BAB I
PENDAHULUAN
Istilah autisme dikemukakan oleh Dr Leo Kanner pada 1943. Ada banyak definisi yang diungkapkan para ahli. Chaplin menyebutkan: "Autisme merupakan cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, dan menolak realitas, keasyikan ekstrem dengan pikiran dan fantasi sendiri".
Pakar lain mengatakan: "Autisme adalah ketidaknormalan perkembangan yang sampai yang sampai sekarang tidak ada penyembuhannya dan gangguannya tidak hanya mempengaruhi kemampuan anak untuk belajar dan berfungsi di dunia luar tetapi juga kemampuannya untuk mengadakan hubungan dengan anggota keluarganya."
Semua masalah perilaku anak autis menunjukkan 3 serangkai gangguan yaitu: kerusakan di bidang sosialisasi, imajinasi, dan komunikasi. Sifat khas pada anak autistik adalah: (1) Perkembangan hubungan sosial yang terganggu, (2) gangguan perkembangan dalam komunikasi verbal dan non-verbal, (3) pola perilaku yang khas dan terbatas, (4) manifestasi gangguannya timbul pada tiga tahun yang pertama.
Teori awal menyebutkan, ada 2 faktor penyebab autisme, yaitu: (1). Faktor psikososial, karena orang tua "dingin" dalam mengasuh anak sehingga anak menjadi "dingin" pula; dan (2). Teori gangguan neuro-biologist yang menyebutkan gangguan neuroanatomi atau gangguan biokimiawi otak. Pada 10-15 tahun terakhir, setelah teknologi kedokteran telah canggih dan penelitian mulai membuahkan hasil. Penelitian pada kembar identik menunjukkan adanya kemungkinan kelainan ini sebagian bersifat genetis karena cenderung terjadi pada kedua anak kembar.
Meskipun penyebab utama autisme hingga saat ini masih terus diteliti, beberapa faktor yang sampai sekarang dianggap penyebab autisme adalah: faktor genetik, gangguan pertumbuhan sel otak pada janin, gangguan pencernaan, keracunan logam berat, dan gangguan auto-imun. Selain itu, kasus autisme juga sering muncul pada anak-anak yang mengalami masalah pre-natal, seperti: prematur, postmatur, pendarahan antenatal pada trisemester pertama-kedua, anak yang dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 35 tahun, serta banyak pula dialami oleh anak-anak dengan riwayat persalinan yang tidak spontan.
Gangguan autisme mulai tampak sebelum usia 3 tahun dan 3-4 kali lebih banyak pada anak laki-laki, tanpa memandang lapisan sosial ekonomi, tingkat pendidikan orang tua, ras, etnik maupun agama, dengan ciri fungsi abnormal dalam tiga bidang: interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang, sehingga kesulitan mengungkapkan perasaan maupun keinginannya yang mengakibatkan hubungan dengan orang lain menjadi terganggu. Gangguan perkembangan yang dialami anak autistik menyebabkan tidak belajar dengan cara yang sama seperti anak lain seusianya dan belajar jauh lebih sedikit dari lingkungannya bila dibandingkan dengan anak lain.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN AUTISME
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu 'aut'yang berarti 'diri sendiri' dan 'ism' yang secara tidak langsung menyatakan 'orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat didefinisikan sebagai kondisiseseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthendkk, 1998). Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindakdengan minat pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka.Ini, tidak membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka. Sudah sejak tahun 1938, sebenarnya dr. Leo Keanner (seorang dokter spesialispenyakit jiwa)melaporkan bahwa dia telah mendiagnosa dan mengobati pasien dengan sindroma autisme yang dia sebut infantile autisme.untuk menghormatinya autisme juga disebut dengan sindroma keanner. Dengan gejala tidak mampu bersosialisasi, megalami kesulitan menggunakan bahasa, berperilaku berulang-ulang, serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan sekitar.
Sedangkan menurut Dawson Autisme adalah gangguan perkembangan yang parah yang meliputi ketidakmampuan dalam membangun hubungan sosial, ketidaknormalan dalam berkomunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang-ulang, dan stereotip. (Dawson,1989). Ketidakmampuan sosial meliputi suatu kegagalan untuk menggunakan kontak mata langsung untuk membangun interaksi sosial, jarang mencari orang lain untuk memperoleh kenyamanan atau afeksi, jarang memprakarsai permainan dengan orang lain dan tidak memiliki relasi dengan teman sebaya untuk berbagi minat dan emosi secara timbal balik. Selain kekurangan sosial ini, anak-anak autistik juga memperlihatkan keabnormalan komunikasi yang terfokus pada masalah penggunaan bahasa dalam rangka membangun komunikasi sosial, tidak adanya keselarasan dan kurangnya timbal balik, serta penggunaan bahasa.
yang stereotip dan berulang-ulang. Misalnya jika kita bertanya (pada anak autistik) "Apa kabar Budi?" Budi akan menjawab "Apa kabar Budi" anak-anak autistik juga juga bingung dengan kata ganti misalnya ialah ketika mereka memakai kata anda untuk aku.
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
Autisme merupakan gangguan perkembangan organik yang mempengaruhi anak-anak dalam berinteraksi dan menjalani kehidupannya (Hanafi, 2002).
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang berentetan atau pervasive (Matson dalam APA, 1987).
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Dan anak autistik adalah anak yang mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi. (Depdiknas, 2002).
Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri. Dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasive). Autisme merupakan suatu keadaaan dimana seorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih kecil biasanya sekitar usia 2-3 tahun.Autisme bisa mengenai siapa saja, baik yang sosio ekonomi mapan maupun kurang, anak maupun dewasa, dan semua etnis.
