TUGAS ERGONOMIKA “ERGONOMI, STRES, DAN KELELAHAN KERJA”
Dosen Pengampu: Yunda Megawati, S.Psi., M.Psi.
Nama Anggota Kelompok 8:
Bella Illionora
125120307111080
Belle Disya Nasrullah Aziz
125120307111037
M. Fadhlillah
125120301111023
Natalia Widianingrum
125120307111053
Okta Dwi Putri
125120301111010
Riza Chumairah Rahmat
125120307111019
Tassya Ayesha
125120301111028
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2015
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pekerjaan merupakan bagian yang memegang peranan penting bagi kehidupan manusia yang dapat memberikan kepuasan dan tantangan, sebaliknya dapat pula merupakan gangguan dan ancaman. Terjadinya gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja fisik yang buruk telah lama diketahui, juga telah pula dipahami bahwa desain dan organisasi kerja yang tidak memadai seperti kecepatan dan beban kerja yang berlebihan merupakan faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan akibat kerja. Tetapi beberapa penelitian membuktikan bahwa faktor-faktor penyebab gangguan kesehatan tersebut tidak murni faktor fisik tetapi disertai juga unsur psikologis. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan angka kejadian penyakit penyumbatan pembuluh darah jantung antara pekerja- pekerja pekerja “kerah biru” (blue collar) dan collar) dan “kerah putih” (white collar). collar). Hal ini membuktikan bahwa jenis pekerjaan menimbulkan gangguan kesehatan yang berbeda (Fingret, 2000). Pada tahun 1995 Survey of Self Reported Workrelated Ill Health (SWI) Health (SWI) di Inggris (Smith, 2000) menyatakan 500.000 individu yang percaya bahwa dirinya menderita gangguan kesehatan akibat stres di tempat kerjanya, tetapi dari sejumlah
ini
hanya
216.000
yang
sungguh-sungguh
sakit.
Dengan
mempertimbangkan perbedaan-perbedaan metode penelitian, diperkirakan dari tahun 1990 sampai tahun 1995 terjadi peningkatan kasus stres akibat kerja kirakira sebesar 30% (Smith, 2000). Penelitian lain pada tahun 1985 ditemukan kasus tuntutan hak asuransi gangguan kesehatan akibat stres di tempat kerja sebesar 15% dari seluruh kasus gangguan kesehatan akibat kerja dibandingkan hanya ditemukan 5% saja pada tahun 1979 (Marchand, Demers, & Durand, 2005). Lebih
2
menakjubkan menakjubkan lagi dari hasil “Survei Statistik Kesehatan Kesehatan di Australia Barat” (Work Safe Western Australia and Work Cover, 1996) yang menemukan peningkatan kasus stres akibat kerja yang fantastis, yaitu dari ditemukannya sebanyak 380 kasus tuntutan hak asuransi gangguan kesehatan akibat stres di tempat kerja pada kurun waktu 1994 sampai 1995 dibandingkan dengan ditemukan hanya 205 kasus pada kurun waktu 1993 sampai 1994. Pada survei ini juga diyatakan bahwa pekerja p ekerja laki-laki kehilangan kira-kira 50,8 hari kerja ke rja setiap kasus tuntutan hak asuransi, sedang pekerja wanita kehilangan kira-kira 58,5 hari kerja. Dengan demikian harus diakui bahwa stres akibat kerja merupakan masalah kesehatan kerja yang penting, yang secara bermakna akan menyebabkan penurunan produktivitas kerja. Kelelahan kerja adalah gejala yang berhubungan dengan penurunan efisiensi kerja, keterampilan, kebosanan, serta peningkatan kecemasan. Kata “lelah” memiliki arti tersendiri bagi setiap individu dan bersifat subjektif (Putri, 2008). Kelelahan kerja merupakan bagian dari permasalahan umum yang sering dijumpai pada tenaga kerja. Menurut beberapa peneliti, kelelahan secara nyata dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja dan dapat menurunkan produktivitas. Investigasi di beberapa negara menunjukkan bahwa kelelahan (fatigue) memberi (fatigue) memberi kontribusi yang signifikan terhadap kecelakaan kerja (Eraliesa, 2008). Kelelahan kerja memberi kontribusi 50% terhadap terjadinya kecelakaan kerja (Setyawati, 2007). Data dari International Labour Organization Organization (ILO) (2003) menunjukkan bahwa hampir setiap tahun sebanyak dua juta pekerja meninggal dunia karena kecelakaan kerja yang disebabkan oleh faktor kelelahan. Penelitian tersebut menyatakan dari 58.155 sampel, sekitar 18.828 sampel menderita kelelahan yaitu sekitar 32,8% dari keseluruhan sampel (Baiduri, 2008). Perasaan kelelahan kerja adalah satu dari beberapa gejala yang sering ditemukan di balai pengobatan maupun rumah sakit yaitu sekitar 20-40% populasi mengeluhkan kelelahan kerja yang berat (Setyawati, 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI didapat 30-40% masyarakat
