Stabilitas Obat Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan ( Connors,et al.,1986).Terjadinya dekomposisi obat akibat hidrolisis atau solvolisis dari sediaan farmasi cair adalah adalah hal yang umum terjadi karena kelembaban atau pelarut yang digunakan. Gugusgugus fungsional tertentu memudahkan terjadinya reaksi tersebut (Parrot,1970). Telah dipelajari berbagai metode untuk meningkatkan stabilitas bahan farmasi yang mengalami penguraian dengan jalan hidrolisis. Faktor-faktor yang dapat d ipertimbangkan antara lain :
a. pH
pH adalah suatu ukuran keasaman suatu air (larutan). Pengertian pH dalam aplikasinya berbeda-beda. Di dalam sistem yang sering digunakan ( NBS s istem, NBS = National Bureau of Standards), pH digambarkan dalam persamaan pH = -log aH, dimana aH adalah aktivitas ion hidrogen dalam suatu larut an (Anonim,2006).Laju reaksi dalam larutan berair sangat mudah dipengaruhi oleh adanya pH sebagai akibat adanya proses katalisis. Untuk mengetahui pengaruh pH maka faktor-faktor lainnya yang berpengaruh seperti suhu, kekuatan ionik dan komposisi pelarut harus dibuat tetap (Connors et al, 1986). Pengaruh pH dapat diketahui dari bentuk profil pH laju degradasi dari hubungan antara antara pH dan log k tanpa pengaruh dapar. Dari profil tersebut dapat diketahui pH yang stabil, katalisis reaksi dan persamaan laju reaksi hipotetiknya yang memberikan informasi praktis stabilitas suatu obat (Connors et al, 1986).
Tiga bentuk profil pH laju degradasi yang dikenal yaitu bentuk V, bentuk Sigmoid (S) danbentuk Parabola (bell shape) atau kombinasi dari bentuk tersebut. Bentuk profil yang dihasilkan tergantung pada sifat-sifat zat dan reaksi yang terjadi (Connors et al, 1986). Bentuk V terjadi bila obat bersifat tak terionkan. Keuntungan dari profil log k Vs pH dalam bentuk V adalah dapat digunakan pada pH rendah maupun tinggi ketika reaksi di katalisis oleh asam dan basa (Connors et al, 1986).
Terkadang profil pH laju degradasi mengikuti bentuk Sigmoid (S). bentuk ini terjadi jika obat mengalami disosiasi asam basa 1 kali. Keuntungan prof il log k Vs k dalam bentuk sigmoid ini adalah bahwa plot log k Vs pH dapat berubah menjadi bentuk sebaliknya (Connors et al, 1986).
Bentuk parabola memiliki dua titik infleksi yang terjadi k arena asam basa mengalami disosiasi 2 kali. Seperti bentuk sigmoid, bentuk ini bisa terjadi dari kombinasi bentuk parabola dengan bentuk V pada profil pH laju
degradasi yang sama (Connors et al, 1986).
Jika memungkinkan secara fisiologis, larutan obat harus diformulasikan
sedikit mungkin ke pH stabilitas optimumnya. Jika penguraian hidrolisis obatnya
terkatalisis asam dan basa umum, yaitu penguraian terkatalisis oleh bagian asam
dan basa dari garam dapar disamping H+ dan OH- , konsentrasi dapar harus dibuat
minimum (Lachman, et al., 1986).
b. Jenis pelarut
Penggantian air sebagian atau seluruhnya dengan pelarut yang konstanta
dielektriknya lebih rendah, umumnya menyebabkan kecepatan hidrolisis menurun
secara berarti. Contoh pelarut bukan air adalah : etanol, glikol, glukosa, larutan
manitol, dan amida tersubstitusi (Lachman, et al., 1986).
c. Kompleksasi
Laju hidrolisis dapat dipengaruhi oleh pembentukan kompleks dengan du a
cara, yaitu oleh efek sterik atau polar (Lachman, et al., 1986)
d. Surfaktan
Keberadaan surfaktan akan meningkatkan stabilitas secara bermakna .