PENYEBAB TERJADI AUTISME
Faktor penyebab atuisme mesih terus dicari dan masih dalam penelitian parah ahli. Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika (keturunan memegang peranan penting dalam proses terjadinya autisme.
Faktor Genetik
Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik.Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah tuberous sclerosis (17-58%) dan sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile- X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) X 4.Sindrome fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosome X. Pola penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya, karena tidak bisa digolingkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier). (Dr. Sultana MH Faradz, Ph.D, 2003)
Ganguan pada Sistem Syaraf
Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada autisme. Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku.
Ketidakseimbangan Kimiawi
Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi terhadap makanan tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu, tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna, dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000 sampai 2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang memenuhi kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara 1 – 10.
tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak anak ini mengalami gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang diperiksa: 100 anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi terhadap gluten dan makanan lain. (Dr. Melly Budiman, SpKJ, 2003). Penelitian lain menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal, peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang menurunkan persepsi nyeri dan motivasi.
Kemungkinan Lain
Autisme juga diduga dapat disebabkan oleh virus, seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan dan keracunan makanan pada masa kehamilan yang dapat menghambat pertuimbuhan sel otak yang menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman komunikasi dan interaksi (Depdiknas, 2002). Kemungkinan yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang tuanya sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak, atau anak tidak pernah diajak berbicara sejak kecil, itu juga dapat menyebabkan anak menderita autisme.
CIRI-CIRI AUTISME
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Autisme ditandai oleh ciri-ciri utama antara lain:
Tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya
Tidak bisa bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya
Perkembangan bicara dan bahasa tidak normal
Reaksi/pengamatan terhadap lingkungan terbatas atau berulang-ulang.
Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang :
Interaksi sosial
Komunikasi (bicara dan bahasa)
Perilaku – emosi
Pola bermain
Gangguan sensorik – motorik
Perkembangan terlambat atau tidak normal
Menurut Depdiknas (2002) mendeskripsikan anak dengan autisme berdasarkan jenis masalah gangguan yang dialami anak dengan autisme. Karakteristik dari masing-masing masalah/gangguan itu di deskripsikan sebagai berikut:
Masalah/gangguan di bidang komunikasi dengan karakteristiknya sebagai berikut:
Perkembangan bahasa anak autistic lambat atau sama sekali tidak ada. Anak tampak seperti tuli, dan sulit bicara.
Kadang-kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain.
Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi senang meniru atau membeo (echolalia)
Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
Masalah/gangguan di bidang interaksi sosial dengan karakteristik berupa:
anak autistic lebih suka menyendiri
anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau meghindari tatapan muka atau mata orang lain.
Tidak tertarik bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya maupun yang lebih tua.
Bila diajak bermain, anak autistik itu tidak mau dan menjauh.
Masalah/gangguan di bidang sensoris degan karakteristiknya berupa:
Anak autistik tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
Anak autistik bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
Anak autistic senang mencium-cium atau menjilat-jilat mainan atau benda-benda yang ada disekitarnya.
Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut
Masalah/gangguan di bidang pola bermain karakteristiknya berupa:
Anak autistic tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
Anak autistik tidak suka bermain dengan teman sebayanya
Anak autistik tidak bermain sesuai dengan fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar.
masalah/gangguan di bidang perilaku karakteristiknya berupa:
Anak autistik dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif (hiperaktif) dan berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
Anak autistik memperlihatkan stimulasi diri atau merangsang diri sendiri seperti bergoyang-goyang mengepakan tangan seperti burung.
Anak autistik tidak suka kepada perubahan
Anak autistik duduk bengong dengan tatapan kosong.
Masalah/gangguan di bidang emosi karakteristiknya berupa:
Anak autistic sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa dan menangis tanpa alasan
Anak autistik kadang agresif dan merusak
Anak autistik kadang-kadang menyakiti dirinya sendiri
Anak autistik tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain yang ada di sekitarnya.
Klasifikasi Anak Autistik (Autisme)
Dalam berinteraksi sosial anak autistikdikelompokan atas 3 kelompok yaitu:
KELOMPOK MENYENDIRI
Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang sulit berubah meskipun usianya bertambah lanjut. Dan meskipun ada ada perubahan, mungkin hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata yang sederhana saja.
Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu berbuat sesuatu, akan melakukannya berulang-ulang.
Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-bunyi aneh, gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai diri sendiri, menyerang teman sendiri, merusak dan menghancurkan mainannya.
KELOMPOK ANAK AUTISME YANG PASIF
Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu bermain dengan kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi jarang sekali mencari teman sendiri.
Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun masih agak terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak sebaya.
Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun kadang-kadang pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.
Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan dengan anak autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi menurut kemauannya sendiri.
KELOMPOK ANAK AUTISME YANG AKTIF TETAPI MENURUT KEMAUANNYA SENDIRI
Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak autisme yang menyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan memiliki perbendaharaan kata yang paling banyak
Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja terselip kata-kata yang aneh dan kurang dimengerti.
Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
Dalam berdialog, seringmengajukan pertanyaan dengan topik yang menarik, dan bila jawaban tidak memuaskan atau pertanyaannya dipotong, akan bereaksi sangat marah.
DIAGNOSA AUTISME
Perkembangan anak menurun dan tidak normal, yang mulai terlihat sejak anak usia 3 tahun, disertai salah satu gejala berikut:
Menggunakan bahasa yang tidak wajar dalam berkomunikasi sehari-hari.
Tidak mampu menciptakan hubungan persahabatan yang akrab dan hangat
Tidak mampu berakting (peran), misalnya kadang-kadang berperan sebagai bapak atau guru dll.
