang kaku. Pembesaran uterus karena kista theca lutein multiple akan membuat sulit perbedaaan dengan pembesaran uterus biasa. c. Tidak adanya aktifitas janin Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simfisis, tidak
ditemukan
adanya denyut jantung janin. Meskipun jarang, mungkin terdapat plasenta ganda dengan kehamilan mola komplet yang bertumbuh bersamaan, sementara plasenta yang satu dan janin terlihat normal. Juga walaupun jarang, mungkin terdapat mola inkomplet pada plasenta yang disertai janin hidup. d. Eklamsia dan preeklamsia Preeklampsia pada kehamilan mola timbul pada trisemester ke 2. Eklamsia atau preeklamsia pada kehamilan normal jarang terlihat sebelum usia kehamilan 24 minggu. Oleh karenanya preeklamsia yang terjadi sebelum waktunya harus dicurigai sebagai mola hidatidosa. e. Hiperemesis Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu gejala mola hidatidosa. f. Tirotoksikosis Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering
meningkat,
namun gejala hipertiroid jarang muncul. Menurut Curry insidennya 1%, tetapi
Martaadisoebrata menemukan angka lebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka Martaadisoebrata menganjurkan agar pada tiap kasus mola hidatidosa dicari tandatanda tirotoksikosis secara aktif. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat thyrotropin-like effect dari Chorionic Gonadotropin hormone. Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis.
Mola hidatidosa komplet -
Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplet. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus mungkin membesar karena sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke dalam vagina. Gejala ini muncul pada 97% kasus.
-
Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrem kadar hCG
-
Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit yang hangat.
Mola hidatidosa parsial -
Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang sama dengan mola komplet. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan tanda seperti abortus inkomplet atau missed abortion.
-
Perdarahan pervaginam
-
Adanya denyut jantung janin
7. Diagnosis 1.
Anamnesis Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang berlebihan,
perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan kadang bergelembung seperti busa.
-
terdapat gejala-gejala hamil muda yang
kadang-kadang lebih nyata dari
kehamilan biasa -
terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli tua atau kecoklatan
-
pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan dengan usia kehamilan seharusnya
-
keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang merupakan diagnosa pasti
(1) Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet adalah perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus. (2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-HCG. (3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan kulit yang hangat. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yang terjadi pada 27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg), protenuria (>300 mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia 2.
Pemeriksaan Fisik Inspeksi Palpasi :
Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek
Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.
Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin Pemeriksaan dalam :
3.
Memastikan besarnya uterus
Uterus terasa lembek
Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan kadar B-hCG BetaHCG urin > 100.000 mlU/ml
Beta HCG serum > 40.000 IU/ml Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.
Gambar : Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang menggambarkan kurva regresi normal gonadotropin korionik subunit β pasca mola (Cunningham, 2006). Pemeriksaan kadar T3 /T4 B-hCG > 300.000 mIU/ml mempengaruhi reseptor thyrotropin, mengakibatkan aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat. Terjadi gejala-gejala hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia, tremor, hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, diare, muntah, nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun dan sebagainya. Dapat terjadi krisis hipertiroid tidak terkontrol yang disertai hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular, toksemia, penurunan kesadaran sampai delirium-koma (Cunningham, 2006). 4.
Pemeriksaan Imaging a. Ultrasonografi
Gambaran seperti sarang tawon tanpa disertai adanya janin
Ditemukan gambaran snow storm atau gambaran seperti badai salju.