3
pekerja pemberi jasa layanan kesehatan yang bersifat teknis dan beroperasi selama 8-24 jam sehari mengalami kelelahan. Hal ini dikarenakan adanya pola kerja bergilir (Depkes RI, 2003). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa faktor individu seperti umur, pendidikan, masa kerja, status perkawinan dan status gizi mempunyai hubungan dengan terjadinya kelelahan kerja (Oentoro, 2004). Faktor individu seperti umur mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan, dimana umur berkaitan dengan proses degenerasi organ yang menyebabkan penurunan kemampuan organ sehingga tenaga kerja semakin mudah mengalami kelelahan (Widyo, 2008). Bukti di negara Jepang menunjukkan bahwa pekerja berusia 40-50 tahun akan lebih cepat menderita kelelahan dibandingkan dengan pekerja yang yang lebih muda (Hidayat, 2003). Hasil riset menunjukkan secara klinis terdapat hubungan antara status gizi seseorang dengan performa tubuh secara keseluruhan, orang yang berada dalam kondisi gizi yang kurang baik maka akan lebih mudah mengalami kelelahan dalam melakukan pekerjaan (Oentoro, 2004). Satu hal yang perlu mendapat perhatian dalam rangka meminimalkan kelelahan kerja adalah ergonomi. Salah satu penelitian ergonomi mengenai rancangan tempat duduk telah memanfaatkan teknik antropometris dan penilaian subjektif terhadap rasa nyaman. Hasilnya telah membuahkan perumusan pedoman untuk mengevaluasi sarana tempat duduk dari segi kebutuhan pada umumnya. Sejauh dapat dipraktekkan, tempat duduk dan permukaan kerja yang dapat disetel atau keduanya memberikan cara yang efektif untuk mengatasi perbedaan individu (Anastasi, 1993, h.329). Perusahaan atau organisasi yang sadar benar akan pentingnya ergonomi sebagai ilmu yang berkaitan dengan efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerjanya (Nurmianto dalam Sutanto, dkk., 1999, h.117), akan setuju sekali memasukkan ergonomi dalam sistem industrinya, seperti dengan cara mengupayakan suatu kondisi kerja yang sehat, nyaman, efisien, dan ergonomis. Hal tersebut difungsikan agar menurunnya kecepatan dan ketepatan kerja, kelelahan kerja, ketidaknyamanan tempat dan
4
sarana kerja, dan kesalahan manusia dapat dihindari dan dikurangi, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Maka dari itu makalah ini penulis buat sebagai upaya untuk mempelajari lebih jauh peran dari ergonomi atas stres dan kelelahan kerja terutama dilihat dari kacamata psikologi.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai stres dan kelelahan kerja 2. Untuk mengetahui aplikasi ergonomi untuk mengatasi stres dan kelelahan kerja 3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah ergonomi
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini meliputi: 1. Apa pengertian dari stres kerja? 2. Apa pengertian dari kelelahan kerja? 3. Bagaimana penerapan ergonomi dalam rangka mengatasi stres dan kelelahan kerja?
5
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Stres Kerja
Luthans (2006: 441) mendefinisikan bahwa stres kerja sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan tuntutan psikologi atau fisik yang berlebihan pada seseorang. Mangkunegara (2008: 157) mendefinisikan stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja ini tampak dari simptom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan. Gibson,dkk (2011: 339) mendefinisikan stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian, diperantarai
oleh
perbedaan-perbedaan
individu
dan/atau
proses-proses
psikologis, akibat dari setiap tindakan lingkaran, situasi atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologi dan/atau fisik berlebihan kepada seseorang. Ardana,dkk. (dalam Faliza, 2011) mengemukakan bahwa salah satu alasan mengapa stres perlu untuk dipahami adalah stres kerja tidak dapat bekerja secara optimal sehingga akan memberi dampak yang negatif pada hasil kerjanya atau dengan kata lain karyawan tidak dapat mengoptimalkan hasil kerjanya. Karyawan yang mengalami stres di lingkungan kerjanya dapat mempengaruhi kemampuan karyawan tersebut dalam bekerja.
1. Penyebab Stres
Penyebab dari stres kerja terbagi menjadi: a. Stresor fisik di tempat kerja misalnya 1) Kebisingan, penerangan yang kurang memadai, temperatur ruangan yang terlalu tinggi serta bahaya-bahaya kerja fisik lainnya.
