ASKEP AUTISME
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Autis yang terjadi pada anak semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 150.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autisma. Bagaimana di Indonesia? Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya? Dalam beberapa tahun terakhir ini para psikolog perkembangan semakin banyak mendapat rujukan dari dokter anak untuk mengkonsultasikan anak-anak usia 2-4 tahundengan gejala-gejala seperti ilustrasi di atas. Autisme, merupakan salah satu gangguan perkemba ngan yang semakin meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Jumlah penderita autisme meningkat prevalensinya dari 1 : 5000 anak pada tahun 1943 saat Leo Kanner memperkenalkan istilah autisme menjadi 1 : 100 ditahun 2001 (Nakita, 2002). Kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Autis belum ditemukam penyebab yang pasti, autis merupakan kelainan mental seseorang anak yang didapat sejak lahir, dan mungkin baru diketahui sejak usia anak 2-4 tahun. B. TUJUAN I. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM ( TIU ) Mahasiswa Keperawatan mampu memahami dan menerapkan konsep keperawatan anak kepada anak-anak autisme. II. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK) 1. Mahasiswa mampu menjelaskan Pengertian, Epidemiolo gi, Etiologi, Cara Mengetahui Autisme Pada Anak, Tanda Dan Gejala, Jenis Autisme, Prognosis, Patofisiologi & Komplikasi Pada pembahasan anak autisme. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan medis dan keperawatan pada autisme. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan autisme.
BAB II KONSEP TEORITIS A. PENGERTIAN Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya). 1. Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. 2. Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305) Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi v erbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30 bulan.(Behrman, 1999: 120) 3. Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996: 305) Autisme pada anak merupakan gangguan perkembangan pervasif (DSM IV, sadock dan sadock 2000). 4. Autism Spectrum Disorder (ASD, Gangguan Spek trum Autisme) adalah gangguan perkembangan secara umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak. 5. Autisme yang telah di defenisikan oleh ahli medis mempunyai beberapa kriteria yang paling sering digunakan oleh World Health Organizatio n, yang terdapat dalam ICD-10 (International Classification of Disease), edisi ke-10 (WHO,1987) dan the DSM-IV (Diagnostic Statistical Manual,edisi ke-4, dikembangkan oleh American Psychiatric Association) (APA,1994). Defenisi gangguan autistic dalam DSM-IV (Diagnostic And Statistical Of Manual Disorders 1992 Fourth Edition) adalah sebagai berikut: 1. Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua di antara yang berikut ini: a. Ciri ganguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku non verbal (bukan lisan) seperti kontak mata ,ekspresi wajah,gestur, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi social. b. Ketidakmampuan mengembangkan hubungan pertemanan seba ya yang sesuai tingkat perkembangannya. c. Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain. d. Kekurangmampuan dalam berhubungan emosional secara timbale balik dengan orang lain. 2. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yan g di tunjukkan oleh paling sedikit salah satu dari yang berikut ini: a. Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gestur atau mimic muka sebagai cara alternatifdalam berkomunikasi). b. Ciri gangguan yang jelas pada kemampuanj untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana. c. Penggunaan bahasa yang repetitif (diulang-ulang ) atau stereotip (meniru-niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh).
d. Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. 3. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitif, stereotip seperti yang ditujukan oleh paling tidak satu dari yang berikut ini: a. Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih pola minatg yang terbatas atau stereotip yang bersifat abnormal baik dalam intensitas maupun focus. b. Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang non fungsional (tidak berhubungan dengan fungsi) c. Perilaku gerakan stereotip dan repetitif (seperti terus menerus membuka tutup genggaman memuntir jari atau tangan atau menggerakan tubuh dengan cara yang kompleks). d. Keasyikan yang terus menerus terhadap bagian-bagian dari sebuah benda.
B. EPIDEMIOLOGI Autisme adalah salah satu kasus yang jarang ditemui, tetapi jika pemeriksaan yang teliti dilakukan di suatu rumah sakit maka, kejadian autisme didapatkan sekitar 2- 5 setiap 10 000 anak di bawah umur 12 tahun. Pada anak-anak autis yang juga memiliki gangguan retardasi mental, maka prevalensinya mencapai antara 20 setiap 10 000 kasus. Penelitian di amerika memperkirakan anak-anak autisme mencapai 2 – 13 setiap 10000 anak. Gangguan autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, perbandingan hingga 3 kali lebih sering.