Paling tidak ditemukan sebanyak enam (6) gejala dari No. 1, 2, dan 3: Sekurang-kurangnya dua (2) gejala dari No. 1, serta paling tidak satu (1) gejala dari No.2 dan No. 3. berikut:
Secara kualitas interaksi sosial sangat kurang, yang terlihat paling tidak 2 gejala pada keadaan berikut:
Tidak mau berpandangan secara kontak mata, raut wajah gerakan tubuh dan tangan dalam mengekspresikan keakraban pergaulan sehari-hari.
Gagal mengembangkan pemkiran yang wajar dalam menghadapi sejumlah kesempatan, menghadapi teman sebaya,berbagi perhatian , bebagi kegiatan dan emosi.
Tidak mampu berbagi rasa terhadap perasaan orang sekitar, dalam hal hubungan antarteman sepergaulan dan perilaku berkomunikasi.
Kurang mampu mencari kegembiraaan bersama-sama dengan teman sepergaulan dan kurang bisa memperlihatkan atau menunjuk seseorang yang menjadi perhatiannya.
Kurangnya kualitas dalam berkomunikasi, seperti terlihat paling tidak 1 gejala berikut:
Terlambat atau tidak mampu sama sekali berbahasa sehingga kadang-kadang didimbangi dengan bahasa isyarat melalui gerakan tangan, mimik, dan gerakan tubuh. Keadaan ini sering dimulai dengan bersungut-sungut.
Kurang mampu bercakap-cakap dengan teman sepergaulan meskipun mungkin masih ada kemampuan berbahasa.
Mengulang-ulang kata atau kalimat-kalimat.
Tidak bisa spontan mempercayai teman bermain
Perilaku dan perhatian yang berulang-ulang, seperti terlihat paling tidak 1 gejala berikut:
Buah pikiran yang berulang-ulang dan perhatian terbatas baik itensitas maupun isinya.
Kegiatan rutin dan gerakan ritual seperti dipaksakan
Gerakan otot berulang-ulang, seperti melambai-lambaikan tangan atau memutar-mutar tangan, atau menggerak-gerakakan tubuh.
Perhatian terpaku pada atu bahan/benda permainan, (seperti mencium-cium bau, meraba-raba halusnya permukaan mainan.
PENGOBATAN ANAK AUTISTIK (AUTISME)
Menurut ahli, sebagian besar anak autisme bila diagnosanya cepat di tegakkan dan di tanggulangi dengan baik oleh penyakit jiwa, bisa tumbuh samapai dewasa dan masih bisa berbuat dan berguna untuk sesama meskipun mungkin cara hidup kesehariannya masih autistik (menurut keinginan dan caranya sendiri).
Jangan dikira tidak ada cara pengobatannya. Banyak yang bisa dilakukan terhadap penderita autisme, antara lain :
terutama melalui program pendidikan dan latihan di ikuti pelayanan dan perlakuan lingkungan yang wajar.
untuk mngurangi perilaku anak yang tidak wajar, pengasuh dan orang tua harus di ajari cara menghadapi anak autisme.
pengobatan yang dilakukan adalah untuk membatasi memberatnya gejala dan keluhan, sejalan dengan pertambahan usia anak.
diusahakan agar anak meningkatkan perhatian dan tanggung jawab terhadap orang sekitarnya.
untuk mencapai keadaan tersebut, bimbingan dan pendidikan harus dilakukan secara perorangan, dan tidak mungkin efektif bila di lakukan secara kelas.
orang tua, saudara atau pelatih sukarela, harus ikut menyediakan waktu dan perhatian beesama-sama tenaga penolong sehingga anak tidak mempunyai peluang untuk kembali pada kebiasaannya yang kurang baik, yang sudah terbiasa dia lakukan sebelumnya.
perlunya menegakkan diagnosa autisme secara dini.
Berikut ini adalah contoh dalam menangani penderita autisme.
" Seorang ibu datang membawa anaknya yang baru berumur 9 minggu, mengeluhkan anaknya seperti tidak ada kontak pandang dengan orang tua disertai beberapa keterlambatan perkembangan, seperti sangat peka trhadap beberapa jenis makanan. Dikarenakan diagnosanya segera di tegakkan, lingkungan dapat memahami, dan diberikan bantuan seperlunya sehingga pada umur 15 tahun dapat dipahami sepenuhnya masalah pada anak yang menderita autisme ini. Ternyata pendengaran anak ini sangat kurang peka demikian juga penglihatannya. Berkat temuan ini pengelolaan terhadap penderita tentu saja berbeda satu sama lain, misalnya keterbatasan penglihatan anak ini bisa di atasi dengan bahasa isyarat. Masalah lain pada anak ini adalah ingin terus menerus dalam gendongan, dan duduk di pangkuan, sulit melupakan bau sesuatu, termasuk bau pakaiannya sendiri. Sebagi tambahan, pengelolaan terhadap anak ini di usahakan agar suasana rumah dan lingkungan tidak terlalu bising, radio tidak boleh distel keras-keras, dan makanan pun yang diberikan harus lunak tanpa dibubuhi penyedap rasa.
Jadi, penanganan masalah dari anak autisme ini, anatara lain adalah :
Mengurangi kepekaan terhadap bunyi, rasa perabaan kulit, cahaya, rasa makanan, dan lain-lain serta mengusahakan perubahan perilaku yang menyimpang.
Bila kebiasaan perilaku dan tutur bahasanya yang kacau bertambah memburuk, saatnya anak ini memerlukan pembimbing khusus.
latihan bicara berbahasa, dan bahasa isyarat, diperlukan untuk memberikan pelatihan dan bimbingan bagi anak yang mengalami ganguan berbahasa yang berat (sampai anak seperti orang bisu, tak mau bicara).
Psycoterapy lebih diperlukan pada autisme anak yang lebih besar dari pada untuk anak autisme yang masih balita.