6
2) Bahaya-bahaya kerja kimiawi, misalnya debu kerja yang berlebihan. 3) Bahaya
kerja
ergonomis,
misalnya
meja
kerja
yang
terlalu
tinggi/terlalu rendah, jangkauan yang jauh, bekerja dengan posisi sulit dan lain-lain.
b. Stresor emosional atau mental seperti: 1) Bisa merupakan kondisi yang tidak menyenangkan atau bahkan kondisi
yang
menyenangkan
misalnya
suatu
promosi
dapat
mengakibatkan timbulnya stres akibat kehilangan po sisi. 2) Sistem tugas a) Kerja lembur Menurut beberapa penelitian, kerja lembur yang terlalu sering, apalagi kalau tanpa kontrol jumlah jam kerja yang berlebih-lebihan ternyata tidak hanya mengurangi kuantitas dan kualitas hasil kerja, juga seringkali meningkatkan kuantitas absen dengan alasan sakit atau kecelakaan kerja. Hal seperti ini misalnya bisa terjadi pada pekerja-pekerja di industri pengemasan buah kaleng yang biasanya banyak berhubungan dengan musim buah. b) Tugas kerja malam Kerja malam merupakan tugas yang berat bagi individu pekerja, seringkali mengakibatkan timbulnya gangguan fisik akibat kurang tidur serta perubahan tingkah laku yang dapat mendorong individu untuk penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang serta perubahan kebiasaan makan. Misalnya: polisi, perawat, satpam, anggota
pemadam
kebakaran,
pekerja-pekerja
di
industri
pelayanan (hotel, transportasi, dan lain-lain), termasuk pekerja dengan tugas malam lainnya. Penelitian yang dilaksanakan oleh Bilat dkk. pada tahun 2002 ditemukan bahwa cuti sakit perawat wanita dan pekerja rumah sakit lainnya mencapai lebih dari 13%
7
dari seluruh jumlah hari kerja akibat jadwal kerja malam yang terlalu sering di rumah sakit. c) Kecepatan mesin Kecepatan kerja yang didasarkan semata-mata pada kapasitas kecepatan mesin sangat menguras energi fisik dan psikologis individu pekerja karena harus terpaku untuk menyesuaikan kecepatan mesin, ban berjalan atau proses produksi, sehingga sedetik pun tak memungkinkan pekerja untuk meninggalkan tempat kerjanya tanpa digantikan atau ditolong temannya. Misalnya produk-produk kontrol kualitas yang dihasilkan oleh mesin-mesin yang berkecepatan tinggi dan produk-produk yang harus berdasarkan jadwal yang ketat. d) Gerakan yang berulang secara monoton Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan dengan gerakan anggota badan yang berulang secara monoton, yang kadangkadang pula disertai posisi kerja yang sulit, atau sambil membawa beban atau menahan beban seringkali sangat memberatkan individu
pekerja.
Misalnya
pekerjaan-pekerjaan
di
industri
penggergajian kayu, pengemasan, pemilihan dan asembling pada ban berjalan. Walsh dkk. menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pekerjaan peke rjaan yang banyak ban yak menggerakkan men ggerakkan tangan tan gan berulang berulan g dan membosankan seperti pada para pekerja penggergajian kayu lebih banyak menimbulkan penyakit-penyakit psikosomatik dan gejalagejala stres mental lainnya sehingga meningkatkan frekuensi cuti sakit. e) Kekangan-kekangan Tidak adanya kebebasan bekerja, misalnya tahapan-tahapan pekerjaan yang mempunyai jadwal tugas yang ketat dan detail. Misalnya pemeliharaan/perawatan/pengujian mesin kapal terbang
8
yang
harus
mengikuti/berdasarkan
“checklist”
yang
ketat,
pekerjaan mencocokkan/memasang/merakit elemen-elemen jadi bangunan rumah/mesin-mesin, pekerjan akunting. f) Komunikasi yang menjemukan/membebankan Pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kontak yang memberatkan karena memerlukan negosiasi untuk perihal yang sulit diterima atau tidak selaras dengan kehendak lawan bicara. Misalnya manajer pemasaran, personil promosi obat-obatan. 3) Volume pekerjaan a) Volume pekerjaan yang berlebihan Volume pekerjaan yang terlalu banyak, yang dibatasi oleh waktu. Misalnya: (1) Tergesa-gesa karena dibatasi oleh waktu, misalnya petugas pelayanan pelanggan yang harus melayani pelanggan dengan antrian yang panjang untuk menunggu pelayanan, sekretaris dengan tugas yang bertumpuk. (2) Permintaan-permintaan untuk pengambilan keputusan yang rumit, misalnya petugas kontrol kualitas, pekerjaan yang harus membutuhkan masukan informasi yang banyak. b) Volume pekerjaan yang sangat kurang Kurang rangsangan untuk bekerja, kurang variasi, tidak ada kreativitas atau tuntutan untuk mengatasi masalah. Misalnya: (1) Tuntutan pekerjaan yang memerlukan perhatian penuh tetapi kurang rangsangan untuk bekerja. Pekerja harus tetap waspada dan harus selalu siap untuk bereaksi bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Walaupun keadaan tersebut jarang sekali terjadi, seperti tugas pengawasan mesin dan peralatan padam penggunaan reguler, tugas menjaga pintu kereta api.