C. ETIOLOGI Penyebab autisme adalah spekulatif .sebab-sebab genetic telah dilibatkan . Ada 80% persesuain untuk kembar monozigot dan 20% angka persesuaian untuk kembar dizigot. Apa yang sebenarnya diwariskan tidak seluruhnya jelas abnormalitas kognitif dan kemampuan berbicara lebih lazim pada sanak keluarga anak autistik dari pada populasi umum. Kelainan kromosom , terutama sindrom X yang mudah pecah (fragil), juga lebih lazim pada keluarga dengan autism. Kelainan temuan-temuan neurokimia telah terkait dengan autisme. Meskipun fungsi dopamine diperkirakan normal pada autisme, baru-baru ini kelainan di tunjukkan dalam jumlah jalur katekolamin. Peningkatan kadar serotonin juga ditemukan. Beberapa penyebab telah di pusatkan pada berbagai kemungkinan lain, meliputi cedera otak, kerentanan utama, berkembang aphasia, defisit pada system pengaktif retikulum, keadaan yang saling tidak menguntungkan antara factor-faktor psikogenik dan perkembangan saraf, perubahan struktur serrebellum, dan lesi hipokompus otak depan. Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang epilepsy. Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi oleh Pada masa ba yi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak, anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak. Pada masa anak-anak dan remaja, anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara anak takut pada suara tertentu, dan tercengggang pada suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami
kebisuan. Mereka yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu. Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara seba gian bukan menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera penciuman, kecap dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya. Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapt menyita perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang menyenangkan atau stres. Kelainan lain adalah destruktif , marah berlebihan dan akurangnya istirahat. Pada masa remaja perilaku tidak sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual pada orang asing. D. CARA MENGETAHUI AUTISME PADA ANAK Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan: 1. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal. 2. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak. 3. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal. Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya. 1. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat, cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatang mainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
2. Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya. 3. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri. E. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala yang paling penting adalah kemampuan komunikasi verbal dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang, kelainan pada pola berbicara, ganguan kemampuan mempertahankan percakapan,permainan yang abnormal, tiadanya empati, dan ketidakmampuan untuk berteman. Sering juga memperlihatkan gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sangat sempit, dan keasyikan dengan bagian-bagian tubuh. Anak
autistic menarik diri dan sering menghabiskan waktunya untuk bermain sendiri. Muncul perilaku ritualistic,yang mencerminkan kebutuhan anank untuk memelihara linkungan yang tetap dan dapat di ramalkan. Ledakan amarah dapat menyertai gangguan rutin. Kontak mata minimal atau tidak ada. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok dan permukaan dapat menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap beberapa rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangn ya respon terkejut terhadap suara-suara keras yang mendadak menunjukkan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain. Inteligasi dengan uji psikologi konvensional biasanya jatuh pa da kisaran retardasi secara funsional, namun defisit dalam kemampuan berbicara d an sosialisasi membuatnya sulit memperoleh estimasi yang tepat dari potensi intelektual anak autistic. Dalam tes non verbal yang dilakukan, beberapa anak autistic hasilnya cukup memadai, dan mereka yang kemampuan bicaranya berkembang dapat memperagakan kapasitas intelaktual yang memadai. Adakalanya anak autistic mungkin terisolasi,berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot. Meskipun mula-mula digambarkan sebagai penyakit social kebanyakan riset telah memfokuskan pada defisit kognitif dan kounikatif pada autisme, dan terutama pada tipe-tipe defisit pemprosesan kognitif yang paling nampak pada situasi emosional. Ciri khas anak autistic adalah defisit dalam keteraturan verbal, abstraksi, memori rutin, dan pertukaran verbal timbale balik. Anak autistic juga menunjukkan defisit dalam pemahamannya dalam mengenai apa yang mungkin dirasakan atau dipikirkan orang lain. F. JENIS AUTISME Jenis autisme berdasarkan waktu munculnya gangguan, kurniasih (2002) membagi autisme menjadi dua yaitu: 1. Autisme sejak bayi (Autisme Infantil) Anak sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak non autistik, dan biasanya baru bisa terdeteksi sekitar usia bayi 6 bulan. 