Perencanaan pengobatan yang paripurna terhadap anak autisme, termasuk :
Program pendidikan
Petunjuk bagi pengasuh dan keluarga dalam menghadapi anak autisme
Perhatian pada pengaruh langkah pengibatan yang di ambil
Obat-obat psikotropik kadang-kadang bermanfaat pada beberapa penderita autisme. Fasilitas pengobatan untuk anak prasekolah biasnya dipersiapkan untuk anak autisme yang masih kecil dan berat. Sekolah pemerintah, sebaiknya tanggap untuk menyediakan fasilitas untuk menangani anak autisme.
Program pelatihan anak autisme antara lain :
Program playgroup untuk anak autisme usia prasekolah.
Program wisata dan rekreasi.
Konsultasi disertai pelatihan bagi orang tua dan kelurga anak autisme.
Tempat tinggal/ruang perawatan anak autisme bila keluarganya tidak mampu menanggulangi di dalam keluarga.
Latihan kerja dan beberapa program persiapan bergaul dan bekerja dimasyarakat bagi anak autisme yang sudah agak besar dan remaja.
Fasilitas perawatan gigi, dan pelayanan kesehatan khusus untuk penderita autisme.
Persiapan fasilitas lain di dalam masyarakat sehingga penderita autisme tidak terlalu tergantung pada orang sekitarnya.
Berikut ini langkah-langkah yang diperlukan dalam pengelolaan penderita autisme.
tentukan terlebih dahulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku yang mana kira-kira kita perlu ditingkatkan.
tentukan berapa sering timbulnya penyimpangan perilaku tersebut.
tentukan apa faktor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku tersebut.
tentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau mengurangi penyimpangan perilaku.
rencanakan program tersebut.
yakinkan dan usahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan program tersebut.
periksa dan usahakan agar semua program yang direncanakan bisa berjalan secara konsisten.
adakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu mengharapkan hasilnya dalam waktu singkat.
adakan modifikasi atau hentikan program setelah hasil yang anda harapkan tercapai. Ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk di ubah. Salah seorang ahli menganjurkan, paling tidak, 3 bulan setelah program dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil atau gagal. Bila terlalu buru-buru mengubah langkah pengelolaan, bisa menimbulkan malapetaka bagi si penderita.
memberikan permainan yang rutin dan tetap merupakan jenis pengobatan bagi anak autisme, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman dalam dunianya.
bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya berekreasi, juga di anjurkan oleh para profesional.
pengobatan secara psikologi dan secara bermain, termasuk yang dianjurkan juga.
begitu juga latihan memilih dan latihan berkomunikasi.
TEKNIK & PENDEKATAN BIMBINGAN KONSELING UNTUK ANAK AUTISME
Dalam usaha untuk memahami masalah yang dialami oleh anak autistik dan membantu meringankan dan mengatasi masalah anak autistik, maka perlu diterapkan teknik dan pendekatan bimbingan dan konseling yang sesuai. Teknik-teknik bimbingan menurut Mortensen dan Schmuller(1984)ialah mencakup teknik observasi, pengetesan, studi kasus, wawancara, catatan kumulatif, otobiografi, pertemuan dengan orang tua, sosiometri, widiawisata, diskusi dan bermain peran, dan rekreasi.
Pendekatan bimbingan konseling untuk anak autistik pada prinsipnya sama dengan pendekatan bimbingan konseling untuk anak normal pada umumnya. Hanya pendekatan bimbingan konseling tersebut disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan anak autistik, baik secara individual maupun kelompok. Beberapa diantaranya adalah pendekatan behavior (perilaku) dan pendekatan realitas.
PERANAN ORANG TUA, GURU, DAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN ANAK AUTISTIK (AUTISME).
Peranan Orang Tua
Menurut Puspita (2001) bahwa peranan orang tua anak autistik dalam membantu anak untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan optimal sangat menentukkan. Tindakan awal yang perlu dilakukan oleh para orang tua anak autistik ialah orang tua perlu teliti dalam mengamati berbagai gejala yang nampak pada diri anak yang autistik. Ketelitian orang dalam mengamati berbagai gejala tersebut akan menjadi bahan acuan bagi orang tua dalam mengambil keputusan yang tepat dalam memberikan penanganan secara dini kepada anak autistik. Namun, pada umumnya para orang tua berlindung dibalik harapan kosong dengan beranggapan bahwa "anak saya tergolong autisme ringan", padahal autisme ringan, sedang, berat akan cenderung menjadikkan anak tidak dapat "mandiri" bilamana tidak di tangani secara dini.
Tindakan lain yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik adalah memberikan penanganan kepada anaknya berdasarkan masalah dan gejala perilaku yang nampak pada diri anak autistik. Masalah dan gejala perilaku yang ditunjukan oleh sesama anak yang autistik adalah tidak sama. Karena itu, penanganan yang diberikan kepada setiap anak juga tidak sama.
Penanganan yang diberikan orang tua kepada anaknya yang autistik sebaiknya bersifat terpadu dan menyeluruh yang mencangkup aspek fisik dan psikis atau jasmani dan rohani. Pemberian pendidikan dan latihan secara intensif tanpa di barengi dengan upaya memperbaiki keseimbangan metabolisme atau perbaikan kondisi fisik pada diri anak yang autistik, maka akan memberikan hasil yang kurang optimal. Sebaliknya, jika para orang tua hanya menggantungkan harapan pada obat-obatan atau kontrol makanan tanpa ada usaha pemberian pendidikan dan latihan yang intensif, kontinyu, dan konsisten kepada anak yang autistik, tentu saja hasilnya juga kurang optimal.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan perlu dilakukan oleh para orang tua dalam menetapkan tatalaksana yang tepat bagi srtiap anak, yaitu orang tua harus mengenali kelebihan dan kekurangan anak, lengkap dengan ciri autisnya untuk mengetahui kebutuhan anak, mengenali kemungkinan penanganan yang dapat diberikan kepada anak, menetapkan beberapa jenis penanganan sesuai kebutuhan, melakukan pemantauan secara terus menerus terhadap perkembangan anak, dan secara berkala kembali kepada langkah pertama, yaitu mengetahui kelebihan dan kekurangan pada diri anak yang autistik sesuai dengan proses perkembangan yang terjadi pada diri anak autistik. (puspita, 2001).