9
(2) Tuntutan untuk membeda-bedakan secara tepat biasanya membutuhkan
konsentrasi,
perasaan
dan
konsentrasi
penglihatan yang intens. c) Tidak diberi tugas karena atasan pilih kasih, atau kemampuan kalah bersaing dengan yang lain. d) Tanggung jawab untuk keselamatan dan kesejahteraan diri sendiri, organisasi tempat kerja dan masyarakat umum. Misalnya: (1) Tanggung jawab untuk bekerja dengan aman merupakan faktor stres psikis dari pekerja karena harus bekerja selalu dengan hati-hati agar tidak membahayakan orang di sekitarnya atau pun membahayakan diri sendiri, seperti: operator mesin derek, pekerja yang menangani bahan-bahan kimia yang berbahaya atau yang mudah meledak, pilot. (2) Tanggung jawab pekerjan terhadap kesejahteraan masyarakat misalnya pekerja-pekerja di sektor kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan lainnya. (3) Tanggung jawab terhadap peralatan dan bahan-bahan kerja yang bernilai tinggi. e) Kondisi fisik/lingkungan tempat kerja Adanya ancaman terpapar kondisi fisik tempat kerja yang kurang menyenangkan
atau
kontak
dengan
bahan-bahan
beracun.
Misalnya: (1) Tempat kerja yang sunyi/terpencil, seperti pekerjaan-pekerjan menyendiri yang tak mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan orang lain atau pekerjan-pekerjan yang pada situasi sulit atau terancam bahaya tak memungkinkan untuk mencari pertolongan dari teman kerja atau siapapun. Misalnya: tugastugas pengawasan/penjagaan yaitu penjaga mercu suar, tugas
10
jaga malam, operator telegraf, pekerjaan-pekerjaan yang tidak kontak langsung dengan langganan. (2) Tempat kerja yang jauh atau sulit dijangkau (3) Pemaparan di tempat kerja, umumnya pemaparan fisik dan pemaparan kimiawi, seperti suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, tempat kerja yang sempit berdesakan, ventilasi buruk, penerangan yang kurang baik, vibrasi, masalah-masalah ergonomi, tempat kerja yang bising, bau-bau yang tidak enak, debu-debu kerja dan substansi kimia yang berbahaya.
c. Organisasi tempat kerja 1) Perubahan-perubahan Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat kerja merupakan salah satu penyebab utama dari stres. Perubahan seringkali berarti terjadi suatu kehilangan, seperti diberlakukan teknik yang baru di tempat kerja, ganti supervisor, restrukturisasi organisasi, diberi tugas baru yang sukar dilaksanakan, pindah bagian, dan dibebastugaskan sebagai pimpinan. 2) Manajemen yang otokratis Pada perusahaan dengan manajemen yang otokratis, biasanya komunikasi atasan dan bawahan tidak berjalan dengan baik. Seringkali para pekerja dibebani oleh dua perasaan yang berlawanan, yang mendorong timbulnya stres. Perasaan tersebut biasanya timbul bila para pekerja mengerti apa yang mereka harus perbuat tetapi pada kenyataannya hal itu tak dapat dilaksanakan. Komunikasi yang buruk juga biasanya mencetuskan
timbulnya perasaan ketidakpuasan,
kurangnya penghargaan, konflik pada rantai komando atau konflik perbedaan tuntutan para pekerja pada manajemen bisa menimbulkan konflik dengan teman sekerja. Juga bila pekerja harus mengerjakan
11
perintah yang tak disukainya atau bila perintah tidak ti dak tercantum dalam deskripsi pekerjaan, kurangnya dukungan dana atau fasilitas lainnya dari manajemen guna menyelesaikan tugas atau tidak diberinya kekuasaan untuk memutuskan masalah dalam menyelesaikan tugas merupakan stresor psikologis yang penting. 3) Pengembangan karir. Ancaman dipecat, diturunkan pangkat, dipensiunkan lebih dini karena sakit, ada hambatan untuk promosi atau mendapat promosi untuk pekerjaan yang kurang dikuasai, dapat menimbulkan kecemasan yang hebat.
2. Gejala Stres
Menurut Anoraga (2001) gejala stres adalah sebagai berikut: a. Menjadi mudah marah dan tersinggung b. Bertindak secara agresif dan defensif c. Merasa selalu lelah d. Sukar konsentrasi, pelupa e. Jantung berdebar-debar f. Otot tegang, nyeri sendi g. Sakit kepala, perut dan diare.
Teori Terry Beehr dan Newman (1978) membagi gejala stress menjadi tiga aspek yaitu gejala psikologis, gejala fisik dan perilaku. Gejala psikologis terdiri dari: a. Kecemasan, ketegangan b. Bingung, marah, sensitif c. Memendam perasaan d. Komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi intelektual e. Mengurung diri, ketidakpuasan bekerja
12
f. Depresi, kebosanan, lelah mental g. Merasa terasing dan mengasingkan diri, kehilangan daya konsentrasi h. Kehilangan spontanitas dan kreativitas i.