Menurut Riegelman (1960) bahan surfaktan nonionik, kationik dan anionik dapat
menstabilkan obat terhadap katalis basa (Lachman, et al., 1986).
e. Modifikasi struktur kimia
Sejumlah laporan kepustakaan menunjukkan bahan substituen tertentuyang ditambahkan pada rantai alkil atau asil dari ester alifatik atau aromatik atau pada inti benzen dari ester aromatik menyebabkan penurunan laju hidrolisis(Lachman, et al.,1986).
f. Garam dan ester
Teknik lain yang digunakan untuk meningkatkan st abilitas obat-obatan yang terurai melalui hidrolisis adalah dengan mengurangi kelarutannya melalui pembentukan garam atau esternya yang sukar larut. Biasanya hanya pada bagian obat larut mengalami peruraian hidrolisis (Lachman, et al., 1986). komponen penyusun dapar dapat mengurangi stabilitas obat oleh akibat katalisis asam umum (KAU) atau katalisis basa umum (KBU). Laju degradasi obat akibat pengaruh dapar dapat ditentukan dengan persamaan berikut (Zhou and Notari, 1995)
Kobs = KpH + KAU . (AU) + KBU . (BU)
Dengan Kobs adalah harga pengamatan, AU dan BU adalah kadar asam dan basa konjugat penyusun dapar dan KpH adalah laju degradasi tanpa pengaruh dapar. KAU adalah katalisis asam umum, KBU adalah k atalisis basa umum, katalis adalah senyawa yang memiliki kemampuan meningkatkan tetapan laju reaksi tetapi tidak mengubah tetapan keseimbangan. Katalisator dapat menjadikan jalur rea ksi berlangsung dengan energi bebas (QG) yang lebih kecil, tanpa mengubah QGº (energi beba s awal). Dekomposisi obat akibat hidrolisis atau solvolisis dari sediaan farmasi cair adalah hal yang umum ter jadi karena kelembaban atau pelarut yang digunakan. Stabilitas obat dapat dinyatakan dengan harga tetapan laju degradasi (k) atau waktu paro (t1/2) yang dapat ditentukan jika reaksi diketahui (Parrot, 1970). Stabilitas obat dapat dinyatakan dengan harga tetapan laju degradasi (k) atau waktu paruh (t1/2). Hal ini dapat ditentukan bila tingkat reaksi diketahui.
Dalam banyak hal, tingkat reaksi kimia sederhana dapat dibedakan menjadi 4 yaitu :
a. Reaksi orde nol
Pada reaksi ini faktor yang menentukan bukan kadar tetapi hal lain misalnya kelarutan atau senyawa cahaya pada beberapa reaksi fotokimia. Jika kelarutan menjadi faktor penentu hanya sejumlah kecil obat terlarut saja yang mengalami peruraian (Lachman,1994), laju degradasi obat (-dD/dt) secara matematis dapat digunakan sebagai berikut :
-dD/dt = Ko
Pengintegralan persamaan (1) menghasilkan persamaan (2) sebagai
berikut
(D)= (Do) – Ko . t
Menurut persamaan , kurva hubungan antara (D) dan t menghasilkan garis lurus dengan slope sebesar –Ko dan intersep sebesar Do dengan Do adalah kadar reaktan mula-mula dan Ko adalah laju reaksi. Satuan Ko adalah M.waktu-(K), jika satuan D adalah M. Waktu paro (t1/2) yaitu waktu yang diperlukan untuk separuh reaktan mengalami degradasi. Persamaan waktu paro diperoleh dengan mensubstitusikan (D) = (Do)/2 ke dalam persamaan sehingga diperoleh (Connors dkk,1986) :
t1/2 = {0,5 (Do)}/ Ko
Waktu kadaluwarsa (t90) yaitu waktu yang diperlukan untuk reaktan mengalami degradasi 10% sehingga persamaan untuk waktu kadaluwarsa adalah (Connors,1986) :
t90 = {0,1 (Do)}/ Ko
b. Reaksi orde satu
Reaksi orde satu terjadi jika berk urangnya jumlah reaktan sebanding dengan jumlah reaktan tersis a. Reaksi orde satu dapat dinyatakan sebagai berikut (Connors dkk,1986) :
D→ P
Laju berkurangnya reaktan dinyatakan dalam persamaan :
-d (D)/dt = K1 (Do)
Pengintegralan persamaan menghasilkan persamaan
L (D) = L(Do) –K1 . t
Persamaan dapat diubah menjadi persamaan
(D) = (Do) e-kt (8)
Atau,
Log (D) = log (Do) –K1 t/2,303 (9)
Berdasarkan pada persamaan (10), kurva hubungan antara log D dan t berupa garis lurus dengan slope sebesar –K1 /2,303 dengan D adalah kadar reaktan yang tinggal setelah waktu t. Do adalah kadar reaktan mulamula dan K1 adalah laju reaksi dengan satuan K1 adalah waktu-1.
