UPAYA PENINGKATAN PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR
Fraktur atau lebih di kenal dengan istilah patah tulang merupakan masalah yang sangat menarik untuk dibahas, karena banyak kejadian tidak terduga yang dapat mengakibatkan terjadinya fraktur, baik itu fraktur tertutup atau fraktur terbuka. Fraktur ekstremitas inferior ( femur, tibia, fibula) insidenya sangat sering di jumpai sekitar 57% dari kasus fraktur dan hampir 80% pasien di usia produktif. Terjadinya kecelakaan secara tiba-tiba mengakibatkan fraktur, fraktur sering kali membuat orang panik dan tidak tahu tindakan apa yang harus di lakukan. Hal ini di sebabkan tidak adanya kesiapan dan kurangnya pengetahuan terhadap penangana fraktur tersebut. Kecelakaan lalu lintas ini, selain menyebabkan fraktur menurut WHO juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian bsar korbanya adalah remaja atau dewasa muda( lukman, 2009). Penderita fraktur dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung menunjukkan dengan adanya respon cemas yang berlebihan, mengingat keterbatasan mereka dalam memahami proses penyembuhan dari kondisi fraktur yang di alaminya. Respon cemas yang terjadi pada penderita fraktur sangat berkaitan sekali dengan mekanisme koping yang di milikinya, akan membentuk respon psikologis yang baik, respon psikologis yang baik berperan dalam menunjang proses kesembuhan. Perawat di harapkan memiliki pengetahuan yang cukup dalam menangani pasien fraktur, di antarannya adalah memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi( lukman, 2009). Penyembuhan klinis dinilai secara radiologis. Secara klinis bila tidak di temukan gerakan maupun nyeri pada saat fragmen fraktur di gerakkan. Radiologis bila di dapatkan kalkus, walaupun masih terlihat ada garis fraktur. Penyembuhan klinis rata-rata tercapai antara enam sampai delapan minggu pada orang dewasa dan dua sampai empat minggu pada anak usia 2-11 tahun. Secara histopatologi proses penyembuhan fraktur ini juga dapat di amati penambahan material pembentuk kalkus dalam jangka waktu tertentu. Problema psikososial yang timbul pada penderita dan keluarganya pada fraktur femur adalah akibat lamanya penderita menginap di rumah sakit, lamanya mobilisasi dan hilangnya waktu produktif untuk bekerja.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2009 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal di karenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami cacat fisik. Salah satu insiden yang memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstremitas bawah sekitar 46,2% dari kecelakaan (lukman, 2009). Hasil riset kesehatan dasar indonesia terjadi kasusufraktur yang di sebabkan oleh cidera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul. Dari 45.993 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.880 orang (3,9 %), dari 20.827 kasus kecelakaan lalu lintas yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (8,5%) dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 231 orang (1,7%). Berdasarkan data dari dinas kesehatan provensi jawa timur tahun 2012 di dapatkan sekitar 2.700 orang mengalamiinsiden fraktur, 56% penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikiologis atau depresi terhadap adanya kejadian fraktur. Pada tahun 2014 di RSI muhammadiyah sumberrejo, tercatat terdapat 678 kasus fraktur dengan rincian 86,3% fraktur jenis terbuka dan 13,5% fraktur jenis tertutup, 68,14% jenis fraktur tersebut adalah ekstremitas bawah. Saat ini angka kejadian fraktur di RS 'aisyiyah Bojonegoro 20014 angka kejadian pada pasien fraktur sebanyak 186 orang. Penderita fraktur pada tahun 2012 berjumlah 115 orang, 2 orang di antaranya meninggal dunia.