Kehilangan semangat hidup, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.
Sedangkan selain gejala psikis juga muncul gejala fisik yaitu: a. Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah b. Meningkatnya sekresi adrenalin dan non adrenalin c. Gangguan gastrointestial, misalnya gangguan lambung d. Mudah terluka, kematian, gangguan kardiovaskuler e. Mudah lelah secara fisik, gangguan pernafasan f. Lebih sering berkeringat, gangguan pada kulit g. Kepala pusing, migrain, kanker h. Ketegangan otot, problem tidur
Gejala perilaku: a. Menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas b. Penurunan prestasi dan produktifitas c. Meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk d. Perilaku sabotase e. Meningkatnya frekuensi absensi f. Perilaku makan yang tidak normal g. Kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan h. Kecendrungan perilaku yang beresiko tinggi seperti ngebut, berjudi i.
Meningkatnya agresivitas dan kriminalitas
j.
Penurunan kualitas hubungan interpersoal dengan keluarga dan teman
k. Kecendrungan bunuh diri.
3. Jenis Stres
13
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: a. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan
konstruktif
(bersifat
membangun).
Hal
tersebut
termasuk
kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance tingkat performance yang tinggi. b. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
B. Kelelahan Kerja
Menurut Grandjean (2000) kelelahan dapat didefinisikan sebagai keadaan kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja, yang berbeda-beda pada setiap individu. Kelelahan dapat dikatakan kehilangan kesiapsiagaan. Lelah bagi setiap orang akan mempunyai arti tersendiri dan sifatnya subyektif. Lelah merupakan suatu perasaan. Kelelahan yang dimaksud disini adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja. Berikut ini akan dijelaskan komponen fisilogis dan psikologis kelelahan. Secara fisiologis kelelahan dihubungkan dengan pergantian aktivitas otak, gerakan mata, gerakan kepala, tonus otot, denyut jantung. Sedangkan komponen psikologis dihubungkan dengan mood dan dan motivasi yang merupakan fungsi psikomotor dan kognitif. Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh menghindari
dari dari
kerusakan
lebih
lanjut
(Suma’mur, (Suma’mur,
1995).
Menurut
Chavalitsakulchai dan Shahvanaz (dalam Setyawati, 2010), kelelahan kerja merupakan fenomena yang kompleks yang disebabkan oleh faktor biologi pada proses kerja serta dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor
14
internal pengaruh terjadinya kelelahan kerja yaitu lingkungan kerja yang tidak memadai, dan eksternal pengaruh kelelahan kerja yaitu masalah psikososial (Setyawati, 2010). Kelelahan kerja menunjukan keadaan yang berbeda-beda tetapi semuanya berkaitan kepada penggurangan kapasitas kerja dan ketahanan umum (Wijaya & Setyawati, 2006). Semua pekerjaan akan menghasilkan kelelahan kerja, dan kelelahan kerja akan menurunkan kinerja serta menambah tingkat kesalahan kerja (Nurmianto, 1996). Setiap orang yang bekerja dengan melebihi batas tertentu akan menimbulkan kelelahan, oleh karena itu setiap perusahaan haruslah memikirkan waktu istirahat sebelum tenaga pulih kembali (Nitisemito, 1996). Telah dijelaskan bahwa kelelahan terdiri dari komponen fisiologis dan komponen psikologis. Bila terjadi kelelahan, temperatur tubuh, detak jantung, tekanan darah, pernapasan dan produksi adrenalin akan turun. Ketika kelelahan, seseorang mungkin akan kelihatan tertidur sejenak (micro-sleeps). Micro-sleeps adalah tidur sebentar (brief naps) naps) yang berlangsung 4-5 detik. Sedangkan komponen psikologis adalah berhubungan dengan perasaan (mood) dan (mood) dan motivasi yang merupakan fungsi dari psikomotor.
1. Jenis Kelelahan Kerja
Menurut Grandjean (2000) kelelahan digolongkan atas: a. Kelelahan otot dengan tanda-tanda: berkurangnya kemampuan untuk menjadi pendek ukurannya, bertambahnya waktu kontraksi dan relaksasi dan memanjangnya waktu laten, yaitu waktu di antara perangsangan dan saat mulai kontraksi. b. Kelelahan umum, yaitu kelelahan dengan turunnya efisiensi dan ketahanan dalam bekerja meliputi segenap kelelahan tanpa memandang apapun penyebabnya, seperti kelelahan yang sumber utamanya adalah mata, kelelahan fisik umum, kelelahan mental, kelelahan saraf, kelelahan oleh lingkungan yang monoton, kelelahan oleh lingkungan kronis terus-
15
menerus sebagai pengaruh aneka faktor secara menetap dan kelelahan oleh karena cycardian yakni cycardian yakni menunda periode waktu tidur (kekurangan waktu tidur).