2. Autisme Regresif Ditandai dengan regresif (kemudian kembali) perkembangan kemampuan yang sebelumnya jadi hilang. Yang awalnya sudah sempat menunjukkan perkembangan ini berhenti. Kontak mata yang tadinya sudah bagus, lenyap. Dan jika awalnya sudah bisa mulai mengucapkan beberapa patah kata, hilang kemampuan bicaranya. (Kurniasih, 2002). Sedangkan Yatim, Faisal Yatim (dalam buku karangan purwati, 2007) mengelompokkan autisme menjadi 3 kelompok : 1. Autisme Persepsi Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena kelainan sudah timbul sebelum lahir 2. Autisme Reaksi Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7 tahun) sebelum anak memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu – minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang dan kadang – kadang disertai kejang – kejang 3. Autisme Yang Timbul Kemudian
G. PROGNOSIS Pada beberapa anak terutama mereka yang menagalami gangguan berbicara, dapat tumbuh pada
kehidupan marginal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi hidup dalam masyarakat, namun untuk beberapa anak penempatan lama pada institusi merupakan hasil akhir. Hubungan antara autisme skizofrenia tidak jelas. Kasus dimana anak autistic kemudian berkembang menjadi skizofrenia telah dilaporkan namun jarang. Prognosis yang lebih baik adalah keterkaitan dengan intelegensi yang lebih tinggi, kemampuan berbicara fungsional, dan kurangnya gejala-gejala dan perilaku aneh. Gejala-gejala sering berubah karena anak-anak tumbuh semakin tua. Kejangkejang dan mencelakakan diri sendiri semakin lazim dengan perkembangan usia.
H. PHATOFISIOLOGI Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps. Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar anak. Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps. kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf. Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak. Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak beraturan. Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye. Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan.
Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide. Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan. Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan dalam proses memori). Penelitian pada monyet dengan merusak hipokampus dan amigdala mengakibatkan bayi monyet berusia dua bulan menunjukkan perilaku pasif-agresif. Mereka tidak memulai kontak sosial, tetapi tidak menolaknya. Namun, pada usia enam bulan perilaku berubah. Mereka menolak pendekatan sosial monyet lain, menarik diri, mulai menunjukkan gerakan stereotipik dan hiperaktivitas mirip penyandang autisme. Selain itu, mereka memperlihatkan gangguan kognitif. Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat. Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa keh amilan, radiasi, serta kokain.p
I. PENATALAKSANAAN MEDIS Akhir-akhir ini bermunculan berbagai cara, obat, suplemen yang ditawarkan dengan iming-iming bisa menyembuhkan autisme. Kadang-kadang secara gencar dipromosikan oleh sipenjual, ada pula cara-cara mengiklankan diri di televisi, radio, tulisan-tulisan. Para orang tua harus hati-hati dan jangan sembarangan membiarkan anaknya sebagai kelinci percobaan. Sayangnya masih banyak yang terkecoh, dan setelah mengeluarkan banyak uan g. Menjadi kecewa oleh karena hasil yang diharapkan tidak tercapai. Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar-benar diakui oleh para professional dan memang bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda : 1. Applied Behavioral Analysis (ABA) ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bisa diukur kemajuannya . Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia. 2. Terapi Wicara Terapis Wicara adalah profesi yang bekerja pad a prinsip-prinsip dimana timbul kesulitan berkomunikasi atau ganguan pada berbahasa dan berbicara bagi orang dewasa maupun anak. Terapis Wicara dapat diminta untuk berkonsultasi dan konseling; mengevaluasi; memberikan perencanaan maupun penanganan untuk terapi; dan merujuk sebagai bagian dari tim penanganan kasus.