Untuk menggunakan penerapan menggunakan case study, strategi ini merupakan strategi sebagai peran seorang perawat terhadap pasien yang menderita fraktur, bagaimana seorang perawat melakukan penyuluhan terhadap masyarakat, dan menjelaskan bagaimana proses menyembuhan fraktur agar masyarakat mendapat info yang jelas dan tepat dalam penanganan ketika ada kasus fraktur. Ciptakan hubungan saling percaya kepada pasien dan keluarganya sert menjelaskan maksud dan tujuan penyuluhan tersebut. Apabila mereka setuju maka peneliti akan memberikan lembar persetujuan. Setelah itu perawat menjelaskan bahwa kecelakaan lalu lintas salah satu penyebab fraktur, fraktur mempunyai golden period 1-6 jam. Dan untuk tanda dan gejala fraktur yang harus di tangani pertama yaitu meredakan rasa nyeri, memelihara integritas kulit, mengurangi kecemasan dan keadaan fraktur karena kerusakan jaringan dan perubahan stuktur yang meningkatkan karena penekanan pada sisi-sisi fraktur. Memelihara integritas kulit dan memperhatikan syaraf-syaraf otot dan pembuluh darah dan meredakan rasa nyeri. Secara klinis patah tulang terbuka dapat di bagi menjadi tiga derajat yaitu, derajat 1, terdapat luka tembus kecil seujung jarum, jika ini didapat dari luka tusukan fragmen-fragmen tulang dari dalam. Derajat II , luka besar disertai dengan kerusakan kulit subkutis. Kadang-kadang ditemukan adanya benda-benda asing di sekitar luka. Derajat III, luka lebih besar dibandingkan dengan lunak pada derajat II. Kerusakan lebih hebat karena sampai mengenai tendon dan otot-otot saraf tepi( lukman, 2009). Salah satu tindakan dari fraktur terbuka adalah dengan debridemen. Debridemen bertujuan untuk membuat keadaan luka yang kotor menjadi bersih, sehingga secara teoritis fraktur tersebut dapat di sebut fraktur tertutup. Namun secara praktis, hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan debridemen dilakukan anastesi umum dan harus disertai pencucian luka dengan air yang steril / NaCl yang mengalir. Pencucian ini memang peranan penting untuk membersihkan kotoran yang menempel pada tulang (Lukman dan Ningsih, 2009). Prinsip penanganan fraktur meliputu reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilisasi. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomisnya. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode yang di pilih untuk mereduksi fraktur tulang tergantung pada sifat frakturnya (Smeltzer, 2009). Kebanyakan fraktur tibia tertutup di tangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi awal dengan gips sepanjang tungkai jalan atau pattelar tendon bearing reduksi harus relatif akurat dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada saat dimana sangat sulit mempertahankan reduksi. Sehingga perlu di pasang pin perkutaneus dan di pertahankan dalam posisinya dengan gips(misal teknik pin dan gips) atau fiksator eksternal yang digunakan. Pembebanan berat badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7-10 hari, aktivitas akan mengurangi edema dan meningkatkan peredaran. Gips di ganti menjadi gips tungkai pendek atau brace dalam 3-4 minggu, yang memungkinkan gerakan lutut. Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6-10 minggu(Smeltzer, 2009). Reduksi fraktur(setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang di pilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak, kehilangan elastilitasnya akibat infiltrasi karena edema dan pendarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cidera sudah mulai mengalami penyembuhan (Smeltzer, 2009). Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi tertutup dengan operasi. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat di gunakan untuk memperthankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang sulit terjadi. Alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang (Smeltzer, 2009). Patah tulang tibia tunggal umumnya disebabkan oleh cidera langsung. Diagnosis dan penanganan sama dengan patah tulang kruris. Tulang kadang terjadi perlambatan penyatuan yang mungkin disebabkan fibula yang utuh untuk menghalangi kompresi yang cukup pada sumbu tibia. Pada keadaan ini biasanya dianjurkan fiksasi interen sewaktu operasi, fibula di gergaji secara miring sehingga dapat terjadi pertemuan pada kedua ujung patah tulang tibia dengan cukup tekanan sumbu. Pada tindakan operasi maka akan dilakukan insisi, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan lunak dibawah kulit maupun pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema, mnyeri, dan