c. Reaksi orde satu semu
Reaksi orde satu semu dapat didefinisikan sebagai reaksi orde dua atau peningkatan yang dibuat berkelakuan seperti reaksi orde satu. Keadaan itu berlaku bila salah satu zat yang bereaksi ada dalam jumlah yang sangat berlebihan atau tetap pada kadar tertentu dibandingkan zat lainnya. Dengan demikian laju reaksi ditentukan oleh satu reaktan meskipun ada dua reaktan karena tidak mengalami perubahan kadar yang berarti selama reaksi peruraian (Lachman dkk,1994).
d. Reaksi orde dua
Reaksi orde dua dinyatakan sebagai :
D + E → pr oduk
Jika laju reaksi tergantung pada kadar D dan E yang masing-masing dipangkatkan (K), maka laju penguraian D = laju penguraian E dan keduanya sebanding dengan hasil kadar reaktan.
-d(D)/dt = -d(E)/dt = k2 (D)(E)
Jika D = E maka persamaan menjadi :
-d(D)/dt = k2 (Do)
Pengintegralan persamaan akan diperoleh persamaan yaitu :
1/(D) = 1/(Do) + k2 .t
Dengan demikian plot (K)/(D) terhadap waktu (t) akan memberikan garis lurus dengan slope sebesar k2, denagn D adalah kadar reaktan setelah waktu (t), Do adalah kadar reaktan mula-mula, k2 adalah laju reaksi dengan satuan k2 adalah M-1, waktu-1, waktu paro. Untuk reaksi dengan kinetika orde dua diperoleh dengan mensubstitusikan D = Do/2 ke dalam persa maan, sehingga t1/2
memiliki persamaan sebagai berikut :
t1/2 = 1/{k2(Do)}
Waktu kadaluwarsa (t90) diperoleh dengan mensubstitusikan D =
0,9 Do kedalam persamaan 1/(D) = 1/(Do) + k2 .t dan t90 yang diperoleh adalah :
t90 = (K)/{9(Do)k
Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu:
1. Metode substitusi
Dari studi kinetika dikumpulkan data yang kemudian disubstitusikan dalam persamaan -persamaan kecepatan reaksi dalam bentuk integralnya yang menunjukkan berbagai orde reaksi. Apabila dihitung didapat nilai k (tetapan laju reaksi) yang konstan dalam suatu batas variasi eksperimental. Maka reaksi dianggap mengikuti orde reaksi tersebut.
2. Metode grafik
Plot data kedalam bentuk grafik dapat digunakan untuk mengetahui orde reaksi. Jika kadar obat yang masih utuh diplotkan terhadap waktu (t) dan kurva yang didapatkan berupa garis lurus, maka orde reaksi dari reaksi itu adalah orde nol. Reaksi yang mengikuti kinetika orde satu jika plot antara log D terhadap waktu (t) berupa garis lurus. Sedangkan reaksi orde dua jika plot antara 1/D terhadap waktu (t) berupa garis lurus.
3. Metode waktu paro
Untuk reaksi orde nol waktu paro berbanding lurus dengan kadar awal yaitu t1/2 = Do/k2, waktu paro reaksi orde satu tidak tergantung pada kadar awal sehingga harga t1/2 = 0,693/k. sedangkan reaksi orde dua dengan jenis reaktan yang sama harga t1/2 = 1/Do.k (Connors dkk,1986).