Para orang tua tidak boleh lupa bahwa meskipun anaknya autistik, namun anaknya yang autistik tersebut terus mengalami perubahan atau perkembangan. Karena itu, para orangtua anak autistik harus juga selalu berkembang dengan cara para orang tua harus selalu berusaha dan belajar terus menerus untuk mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan anak yang autistik.
Greenspan (1998) mengemukakan bahwa peran orang tua anak autistik perlu meluangkan waktu sedikitnya 6-8 kali selama 20-30 menit secara terus menerus bersama anak dalam bentuk aneka kegiatan yang dilakukan anak bersama di lantai. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk menumbuhkan perhatian dan kedekatan anak kepada orang tua, memancing komunikasi dua arah antara anak dengan orang tua, mendorong ekspresi dan penggunaan perasaan dan pendapat, dan menumbuhkan kemampuan berpikir logis pada diri anak.
Dalam memberikan penanganan kepada anak autis dirumah, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik ialah orang tua harus dapat mengenali keadaan anak apa adanya. Para orang tua perlu ingat bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak usia dibawah tiga tahun. Perwujudan gangguan perkembangan ini mencangkup tiga aspek utama, yaitu gangguan komunikasi, gangguan perilaku, dan gangguan interaksi (puspita, 2001).
Setelah para orang tua mengenali keadaan anaknya apa adanya dan mengetahui ciri autisme yang dimiliki anak serta gejala autisme yang muncul pada setiap anak yang bersifat sangat individual dan unik, maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh para orang tua anak autistik adalah melakukan pendampingan yang intensif. Pendampingan yang dimaksud adalah memastikan adanya interaksi aktif antara anak dengan orang tua atau pengasuhnya yang ada disekitar nya. Tujuan kegiatan pendampingan yang intensif ini ialah untuk membina kontak batin secara terus menerus dengan anak dan untuk meningkatkan pemahaman anak yang umumnya cenderung terbatas.
Proses pendampingan dilaksanakan sejak anak autistik mulai membuka mata sampai saatnya anak autistik tersebut tertidur kembali di malam hari. Saat proses pendampingan terjadi anak ditemani untuk memberikan informasi dan pengalaman dalam berbagai bentuk kepada anak. Yang perlu diingat oleh para orang tua adalah jangan membiarkan anak sendirian tanpa melakukan sesuatu. Para orang tua harus selalu berusaha meningkatkan pemahaman anaknya dalam berbagai bidang, misalnya dalm bidang kemampuan berpikir dan kemandirian mengurus diri sendiri agar kemampuan anak autistik pada bidang tersebut mendekati kemampuan yang dimiliki oleh anak lain yang seusia dengan mereka.
Peningkatan pemahaman anak dalam bidang kemampuan berpikir dan kemandirian mengurus diri sendiri tersebut dapat dilakukan oleh para orang tua dengan cara memberikan pengalaman sebanyak mungkin kepada anak yang disertai dengan pengarahan. Orang tua harus mengikuti anaknya kemana ia pergi, memeberi tahu terhadap apa yang dipegang dan dilihat anaknya, dan menjelaskan beberapa kejadian yang dialami anaknya, serta orang tua perlu memberi makna pada kehidupan anaknya (puspita 2001).
Penanganan anak auitistik seharusnya tidak tertuju kepada keinginan agar anak mampu berbicra, tetapi memahami apapun yang dikatakan oleh orang lain. Perkenalkan kepada anak berbagai kegiatan untuk mengembangkan minat anak auitstik dalam dunia disekitarnya. Selain meningkatkan pemahaman anak autis, upaya selanjutnya adalah sedapat mungkin mengurangi atau menghilangkan ciri negatif yang ada pada anak. Misalnya anak autis yang cenderung membenturkan kepala untuk mencari perhatian, peganglah kepala anak sambil diusap-usap. Dengan cara seperti ini anak merasa diperhatikan.
Para orang tua perlu menanamkan pemahaman kepada anak bhawa dalam kehidupan didunia ini ada aturan-aturan yang perlu ditaati. Aturan itu ada disekolah, dirumah, dan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya mengajarkan anak untuk taat terhadap aturan waktu salat, maka orang tua perlu memberikan contoh keteladanan berupa salat lima waktu sesuai dengan waktu salat.
Dalam proses pewarisan keteladanan tersebut, anak autistik sebagai sudah diikutkan dalam shalat berjamaah dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya pada setiap waktu shalat tiba. Pewarisan keteladanan seperti ini, juga dapat di lakukan pada bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti pembiasaan cara berperilaku santun dan sopan kepada orang tua dan ke[ada orang yang lebih tua, anggota keluarga lainnya dalam satu rumah, kepada teman, dan orang lain disekitar rumah, dan lingkungan dimasyarakat.
Para orang tua juga perlu mengenali pola perilaku yang ditampilkan oleh anak autistik, karena pola perilaku trsebut sering merupakan perwujudan dari kebutuhan fisik anak autistik akan sesuatu. Misalnya anak autistik senang melompat di tempat tidur dan kegiatan ini bisa dilakukan berjam-jam lamanya, maka tnidakan yang perlu dilakukan oleh para orang tua adalah memberikan fasilitas yang dapt mencegah anak mengalami kecelakaan. Biarkan anak melompat sesuka hatinya, selama tidak membahayakan bagi dirinya dan merusak barang miliknya dan barang-barang yang ada disekitar tempat tidur itu.