penurunan lingkup gerak sendi (Sjamjuhidajat, 2004). Pada prinsipnya penanganan fraktur adalah melakukan kontrol aligment dan panjang secara efektif sampai dengan tercapainyya penyembuhan klinis. Berbagai macam terapi dilakukan pada penderita fraktur, antara lain dengan internal (K-nail, plate dan screw) dan eksternal fiksasi (gips, traksi kulit maupun traksi skeletal). Traksi dapat digunakan temporer selama transport ataupun dalam jangka waktu tertentu sebelum penanganan definitive, bahkan sebagai terapi definitive mandiri. Sebagai terapi temporer traksi digunakan sampai tercapai penyembuhan klinis sekitar tiga minggu pada anak dan dua belas minggu pada orang dewasa. Dalam 24 hari dapat tercapai penyembuhan klinis, untuk penderita umur 2 sampai 11 tahun dan 90 hari untuk orang dewasa. Setelah tercapai penyembuhan traksi diganti dengan gips spika sampai penyembuhan radiologis. Bila pemasangan gips spika atau longlag terlalu dini menyebabkan angulasi, karena kalus belum begitu kuat menahan gaya deformitas. Fiksasi interna maupun eksterna dilakukan atas indikasi fraktur terbuka, fraktur patologis, trauma multiple. Untuk mempercepat penyembuhan klinis pada patah tulang, dapat digunakan stimulasi elektiktik oleh karena stimulasi elektik merangsang osteogenesis. Penyembuhan patah tulang lebih cepat dengan stimulasi elektik 30%. Sedangkan dengan pemasangan gips dalam 22 minggu. Menggunakan stimulasi elektrik yang mempermudah terjadinya osteogenesis dengan cara meningkatkan tahap-tahap awal osifikasi maupun klasifikasi, sehingga mempercepat osteogenesis dan penyembuhan fraktur. Efek mekanik pada penyembuhan fraktur akan tampak nyata dalam beberapa tahun setelah terdapat potensial listrik. Dimana terjadi formasi tulang pada katub negatif dan destruksi tulang pada katub positif. Biopotensial mempunyai efek pada sel dimana DNA tertentu mengalami replikasi dan miosis yang meningkatkan secara umum dan merangsang kolagen, sehingga membuktikan bahwa biopotensial cenderung berorientasi ekstraseluler yaitu berpengaruh pada proses mineralisasi dan kolagenasi. Sistem kerja stimulator adalah membangkitkan gelombang sinusoida yang dikuatkan dengan amplifer sesuai yang diinginkan melalui suatu elektroda yang di tempelkan pada tulang yang retak sehingga menimbulkan medan elektromagnetik. Untuk mempermudah, secara konvensional dibagi menjadi tiga fase berdasarkan perubahan makro dan mikrobiologi tulang sebagai berikut, fase inflamasi, fase operasi, dan fase remodeling.
Kesimpulan dalam essay ini patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang menyebabkan penyakit pengeroposan tulang di antaranya penyakit yang sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa dan dapat juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga. Pemberian gelombang ultrasonik intensitas rendah dengan lama pemberian 15 menit sebanyak 10 kali dan selang waktu antara pemberian 3 hari pada fraktur yang di tatalaksanaan secara konsersif. Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilisasi. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Penanganan fraktur adalah melakukan kontrol aligment dan panjang secara efektif sampai dengan penyembuhan klinis. Berbagai macam terapi dilakukan pada penderita fraktur antara lain dengan internal (K-nail, plate dan screw) dan eksternal fiksasi ( gips, traksi kulit maupun traksi skeletal). Untuk mempercepat penyembuhan klinis pada patah tulang, dapat digunakan stimulasi elektrik oleh karena stimulasi elektrik merangsangsang osteogenesis.
Daftar pustaka
Lukman & Ningsih, N.(2009).Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem muskuloskleletal.Jakarta:Salemba Medika
Smeltzer,S,C.,& Bare,B.B.(2009).buku ajar keperawatan medikal bedah.Alih bahasa:Monica Ester.Jakarta:EGC
Sjamjuhidajat,R,& Jong,E.D.(2004).ilmu bedah.Jakarta:EGC
Mansjoer,A.(2004).kapita selekta kedokteran.Jakarta:Medika Ausculapius
PERNYATAAN ORINISINALITAS ESSAY
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang sepengetahuan saya, di dalam essay dengan tema "UPAYA PENINGKATAN PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR" ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain sebagai persyaratan apapun, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam essay ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia mendapatkan sanksi akademik, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mojokerto, 01 Agustus 2015
Mahasiswa,
TTD
Nama : Fibra Somania Izzaturrohmah
NIM : 1322010125