REVIEW JURNAL : MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN & KELAUTAN
Pengelolaan Pencemaran Perairan Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup Perairan dalam Pendekatan Biomonitoring Pemanfaatan Enzim Metalotionin Moh. Awaludin Adam NIM. 157080100111002 157080100111002
1. Pendahuluan Potensi industri telah memberikan sumbangan sumbangan bagi bagi perekonomian perekonomian Indonesia melalui barang barang produk dan jasa jasa yang dihasilkan, dihasilkan, namun di sisi lain pertumbuhan industri telah menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Buangan air limbah industri mengakibatkan timbulnya pencemaran
daerah
aliran
sungai
(DAS)
yang
dapat
merugikan
masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai, seperti berkurangnya hasil
produksi
pertanian,
menurunnya
hasil
tambak,
maupun
berkurangnya pemanfaatan air sungai oleh penduduk. Perkembangan pembangunan dengan berbagai teknologi yang digunakan berdampak pada menurun
dan
kualitas lingkungan lingkungan hidup yang semakin
mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang yang serius dan konsisten konsisten oleh oleh
semua
pemangku kepentingan. Perairan sering tercemar oleh berbagai komponen anorganik diantaranya berbagai jenis logam berat berbahaya yang banyak dihasilkan dari proses industri. Ada 4 jenis logam yang berbahaya bagi manusia yaitu: arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), dan merkuri (Hg). Logamlogam tersebut diketahui dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai racun. Jika kandungan logam dalam perairan naik sedikit demi sedikit, maka logam tersebut dapat diserap dalam jaringan tubuh organisme dari yang terkecil yang berperan sebagai produsen hingga
1|Riview Jurnal
organisme terbesar yang berperan sebagai konsumen akhir rantai makanan seperti ikan, udang, kerang dan akhirnya tertimbun dalam jaringan hewan tersebut tersebut (Novianto, dkk, 2012). Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran
mengenai
pentingnya lingkungan hidup secara langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup di sekitar mereka. Dalam lingkup isu tersebut, semua kalangan masyarakat pelaku usaha harus semakin memperhatikan seluruh aspek strategi, operasional serta produksi barang dan jasa mereka agar tidak mempengaruhi pelestarian fungsi lingkungan hidup. Apabila tidak, tujuan pelaku bisnis untuk memperoleh pendapatan (dan tentunya laba) akan terancam oleh berbagai sanksi dari konsumen masyarakat hingga pemerintah tempat pelaku bisnis berlokasi atau produk dan jasa pelaku bisnis dipasarkan. Bahkan cukup dengan anggapan adanya kerusakan lingkungan yang diakibatkan kegiatan pelaku bisnis saja sudah dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi tersebut tersebut oleh berbagai pihak. Perkembangan teknologi dan industri yang pesat dewasa ini ternyata membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak yang bersifat positif maupun dampak yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat
positif
memang
diharapkan
oleh
manusia
dalam
rangka
meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup. Namun dampak yang bersifat negatif yang memang tidak diharapkan karena dapat menurunkan kualitas dan kenyamanan hidup, harus dapat diatasi dengan sebaikbaiknya. Semua orang yang ingin memperoleh dan meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup harus terlibat dalam usaha mengatasi dampak yang bersifat negatif, baik bagi kalangan ilmuwan, kalangan industriawan, kalangan pemerintahan maupun dari kalangan masyarakat biasa. Seiring dengan makin tingginya kepedulian akan kelestarian sungai dan kepentingan menjaga keberlanjutan lingkungan dan dunia usaha maka muncul upaya industri untuk melakukan pengelolaan air limbah industrinya melalui perencanaan proses produksi yang effisien sehingga mampu meminimalkan limbah buangan industri dan upaya pengendalian pengendalian
2|Riview Jurnal
pencemaran
air
limbah
pengolahan
air
limbah.
industrinya Bagi
melalui
Industri
penerapan
yang
terbiasa
installasi dengan
memaksimalkan profit dan mengabaikan usaha pengelolaan limbah agaknya bertentangan dengan akal sehat mereka, karena mereka beranggapan bahwa menerapkan instalasi pengolahan air limbah berarti harus mengeluarkan biaya pembangunan dan biaya operasional yang mahal. Di pihak lain timbul ketidakpercayaan masyarakat bahwa industri akan dan mampu melakukan pengelolaan limbah dengan sukarela mengingat banyaknya perusahaan industri yang dibangun di sepanjang aliran sungai, dan membuang air limbahnya tanpa pengolahan. Sikap perusahaan yang hanya ber orientasi “Profit motive” dan lemahnya penegakan peraturan terhadap pelanggaran pencemaran ini berakibat timbulnya beberapa kasus pencemaran oleh industri dan tuntutan-tuntutan masyarakat sekitar industri hingga perusahaan harus mengganti kerugian kepada masyarakat yang terkena dampak (Subhi, 2012). Bagi
para
industriawan,
pemahaman
mengenai
masalah
lingkungan hidup sangat penting artinya di dalam menangani masalah limbah atau buangan yang berasal dari industri, sehingga lingkungan yang bersih dan nyaman akan dapat terwujud. Sedangkan bagi pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, diperlukan adanya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan secara terpadu, sehingga kualitas dan kenyamanan hidup benar-benar dapat dicapai. Masyarakat umum juga diharapkan partisipasinya terutama berkaitan dengan kesadaran tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan agar daya dukung alam bagi kelangsungan hidup manusia tetap terjamin sampai akhir zaman. Pada akhirnya semua lapisan masyarakat memang harus terlibat dan ikut menjaga serta melestarikan fungsi lingkungan hidup. Beberapa zat beracun yang telah mencemari perairan pantai sebagai akibat aktivitas antropogenik salah satunya adalah dari logam berat (Damin, dkk. 2013). Kasus terbaru terkait pencemaran sungai adalah aliran sungan wangi di Desa Beji Kabupaten Pasuruan. Pencemaran aliran sungai
3|Riview Jurnal
diduga dari pembuangan limbah pabrik yang berlokasi disekitaran sungai wangi. Diperkirakan ada 7 pabrik/industri yang memiliki titik terdekat dengan aliran sungai tersebut. Pencemaran kali dan sungai terus berlangsung, ketidakefektifan dalam pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang
Perindustrian
serta
peraturan
pelaksanaan
lainnya
menimbulkan dampak, yaitu bahwa para industriawan tetap berani melakukan tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, atau setidak-tidaknya mereka membuang limbah tanpa dilakukan pengelolaan demi untuk keuntungan yang akan didapatnya. Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Berdasarkan UU RI No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anaknya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau kelaut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan. Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia
berinteraksi
secara
dinamis
dan
di
dalamnya
terdapat
keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air,
4|Riview Jurnal
karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam system aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu studi literatur tentang logam berat timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada perairan yang tercemar dengan pemanfaatan enzim metalotionin sebagai biomonitoring dalam langkah awal untuk mencari referensi yang tepat. Baik dalam perencanaan lokasi, pengambilan sampel, metode yang akan dilakukan serta kajian apa saja yang
terkait
dalam
pelaksanaan
penelitian
yang
sesungguhnya.
Harapannya adalah review jurnal ini mampu memberikan gambaran untuk mengambil tema/topik pada pelaksanaan penelitian disertasi nanti.
2. Metode Penulisan Metode pemulisan dalam hal ini adalah review jurnal dan beberapa sumber terkait. Review jurnal dilakukan untuk mendapatkan gambaran topik penelitian disertasi yang akan diambil. Adapun jurnal yang digunakan
adalah
jurnal
nasional
maupun
internasional
dalam
mendapatkan variasi pada referensi. Harapannya tidak lain sebagai latihan dalam menulis.
3. Pokok dan Sub-Sub Pokok Bahasan 3.1 Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis
maupun
kegiatan
sosial-ekonomi
dan
budaya
masyarakat yang kompleks. Proses-proses biofisik hidrologis DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi
5|Riview Jurnal
atau yang dikenal sebagai siklus air. Kegiatan sosial-ekonomi dan budaya
masyarakat
merupakan
bentuk
intervensi
manusia
terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan kawasan budidaya. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan meningkatnya pertumbuhan
penduduk yang membawa akibat
pada perubahan kondisi tata air DAS. Ekosistem perairan sangat kaya akan beragam jenis biota, namun potensi ini kian terdegradasi oleh limbah antropogenik yang semakin mencemari perairan. Berbagai aktivitas industri dan pembangunan membuang limbah cair ke sungai yang akhirnya bermuara di laut, sehingga menimbulkan pencemaran di perairan laut (Prihatini, 2013).
3.2 Pencemaran Limbah Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan-tindakan manusia yang disebabkan oleh perubahan pola pembentukan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika, kimia dan jumlah organisme. Perubahan ini dapat mempengaruhi manusia secara langsung atau tidak langsung melalui hasil pertanian, peternakan, benda-benda, perilaku dalam apresiasi dan rekreasi di alam bebas (Fardiaz. 1992). Menurut Hidayat (1981), pada dasarnya pencemaran lingkungan dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu : (1) gangguan, merupakan
bentuk
pencemaran
yang
paling
ringan,
(2)
pencemaran temporer, berjangka pendek karena alam mampu mencernakannya sehingga lingkungan dapat kembali seperti semula, dan (3) pencemaran permanen, bersifat tetap karena alam tidak mampu kembali mencernakannya (dikenal sebagai perubahan sumberdaya alam).
6|Riview Jurnal
Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009) adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. a. Pencemaran Air Pencemaran adalah suatu penyimpangan dari keadaan normalnya. Jadi pencemaran air adalah suatu keadaan air tersebut telah mengalami penyimpangan dari keadaan normalnya. Keadaan normal air masih tergantung pada faktor penentu, yaitu kegunaan air itu sendiri dan asal sumber air (Wardhana, 2004). Cottam (1969) mengemukakan bahwa pencemaran air adalah bertambahnya suatu material atau bahan dan setiap tindakan manusia yang mempengaruhi
kondisi
perairan
sehingga
mengurangi
atau
merusak daya guna perairan. Industri pertambangan dan energi mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan lingkungan karena mengubah sumber daya alam menjadi produk baru dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan (Darsono, 1992). Kumar (1977) berpendapat bahwa air dapat tercemar jika kualitas atau komposisinya baik secara langsung atau tidak langsung berubah oleh aktivitas manusia sehingga tidak lagi berfungsi sebagai air minum, keperluan rumah tangga, pertanian, rekreasi atau maksud lain seperti sebelum terkena pencemaran. Polusi
air merupakan penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan
normal.
Ciri-ciri
yang
mengalami
polusi
sangat
bervariasi
tergantung dari jenis dan polutannya atau komponen yang mengakibatkan polusi (Sumengen, 1987). b. Penyebab Pencemaran di dalam Perairan. Perkembangan penduduk dan kegiatan manusia telah meningkatkan pencemaran sungai-sungai, terutama sungai
–
sungai yang melintasi daerah perkotaan dimana sebagian air bekas
7|Riview Jurnal
kegiatan manusia dibuang ke sistem perairan yang sedikit atau tanpa
pengolahan
sama
sekali
terlebih
dahulu.
Hal
ini
menyebabkan penurunan kualitas air sungai (Darsono, 1992). Penyebab pencemaran air berdasarkan sumbernya secara umum dapat dikategorikan
sebagai sumber kontaminan langsung dan
tidak langsung. Sumber langsung meliputi effluent yang keluar dari industri,
TPA
sebagainya.
(Tempat
Pemrosesan
Akhir
Sampah),
dan
Sumber tidak langsung yaitu kontaminan yang
memasuki badan air dari tanah, air tanah, atau atmosfer berupa hujan. Tanah dan air tanah mengandung mengandung sisa dari aktivitas pertanian seperti pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfer juga berasal dari
aktivitas manusia yaitu pencemaran
udara yang menghasilkan hujan asam. Penyebab pencemaran air dapat juga digolongkan berdasarkan aktivitas manusia dalam memenuhikebutuhan hidupnya, yaitu limbah yang berasal dari industri, rumah tangga, dan pertanian (Suriawiria, 1996). Beberapa jenis pencemar dan sumber pencemar yang dikemukakan oleh Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi (2003), secara ringkas seperti terlihat pada Tabel berikut : Tabel : Beberapa Jenis Pencemar dan Sumbernya
8|Riview Jurnal
3.3 Pencemaran Logam Berat dan Penanganan Dini Logam berat terdapat di seluruh lapisan alam, namun dalam
konsentrasi
yang
sangat
rendah.
10-5 –10-3ppm.
konsentrasinya
berkisar
antara
kadar
rendah,
beberapa
yang
dibutuhkan
oleh
perkembangan meningkat,
organisme
hidupnya.
logam
berat
Dalam
hidup
logam
air laut
Pada tingkat
berat umumnya
untuk pertumbuhan
Namun sebaliknya
bila
berubah sifat
menjadi
dan
kadarnya racun.
Peningkatan kadar logam berat dalam air laut terjadi karena masuknya limbah yang mengandung logam berat ke lingkungan laut. Limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya berasal dari kegiatan industri, pertambangan, pemukiman dan pertanian. Logam berat pada umumnya mempunyai sifat toksik dan berbahaya bagi organisme hidup, walaupun beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Beberapa logam berat banyak digunakan dalam berbagai kehidupan sehari-hari. Secara langsung maupun tidak langsung toksisitas dari polutan itulah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya pencemaran pada lingkungan sekitarnya. Apabila kadar logam berat sudah melebihi
ambang
batas yang ditentukan dapat membahayakan bagi kehidupan. Logam
berat
dalam
konsentrasi
yang
tinggi
dapat
mengakibatkan kematian beberapa jenis biota perairan. Disamping itu, dalam konsentrasi yang rendah logam berat dapat membunuh organisme hidup dan proses ini diawali dengan penumpukan logam berat da-lam tubuh biota. Lama kelamaan,
penumpukan yang
terjadi pada organ target dari logam berat akan melebihi daya toleransi dari biotanya dan hal ini menjadi penyebab dari kematian biota terkait. Peningkatan kadar logam berat dalam air akan menga-kibatkan logam berat yang semula
dibutuhkan untuk
berbagai proses metabolisme akan berubah menjadi racun bagi
9|Riview Jurnal
organisme.
Selain
bersifat
racun
logam
berat
juga
akan
terakumulasi dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi, biokonsentrasi, bioakumulasi dan biomagnifikasi oleh biota air. Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam pengendalian dan pemantauan dampak lingkungan adalah melakukan analisis unsur-unsur logam berat seperti Pb dan Cd dalam biota air tawar. Kemampuan biota air menga-kumulasi logam esensial dan non esensial
secara
biologis
Biokonsentrasi dan
sudah
terbentuk
dengan
baik.
bioakumulasi beberapa logam di dalam
tumbuhan dan hewan. Faktor kepekatan (perbandingan kepekatan logam pada hewan,
μg/kg, terhadap air sekeliling, μg/L) untuk
beragam jenis makhluk air berkisar
antara 102 dan 106.
Bioakumulasi merupakan proses yang menentukan keberadaan logam tertentu di dalam biota. Beberapa jenis logam yang dapat terlibst dalam proses bioakumulasi adalah As, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, dan Zn. Salah satu bioindikator pencemaran di lingkungan perairan adalah analisis
kandungan logam berat yang terakumulasi di
dalam biota air di perairan tersebut. Ikan dan kerang adalah biota air yang dapat digunakan sebagai bioindikator tingkat pencemaran air sungai. Kerang dapat digunakan sebagai indikator yang baik dalam memonitor suatu pencemaran lingkungan disebabkan oleh sifatnya menetap dalam suatu habitat tertentu. Jika di dalam ikan dan kerang telah terkandung kadar logam yang tinggi dan melebihi batas normal yang telah ditentukandapat
dijadikan indikator
terjadinya suatu pencemaran dalam lingkungan. Banyaknya logam berat yang terserap dan terdistribusi pada ikan bergantung pada bentuk senyawa dan konsentrasi polutan (Darmono, 1995). Analisis kadar logam Pb dan Cd dilakukan dengan metoda spektrofotometer serapan atom dengan teknik preparasi destruksi basah. Pemilihan metode spektrofotometer serapan atom karena mempunyai sensitifitas tinggi, mudah, murah, sederhana, cepat,
10 | R i v i e w J u r n a l
dan cuplikan yang
diperlukan sedikit serta tidak memerlukan
pemisahan pendahuluan.
3.4 Baku Mutu Lingkungan Hidup Perairan Pencemaran
kali
dan
sungai
terus
berlangsung,
ketidakefektifan dalam pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup),
dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian serta peraturan pelaksanaan lainnya menimbulkan dampak, yaitu bahwa para industriawan tetap berani melakukan tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, atau setidak-tidaknya mereka membuang limbah tanpa dilakukan penge lolaan demi untuk keuntungan yang akan didapatnya (Subhi, 2009). Kegiatan
industri
mempunyai
potensi
menimbulkan
pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian
terhadap
pembuangan
limbah
cair
dengan
menetapkan baku mutu limbah cair. Pemerintah melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan Keputusan Nomor: KEP51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Dalam Pasal 6 Keputusan Menteri tersebut dinyatkan bahwa setiap penanggung jawab kegiatan industri wajib: 1. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan. 2. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan. 3. Memasang alat ukur atau laju air limbah cair dari melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut.
11 | R i v i e w J u r n a l
4. Tidak
melakukan
pengenceran
limbah
cair,
termasuk
mencampurkan buangan air bekas pendingin ke dalam aliran pembuangan limbah cair. 5. Memeriksakan kadar parameter baku mutu limbah cair secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan. 6. Memisahakan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan. 7. Melakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya 8. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter
baku
mutu
limbah
cair,
produksi
bulanan
senyatanya, sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada kepala Bapeda, Gubernur, instansi teknis yang membidangi industri, dan isntansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. Mengingat
air
merupakan
sumber
daya
alam
yang
diperlukan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, maka Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi keberadaan sumber-sumber air disertai dengan upaya melakukan pencegahan terhadap pencemaran air melalui pengaturan perijinan pembuangan limbah cair. Langkah yang dilakukan oleh pemerintah antara lain berupa penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, di mana di dalam pasal 26 ayat 1 disebutkan bahwa pembuangan limbah cair ke dalam air dapat dilakukan dengan ijin yang diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, ditandai dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) yang memberikan titik berat otonomi pada Kabupaten/Kota, maka PP No. 20 Tahun 1990 diganti dengan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yang isinya antara lain mengalihkan wewenang pe ngaturan perijinan
12 | R i v i e w J u r n a l
pembuangan limbah cair dari Gubernur kepada Bupati/Walikota. Untuk itu, sampai dengan saat ini belum ada pengaturan mengenai perizinan pembuangan limbah cair yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
3.5 Indikator Pencemaran Lingkungan Perairan Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi, 2003). Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi : -
Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa.
-
Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut dan perubahan pH.
-
Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri patogen. Indikator
yangumum
digunakan
pada
pemeriksaan
pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD)serta kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD. Pemantauan kualitas air pada sungai perlu disertai dengan pengukuran dan pencatatan debit air agar analisis hubungan parameter pencemaran air dan debit badan air sungai dapat dikaji untuk
keperluan
pengendalian
pencemarannya
(Irianto
dan
Machbub, 2003).
13 | R i v i e w J u r n a l
3.6 Bioindikator dan Biomonitoring Enzim Metalotionin Biomarker pada ikan dapat berfungsi sebagai alat yang berguna untuk mengevaluasi beban pencemaran di lingkungan perairan dan menerima sinyal peringatan dini yang berhubungan dengan
ancaman
lingkungan
yang
ditimbulkan.
Biomarker
didefinisikan sebagai pengukuran spesifik yang merefleksikan adanya interaksi biologis dengan agen lingkungan misalnya Cd. Biomarker juga biasa digunakan untuk analisis resiko di bidang kesehatan
lingkungan.
Kadmium
(Cd)
dapat
menyebabkan
gangguan pada biosintesis heme, karena adanya interaksi antara Cd dengan enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis tersebut. Penggunaan biomarker untuk monitoring lingkungan merupakan sebuah metode yang memanfaatkan analisis kimia. Biomarker adalah respon-respon yang diukur pada tingkat individu, yang berkisar dari pengukuran enzim dan metabolisme xenobiotik pada indek organ dan kondisi keseluruhan. Monitoring lingkungan perairan dengan biomarker dapat dilakukan dengan berbagai kelompok organisme, tetapi yang paling umum adalah remis dan ikan (Viarenggo dkk, 2007, Hanson 2008, Tugiyono dkk, 2009, Filipic dkk, 2006). Ikan mas merupakan ikan standar internasional uji toksisitas, sedangkan ikan nila satu kelas dengan ikan mas, sehingga diduga enzim-enzim tertentu dari kedua jenis ikan tersebut dapat digunakan sebagai biomarker pencemaran logam berat Cd. Dengan kajian biomarker; pencemaran dapat dikendalikan secara preventif, sehingga pencemaran yang terjadi di tingkat ekosistem dapat dicegah. Hal ini dikarenakan pada tingkat seluler sudah ada sinyal peringatan dini terjadinya pencemaran. Dengan demikian pencemaran sudah bisa ditanggulangi sejak tingkat sub seluler, sehingga tidak menimbulkan pencemaran pada tingkat ekositem seperti yang terjadi saat ini. Biomarker merupakan respon dini tingkat molekuler, reaksi awal sebelum respon terjadi pada
14 | R i v i e w J u r n a l
tingkatan
organisasi
(spektrum)
biologi
yang
lebih
tinggi
(Wardhana, 2004; Hanson, 2008). Penemuan biomarker sebagai alat
detektor
pencemaran
dini,
diharapkan
dapat
menjadi
sumbangan bioteknologi bagi pemerintah dalam menentukan kebijakkan pengelolaan dan pengendalian pencemaran perairan. Kajian tentang biomarker pada ikan, dapat digunakan sebagai biomonitoring pencemaran tingkat dini, dan diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang bermanfaat bagi sumbangan ilmu pengetahuan apabila akan mengkaji efek toksik Cd tingkat molekuler (Viarenggo dkk, 2007). Biomarker yang ditemukan/ muncul diharapkan dapat dijadikan alat deteksi pencemaran dini yang dapat diaplikasikan dilapangan untuk mendeteksi secara dini adanya pencemaran Cd pada ikan maupun di perairan; sebagai upaya pengendalian pencemaran secara preventif.
Teknologi
ini
diharapkan
menjadi
masukan
bagi
pemerintah terkait sebagai salah satu alternatif model monitoring lingkungan perairan. Penemuan ini merupakan respon dini tingkat molekuler terhadap kualitas lingkungan, sehingga dapat digunakan sebagai alat deteksi dini tingkat biomolekuler terhadap pencemaran logam berat Cd di perairan. Sebagaimana dikatakan oleh Bebianno dkk. (2003), bahwa metallothioeindapat digunakan sebagai biomarker pencemaran
karena
kepekaan
dan
keakuratannya.
Hal
ini
didasarkan pada suatu fenomena alam di mana logam-logam dapat tersekap di dalam jaringan tubuh organisme yang dimungkinkan karena adanya protein tersebut. Metallothionein merupakan protein pengikat logam (metal-binding protein) yang berperan dalam proses pengikatan ataupun penyekapan logam di dalam jaringan setiap mahkluk hidup. Biomarker merupakan akhir dari uji ekotoksikologi yang menunjukkan efek pada organisme hidup. Salah satu kunci fungsi dari biomarker adalah sebagai tanda peringatan dini, dari suatu pengaruh senyawa toksik secara biologi; dan biomarker
15 | R i v i e w J u r n a l
dipercaya sebagai respon pada sub organisme (molekuler, biokimia dan phisiologi) reaksi awal sebelum respon terjadi pada tingkatan organisasi (spektrum) biologi yang lebih tinggi (Hanson 2008).
4. Pembahasan a. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bioakumulasi logam berat pada organisme dipengaruhi antara lain oleh jenis logam, dan biovailibilitas logam.Logam berat di perairan umumnya dijumpai dalam bentuk ion-ion terlarut yang mudah masuk ke tubuh organisme karena memiliki bioavailabilitas tinggi. Logam Hg bersifat lebih toksik dibandingkan Pb dan Cd, karena memiliki bioavailabilitas lebih tinggi.Logam
yang
terakumulasi
di
tubuh
kemudian
mengalami
biomagnifikasi pada tingkat trofik lebih tinggi, sesuai dengan rantai makanan di ekosistem. Logam Pb, Cd, dan Hg dapat masuk langsung ke tubuhkeranglewat insang, atau secara tidak langsung yaitu melalui pakan. Mekanisme makansecara filter feeding pada A.antiquata menyebabkan terjadinya bioakumulasi logam-logam berat, sehinggakeberadaan dan kandungan logam berat di tubuh kerang lebih akurat mengindikasikan konsentrasilogam berat di ekosistem perairan(Prihatini, 2013). Eksploitasi Sungai Berdasarkan PP No 35/1991, yang dimaksud dengan eksploitasi sungai adalah usaha pengaturan dan pengalokasian sumber daya air dan sumber daya alam lainnya yang berada di sungai untuk tujuan penggunaan secara optimum. Sumber daya yang terdapat di sungai mencakup; air sungai, wadahnya atau alur dan bantaran serta daerah retensi, dan sedimen yang terdapat di alur sungai. Ruang lingkup kegiatan eksploitasi sungai meliputi : 1. Eksploitasi air sungai : a. Pengambilan dan penggunaan air sungai b. Pengaturan / pengendalian muka air tinggi dan muka air rendah c. Pengendalian kualitas air sungai
16 | R i v i e w J u r n a l
2. Eksploitasi air sungai, bantaran dan daerah retensi a. Pemakaian alur dan bantaran sungai untuk keperluan: drainase, prasarana transportasi, rekreasi, pertanian dan perikanan b. Pengaturan penggunaan alur dan bantaran sungai c. Pengaturan alur untuk menjaga kelestarian fungsi sungai sebagai penyalur banjir 3. Eksploitasi sedimen di sungai Pengambilan bahan galian golongan C di sungai Dampak Pengolahan Sungai pada pemanfaatan dari suatu sungai dapat menimbulkan perubahan bentuk sungai, baik perubah arah vertikal maupun horizontal, sebagai akibatnya adalah : a. Perubahan parameter hidrograft (Q, h:fl) b. Perubahan gejala dan parameter aliran hidrolika c. Perubahan gejala dan parameter angkutan sedimen Eksploitasi di daerah Hulu dan dampaknya Adanya perubahan peruntukan lahan di daerah hulu akibat perluasan daerah perkebunan, perluasan daerah pemukiman dan juga pembalakan hutan/ilegal logging mengakibatkan : a. Surface Run-off yang tinggi b. Daerah tangkapan / resapan semakin sedikit c. Fluktuasi debit yang besar d. Semakin tinggi tingkat erosi e. Sedimen semakin banyak f. Perubahan morfologi sungai Dampak dari kondisi tersebut maka pada musim kemarau terjadi kekeringan dan pada saat musim hujan mengakibatkan banjir. Eksploitasi di daerah transisi dan daerah hilir serta dampaknya Eksploitasi yang terjadi didaerah transisi dan hilir dapat berupa : a. Perluasan daerah pemukiman b. Perluasan daerah industri c. Pengambilan bahan galian C d. Perluasan daerah irigasi
17 | R i v i e w J u r n a l
e. Peningkatan kebutuhan air baku untuk air minum f. Pemanfaatan daerah bantaran sungai sebagai pemukiman g. Sistem drainase pemukiman h. Perilaku pembuangan sampah Akibat adanya perluasan daerah industry dari kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan : a. Daerah resapan semakin sedikit b. Masuknya limbah industri kedalam sungai c. Perubahan morfologi sungai d. Penyempitan badan sungai Meningkatnya wilayah pertanian, pengambilan
air
sebagai
bahan
baku,
dan
pembangunan
PLTA
menambah alokasi air pada daerah tersebut tetapi berarti mengurangi ketersediaan air di daerah hilir. Penyempitan daerah sungai, penambahan sedimen sungai dan penambahan
drainase
daerah
sekitar
sungai
serta
reklamasi
menyebabkan terlambatnya laju pembuangan air menuju laut. Sehingga pada saat musim hujan dapat menyebabkan bahaya banjir. Secara umum dampak negatif dari suatu perubahan sungai adalah pembawa banjir dan pembawa polusi. Banjir dengan tingkat bahaya yang tinggi biasanya terjadi pada daerah hilir. Sedangkan dampak kekeringan lebih disebabkan oleh rusaknya ekosistem DAS di hulu sehingga mempengaruhi kuantitas air, dimana pada saat musim kering seharusnya dapat mengeluarkan air tetapi tidak keluar, karena DAS tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pengelolaan Sungai Terpadu dengan prinsip pengelolaan sungai terpadu adalah dengan mempertimbangkan wilayah hidrologis sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan dan pembinaan sesuai dengan prinsip satu DAS, satu plan, dan satu pengelolaan terintegrasi. Tujuan dari satu pengelolaan terpadu agar pemanfaatan sungai di hulu tidak memberikan dampak negatif dihilir maupun sebaliknya. Adapun ruang lingkup pengelolaan mencakup kegiatan: 1. Pengusahaan air dan sumber air 2. Operasi
dan
pemeliharaan
bangunan
sungai
3.
Konservasi,
18 | R i v i e w J u r n a l
pengembangan, alokasi air, water quality control Selain itu juga diperlukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait, seperti - Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) - BAPEDA ( Pemda) - Litbang - Perum Perhutani. Pengoperasian dan pengelolaan sungai ada enam hal penting yang mempengaruhi kelanjutan operasi dan pengelolaan sungai: 1. Peta daerah pengaliran; Peta pengaliran ini harus lengkap, yang dapat dianalisa sesuai kebutuhan. Pada peta tersebut dapat dibagi menjadi beberapa penggalan. 2. Alokasi Air Pemanfaatan air pada sungai tergantung pada lokasi pengambilan dan jumlah pengambilan. 3. Sepadan Sungai 4. Badan Sungai. 5. Kualitas Air 6. Daerah Pengaliran Sungai Dengan adanya model ini , setiap penggunaan
air
peruntukannya mendapat
dan jika
sangsi
lahan
di
DPS
pemanfaatannya (Perlu
harus tidak
dipertimbangkan
mengetahui sesuai
akan
dengan
Pakar
Hukum). Untuk kerjasama antar sektor dapat digunakan model seperti dibawah ini, dalam diagram tersebut digambarkan keterkaitan antara berbagai komponen yang dalam analisis kuantitatif akan digunakan sebagai variabel untuk mengukur kinerja DAS secara keseluruhan Dalam rangka mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup perairan yang berkesinambungan, maka perlu adanya kebersamaan antara pemerintah dengan masyarakat. Salah satu langkah pengembangan secara berkesinambungan dengan harapan tercapainya : 1. Peningkatan
kerjasama
yang
serasi
dan
seimbang
antara
pemerintah dan masyarakat; 2. Pelaksanaan pembangunan industri yang terpadu dan terkait secara luas; 3. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah melalui organisasi yang bersifat integratif antara fungsional dan vertikal;
19 | R i v i e w J u r n a l
b. Manajemen Bioindikator Enzim Metalotionin Respon dini pada tingkat molekuler terhadap kualitas lingkungan, sudah saatnya dipakai untuk monitoring lingkungan,sehingga secara dini pencemaran lingkungan dapat dicegah/dimonitor. Langkah preventif dalam upaya pengendalian pencemaran jauh lebih baik dari pada secara kuratif. Sebagaimana pendapat Hanson (2008) dan Tugiyono dkk (2011) bahwa salah satu kunci fungsi dari biomarker adalah sebagai tanda peringatan dini dari pengaruh xenobiotik secara biologis. Respon dini tingkat molekuler terhadap kualitas lingkungan memberikan peluang untuk melakukan
langkah
preventif
sebagai
upaya
pencegahan
akan
pencemaran lingkungan. Kualitas
lingkungan
perairan
dapat
diketahui
berdasarkan
perubahan dalam sistem atau parameter biologi yang terpilih, pendekatan ini dikenal dengan istilah biomonitoring. Biomonitoring adalah cabang dari monitoring lingkungan yang mengacu pada penggunaan organisme hidup, yang digunakan sebagai pendugaan residu bahan pencemar dalam jaringan organisme sampai pendugaan akhir pengaruh biologi spesifik. Bentuk atau tipe biomonitoring dapat dikembangkan berdasarkan perubahan karakteristik secara
biokimia, phisiologi, morphologi atau
tingkah laku organisme, disamping berdasarkan cara konvensional seperti struktur
komunitas
yang
meliputi
kemelimpahan
dan
indeks
keanekaragaman (Viarenggo dkk, 2007; Wardhana 2004). Penelitian Sanusi (2002) menunjukkan bahwa akumulasi Cd pada hati dan ginjal ikan lebih besar dari pada yang terakumulasipada ototnya. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh sejenis metallotioneinyang dijumpai lebih besar terdapat pada hati dan ginjal dari pada ototnya. Menurut Soemirat (2005), Plaa (2007) dan Klaassen (2001) efek racun di dalam tubuh suatu jenis organisme oleh pengaruh suatu zat tergantung pada jumlah adanya zat tersebut pada bagian yang rentan di dalam tubuh. Dikatakan pula bahwa logam berat dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan terutama pada insang, hati dan ginjal, daging atau otot serta tulang. Metallothionein bersifat spesifik, metallothioneinpengikat Cd,
20 | R i v i e w J u r n a l
berbeda dengan metallothionein pengikat Hg, berbeda pula dengan metallothionein pengikat Pb, Zn, ataupun logam berat yang lain. Metallothionein selain bersifat spesifik, juga bersifat sensitif sebagai biomarker. Fakta paparan logam berat Cd, Pb dan Hg yang kadarnya masih di bawah nilai baku mutu sudah dapat menginduksi sintesis metallothioneindalam jaringan hati sehingga muncul metallothionein. Metallothionein yang terbentuk berfungsi sebagai detoksifikasi terhadap logam berat. Dengan kata lain apabila terjadi paparan logam berat yang memiliki afinitas tinggi terhadap
thioeninmaka logam tersebut memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menginduksi metallothioenin, sehingga akan segera membentuk metalothionein dan logam tersebut akan segera terdetoksifikasi. Akibatnya tidak terjadi akumulasi logam pada tubuh yang berpotensi melebihi ambang batas. Metallothionein merupakan biomarker yang bersifat universal. Metallothionein tidak hanya dapat digunakan sebagai biomarker pada penelitian skala laboratorium, tetapijuga dapat digunakan di perairan bebas seperti laut , danau, teluk maupun sungai Disamping itu dapat digunakan untuk deteksi logam berat yang terakumulasi pada organ tubuh ikan maupun yang terpapar diperairan. Metallothionein juga merupakan biomarker (penanda biologis) untuk peringatan dini (early warning) terhadap paparan logam berat (Cd, Pb dan Hg) sejak tingkat sub seluler, reaksi awal sebelum respon terjadi pada tingkatan organisasi (spektrum) biologi yang lebih tinggi. Dengan demikian terjadinya pencemaran di tingkat sub seluler sudah dapat diketahui, sehingga pencemaran di tingkat ekosistem dapat dicegah atau tidak akan terjadi. Prosedur pengukuran tingkat pencemaran di perairan, khususnya untuk perairan Indonesia telah banyak dibuat, namun sedikit saja yang dapat dikategorikan sebagai prosedur yang peka, akurat dan dapat diandalkan. Apalagi pencemaran yang dimaksud adalah
pencemaran
yang disebabkan oleh logam berat yang berdampak luas sampai pada manusia. Salah satu alternatif prosedur pengukuran yang masuk dalam kategori peka, akurat dan dapat diandalkan serta dapat diaplikasikan di
21 | R i v i e w J u r n a l
perairan Indonesia adalah pengukuran dengan menggunakan indikator metallothionein. Metallothionein merupakan protein yang sangat peka dan akurat sebagai indikator pencemaran. Hal ini didasarkan pada suatu fenomena alam di mana logam-logam dapat tersekap di dalam jaringan tubuh organisma yang dimungkinkan karena adanya protein tersebut. Dengan demikian, metallothionein merupakan protein pengikat logam (metalbinding
protein)
yang
berfungsi
dan
berperan
dalam
proses
pengikatan/penyekapan logam di dalam jaringan setiap mahluk hidup (Noël-Lambot dkk. 1978; Langston & Zhou 1986; Bebianno dkk. 1993). Metallothionein terdiri dari protein (polipeptida) yang mempunyai massa molekul yang kecil (6-7 kDa), dan sifat utamanya adalah mengandung 2633% 'cysteine' serta tidak mempunyai asam amino aromatik atau histidin (Frankenne dkk. 1980; Engel & Brouwer 1984; Bayne dkk. 1985; Rand & Petrocelli 1985; Fowler dkk. 1987; Le Gal 1988; Manahan 1991, 1992; Roesijadi 1992; Carpene 1993). Sebagai konsekuensi dari banyaknya kandungan asam amino 'cysteine' maka protein ini mengandung kelompok 'thiol' (sulfhydryl, -SH) dalam jumlah yang besar. Kelompok ini mengikat logam-logam berat sangat kuat, khususnya merkuri (Hg), kadmium (Cd), perak (Ag), seng (Zn) dan tin. Redisu sulfhydryl dari 'cysterine' mampu mengikat logam, di mana 1 atom logam (misalnya: Cd, Zn atau Hg) untuk 3 residu -SH, atau 1 atom logam 2 residu
-SH (Noël-Lambot &
Bouquegneau 1977; Noël-Lambot dkk. 1978; Edwards & Hassall 1980; Le Gal 1988; Engel & Brouwer 1989; Bebiano & Langston 1992a & b; Manahan 1991; 1992; Lacaze 1993). Pada kenyataannya sistem hayati mempunyai peluang untuk menyekap/ mengkonsentrasi unsur logam (termasuk juga logam berat yang bersifat toksik) dalam tubuhnya; biasanya disebut sebagai fungsi 'detoksifikasi', artinya dapat mengikat logam-logam tersebut dalam lingkaran metabolisme tanpa mengeliminasinya. Hal ini merupakan suatu solusi sementara, di mana kemampuan sistem penyekapan bukan tidak terbatas (Bebiano & Langston 1992a & b). Fungsi fisiologis dari penyekap
22 | R i v i e w J u r n a l
logam tersebut berhubungan dengan peran mereka dalam seluruh proses metabolisme. Protein ini dapat mengatur formasi logam yang lewat dari sel-sel mukosal ke dalam „circulatory fluid‟. Logam-logam biasanya bertindak sebagai kofaktor atau sebagai modulator reaksi-reaksi tertentu. Sel-sel perlu menyimpanan cadangan logam tetapi tidak berlebihan atau pada konsentrasi toksik. Logam-logam tersebut selanjutnya dibebaskan perlahan sebagai fungsi keperluan sel (Tabbot & Magee 1978; Bayne dkk. 1985; Le Gal 1988; Carpene 1993). Metallothionein dapat terinduksi ditemukan di semua golongan mahluk
hidup
(misalnya
mamalia,
ikan,
moluska/kerang-kerangan,
zooplankton dan fitoplankton) dan di berbagai tingkat jaringan/organ (misalnya hati, ginjal, insang, testis, usus, otot, plasma, eritrosit, sel-sel epitelial dan urine). Demikian pula, protein ini tersebar pada semua organisma laut, baik pada tumbuhan maupun organisma vertebrata dan invertebrata; pada organisma terutama terdapat dalam hati atau hepatopankreas, insang, ginjal. atermasuk pula jenis alga Cynophyceae. Konsentrasinya dalam jaringan (hati, insang, kelenjar penceranaan) meningkat ketika organisma terkontaminasi pada unsur-unsur logam (Engel & Brouwer 1993; Engel & Brouwer 1991; Noël-Lambot dkk. 1978; Le Gal 1988; Bebianno & Langston 1995).
5. Penutup
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan, dengan daerah bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang berdimensi biofisik (seperti pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan pertanian
23 | R i v i e w J u r n a l
konservatif);
berdimensi
kelembagaan
(seperti,
insentif
dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi); dan berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya setempat, sehingga dalam perencanaan model pengembangan DAS
terpadu
harus
mempertimbangkan
aktifitas/teknologi
pengelolaan DAS sebagai satuan unit perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.
Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan dalam pembangunan selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, sedangkan organisasi masih bersifat ad hoc, dan kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS belum terpola. Agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal, maka perlu dilibatkan seluruh pemangku
kepentingan
dan
direncanakan
secara
terpadu,
menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Berdasarkan hasil analisa data diatas, perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, melainkan perlu adanya keterkaitan antar sektor yang mewakili masing-masing sub DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir yang menjadi fokus perhatian dengan berpegang pada prinsip one river one management. Keterkaitan antar sektor meliputi perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumberdaya
yang
mengalir
(flowing
resources),
dimana
pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.
24 | R i v i e w J u r n a l
Biomarker/penanda biologis yang ditemukan diharapkan dapat dijadikan alat deteksi pencemaran dini yang dapat diaplikasikan dilapangan untuk mendeteksi secara dini adanya pencemaran logam berat pada ikan maupun di perairan; sebagai upaya pengendalian
pencemaran
secara
preventif.
Teknologi
ini
diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah terkait sebagai salah satu alternatif model monitoring lingkungan perairan.
6. Lampiran 7. Daftar Pustaka Anwar, 2011. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Dan Berkelanjutan TAPAK Vol. 1 No. 1 Nopember 2011 Argawala, S.P., 2006. Environmental Studies. Narosa Publishing House, New Delhi. Bebianno, M.J., Cravo, A., Miguel, C., dan Morais, S., 2003. Metallothionein Concentrations in A Population of Patella aspersa: Variation with Size. Sci. Total Environ., 301:151 –161. Choirudin dan Indrajid, 2007. Eceng Gondok Penyerap Logam Berat Cd di Sungai Kaligarang Semarang. Majalah Tempo Edisi 19/XXXIIIIII/028 Juli 2007. Connell, D.W. 2005. Bioakumulasi Senyawaan Xenabiotic. UI Press, Jakarta. Hal 5-75, 146-211. Damin, H, Syarifuddin L, Abd. Hayat Kasim. (2013). Analisis Logam Berat Timbal (Pb) Dan Kadmium (Cd) Dalam Kerang Yang Beredar Di Pasar Tradisional Kotamadya Makassar. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan 90245 Dewi N.K, Purwanto dan Henna Rya Sunoko. 2014. Metallothionein Pada Hati Ikan Sebagai Biomarker Pencemaran Kadmium (Cd) Di Perairan Kaligarang Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 21, No.3, November 2014: 304-309 Engel, D. W. & M. Brouwer. 1993. Crustaceans as models for metal metabolism: I. effects of the molt cycle on blue crab metal metabolism and metallothionein. Marine environmental research 35: 1-5. Filipic, M., Fathur, T., dan Vuldrag, M., 2006. Molecular Mechanisms of Cadmium Induced Mutagenecity. J. Human & Exp. Toxicol.. 25(2): 67-77. Fowler, B. A., C. E. Hildebrand, Y. Kojima & M. Webb. 1987. Nomenclature of metallothionein. Hal. 19-22 dalam J. H. R. Kagi & Y. Kojima (ed.). Metallothionein II. Birkhauser-Verlag, Basel.
25 | R i v i e w J u r n a l
Frankenne, F., F. Noël-Lambot & A. Disteche. 1980. Isolation and characterization of metallothioneins from cadmium-loaded mussel Mytilus edulis. Comaprative Biochemistry & Physiology 66C: 179182. Hadi, S.P., 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hanson, N., 2008. Does Fish Health Matter ? The Utility of Biomarkers in Fish for Environmental Assessment.Ph.D. Thesis Department of Plant and Environmental Sciences University of Gothenburg. Katzung, B.G., 2007. Basic & Clinical Pharmacology. 10thEd, Mc Graw Hill, New York. p. 1-10. Klaassen, C.D., 2001. Csarett and Doull‟sToxicology:The Basic Science of Poisons. 6thEd. Mc. Graw Hill, New York. Kosnett M.J. 2007. Heavy Metal Intoxication & Chelator, In Katzung B.G. (ed): Basic & Clinical Pharmacolocy, 10thEd, Mc Graw Hill. Boston. p. 970-981. Lacaze, J.-C. 1993. La degradation de l‟environnement cotier: consequences ecologiques. Ouvrage publie avec El concours du Centre national des lettres (CNL). Masson. 149 hal. Langston, W. J. & M. Zhou. 1986. Evaluation of the significance of metalbinding proteins in the gastropod Littorina littorea. Marine Biology 92: 505-515. Le Gal, Y. 1988. Biochime Marine. Hal. 223-274, Chapitre 9. Pollutions. Masson. Paris. Manahan, S. E. 1991. Toxicological chemistry: A guide to toxic substances in chemistry. Lewis Publishers, Inc. 317 hal. Manahan, S. E. 1992. Toxicological chemistry. Second edition. Lewis Publishers. Boca Raton. 449 hal. Maslukah, Lilik, 2007. Konsentrasi Logam Berat (Pb, Cd, Cu, Zn) Terlarut, Dalam Seston, Dan Dalam Sedimen Di Estuari Banjir Kanal Barat, Semarang. Akuatik-Jurnal Sumberdaya Perairan 1 Volume 2 . Agustus 2007 . Edisi 1 ISSN 1978 – 1652 Miller, T.G,Jr. 2007. Living in The Environment : Principle, Connection and Solutions. Thompson Brooks/Cole. Singapore. Noël-Lambot, F. & J. M. Bouquegneau. 1977. Comparative study of toxicity, uptake and distribution of cadmium and mercury in the sea water adapted eel Anguilla anguilla. - Bulletin of Environmental Contamination & Toxicology 18(4): 418-424. Novianto, Rio T.W.D., Fida Rachmadiarti dan Raharjo., (2012). Analisis Kadar Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Udang Putih (Penaeus marguiensis) di Pantai Gesek Sedati Sidoarjo. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Surabaya. LenteraBioVol. 1 No. 2 Mei 2012: 63 –66 Plaa, G.L., 2007. Introduction to Toxicology: Occupational & Enviromental. In Katzung B.G. (ed): Basic & Clinical Pharmacology, 10thEd, Mc. Graw Hill, New Yorks. p. 958-970. Prihatini, Wahyu. 2013. Ekobiologi Kerang Bulu Anadara Antiquata Di Perairan Tercemar Logam Berat. Jurnal Teknologi Pengelolaan
26 | R i v i e w J u r n a l
Limbah, ISSN 1410-9565 Volume 16 Edisi Suplemen 2013. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center) Santosa, B., Hertanto, W.S, Lisyani, S. Henna, R.S. (2013). Zinc Supplementation Dosage Variations to Metallothionein Protein Level of Rattus norvegicus. International Journal of Science and Engineering, 5(2),9-14. Doi: http://dx.doi.org/10.12777/ijse.5.2.1517. Sanusi, H.S., 2002, Akumulasi Logam Berat Hg dan Cd pada Tubuh Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal)Tesis. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. Soemarwoto, O., 2002. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.Jambatan, Bandung. p. 145-148. Soemirat, J., 2005. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Subhi, Muhammad. (2012). Perizinan Pembuangan Limbah Cair Kegiatan Industri Dalam Hubungannya Dengan Pengendalian Pencemaran Air (Studi Di Kabupaten Ketapang) Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. P.T. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Jakarta. Supriatno dan Lelifajri, 2009. Analisis Logam Berat Pb dan Cd dalam Sampel Ikan dan Kerang secara Spektrofotometri Serapan Atom. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 7 No. 1. ISSN 14125064 Trimartuti, N.K. 2001. Bioakumulasi Logam Berat Cd Pada Ikan Lunjar (Rasbora argyrotaenia), Wader (Barbodes balleroides) dan Nilem (Osteochillus hasseltii) di Kaligarang Semarang, Thesis ,Gadjah Mada University, Yogyakarta. Tugiyono, Nurcahyani, N., Supriyanto, R., dan Hadi, S., 2011. Biomonitoring of effects Following Exposure of Fish to Sugar Refinery Effluent. J. Modern Applied Science, 5:39-44. Tugiyono, Nurcahyani, N., Supriyanto, R., dan Kurniati, M., 2009. Biomonitoring Pengolahan Air Limbah Pabrik Gula PT Gunung Madu Plantation Lampung Dengan Analisis Biomarker: Indeks Fisiologi Dan Perubahan Histologi Hati Ikan Nila (Oreochromis niloticus Linn) J.Sains MIPA, 15:42-50. Viarenggo, A., Lowe, D., Bolognesi, C., Fabbri, E., dan Koehler, A., 2007. The Use of Biomarkers in Biomonitoring : A 2-tier Approach Assessing The Level of Pollutant-Induced Stress Syndrome in Sentinel Organisms. Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology and Pharmacology,146(3):281-300. Wardhana, W.A., 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta. Watts, R.J., 1998. Hazardous Wastest: Surces, Pathways, Receptors. John Wiley and Sons.Inc. New York. Withgott, J., dan Brennan, S., 2007. Environment : The Science Behind the Stories. Pearson Benjamin Cummings. San Fransisco.
27 | R i v i e w J u r n a l