3. Jalur Penguraian Obat
Penguraian bahan berkhasiat pada bentuk sediaan farmasi terjadi pada jalur hidrolisis, oksidasi-reduksi, resemisasi, epimerisasi, dekarboksilasi, rearrangement, dan dehidrasi.
a. Hidrolisis
reaksi hidrolisis terjadi pada obat-obat yang memiliki gugus fungsional. Misalnya senyawa ester dan amina.
b. Oksidasi-Reduksi
Pengurangan oksidatif senyawa farmasi menjadi sebab ketidakstabilan banyak sediaan farmasi. Yang menjadi perantara pada reaksi itu adlah radikal bebas atau oksigen molekuler. Suatu zat yang disebut teroksidasi apabila zat itu melepaskan elektron. Jadi zat teroksidasi jika memperoleh atom atau radikal elektronegatif, atau kehilangan atom atau radikal elektropositif. Bentuk penguraian oksidatif yang paling umum terjadi dalam sediaan farmasi adalah autooksidasi yang melibatkan proses berant ai radikal bebas. Secara umum autooksidasi dapat didefinisikan sebagai reaksi bahan apapun dengan bahan molekuler. Contoh : steroid, vitamin, antibiotika, dan epinefrin mengalami penguraian oksidatif (Lachman dkk, 1994).
c. Resemisasi
resemisasi adalah proses dimana bahan obat yang memiliki bentuk-bentuk optis aktif (bentuk L atau D) dalam larutannya terjadi campuran resemis (kedua bentuk terdapat bersama-sama didalamnya). Dalam reaksi resemisasi, suatu zat aktif optis aktif kehilangan aktivitas optiknya tanpa mengubah susunan kimianya. Reaksi ini dapat mempengaruhi stabilitas formulasi farmasi, karena ef ek biologis bentuk dekstro mungkin jauh lebih kecil daripada levo. Kinetika resemisasi dapat diteliti dengan cara serupa dengan reaksi hidrolisis. Kondisi penyimpanan sediaan optimal dapat ditetapkan melalui penentuan konstanta laju reaksi, ketergantungan reaksi pada temperatur, dan ketergant ungan reaksi pada pH. Pada umumnya reaksi resemisasi mengalami penguraian menurut dasar kintika orde satu. Resemisasi suatu senyawa tampaknya bergantung pada gugus fungsional yang terikat pada atom karbon asimetrik, gugus aromatik cenderung mempercepat proses resemisasi. Contoh L-Adrenalin 15-20 X lebih ak tif dari D-Adrenalin (Lachman dkk,1994).
d. Epimerisasi
adalah suatu peristiwa dimana terjadi perubahan konfigurasi struktur suatu senyawa. Hal ini dapat mengakibatkan senyawa tersebut tidak aktif secara biologi bahkan menjadi toksik. Contoh : tetrasiklin. Dalam larutan, tetrasiklin mudah mengalami epimerisasi pada gugus dimetil amina pada C4 menjadi bentuk lain yang dinamakan epitetrasiklin. Bentuk epitetrasiklin hanya mempunyai aktivitas ant ibakteri sedikit atau sama sekali tidak punya. Reaksi resemisasi dan epimerisasi ini seperti halnya reaksi hidrolisis dikatalisis oleh asam atau basa, reaksi oksidasi tergantung dari pH.
e. Dekarboksilasi
Beberapa asam karboksilat, dibawah kondisi tertent u dapat kehilangan CO2 nya dari gugus karboksilatnya sehingga menjadi inaktif.Contoh : Asam P-Aminosalisilat. Jika dipanaskan dibawah kondisi an-aerobik akan mengalami dekarboksilasi.
f. Rearrangement
Adalah peristiwa dimana suatu senyawa kimia berubah menjadi senyawa lain tanpa mengalami perubahan yaitu penambahan maupun pengurangan atom-atomnya. Contoh : Penisillin, dalam larutan asam akan berubah menjadi asam penisilinat yang diduga sebagai penyebab alergi, dengan demikian juga tergantung pH larutan.
DAFTAR PUSTAKA
Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 1986, Teori dan Praktek FarmasiIndustri, Edisi ketiga, diterjemahkan oleh: Suyatmi, S., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 760-779, 1514 – 1587 Connors, K.A., Amidon, G.L. and Stella, V.J., 1986, Chemical Stability of Pharmaceutical, John Willey and Sons, New York, 3-26, 163-168. Parrot, N.,1970, Pharmaceutical Technology, Burgers Publishing Company, Minneapolis, 250-255.