Jika para orang tua anak yang autistik itu berhasrat mengajarkan konsep-konsep baru, misalnya konsep tentang warna, angka, bentuk, dan sebagainya, maka pastikan bahwa pada saat tersebut hanya ada satu aspek dari konsep baru tersebut yang ditargetkan dicapai oleh anak. Gunakan alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemahaman anak. Jika orang tua mengajarkan anak tentang benda-benda yang berbentuk balok, maka ambil ambil balok yang berasal dari kayu (aslinya) lalu terangkan kepada anak tentang balok tersebut. Sesudah itu, anak autistik disuruh mengambil gambar balok tersebut dengan balok kayu asli untuk mengetahui apakah anak sudah memehami tentang konsep bentuk balok.
Dalam melayani kebutuhan anak autistik anak autistik oloeh pihak orang tua, keluarga, guru, terapis, pembantu di rumah tangga, dan pihak lain yang menaruh minat dan peduli terhadap anak autistik, di butuhkan kesabaran, ketekunan, keikhlasan, dan sikap mau menerima keberadaan anak autistik apa adanya. Selain itu, dibutuhkan kerja sama yang sinergik kesemua pihak tersebut untuk menghindari rasa bosan dalam melayani kebutuhan anak autistik, seperti yang dikemukakan oleh lovaas, 1996 bahwa orang tua yang paling hangat dan penuh kasih sayang terhadap anaknya yang autistik dapat mengalami hilang akal dan bahkan berubah menjadi maniak (gila) yang selalu berteriak-teriak jika tertekan menghadapi anaknya.
Jika para orang tua, guru, terapis, anggota keluarga lainya, dan pihak terkait lainnya melatih kemampuan motorik kasar dan halus anak autistik, maka latihan koordinasi visual motorik, keseimbangan, ketelitian, dan latihan konsentrasi sangat perlu diberikan kepada anak autistik. Dalam pemberian latihan tersebut, yang perlu diperhatikan ialah kesesuaian program dengan karakteristik, kemampuan, dan kondisi perkembangan anak autistik (puspita, 2001).
Selain usaha tersebut diatas yang dapt dilakukan oleh para orang tua anak auitistik, orang tua juga perlu menerima bimbingan keluarga melalui kegiatan "home training". Pelatihan yang diterima oleh para orang tua dirumah (home training) dapt berupa: para ahli yang terdiri dari dokter, psikolog, psikiater, dan pedagog menerangkan tentang apa, bagaimana, dan di apakan anak autisme itu; para guru dan pelatih memberikan latihan-latihan sederhana untuk dipraktekkan dirumah khusus nya untuk memberi stimulasi kepada anak nya dalam bidang latihan panca indera; orang perlu mendapatkan dan mempelajari isi video home training dari lembaga yang menangani anak autis.
Tujuan pemberian latihan kepada orang tua adalah agar orang tua dapt mempelajari dan mempraktekkan isi video home itu dirumah. Latihan-latihan tersebut dapat berupa latihan kontak mata dengan orang lain, latihan makan sendiri dengan nasi tidak berantakan, latihan konsentrasi terhadap permainan, latihan berpakaian, latihan sosialisasi dalm kelompok bermain, dan sebagainya.
Usaha lain yang dapat dilakukan oleh para orang tua anak autis ialah membawa anaknya ke pusat-pusat terapi dan mengikuti programnya. Di pusat-pusat terpai tersebut dilakukan latihan-latihan perkembangan anak yang mengarah kepada domain kognitif, afektif, dan psikomotor (saragi, 2002).
Hanafi (2002) juga mengemukakan bahwa ada bebrapa hal yang perlu dilakukan oleh para orang tua anak yang autistik, yaitu bersikap realistis menerima anaknya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tidk hanya memindahkan beban dan tanggung jawab pendidikan kepada lembaga pendidikan autisme, tetapi lebih bersikap proaktif terlibat dalm proses pendidikan dan pemandirian anak autistik, misalnya mempelajari metode penanganan autistik yang tepat dan sesuai karakter putra nya, ikut aktif dalam penyusunan program pendidikan anaknya, melanjutkan dan menyelaraskan kegiatan dirumah dengan program disekolah. Selain itu, para orang tua secara bersama-sama dengan lembaga penyelengara pendidikan untuk anak autisme mempersiapkan dan mengupayakan kemandirian anak dan orang tua perlu memupuk kerja sama dan menanamkan pengertian kepada semua anggota keluarga lainnya di dalam satu rumah tangga untuk terlibat aktif dalam usaha memandirikan anaknya yang autistik.
Peranan Guru
Guru sebagai pengajar dan pendidik di sekolah memiliki peranan yang ganda. Yaitu membantu orang tua anak autistik disekolah dan membantu terapis atau pembimbing dan pelatih dalam program penata laksanaan gangguan autisme. Widyawati (2002) mengemukakan bahwa tujuan terapi pada gangguan autistik adalah untuk mengurangi masalah perilaku, meningkatkan kemampuan dan perkembangan belajar anak autistik, terutama dalam hal penguasaan bahsa, dan membantu anak autistik agr mampu bersosialisasi dalm beradaptasi dilingkungan sosialnya.
Tujuan tersebut diatas dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus dan terapi wicara meupakan kompenen yang penting. Namun yang tidak boleh dilakukan oleh pihak guru khususnya dan pihak lain yang terkait ialah bhwa masing-masing individu anak yang autistik adalah unik, sehingga jangan beranggapan bahwa satu metode berhasil untuk satu anak dan metode tersebut berhasil pula untuk anak autistik yang lain. Jadi suatu metode yang duterapkan disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan dari masing-masing anak yang autistik.