Ganguan Komunikasi pada Autistic Spectrum Disorders (ASD)Bersifat: 1. Verbal 2. Non-Verbal 3. Kombinasi. Area bantuan dan Terapi yang dapat diberikan oleh Terapis Wicara: 1. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism), sifatnya fungsional, maka Terapis Wicara akan mengikut sertakan latihan-latihan Oral Peripheral Mechanism Ex ercises; maupun Oral-Motor activities sesuai dengan organ bicara yang mengalami kesulitan. 2. Untuk Artikulasi atau Pengucapan: Artikulasi/ pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena adanya gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara dan Tempat Pengucapan (Place and manners of Articulation). Kesulitan pada Artikulasi atau pengucapan, biasanya dapat dibagi menjadi: substitution (penggantian), misalnya: rumah menjadi lumah, l/r; omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu; distortion (pengucapan u ntuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak jelas); dan addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia, latihan yang dapat diberikan antara lain: Proprioceptive Neuromuscular. 3. Untuk Bahasa: Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah: a. Phonology (bahasa bunyi) b. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata c. Morphology (perubahan pada kata) d. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa e. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas) f. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerja nya suatu Bahasa) dan Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial). 4. Suara: Gangguan pada suara adalah Penyimpangan dari nada, intensitas, kualitas, atau penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atribut-atribut dasar pada suara, yang mengganggu komunikasi, membawa perhatian negatif pada si pembicara, mempengaruhi si pembicara atau pun si pendengar, dan tidak pantas (inappropriate) untuk umur, jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu sendiri. 5. Pendengaran: Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran maka bantuan dan Terapi yang dapat diberikan: a. Alat bantu ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk pada dokter yang terkait. b. Terapi Penggunaan sensori lainnya untuk membantu komunikasi. Peran khusus dari terapi wicara adalah mengajarkan suatu cara untuk berkomunikasi 1. Berbicara: Mengajarkan atau memperbaiki kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara verbal yang baik dan fungsional. (Termasuk bahasa reseptif/ ekspresif kata benda, kata kerja, kemampuan memulai pembicaraan, dll). 2. Penggunaan Alat Bantu (Augmentative Communication): Gambar atau symbol atau bahasa isyarat sebagai kode bahasa: a. penggunaan Alat Bantu sebagai jembatan untuk nantinya berbicara menggunakan suara (sebagai pendamping bagi yang verbal) b. Alat Bantu itu sendiri sebagai bahasa bagi yang memang NON-Verbal. 3. Terapi Okupasi Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus.
Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulu tnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot2 halusnya dengan benar. 4. Terapi Fisik Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot2nya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5. Terapi Sosial Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya. 6. Terapi Bermain Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu. 7. Terapi Perilaku. Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA). Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan. Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan seba gai A-B-C; yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak autis kemudian memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak memperoleh Consequence (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang menyenangkan. Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini. 8. Terapi Perkembangan Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap seba gai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangann ya,
kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik. 9. Terapi Visual Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambargambar, misalnya dengan metode PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi. 10. Terapi Biomedik Akhir-akhir ini terapi biomedik banyak diterapkan pada anak dengan ASD. Hal ini didasarkan atas penemuan-penemuan para pakar, bahwa pada anak-anak ini terdapat banyak gangguan metabolisme dalam tubuhnya yang mempengaruhi susunan saraf pusat sedemikian rupa, sehingga fungsi otak terganggu. Gangguan tersebut bisa memperberat gejala autisme yang sudah ada, atau bahkan bisa juga bekerja sebagai pencetus dari timbulnya gejala autisme. Yang sering ditemukan adalah adanya multiple food allergy, gangguan pencernaan, peradangan dinding usus, adanya exomorphin dalam otak (yang terjadi dari casein dan gluten), gangguan keseimbangan mineral tubuh, dan keracunan logam berat seperti timbal hitam (Pb), merkuri (Hg), Arsen (As), Cadmium (Cd) dan Antimoni (Sb). Logam-logam berat d iatas. Semuanya berupa racun otak yang kuat. Yang dimaksud dengan terapi biomedik adalah men cari semua gangguan tersebut diatas dan bila ditemukan, maka harus diperbaiki , dengan demikian diharapkan bahwa fungsi susunan saraf pusat bisa bekerja dengan lebih baik sehingga gejalagejala autisme berkurang atau bahkan menghilang. Pemeriksaan yang dilakukan biasanya adalah pemeriksaan laboratorik yang meliputi pemeriksaan darah, urin, rambut dan feses. Juga pemeriksaan colonoscopy dilakukan bila ada indikasi. Terapi biomedik tidak menggantikan terapi-terapi yang telah ada, seperti terapi perilaku, wicara, okupasi dan integrasi sensoris. Terapi biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan memperbaiki “dari dalam”. Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan lebih cepat terjadi. 11. Terapi Integrasi Sensoris Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respons yang terarah. Disfungsi dari integrasi sensoris atau d isebut juga disintegrasi sensoris berarti ketidak mampuan untuk mengolah rangsang sensoris yang diterima. Gejala adanya disintegrasi sensoris bisa tampak dari : pengendalian sikap tubuh, motorik halus, dan motorik kasar. Adanya gangguan dalam ketrampilan persepsi, kognitif, psikososial, dan mengolah rangsang. Namun semua gejala ini ada juga pada anak dengan diagnosa yang berbeda, misalnya anak dengan ASD. Diagnosa disintegrasi sensoris tidak boleh ditegakkan kalau ada tanda-tanda gangguan pada Susunan Saraf pusat. Terapi integrasi sensoris :Aktivitas fisik yang terarah, bisa menimbulkan respons yang adaptif yang makin kompleks. Dengan demikian efisiensi otak makin meningkat. Terapi integrasi sensoris meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga ia lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas integrasi sensoris merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks , dengan demikian bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar. Ketiga hal ini hanya dapat dilaksanakan pada lingkungan yang sangat terstruktur dan teratur dengan baik. Anak autistik memiliki pola berpikir yang berbeda, mereka mengalami kesulitan
memahami lingkungannya. Oleh karena itu memberikan lingkungan terstruktur merupakan titik awal dalam proses intervensi penyandang autis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sbb : a. Keteraturan waktu dan tempat yaitu : jadwal harian yang tetap dan ruang yang pasti. Namun tidak berarti bahwa segala sesuatu harus terjadi dengan cara yang sama. Perubahanperubahan kecil juga diperlukan agar anak autis dapat meningkatkan fleksibilitas mereka. b. Berhubung adanya kesulitan berpikir dan bertingkah laku pada anak autis, maka perlu merangsang dan melatih anak melalui berbagai aspek yang disesuaikan dengan minat yang dimiliki anak. c. Pengajaran dilakukan secara bertahap dan bila memungkinkan menggunakan alat peraga. d. Proses pendidikan berlangsung secara individual ( khusus ). Anak autis tidak memiliki ketrampilan sosial yang diperlukan untuk belajar dalam situasi kelompok. Oleh karena itu, pendekatan individual diberikan pada anak termasuk didalamnya individual play training. Training bermain ini merupakan terapi yang mengajari anak bermain dan membimbing anak ke dalam berbagai kemungkinan fungsional suatu mainan. Contohnya seperti sebuah mobil tidak hanya merupakan benda dengan roda yang berjalan tetapi juga dapat disetir dan mengangkut orang dan benda-benda lain. Seperti halnya Rutter yang menekankan perlunya mengatasi stress pada keluarga, Sleeuwen ( 1996 ) juga menekankan pentingn ya konseling keluarga. Setelah seorang anak didiagnosa autisme, adalah penting bahwa tidak hanya anak tersebut yang mendapatkan pertolongan, namun juga orang tua. Orang tua perlu diberikan pengertian mengenai kondisi anak dan mampu menerima anak mereka yang menderita autis. Mereka juga dilibatkan dalam proses terapi ( Home training ). Konsep yang ada dalam home training ini adalah orang tua belajar dan dilatih untuk dapat melakukan sendiri terapi yang dilakukan psikolog/terapis. Terapi tidak hanya dilakukan oleh terapis tetapi juga oleh keluarga di rumah. Terapi yang intensif akan meminimalisir kemungkinan hilangnya kemampuan yang telah dilatih dan dikuasai anak. J. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN 1. Program adaptasi Saran yang dilakukan adalah tetap membuat bahasa sederhana dalam komunikasi, saling bertatapan muka dengan anak, dan mendengarkan mereka dengan baik. 2. Applied behavioural analysis ( analis terapan tingkah laku ) Program intensif yang berdasarkan terapi tinggkah laku dan biasa digunakan untuk menjelaskan banyak program. 3. Auditor integration training (pelatihan integrasi) Menggunakan suara sebagai cara mengekspos anak pada serangkaian pengalaman pendengaran. 4. Diet Beberapa diet telah disarankan untuk mengurangi beberapa gejala autisme. Hingga kini belum ada riset yang mengkompirmasikan keefektipannya. Diet bebas gluten dan kasien adalah yang sangat umum ditemui. ( gluten adalah tepung gandum ,rye, dan barly sedangkan kasien ada dalam produk susu). Teorinya adalah protein dalam gluten dan kasien diuraikan dalam lambung menjadi peptide yang toksik. Peptide ini biasanya akan melalui system organ kita tanpa masalah. 5. Lumba-lumba Perawatan dengan ikan lumba-lumba sebagai kegiatan terapetik. 6. Mifne Adalah program intervensi awal untuk keluarga dengan anak autis dibawah umur lima tahun.