b. Plain foto abdomen-pelvis: tidak ditemukan tulang janin
8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1. Perbaikan keadaan umum Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat dan srok hipovolemik karena perdarahan. Atau menghilangkan penyulit seperti preeklamsia dan tirotoksikosis. Preeklamsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam, antara lain dengan inderal. 2. Pengeluaran jaringan mola Bila diagnosis telah ditegakkan, kehamilan mola harus segera diakhiri. Ada dua cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi a. Kuret hisap Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi jaringan mola, dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit. Oksitosi diberikan untuk menimbulkan kontraksi uterus mengingat isinya akan dikeluarkan Tindakan ini dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasidan dengan terjadinya retraksi miometrium, dinding uterus akan menebal dan dengan demikian resiko perforasi dapat dikurangi 8.Bila sudah terjadi abortus maka kanalis servikalis sudah terbuka. Bila belum terjadi abortus, kanalis servikalis belum terbuka sehingga perlu dipasang laminaria atau servikalis dilator (setelah 10 jam baru terbuka 2-5 cm). Setelah jaringan mola dikeluarkan secara aspirasi dan miometrium memperlihatkan kontraksi dan retraksi, biasanya dilakukan kuretase yang teliti dan hati-hati dengan menggunakan alat kuret yang tajam dan besar. Jaringan yang diperoleh diberi label dan dikirim untuk pemeriksaan. Kuretase kedua dilakukan apabila kehamilan seusia lebih dari 20 minggu, atau tidak diyakini bersih. Kuret ke-2 dilakukan kira-kira 10-14 hari setelah kuret pertama. Pada waktu itu uterus sudah mengecil sehingga lebih besar kemungkinan bahwa kuret betul-betul menghasilkan uterus yang bersih. Jika terdapat mola hidatidosa yang besar (ukuran uterus >12 minggu, dan dievakuasi dengan kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan, atau mungkin diperlukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan atau
perforasi. Sebelum kuret sebaiknya disediakan persediaan darah untuk menjaga kemungkinan terjadi perdarahan masif selama kuretase berlangsung. b. Histerektomi Sebelum kuret hisap digunakan, histerektomi sering dipakai untuk pasien dengan ukuran uterus di luar 12-14 minggu. Namun histerektomi tetap merupakan pilihan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi karena hal tersebut merupakan predisposisi timbulnya keganasan. Batasan yang dipakai ialah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologi sudah tampak adanya tanda-tanda mola invasif. Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan. Walau histerektomi tidak dapat mengeliminasi sel-sel tumor trofoblastik, namun mampu untuk mengurangi kekambuhan penyakit ini. 3. Terapi profilaksis dengan sitostatika Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan di bawah pengawasan dokter.3
Misalnya umur tua dan paritas tinggi yang
menolak untuk dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan Methotrexate atau Actinomycin D. Tidak semua ahli setuju dengan cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan metastasis, serta mengurangi terjadinya koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali. Kadar hCG >100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai resiko tinggi untuk perubahan ke arah keganasan, pertimbangan untuk memberikan Methotrexate (MTX) 3-5 mg/kgBB atau 25 mg IM dosis tunggal. Metastasis yang hanya ke paru dapat diobati dengan agen kemoterapi tunggal sedangkan metastasis lainnya memerlukan 3 agen kemoterapi. 4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up) Tujuan utama follow up untuk mendeteksi adanya perubahan yang mengarah keganasan. Metode umum follow up adalah sebagai berikut:
-
Mencegah kehamilan selama periode follow up, minimal 1 tahun, mematuhi jadwal kontrol selama 2-3 tahun (1x pada triwulan pertama, tiap 2 minggu pada triwulan kedua, tiap bulan pada 6 bulan berikutnya,tiap 2 bulan pada tahun berikutnya, selanjutnya tiap 3 bulan
-
Pengukuran kadar serum B-hCG setiap 2 minggu
-
Mempertahankan terapi selama kadar serum menurun. Peningkatan atau pendataran kadar membutuhkan evaluasi dan terapi lanjut
-
Jika kadar normal (mencapai batas rendah dari pengukuran, dilakukan pengukuran setiap bulan sekali selama 6 bulan dan tiap 2 bulan selama 1 tahun
-
Follow up dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan 1 tahun kemudian
Setiap periksa ulang penting diperhatikan : 1.
Gejala klinik: keadaan umum, perdarahan, dan lain-lain
2.
Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan inspekulo: tentang keadaan serviks, uterus cepat bertambah kecil atau tidak, dan lainlain
3.
Reaksi biologis atau imunologis air seni, 1x seminggu sampai hasil negatif, 1x2 minggu selama triwulan selanjutnya, 1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya, 1x 3 bulan selama tahun berikutnya. Kalau reaksi titer tetap (+) maka harus dicurigai adanya keganasan. Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenanya mola hidatidosa. Menurut Harahap tumor timbul 34,5% dalam 6 minggu, 62,1% dalam 12 minggu, dan 79,4% dalam 24 minggu serta 97,2% dalam 1 tahun setelah mola keluar. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat kemungkinan terjadi keganasan setelah mola hidatidosa (20%). Gejalagejala choriocarsinoma yang harus diwaspadai setelah dilakukan kuretase mola: perdarahan yang terus menerus,involusi rahim tidak terjadi, kadangkadang malahan nampak metastasis di vagina berupa tumor-tumor yang biru ungu, rapuh dan mudah berdarah.2 Selama pengawasan, secara berkala dilakukan ginekologis, kadar hCG dan ultrasonografi. Cara yang paling peka saat ini adalah dengan pemeriksaan -hCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika masih
meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap hCG sub-unit. Pemeriksaan kadar -hCG diselenggarakan setiap minggu sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu dan selanjutnya setiap bulan selama 6 bulan.