Guru perlu memperhatikan kelemahan dan kekuatan anak sebagai basis dalam menyusun dan menerapkan pendidikan untuk anak autistik. Guru perlu memberikan pelatihan yang terstruktur yang memperkecil kesempatan anak untuk melepaskan diri dari teman-temannya dan guru segera bertindak bila anak melakukan aktivitas sendiri. Anak perlu di iukt sertakan dalam proses penyusunan program pelatihan struktur ini dengan tujuan agar anak dapat mengatur sendiri pikiran dan tindakannya agar anak dapat bekerja atas dasar kemampuan sendiri (mandiri).
Dalam mebelajarkan tetang bahasa, sebaiknya materinya membicarakan tentang hal-hal yang ada di dalam kehidupan sehari-hari anak. Dengan materi tersebut, anak lebih mudah mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi. Pada bebrapa anak dapat dilatih bahasa isyarat dan keterampilan sosial yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan sehari hari.
Untuk anak autistik yang berusia remaja dan dewasa muda. Program pendidikan dan latihan yang perlu diberikan oleh guru kerjasama dengan pihak yang terkait (orang tua, terapis, dan tenaga medis, ahli terapi wicara, psikolog, dan lainnya) ialah masalah yang berkenaan dengan kekurangan dalam interaksi sosial, hubungan timbal balik, memahami aturan-aturan sosial, memusatkan perhatian bila anak berada dalam suatu kelompok, dan kemampuan mengerjakan cara-cara yang di ajarkan oleh pembimbingnya (widyawati, 2002).
Dalam menangani anak autistik yang agresif, peranan yang perlu dilakukan oleh guru adalah mengajari berkomunikasi bukan kata-kata dan tingkatan keterampilan sosial anak melalui peragaan. Guru perlu juga konsultasikan anak ke ahli endokrinologi untuk mengatasi agresivitas seksual anak dan konsultasi neurologi untuk mengatasi adanya serangan kejang lobus temporalis dan sindrom hipo talamik. Guru harus menciptakan lingjungan sekolah yang aman, teratur, dan responsif terhadap anak autistik. Guru harus berusaha untuk membangkitkan rasa percaya diri pada anak dan membantu orang tua untuk mengerti dan mempraktekkan teknik-teknik perilaku yang di ajarkan bersama-sama dengan anak autistik agar meningkatkan persepsi orang tua, sehingga para orang tua dapat membantu dengan efektif dan mengintrol perilaku anak mereka. Selain itu, guru perlu juga mengembangkan berbagai keterampilan sebagai pengganti agresivitas, seperti keterampilan sosial, keterampilan berkomunikasi, kerjasama, menggunakan waktu senggang, dan keterampilan berekreasi (widyawati, 2002).
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh guru disekolah dan para orang tua dirumah untuk mencegah timbulnya perilaku agresivitas pada diri anak. Teknik-teknik tersebut, yaitu dengan :
Membina hubungan yang kuat dengan anak, memastikan anak memiliki rutinitas yang teratur(terutama dirumah), meninjau kembali bermacam tuntunan terhadap anak autistis, mengatur perubahan rutinitas(sebelum/sesudah hari libur), menjelaskan dan menyiapkan anak terhadap perubahan, mengurangi suara dan keributan disekitar anak, membuat rencana untuk "hari-hari buruk" dengan memilih suatu tempat yang tenang agar anak autistis dapat lebih tenang, pergunakan relaksasi dan kontrol diri sebagai cara untuk memberi lebih banyak keterampilan pada anak, pertemuan rutin dengan anggota tim terapis/pembimbing/pendidik/pelatih agar mereka menyadari anggota tim menyadari tanda-tanda agresivitas yang muncul pada anak autistis, dan supervisi dari ahli ilmu jiwa atau psikolog yang terlatih dalam perilaku kognitif anak autistik (widyawati, 2003).
Guru perlu juga mengetahui gaya belajar anak autistik. Berupa: Rote Learner, yaitu anak cenderung mengafalkan informasi apa adanya tanpa memahami arti simbol yang dihapalkan itu; Gestalt Learner, yaitu anak dapat mengahafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata perkata yang terdapat pada kalimat itu dan anak cenderung belajar menggunakan gaya gestalt, yaitu melihat sesuatu secara keseluruhan; Visual Learner, yaitu anak senang melihat buku, gambar-gambar dan tv dan mudah memahami sesuatu yang dilihat daripada yang mereka dengar; Hands on Learner, yaitu anak senang mencoba-coba dan mendapatkan pengetahuan dari pengalamannya mencoba-coba ini; dan Auditory Learner, yaitu anak autistik senang bicara dan lebih mudah memahami terhadap yang mereka dengar dari pada terhadap apa yang mereka lihat. Dengan mengetahui gaya belajar dari setiap anak autistik, maka guru diharapkan dapat menyesuaikan proses pendidikan, bimbingan, dan latihannya terhadap gaya belajar anak autistik tersebut.
Guru perlu juga mengetahui masalah belajar yang dialami anak autistik. Ada empat masalah belajar yang mempengaruhi proses berpikir yang mempengaruhi proses belajar anak autistik disekolah menurut paull dan jordan (1999), yaitu: masalah persepsi, msalah kesadaran akan pengalaman, masalah daya ingat, dan masalah emosi. Anak autistik bermasalah persepsi karena tidak dapat mempersepsi stimulus dari lingkungan seperti dilingkungan anak normal. Anak autistik bermasalah dalam hal kesadaran terhadap pengalaman karena anak autistik sulit memahami bahwa sesuatu itu telah dialaminya, anak autistik bermasalah dalam hal daya ingat karena anak autistik daya ingatnya lemah, sehingga anak autistik seulit mengaitkan ingatan dengan pengalaman mereka sebagai pribadi dan anak autistik bermasalah emosi karena emosi anak autistik tidak stabil dan cenderung subjektif.