Program yang intens, tiga atau empat minggu ditawarkan pada keluarga inti, dengan terapi delapan jam sehari untuk tujuh hari seminggu. 7. PECS The picture exchange communication system PECS mengarjarkan anak menukar gambar dengan benda yang diinginkannya. Jika mereka ingin biskuit mereka member gambar biskuit ke orang tua, yang akan merespon segera. K. KOMPLIKASI Komplikasi yang terjadi pada penderita autis biasanya adalah : 1. Gangguan infeksi yang berulang-ulang. 2. Batuk 3. Flu 4. Serta demam berkepanjangan.
BAB III ASKEP TEORITIS I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN A.Pengkajian Data Dasar B. Pengkajian keperawatan 1. Pola nutrisi dan cairan Beberapa diet telah disarankan untuk mengurangi beberapa gejala autisme. Hingga kini belum ada riset yang mengkompirmasikan keefektipannya. Diet bebas gluten dan kasien adalah yang sangat umum ditemui. ( gluten adalah tepung gandum ,rye, dan barly sedangkan kasien ada dalam produk susu). 2. Pola aktivitas Pada anak-anak yang mengalami autisme mereka lebih sering untuk melakukan aktifitas yang menjadi rutinitas yang dilakukan untuk setiap h arinya, kegiatan terbatas, tidak ada rasa semangat. 3. Pengkajian data focus pada anak dengan gangguan perkembangan pervasive menurut Isaac, A (2005) dan Townsend, M.C (1998) antara lain: 1. Tidak suka dipegang 2. Rutinitas yang berulang 3. Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukan 4. Terpaku pada benda mati 5. Sulit berbahasa dan berbicara 6. 50% diantaranya mengalami retardasi mental 7. Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan emosi diri sendiri dengan orang lain 8. Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan dengan orang lain 9. Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri dengan orang lain 10. Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang lain atau gerakkangerakkan mimik orang lain 11. Penolakan atau ketidakmampuan berbicara yang ditandai dengan ketidakmatangan stuktur gramatis, ekolali, pembalikan pengucapan, ketidakmampun untuk menamai benda-benda, ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan abstrak, tidak adanya ekspresi nonverbal
seperti kontak mata, sifat responsif pada wajah, gerak isyarat. II. DIAGNOSA KEPERAWATAN Menurut Townsend, M.C (1998) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada pasien/anak dengan gangguan perkembangan pervasive autisme antara lain: 1. Risiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan: 1. Tugas-tugas perkembangan yang tidak terselesaikan dari rasa percaya terhadap rasa tidak percaya 2. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan 3. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu, fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberkulosa sclerosis, anoksia selama kelahiran dan sindroma fragilis X 4. Deprivasi ibu 5. Stimulasi sensosrik yang tidak sesuai 6. Sejarah perilaku-perilaku mutilatif/melukai diri sebagai respons terhadap ansietas yang meningkat 7. Ketidakacuhan yang nyata terhadap lingkungan atau reaksi-reaksi yang histeris terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan 2. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan: 1. Gangguan konsep diri 2. Tidak adanya orang terdekat 3. Tugas perkembangan tidak terselsaikan dari percaya versus tidak percaya 4. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X) 5. Deprivasi ibu 6. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai 3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan: 1. Ketidakmampuan untuk mempercayai 2. Penarikan diri dari diri 3. Perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X) 4. Deprivasi ibu 5. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai 4. Gangguan identitas diri/pribadi berhubungan dengan: 1. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan 2. Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa percaya v ersus rasa tidak percaya 3. Deprivasi ihu 4. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai.