Menurut Setyawati (1994) kelelahan terbagi menjadi: a. Kelelahan fisiologis, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh faktor fisik di tempat kerja antara lain oleh suhu dan kebisingan, getaran dan pencahayaan. b. Kelelahan psikologis, yaitu kelelahan yang disebabkan antara lain oleh faktor psikologis, monotoni pekerjaan (kebosanan sebagai gejala subjektif yang disebabkan oleh pekerjaan), bekerja karena terpaksa dan pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk.
2. Faktor Penyebab Kelelahan Kerja
Penyebab kelelahan secara garis besar disebabkan oleh beban kerja baik berupa faktor eksternal berupa tugas (task) itu (task) itu sendiri, organisasi (waktu kerja, istirahat, kerja gilir, kerja malam, dll) dan lingkungan kerja (fisik, kimia biologi, ergonomis dan psikologis). Sedangkan beban kerja faktor internal yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri berupa faktor somatis (umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, kondisi kesehatan, status gizi) dan faktor psikis (motivasi, kepuasan kerja, keinginan, dll). Menurut Setyawati (2010), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja terdiri dari faktor lingkungan kerja yang tidak memadai untuk bekerja dan masalah psikososial mereka ataupun fisik mereka. Fisik seorang pekerja dapat dipengaruhi oleh tingkatan umur, karyawan muda umumnya memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan karyawan yang berumur lebih tua (Hasibuan, 2009). Didalam buku Suma’ Suma’mur (1995), sebab-sebab kelelahan kerja terdiri dari: a. Monoton/melakukan pekerjaan yang sama setiap waktunya
16
b. Beban kerja yang tinggi dan lama kerja c. Lingkungan yang kurang mendukung d. Faktor kejiwaan pekerja e. Sakit, rasa sakit, dan gizi buruk seorang pekerja.
Menurut Suma’mur (1996), ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kelelahan yaitu faktor internal dan faktor ek sternal. a. Faktor Internal Secara umum faktor internal yang berasal dari dalam individu, terdiri dari 2 faktor yaitu faktor somatis (fisik) seperti kesehatan/gizi/pola makan, jenis kelamin, usia. Dan faktor psikis, seperti pengetahuan, sikap/gaya hidup/pengelolaan stress. b. Faktor Eksternal Sedangkan yang termasuk faktor eksternal yang merupakan faktor yang berasal dari luar yaitu faktor fisik, seperti kebisingan, suhu, pencahayaan. Faktor kimia, seperti zat beracun. Faktor biologis, seperti bakteri jamur. Faktor ergonomi, serta faktor lingkungan kerja, seperti kategori pekerjaan, sifat pekerjaan, disiplin perusahaan, gaji/uang lembur (insentif), hubungan sosial, posisi kerja.
3. Gejala Kelelahan Kerja
Tanda-tanda kelelahan yang utama adalah hambatan terhadap fungsifungsi kesadaran otak dan perubahan-perubahan pada organ-organ di luar kesadaran. Seseorang yang lelah menunjukkan gejala antara lain penurunan perhatian, perlambatan dan hambatan persepsi, lambat dan sukar berpikir, penurunan kemauan atau dorongan untuk bekerja, kurangnya efisiensi kegiatan-kegiatan fisik dan mental. Keadaan seperti tersebut diatas dapat menjadi
sebab
terjadinya
kecelakaan
kewaspadaan.
17
sebagai
akibat
menurunnya
C. Aplikasi Ergonomi Untuk Mengatasi Stres dan Kelelahan Kerja
Semua jenis pekerjaan tentunya akan menghasilkan stress dan kelelahan kerja. Hal tersebut dikarenakan setiap manusia memiliki keterbatasan baik dari segi fisik maupun psikis (Wignjosoebroto, dalam Puswiartika, 2008). Stres dan kelelahan kerja tentunya akan berdampak terhadap penurunan produktivitas dan memicu kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Sebagai upaya dalam mengatasi hal tersebut, kajian ilmu ergonomi merupakan usaha yang tepat untuk dilakukan, karena efek yang ditimbulkannya akan mampu dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Perusahaan atau organisasi yang sadar benar akan pentingnya ergonomi sebagai ilmu yang berkaitan dengan efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerjanya, akan setuju sekali memasukkan
ergonomi
dalam
sistem
industrinya,
seperti
dengan
cara