Laporan Stabilitas obat LAPORAN RESMI PERCOBAAN I FARMASI FISIKA STABILITAS OBAT Pengampu : Sugiyono, Apt
Disusun Oleh : Golongan I C Iman Bagus Wicaksono ( 115010658 ) Amalina Firdaus ( 115010670 ) Evi Kurniawati ( 115010671 ) Andwi Pravita Sari ( 115010672 )
LABORATORIUM FARMASI FISIKA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG 2012 LAPORAN RESMI PERCOBAAN III STABILITAS OBAT
A. TUJUAN Mempelajari reaksi kinetika dan menentukan waktu kadaluarsa obat B. DASAR TEORI Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan ( Connors,et al.,1986). Pada pembuatan obat harus diketahui waktu paro suatu obat. Waktu paro suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu gambaran kecepatan terurainya obat atau
kecepatan degradasi kimiawinya. Panas, asam-asam, alkali-alkali, oksigen, cahaya, kelembaban dan faktor-faktor lain dapat menyebabkan rusaknya obat. Mekanisme degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu ikatan, pergantian spesies, atau perpindahan atom-atom dan ion-ion jika dua molekul bertabrakan dalam tabung reaksi (Moechtar, 1989). Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama adalah labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur kimia masing-masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing bahan. Yang kedua adalah faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan udara, yang mampu menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan. Skala kualitas yang penting untuk menilai kestabilan suatu bahan obat adalah kandungan bahan aktif, keadaan galenik, termasuk sifat yang terlihat secara sensorik, secara miktobiologis, toksikologis, dan aktivitas terapetis bahan itu sendiri. Skala perubahan yang diijinkan ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope. Kandungan bahan aktif yang bersangkutan secara internasional ditolerir suatu penurunan sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight, R., 1994). Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi penguraian dari + larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H ) atau basa (OH ) dengan menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari reaksi. (Ansel, 1989) Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal itu penting mengingat sediaannya biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan juga memrlukan waktu yang lama untuk sampai ketangan pasien yang membutuhkannya. Oabt yang disimpan dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahaykan jiwa pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kestabilan suatu zat hingga dapat dipilih suatu kondisi dimana kestabilan obat tersebut optimum. (Anonim, 2004) Stabilitas fisik dan kimia bahan obat baik dan tersendiri dengan bahan – bahan dari formulasi yang merupakan kriteria paling penting untuk menentukan suatu stabilitas kimia dan farmasi serta mempersatukannya sebelum memformulasikan menjadi bentuk-bentuk sediaan. (Ansel, 1989) Kestabilan suatu sediaan farmasi dapat dievaluasi dengan test stabilitas dipercepat dengan mengamati perubahan kosentrasi pada suhu yang tinggi. (Lachman, 1994) Proses laju merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan bagi setiap orang yang berkaitan dengan bidang kefarmasian. Beberapa prinsip dan proses laju yang berkaitan dimasukkan dalam rantai peristiwa ini: a.
Kestabilan dan tak tercampurkan Proses laju umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan ketidakaktifan obat melalui penguraian obat, atau melalui hilangnya khasiat obat karena perubahan bentuk fisik dan kima yang kurang diinginkan dari obat tersebut. b. Disolusi Yang perlu diperhatikan dari faktor disolusi adalah kecepatan berubahnya obat dalam bentuk sediaan padat menjadi bentuk larutan molekular. c. Proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi
d.
a.
b.
c.