Mungkin juga timbul metastasis di paru-paru yang
menimbulkan batuk dan haemoptoe, oleh karena itu bila ada gejala-gejala yang mencurigakan harus dibuat foto rontgen paru.
Gambar 1. Skema tatalaksana mola hidatidosa
9. Komplikasi
Perforasi uterus selama kuret hisap sering muncul karena uterus yang membesar. Jika hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dalam bimbingan laparaskopi.
Perdarahan sering pada evakuasi mola, karenanya oksitosin IV harus diberikan sebelum prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat juga diberikan.
Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola, karenanya pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi sampai hasilnya negatif.
DIC, karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik. Semua pasien harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati.
Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor resiko terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat berakhir fatal.
kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Kista lutein dapat menyebabkan pembesaran pada satu atau kedua ovarium dengan ukuran yang beragam, dari diameter mikroskopik sampai ukuran 10 cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 2560% penderita mola. Kista teka lutein multiple pada 15-30% penderita mola menyebabkan pembesaran satu atau kedua ovarium dan menjadi sumber rasa nyeri. Ruptur, perdarahan atau infeksi mudah terjadi. Kista lutein ini diperkirakan terjadi akibat rangsangan elemen lutein yang berlebihan oleh hormon korionik-gonadotropin dalam jumlah besar yang disekresi oleh trofoblas yang berproliferasi dengan pemeriksaan klinis, insiden kista lutein + 10,2%, tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50%. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai resiko empat kali lebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista. Involusi dari kista terjadi setelah beberapa minggu yang biasanya seiring dengan penurunan kadar B-hCG. Tindakan bedah hanya dilakukan bila
ada ruptur dan perdarahan atau ovarium yang membesar tadi mengalami infeksi. umumnya ukuran kembali normal dalam 12 minggu.
Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang
Perdarahan dan syok. Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan oleh pelepasan jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua, perforasi uterus oleh karena keganasan, atonia uteri atau perlukaan pada uterus karena evakuasi jaringan mola.
Infeksi sekunder
10. Prognosis __________________________________________________________________ Prognosis baik
Prognosis buruk
Kehamilan terakhir
< 4 bulan
> 4 bulan
B-hCG
< 40.000
> 40.000
mola
term
tidak ada
gagal
Kehamilan sebelumnya Terapi sebelumnya Metastase
tidak ada, kadang paru
otak, hati
WHO SCORING SYSTEM Faktor prognosis
0
1. Usia
1
2
4
< 35 th
>35 th
2. Kehamilan sebelumnya
mola
aborsi
term
3. Interval
<4bln
4-6 bln
7-12 bln
>12 bln
4. B-hCG
<1000
<10.000
<100.000
>100000
5. ABO maternal-paternal
OxA,AxO
6. Ukiran tumor terbesar 7. Angka metastase
Total score :
3-5 1-4
8. Kemoterapi terdahulu
B,AB 4-8 tunggal
>5 >8 multiple
0-4 resiko rendah 5.7 resiko sedang > 8 resiko tinggi
Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnose dini dan terapi yang adekuat. Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung untuk
menderita anemia dan perdarahan kronis. Infeksi dan sepsis pada kasus-kasus ini dapat menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi. Evaluasi dini tidak menghilangkan kemungkinan berkembangnya tumor persisten. Hampir 20% mola komplet berlanjut menjadi tumor gestasional trofoblastik. Lurain and Colleagues (1987) melaporkan setelah evakuasi mola hidatidosa, 81% mengalami regresi spontan dan 19% berlanjut menjadi tumor trofolastik gestasional. Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani evakuasi mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari 80% pasien. Mola hidatidosa yang berulang terjadi pada 0,5 – 2,6%, dengan resiko yang lebih besar untuk menjadi mola invasif atau koriokarsinoma. Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama. Kurang lebih 10-20% mola hidatidosa komplet menjadi metastastik koriokarsinoma yang potensial invasif. Kematian pada kasus mola disebabkan karena perdarahan, infeksi, preeklamsia, payah jantung, emboli paru atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena mola hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi, yaitu berkisar 2,2-5,7%.
DAFTAR PUSTAKA Cunninngham. F.G. dkk. 2006. “Mola Hidatidosa” Penyakit Trofoblastik Gestasional Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2. EGC: Jakarta. Departemen Obstetri & Ginekologi FK UNPAD. 2015. Panduan Praktik Klinis Obstetri dan Ginekologi. FK UNPAD : Bandung. Prawirohadjo S, Wiknjosastro H. 2009. “Mola Hidatidosa”. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo: Jakarta Sumapraja S, Martaadisoebrata D. 2011. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin, dalam: Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo: Jakarta