mengupayakan suatu kondisi kerja yang sehat, nyaman, efisien, dan ergonomis (Nurmianto, dalam Puswiartika, 2008). Aplikasi ergonomi sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi stres dan kelelahan kerja dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Secara Fisik a. Adanya standar kebisingan maksimum Untuk mengatasi kebisingan perlu adanya standar maksimal kebisingan yang diterapkan dalam suatu ruangan. Sesuai dengan undang-undang K3, ambang batas kebisingan terutama untuk suara khas mesin yang dianjurkan adalah 85 desibel. Tidak hanya itu alat pelindung diri seperti earmuff ataupun ataupun earplug juga wajib dikenakan untuk melindungi telinga pekerja dari gangguan pendengaran. Kebisingan yang menyebabkan ketulian (Noiced Induced Deafness) Deafness) ditunjukkan oleh rentang frekuensi 2000-6000 Hz. Para pekerja yang berada pada rentang frekuensi tersebut harus selalu dites secara periodik pada kemampuan dengarnya. b. Pengaturan penerangan/pencahayaan
18
Pengaruh dari terangnya suatu objek tergantung pada keadaan penerimaan dari mata. Jika daerah penglihatan mengandung suatu wilayah yang sangat terang,
mata
akan
cenderung
untuk
menerimanya,
mengurangi
kepekaannya sampai ke wilayah yang lebih gelap. Penerangan dari suatu objek tergantung dari suasana terang yang ada di sekelilingnya, dimana mata dapat menerima suasana tersebut. Cahaya yang menyilaukan mata hendaknya juga dihindari. Sumber-sumber silau tersebut contohnya seperti lampu-lampu tanpa pelindung yang dipasang terlalu rendah, jendela jendela besar pada permukaan tepat pada mata, lampu atau cahaya cah aya dengan terang yang berlebihan, dan pantulan dari permukaan kerja dan lantai yang mengkilap juga perlu dihindari adanya glare. adanya glare. c. Temperatur yang sesuai Rentang temperatur dimana manusia merasakan kenyamanan sangatlah bervariasi. Variasi tersebut sangat bergantung, pertama dari jenis pakaian yang dipakai, kedua dari aktivitas fisik yang telah dilakukan. d. Memonitor kesehatan umum Pemberian gizi kerja yang memadai sesuai dengan jenis pekerjaan dan beban kerja. Seorang tenaga kerja dengan keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas kerja dan ketahanan tubuh yang lebih baik, begitu juga sebaliknya (Budiono, dalam Windyananti, 2010). Pada keadaan gizi buruk, dengan beban kerja k erja berat akan mengganggu menggan ggu kerja dan menurunkan efisiensi dan ketahanan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit sehingga mempercepat timbulnya kelelahan. e. Menghindari bahaya kimiawi Untuk menghindari bahaya-bahaya kerja kimiawi seperti debu dan lain sebagainya pihak perusahaan ataupun K3 sebaiknya memberikan alat pelindung diri untuk seluruh pekerjanya seperti salah satunya masker untuk menghindari bahan-bahan kimia tidak masuk ke dalam tubuh lewat hidung ataupun mulut.
19
f. Penggunaan prinsip antropometri Data-data antropometri digunakan untuk memastikan terjaminnya syaratsyarat kesehatan dan keselamatan kerja dan untuk mengembangkan terciptanya kenyamanan bekerja. Tugas-tugas individu yang melakukan aktivitas kerja perlu dipikirkan dalam mendesain alat kerja atau mesin yang ergonomis.
Dalam mendesain meja kerja, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Tergantung dari tugas-tugas yang dilaksanakan, dikenal 3 jenis utama meja kerja, yaitu meja kerja duduk, berdiri dan kombinasi. Meja kerja duduk cocok untuk kondisi-kondisi berikut ini: 1) Seluruh komponen pekerjaan dilaksanakan dalam siklus jangka pendek, dapat disuplai dengan mudah dan dapat dilaksanakan sambil duduk. 2) Tidak ada komponen pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tangan yang terletak lebih dari 15 cm di atas permukaan meja kerja. 3) Tidak membutuhkan tenaga yang besar, mengangkat beban tidak lebih dari 4,5 kg, misalnya pada tugas-tugas pekerjaan asembling dan mengetik/menulis. Meja kerja yang memenuhi persyaratan untuk tugas ini ialah ukuran meja kerja yang pekerjanya dapat menjangkau semua komponen pekerjaan diatas meja tanpa membungkuk, mengecilkan badan atau memutar badan terlalu jauh.
Meja kerja berdiri cocok untuk kondisi-kondisi kon disi-kondisi berikut ini: 1) Ada komponen pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar (> 4,5 kg). 2) Seringkali memerlukan jangkauan yang tinggi, rendah atau jauh dari permukaan tubuh.
20
3) Banyak memerlukan pindah-pindah tempat, banyak membungkukkan badan, misalnya pada tugas-tugas memilih biji-bijian dan pengemasan. 4) Dalam situasi tertentu, dimana meja kerja tidak memungkinkan untuk mempunyai ruang membengkokkan lutut.