Beberapa proses ini berkaitan dengan laju absorbs obat ke dalam tubuh, laju distribusi obat dalam tubuh, dan laju pengeluaran obat setalah proses ditribusi dengan berbagai faktor, seperti metabolisme, penyimpanan dalam organ tubuh, dan melalui jalur-jalur pelepasan. Kerja obat pada tingkat molekular obat Obat dapat dibuat dalam bentuk yang tepat dengan menganggap timbulnya respon dari obat merupakan suatu proses laju. (Martin, 1990) Kecepatan dekomposisi obat ditunjukkan oleh kecepatan perubahan mula-mula satu atau lebih reaktan dan ini dinyatakan dengan tetapan kecepatan reaksi k, yang untuk orde ke satu dinyatakan sebagai harga resiprok dari detik, menit, dan jam. Kecepatan terurainya suatu zat padat mengikuti reaksi orde nol, orde satu, ataupun orde dua, yang persamaan tetapan kecepatan reaksinya seperti tercantum dibawah ini: Orde nol k= C t Orde I k = 2,302 log Co atau k = 2,302 log Co t C t Co – X Orde II k= X Co(Co – X)t Dimana: k = tetapan kecepatan reaksi Co = konsentrasi mula-mula zat C = konsentrasi zat pada waktu t X = jumlah obat yang terurai pada waktu t C = Co – X = konsentrasi mula-mula jumlah yang terurai pada waktu t (Martin, 1990) Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu: Metode Substitusi Data yang terkumpul dari hasil pengamatan jalannya suatu reaksi disubstitusikan ke dalam bentuk integral dari persamaan berbagai orde reaksi. Jika persamaan itu menghasilkan harga k yang tetap konstan dalam batas-batas variasi percobaan, maka reaksi dianggap berjalan sesuai dengan orde reaksi tersebut. Metode Grafik Plot data dalam bentuk grafik dapat digunakan untuk mengetahui orde reaksi tersebut. Jika konsentrasi diplot terhadap t dan didapatkan garis lurus, reaksi adalah orde nol. Reaksi dikatakan orde pertama bila log (Co – X) terhadap t menghasilkan garis lurus bila 1 / (Co – X) diplot 2 terhadap t (jika konsentrasi mula-mula sama). Jika plot 1 / (Co – X) terhadap t menghasilkan garis lurus dengan seluruh reaktan konsenrasi mula-mulanya, reaksi adalah orde ketiga. Metode Waktu Paruh Waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk terurai setengahnya dari konsentrasi mulamula adalah waktu paruh. Dalam reaksi orde nol, waktu paruh sebanding dengan konsentrasi awal (Co) seperti pada tabel waktu paruh: Orde Persamaan orde reaksi Persamaan waktu paruh 0 X = k.t t1/2 = Co / 2k 1 t 1/2 = 0,693 / k
log
Co = (Co – X)
2
k 2,303 X
.t
= k.t
t ½ = 1 / Co.k
Co(Co – X) (Martin, 1990)
A. ALAT dan BAHAN ALAT : -
Labu takar 1 liter
-
Pipet ukur Tabung reaksi
-
Panci
-
Spektrofotometer UV-Vis Stop watch
-
Bekker glass
-
Kompor listrik Thermometer
-
BAHAN : Asetosal Alkohol
-
Aquadest
-
Es batu
-
Ferri nitrat 1% Asam nitrat P
B.
CARA KERJA
Menimbang seksama 0,2 gram Asetosal, larutkan dalam 15 ml Alkohol, encerkan dengan Aquadest sampai 1 liter Memasukkan masing-masing larutan Asetosal ke dalam 5 tabun g reaksi (diberi tanda t0 sampai dengan t40) @10 ml
Memanaskan didalam shaking thermostatic water bath ( dalam praktikum ini di gunakan panci sebagai penggantinya) pada suhu yang dikehendaki (40º C, 55º C, 70º C) Setelah mencapai suhu yang dikehendaki mengambil tabung reaksi t0, dinginkan di dalam crused ice Setelah 10 menit ambil tabung reaksi t10, dinginkan di dalamcrused ice, begitu juga perlakuan yang sama terhadap tabung reaksi t20 – t40 Setelah dingin tambahkan 2 tetes asam nitrat P dan 2 ml Ferri nitrat 1%, kocok sampai homogen Membaca absorbansinya pada panjang gelombang 525 nm Hitung kadar obat yang terdegradasi dengan persamaan kurva baku Y=0,128X+0,004 Menghitung kadar Asetosal yang rusak Menghitung kadar utuh Asetosal Menentukan peruraian Asetosal mengikuti orde reaksi 1 atau 2 F. PEMBAHASAN
Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat mempelajari suatu reaksi dan menentukan waktu kadaluarsa suatu obat. (Anonim, 2012) Stabilitas obat adalah kemampuan suatu obat untuk mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (identitas, kekuatan, kualitas, kemurnian) dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan sehingga mampu memberikan efek terapi yang baik dan menghindari efek toksik. Stabilitas adalah faktor penting kualitas, keamanan dan kemanjuran dari produk obat. Sebuah produk obat, yang tidak cukup stabil, dapat mengakibatkan perubahan fisik (seperti kekerasan, menilai pembubaran, pemisahan fase dll) serta karakteristik kimia (pembentukan risiko tinggi dekomposisi zat). (Anonim, 2000) Laju reaksi atau kecepatan reaksi menyatakan banyaknya reaksi yang berlangsung per satuan waktu. Laju reaksi menyatakan konsentrasi zat terlarutdalam reaksi yang dihasilkan tiap detik reaksi. Berdasarkan eksperimen, laju reaksi meningkat tajam dengan naiknya suhu. (Martin, 1990) T1/2 adalah periode penggunaan dan penyimpanan yaitu waktu dimana suatu produk tetap memenuhi spesifikasinya jika disimpan dalam wadahnya yang sesuai dengan kondisi atau waktu yang diperlukan untuk hilangnya konsentrasi setengahnya. Sedangkan T90 adalah waktu
yang tertera yang menunjukkan batas waktu diperbolehkannya obat tersebut dikonsumsi karena diharapkan masih memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. (Martin, 1990) Pada praktikum stabilitas obat ini bahan yang digunakan adalah Asetosal. Dimana dilakukan penentuan stabilitas obat Asetosal menggunakan metode grafik berdasarkan nilai konstanta kecepatan reaksi, waktu paruh (T1/2) dan T90 (waktu kadaluarsa) dan menggunakan instrumen spektrofotometer pada berbagai suhu yaitu suhu 40◦C, 55◦C, dan 70◦C. Dimana panjang gelombang untuk Asetosal adalah 525 nm.