Prioritas utama dari diagnose masalah autis adalah tidak adekuatnya stimulasi sensori yang menyebabkan keterbatasan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sosialisasi,bermain,atau pendidikan.
III. INTERVENSI & RASIONAL INTERVENSI RASIONAL 1. Resiko terhadap mutilasi diri 1. Pasien akan mendemonstrasikan perilaku-perilaku alternative (misalnya memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respons terhadap k ecemasan. 2. jaminan keselamatan anak dengan memberi rasa aman, lingkungan yang kondusif untuk mencegah perilaku merusak diri 2. Perawat bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan anak) 3. Kaji dan tentukan penyebab perilaku – perilaku mutilatif sebagai respon terhadap kecemasan 3. pengkajian kemungkinan penyebab dapat memilih cara /alternative pemecahan yang tepat 4.Pakaikan helm pada anak untuk menghindari trauma saat anak memukul-mukul kepala, sarung tangan untuk mencegah menarik – narik rambut, pemberian bantal yang sesuai untuk mencegah luka pada ekstremitas saat gerakan-gerakan histeris. 4. Untuk menjaga bagian-bagian vital dari cidera.
5.Untuk membentuk kepercayaan satu anak dirawat oleh satu perawat 5. Untuk dapat bisa lebih menjalin hubungan saling percaya dengan pasien. 6.Tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu-waktu mening-katnya kecemasan agar tidak terjadi mutilasi 6. Dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada perilaku-perilaku mutilasi diri dan memberikan rasa aman. 7.Kerusakan interaksi social 7. Anak akan mendemonstrasikan kepercayaan pada seorang pemberi perawatan yang ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak mata dalam waktu yang ditentukan dengan. 8.Lakukan dengan perlahan-lahan, jangan memaksakan interaksi-interaksi, mulai dengan penguatan yang positif pada kontak mata, perkenalkan dengan berangsur -angsur dengan sentuhan, senyuman , dan pelukan. 8. Pasien autisme dapat merasa terncam oleh suatu rangsangan yang gencar pada pasien yang tidak terbiasa 9.Dengan kehadiran anda beri dukungan pada pasien yang berusaha keras untuk membentuk hubungan dengan orang lain dilingkungannya.
9. Dengan kehadiran anda beri dukungan pada pasien yang berusaha keras untuk membentuk hubungan dengan orang lain dilingkungannya. 10.Kerusakan komunikasi verbal. 10. Anak akan membentuk kepercayaan dengan seorang pemberi perawatan ditandai dengan sikap responsive dan kontak mata dalam waktu yang telah ditentukan. 11.Pertahankan konsistensi tugas staf untuk memahami tindakan-tindakan dan komunikasi anak 11. Hal ini memudahkan kepercayaan dan kemampuan untuk memahami tindakan-tindakan dan komunikasi pasien. 12.Gangguan Indentitas Pribadi 12. Pasien akan menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan bagian-bagian tubuh dari pemberi perawatan dalam waktu yang ditentukan untuk mengenali fisik dan emosi diri terpisah dari orang lain saat pulang d engan criteria 13.Membantu anak untuk mengetahui hal-hal yang terpisah selama kegiatan-kegiatan perawatan diri, seperti berpakaian dan makan 13. Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan
anda terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari orang lain. 14.Jelaskan dan bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya 14. Kegiatan kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anak terhadap diri sebagai sesuatuyangterpisahdariorang lain DAFTAR PUSTAKA 1. Eddy Prasetyo. 2008. Kasus Autisme di Seluruh Dunia Meningkat. Diakses 05 mei 2009 dari: http://www.suarasurabaya.net/v06/kelanakota/?id=c71ee08849735df9b3bd982e3c4e3a73200859 667 2. Peters theo,2004. Autisme. Jakarta : Dian Rakyat Indonesia Atau William chris, Wright bary. 2004. How to live with autism and asperger syndrome. Jakarta: Dian Rakyat Indonesia 3. Hidayat,aziz alimul. 2005. Konsep asuhan keperwatan anak. Jakarta: Salemba Medika.