Selain itu persyaratan untuk meja kerja berdiri tergantung dari tugas-tugas yang dilaksanakan: 1) Pekerjaan-perkerjaan yang memerlukan ketelitian seperti asembling komponen elektronik, menulis dan menggambar, siku memerlukan penyangga untuk mengurangi beban statis pada otot-otot punggung, maka tinggi meja kerja sebaiknya sedikit di atas ukuran tinggi siku pada saat berdiri (10-15 cm di atas tinggi siku). 2) Pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan ruangan yang luas untuk peralatan dan komponen-komponen kerja lainnya, membutuhkan tinggi meja kerja sedikit di bawah ukuran tinggi siku pada saat berdiri (10-15 cm di bawah tinggi siku). 3) Pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan tenaga yang besar, yang banyak menggunakan gerakan bagian atas tubuh seperti meggunakan palu, gergaji dan lain-lain, membutuhkan tinggi meja kerja jauh di bawah ukuran uk uran tinggi siku pada saat berdiri (15-40 cm di bawah tinggi siku).
Sedangkan meja kerja duduk/berdiri (kombinasi) cocok untuk kondisi-kondisi berikut ini: 1) Perkerjaan
yang
menggerakkan
tangan
berulang-ulang
dengan
jangkauan kemuka lebih dari 41 cm, keatas lebih dari 15 cm dari permukaan meja kerja. 2) Pekerjaan dengan tugas multipel, beberapa lebih baik dilaksanakan secara duduk dan yang lain secara berdiri.
21
2. Secara Psikologis a. Mengatur jangka waktu kerja yang diselingi dengan waktu istirahat, misalnya menerapkan pengaturan jam kerja dan istirahat, yaitu 75% kerja dan 25% istirahat untuk jenis pekerjaan dengan beban kerja sedang. Sedangkan untuk jenis pekerjaan yang memiliki beban kerja yang berat diterapkan pengaturan jam kerja yang tidak berlangsung lama. b. Mengupayakan tempat tinggal agar sedekat mungkin dengan tempat kerja, bila perlu bagi tenaga kerja dengan tempat tinggal yang jauh difasilitasi dengan transportasi dari perusahaan. c. Pembinaan mental secara teratur dan berkala dalam rangka stabilitas kerja dan kehidupannya. Misalnya dengan melakukan pengujian dan evaluasi kinerja tenaga kerja secara periodik untuk mendeteksi indikasi kelelahan secara lebih dini dan menemukan solusi yang tepat. d. Menyediakan fasilitas rekreasi, waktu rekreasi dan istirahat dilaksanakan secara baik. e. Penyelenggaraan program cuti dan liburan yang tepat. f. Memberikan perhatian khusus pada kelompok tertentu seperti tenaga kerja beda usia, wanita hamil dan menyusui, tenaga kerja shift malam, dan tenaga baru pindahan. g. Memastikan tenaga kerja yang bebas alkohol, narkoba, dan obat berbahaya yang lain.
22
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada penjabaran sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Stres kerja merupakan perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Kelelahan kerja yaitu keadaan kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja, yang berbeda-beda pada setiap individu. Stres dan kelelahan kerja memiliki keterkaitan antara satu dan yang lainnya, dimana apabila pekerja merasa tertekan dengan pekerjaannya maka lambat laun akan menimbulkan masalah kelelahan. Begitu juga sebaliknya, apabila pekerja mengalami penurunan efisiensi dan kapasitan dalam bekerja maka pada akhirnya akan memicu stress kerja. 2. Adanya keterkaitan antara stress dan kelelahan kerja, serta banyaknya angka kecelakaan kerja menurut hasil beberapa survei menandakan pentingnya memperhatikan solusi yang terbaik untuk menangani hal tersebut, salah satunya menggunakan prinsip ergonomi. Pengaplikasian prinsip ergonomi dalam mengatasi stress dan kelelahan kerja dapat dibagi menjadi 2, yaitu secara fisik dan secara psikologis.
B. Saran
Ilmu ergonomi dapat memperbaiki performansi kerja manusia seperti menambah kecepatan kerja, keselamatan kerja dan untuk mengurangi energi kerja yang berlebihan serta mengurangi datangnya kelelahan yang terlalu cepat. Ilmu ergonomi diharapkan mampu memperbaiki pendayagunaan sumber daya manusia serta meminimalkan kerusakan peralatan yang disebabkan kesalahan manusia (human errors). Dengan demikian diharapkan bagi pihak perusahaan bersedia
23
untuk menerapkan prinsip-prinsip ergonomi demi menjamin kesejahteraan para pekerja sehingga akan mengoptimalkan produktivitas perusahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fingret, A. (2000). Occupational mental health: a brief history. Occup Med Journal , 50: 289-93. Marchand, A., Demers, A., & Durand, F. (2005). Do occupation and work conditions really matter? A longitudinal analysis of psychological distress experiences among canadian workers. Sociol Health Illn, Illn, 27: 602-27. Puswiartika, D. (2008). Peran Ergonomi dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 8 No. 1, 1, 48. Smith, A. (2000). The scale of perceived occupational stress. Occup Med Journal , 50:294-8. Soehatman, R. (2010). Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Work Safe Western Australia and Work Cover. (1996). Increase in stress. A stress. A guide to work – related related stress., stress., 32:10.
24