Berikut reaksi peruraian Asetosal :
Degradasi Asetosal dapat dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dan faktor-faktor lainya. Berdasarkan mekanisme degradasi Asetosal diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi Asetosal berkurang dalam jumlah yang sama dengan konsentrasi asam salisilat yang terbentuk selama reaksi berlangsung. (Anonim, 2011) Adapun tujuan dilakukan pada berbagai suhu 40◦C, 55◦C, dan 70◦C dimaksudkan untuk membedakan atau mengetahui pada suhu berapa obat dapat stabil dengan baik dan pada suhu berapa obat akan terurai dengan cepat. Jika menggunakan suhu yang tinggi kita mampu mengetahui penguraian obat dengan cepat. Sedangkan jika menggunakan suhu kamar dalam pengujian maka butuh waktu yang lama untuk dapat terurai atau terdegradasi walaupun sebenarnya dalam suhu kamarpun Asetosal sudah dapat terdegradasi. Proses yang dikerjakan dalam praktikum ini yaitu, mula-mula timbang secara seksama 0,2 gram Asetosal, lalu di larutkan dalam 15ml alkohol, adapun tujuan penambahan alkohol adalah untuk melarutkan asetosal, karena jika di lihat dari pemerian asetosal yakni agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P; larut dalam kloroform P, dan dalam eter P (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979), maka dipilih pelarut yang cocok yaitu alkohol atau etanol. Lalu encerkan dengan aquadest sampai 1 liter. Jika sudah di encerkan sampai dengan homogen lalu masukkan 10ml masing-masing larutan asetosal ke dalam 5 tabung reaksi ( diberi tanda t0 sampai t40). Panaskan dalam shaking thermostatic water bath yang dalam praktikum ini diganti dengan panci yang di dalamnya terdapat beker glass yang beisi air dan dididihkan di atas kompor listrik yang masing-masing di atur suhunya 40◦C, 55◦C, dan 70◦C. Alasan menggunakan suhu yang tinggi karena bila kita ingin mengetahui batas kestabilan suatu obat (batas kadaluarsanya), maka obat harus disimpan pada jangka waktu yang lama sampai obat tersebut berubah, hal ini tentu tidak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu, sehingga kita menggunakan suhu yang tinggi karena uji kestabilan obat dapat dipercepat dengan menggunakan perubahan suhu atau menggunakan suhu yang tinggi. Semakin tinggi suhunya maka akan semakin cepat bahan obat tersebut untuk terurai. Metode ini dikenal sebagai studi stabilitas yang dipercepat. (Anonim, 2012) Setelah tercapai suhu yang di kehendaki ambil tabung reaksi t0 dinginkan dalam crussed ice, atau pecahan es batu. Setelah 10 menit ambil tabung reaksi t10, dinginkan dalam crussed ice, begitu halnya dengan perlakuan yang sama terhadap tabung reaksi t20 samapai tabung reksi t40. Tujuan pendinginan dalam crussed ice atau ice batu adalah untuk menghentikan reaksi degradasi yang terjadi didalam tabung reaksi. Setelah dingin tambahkan 2 tetes asam nitrat P dan 2 ml Feri Nitrat 1% kocok sampai homogen, adapun tujuan penambahan senyawa tersebut adalah untuk mengetahui apakah asetosal benar-benar telah terdegradasi menjadi asam salisilat dan asam
asetat karena warna ungu yang di timbulkan pada saat penambahan adalah hasil dari asam salisilat dan feri nitrat yang menjadi feri salisilat (warna ungu).