Puspita (2001) menyatakan peran dan tugas guru pendamping anak autistik sangat besar. Guru pendamping anak autistik memiliki peran ganda, yaitu membantu anak menguasai tugas akademis dan membantu anak berkembang sesuai tahapan perkembangan yang seharusnya. Greenspan (1998) mengemukakan bahwa tugas guru pendamping secara umum adalah: membantu anak mempersiapkan diri menghadapi tugas berikutnya, membantu anak mengerti bagaimana bekerja dikelas, tidak sekedar duduk dibelakang anak, dan membantu terlaksananya tugas anak tetapi menggunakan tugas sekolah sebagai kesempatan interaksi sehingga anak belajar dua keterampilan pada saat yang sama, dan menjembatani terjadinya interaksi antara yang satu dengan anak yang lain sehingga anak dapat memahami tentang bagaimana bergaul, berbagi, bergiliran, dan sebagainya.
Untuk dapat membantu anak autistik mengaktualisasikan potensinya secara maksimal, ada beberapa hal yang perlu diprtimbangkan oleh guru, beberapa hal tersebut ialah berupa: guru perlu memahami bagaimana anak autis melihat dunia, guru perlu memanfaatkan gaya belajar anak, guru perlu membuat anak sadar akan makna setiap informasi, guru perlu mengaitkan informasi yang diterima anak didalam kelas dengan kehidupannya sehari-hari, dan guru perlu memulai bimbingannya dengan memulai dari minat anak.
Selain itu, guru perlu pula memperhatikan perbedaaan individu, jangan membiarkan anak asik sendiri tetapi guru perlu mengupayakan adanya interaksi anak dengan orang lain, jangan terlalu mengarahkan anak, hindari gaya bertanya yang kaku, biarkan anak melakukan berbagai hal secara mandiri, dan jangan pernah asumsi pada guru bahwa anak memahami perkataan anda.
Peranan Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam usaha membantu anak autistik dalam berbagai hal, khususnya dalam masalah pemberian pendidikan, pelatihan, dan bimbingan dibidang pendidikan, sosial, karier, pribadi, dan keterampilan sensorik dan motorik sangat besar peranannya. Hanafi(2002) mengemukakan bahwa anak autistik yang menunjukan perbaikan gejala yang menggembirakan, memerlukan dukungan, bantuan dan kesempatan serta toleransi dari lingkungan diluar keluarga dan sekolah khusus atau klinik untuk anak autistik. Untuk mengembangkan potensi anak autistik sebagai makhluk sosial, maka masyarakat pendidikan dan masyarakat diluar sekolah sangan dibutuhkan kontribusinya.
Kontribusi yang perlu dilakukan oleh masyarakat pendidikan ialah: memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk bersosialisai atau diintegrasikan keseolah umum sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, masyarakat juga perlu memberikan informasi secara jujur dan berimbang atau proporsional tentang dan hasil dan segala sesuatu yang berkenaan dengan penanganan pendidikan autisme, dan membantu usaha sosialisasi tentang autisme dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya bagi masyarakat luas melalui media cetak dan elektronik.
Sedangkan kontribusi yang diharapkan dari masyarakat luas ialah berupa: membantu menciptakan situasi lingkungan yang kondusif atau mendukung bagi anak autistik. Selain itu, para orang tua "anak yang normal" diharapkan dapat memahami dan menerima kebutuhan pendidikan anak autistik untuk diintegrasikan kedalam lingkungan normal, dan masyarakat luas baik sebagai individu maupun sebagai pemilik fasilitas umum, bersedia memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk menggunakan fasilitas umum yang dimilikinya sebagai sarana belajar dan interaksi sosial bagi anak yang autistik. Misalnya pemilik pusat perbelanjaan atau swalayan dapat memberikan kesempatan kedapa anak autistik untu belajar berbelanja, belajar antri, belajar membayar sendiri harga barang yang dibeli, dan bahkan jika memungkinkan untuk membuka kasier khusus untuk anak yang autistik (hanafi 2002).
BAB III
KESIMPULAN
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu 'aut'yang berarti 'diri sendiri' dan 'ism' yang secara tidak langsung menyatakan 'orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat didefinisikan sebagai kondisiseseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthendkk, 1998). Penyebab terjadinya autisme adalah factor genetic, gangguan pada system syaraf, ketidakseimbangan kimiawi, dan kemungkinan lainya. Karakteristik menurut power (1989) yaitu adanya 6 gangguan dalam bidang interaksi social, komunikasi ( bcara dan bahasa), prilaku emosi, pola bermain, gangguan sensorik – motorik, dan perkembangan terlambat atau tidak normal.
Untuk mendidik anak autisme diperlukan kerjasama yang berkesinambungan antara guru, orang tua dan pihak sekolah. Kontribusi yang perlu dilakukan oleh masyarakat pendidikan ialah: memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk bersosialisai atau diintegrasikan keseolah umum sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, masyarakat juga perlu memberikan informasi secara jujur dan berimbang atau proporsional tentang dan hasil dan segala sesuatu yang berkenaan dengan penanganan pendidikan autisme, dan membantu usaha sosialisasi tentang autisme dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya bagi masyarakat luas melalui media cetak dan elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abdul. 2006.Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus – Autistik. Bandung: Alfabeta Bandung
Yatim, Faisal. dr. 2007. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor
Santrock, John. W.1995. Live – Span Development : Perkembangan Masa Hidup Jilid I. Jakarta: Erlangga
www. Wikipedia.org/autisme ( Diunduh tanggal 25 september 2010 )
www.autis.info.org/tentang autisme ( Diunduh tanggal 25 september 2010 )
19