Berikut adalah mekanisme pembentukan senyawa kompleks Ferri Salisilat
Setelah di tambahkan asam nitrat dan feri nitrat baca absorbansinya pada panjang gelombang 525 nm dengan spektrofotometri UV VIS. Alasan digunakanya Spektrofotometri UV-Vis karena Spektrofotometri UV-Vis mempunyai kelebihan diantaranya adalah Spektrofotometri UV-Vis merupakan gabungan antara spektrofotometri UV dan Visible, menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV dan sumber cahaya Visible. Meskipun untuk alat yang lebih canggih sudah menggunakan hanya satu sumber sinar sebagai sumber UV dan Vis, yaitu photodiode yang dilengkapi dengan monokromator. (Anonim, 2012) Setelah dibaca absorbansinya, hitung kadar obat yang terdegradasi dengan persamaan kurva baku Y=0,128X+0,004, dengan memasukkan hasil absorbansi asam salisilat sebagai fungsi Y, adapun X sendiri adalah Kadar Asam salisilat yang dicari. Setelah mendapat kadar Asetosal yang terdegradasi, hitung kadar Asetosal yang rusak ( C ) dalam mg %, dengan cara membagi BM asetosal dengan BM asam salisilat, hasilnya di kali dengan kadar asetosal yang terdegradasi. Setelah mendapat kadar asetosal yang rusak, maka dihitung pula kadar utuh Asetosal dalam mg % , pertama-tama di hitung kadar asetosal mula-mula teoritis Co = 200 mg / 1000 ml, dan diperoleh 20 mg / 100 ml, setelah itu di hitung pula kadar asetosal mula-mula praktek dan di peroleh kadar 19,8 mg / 100 ml, kadar asetosal utuh dapat di ketahui dengan mengurangkan kadar C asetosal yang rusak dengan Co praktek, dan diperoleh kadar dalam mg %.
Setelah menghitung kadar utuh asetosal di tentukan juga peruraian asetosal, apakah asetosal mengikuti orde reaksi 1 atau 2, dalam percobaan ini peruraian asetosal mengikuti orde reaksi 2 dengan harga k = 0,9830. Penentuan orde reaksi di pilih dengan harga k yang paling mendekati angka 1. Dalam hal ini peruraian mengikuti orde 2 dan dapat di sebabkan banyak hal diantaranya adalah proses degradasi masih berjalan pada saat proses sudah di hentikan, ataupun bisa terjadi sebaliknya yaitu, proses degradasi sudah dimulai pada saat percobaan belum dilakukan, karena asetosal sendiri sudah dapat terdegradasi dalam suhu kamar. Dalam percobaan ini juga dicari waktu paro obat T50 atau T1/2 dengan rumus T1/2 = 0,693 di bagi dengan k27 dan diperoleh hasil 9,476 x 10 jam atau 3,9486 x 10 hari. Serta menentukan pula waktu kadaluarsa obat (t90) dengan rumus T90 = 0,105 dibagi dengan K27 dan diperoleh hasil 1,435 x 10 jam atau 5,9792 x 10 hari.
G. KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kinetika reaksi peruraian Asetosal mengikuti orde reaksi 2 2. Waktu paruh obat atau T1/2 yang didapat dari percobaan ini adalah 9,476 x 10 jam atau 3,9486 x 10 hari. 3. Waktu kadaluarsa obat atau T90 yang didapat dari percobaan ini adalah 1,435 x 10 jam atau
5,9792 x 10
hari.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Ansel, Howard C. 1985. PENGANTAR BENTUK SEDIAAN FARMASI EDISI IV . UI press. Jakarta. Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 1986, Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi ketiga, diterjemahkan oleh: Suyatmi, S., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 760-779, 1514 – 1587 Martin. A, 1993, Farmasi Fisika, Edisi III, Jilid II, Indonesia University Press. Moechtar, 1989, Farmasi Fisika : Bagian Larutan dan Sistem Dispersi, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Voight, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta