BBDM SKENARIO 2
KASUS PILEK BERBAU
Seorang mahasiswa 19 tahun dating ke puskesmas dengan keluhan pilek berbau sejak 3 minggu yang lalu. Disertai hidung tersumbat bergantian terutama hidung kanan dan terasa penuh dipangkal hidung, disertai bersin-bersin saat bangun tidur. Penderita mengeluhkan sakit serupa kambuh selama 1 tahun terakhir sejak kuliah. Dari pemeriksaan didapatkan konka udem kanan dan kiri, discharge mukopurulen kanan dan kiri, serta deviasi ke kanan.
STEP I
Deviasi septum = Terjadi kelainan batas antara lubang hidung
Konka edem= mengalami pembengkakan konka
Discharge mukopurulen= secret mukosa bentuk kental bercampur dengan pus
STEP II
Apa yang perlu kita gali dari pemeriksaan untuk menegakan diagnosis?
Mengapa hidung tersumbat bergantian?
Apa hubungan septum deviasi kekanan sedangkan edem konka kanan kiri?
Apa hubungan onset gejala pada penyakit beserta kekambuhan?
Kenapa pilek berbau dan apakah discharge mukopurulen berbau?
Kenapa penderita bersin pada pagi hari?
Kenapa hidung pasien penuh dipangkal?
Bagaimana proses edem konka?
Diagnosis banding dan sementara?
Apakah adahubungan umur dengan diagnosis?
STEP III
Anamnesis = - Riwayat alergi keluarga dan diri sendiri
Factor pemicu dari alergi
Menilai visual analog scale, untuk menentukan derajat sakitnya
Adanya nasal cycle ini merupakan proses fisiologis agar meningkatkan fungsi penciuman dan melindungi rambut hidung
Septum deviasi menyebabkan inflamasi hidung jika dibiarkan menjadi edem konka
Dan 10 stress membuat imunitas menurun menyebabkan alergi, bias disebabkan karena viral bakteri aerob dan anaerob.
Karena terinfeksi bakteri / jamur adanya inflamasi menyebabkan bulu hidung rusak sehinggga mikroorganisme sulit untuk dikeluarkan
Pada saat tidur proses fisiologis menurun dan disaat yang sama aktivitas mikroorganisme meningkat dan akan dikeluarkan saat pagi hari
Terjadi inflamasi menybabkan sel goblet meningkatkan produksi mucus menyebabkan obstruksi di sinus paranasal ditambah adanya edem konka membuat sekresi tidak bisa keluar
Edem konka sifatnya reversible tetapi dapat menjadi irreversible bila menjadi kronik
DS= Rhinosinusitis
DD= - polip nasal
Rinitis Alergika
STEP IV
ETIOLOGIPF DAN PPEDUKASI DAN PENCEGAHANPATOFISIOLOGIPILEK BERBAUDD DAN DSTATALAKSANAETIOLOGIPF DAN PPEDUKASI DAN PENCEGAHANPATOFISIOLOGIPILEK BERBAUDD DAN DSTATALAKSANA
ETIOLOGI
PF DAN PP
EDUKASI DAN PENCEGAHAN
PATOFISIOLOGI
PILEK BERBAU
DD DAN DS
TATALAKSANA
ETIOLOGI
PF DAN PP
EDUKASI DAN PENCEGAHAN
PATOFISIOLOGI
PILEK BERBAU
DD DAN DS
TATALAKSANA
STEP V
Etiologi dan factor predisposisi rhinosinusitis
Patofisiologi rhinosinusitis
Gejala dan tanda rhinosinusitis
Anamnesis, PF, PP
Diagnosis diferensial (polip nasal, rhinitis alergika)
Tatalaksana
Edukasi dan pencegahan
STEP VI
ETIOLOGI RINOSINUSITIS
Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab utama. Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu "ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal".
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu "faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan". Berdasarkan ketiga kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.
Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing
berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.2
Genetic/PhysiologicFactors
Environmental Factors
Structural Factors
Airway hyperreactivity
Allergy
Septal deviation
Immunodeficiency
Smoking
Concha bullosa
Aspirin sensitivity
Irritants/pollution
Paradoxic middle turbinate
Ciliary dysfunction
Viruses
Haller cells
Cystic fibrosis
Bacteria
Frontal cells
Autoimmune disease
Fungi
Scarring
Granulomatous disorders
Stress
Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
FAKTOR PREDISPOSISI RHINOSINUSITIS
Faktor-faktor predisposisi rhinosinusitis adalah sebagai berikut :
Iklim yang dingin dan basah
Defisiensi gizi
Kelemahan
Tubuh yang tidak bugar
Penyakit sistemik
Perubahan faktor lingkungan (dingin, panas, kelembaban, dan kekeringan)
Polutan atmosfer (asap tembakau)
Paparan terhadap infeksi sebelumnya, ex : common cold
Deformitas rangka
Alergi
Gangguan geligi
Benda asing
Neoplasma
PATOFISIOLOGI RHINOSINUSITIS
Senior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa: " Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi. " 13,14
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik.14 Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti yang tergambar pada gambar 2 dibawah ini.14
Gambar 2. Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu
faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan
dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.14
Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab utama.2,14 Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu "ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal".1
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu "faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan". 2,14 Berdasarkan ketiga kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.2,14 James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.
GEJALA DAN TANDA
Rhinosinusitis pada dewasa digambarkan sebagai :
inflamasi hidung dan sinus paranasal, dikarakteristikan dengan 2 atau lebih gejala, dimana salah satunya blok / obstruksi / kongesti nasal atau discharge nasal (anterior / posterior nasal drip), dan disertai nyeri / nyeri tekan wajah atau berkurangnya fungsi penciuman,
Tanda endoskopi dari :
- Polip Nasal, dan / atau
- discharge mukopurulen yang berasal dari meatus media, dan / atau
- oedema / obstruksi mucosal di meatus media,
Perubahan gambaran CT:
- Perubahan mucosal di Kompleks Osteomeatal (KOM) dan / atau sinus paranasal
Rhinosinusitis pada anak digambarkan sebagai :
inflamasi hidung dan sinus paranasal, dikarakteristikan dengan 2 atau lebih gejala, dimana salah satunya blok / obstruksi / kongesti nasal atau discharge nasal (anterior / posterior nasal drip), dan disertai nyeri / nyeri tekan wajah atau disertai batuk
Tanda endoskopi dari :
- Polip Nasal, dan / atau
- discharge mukopurulen yang berasal dari meatus media, dan / atau
- oedema / obstruksi mucosal di meatus media,
Perubahan gambaran CT:
- Perubahan mucosal di Kompleks Osteomeatal (KOM) dan / atau sinus paranasal
Anamnesis Rhinosinusitis
Durasi penyakit
<12 Minggu Akut
<10 hari memburuk setelah 5 hari atau persisten >10 hari
>12 Minggu Kronik
Tanda – Tanda Alergi
Allergic Shiner : Bayangan gelap dibawah mata
Allergic Salute : Menggosok – gosok hidung dengan tangan karena gatal
Allergic Crease : Garis melintang di sepertiga bawah dorsum nasi
Facies adenoid : Gangguan pertumbuhan gigi – geligi
Gejala Sistemik
Demam,lemas, dan malaise
Gejala lain : Iritasi faring,laring,atau trakea,nyeri tenggorok dan batuk
Gejala Lokal
Ingus purulen,hidung tersumbat,nyeri atau rasa tekan pada wajah,nyeri kepala, dan hiposmia/anosmia
PEMERIKSAAN FISIK, dilakukan pemeriksaan dengan rinoskopi anterior pada rinosinusitis akan tampak adanya ingus yang purulen atau post nasal drip pada pemeriksaan faring. Adapun pemeriksaan penunjang antara lain transiluminasi, radiologi, endoskopi, kultur bakteri. Pungsi/aspirasi sebaiknya dilakukan setelah tanda akut mereda. [1] Gejala khas kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari. Sementara gejala lainnya adalah demam, rasa letih, lesu, batuk dan hidung tersumbat ataupun berlendir. Sakit pada muka di sekitar mata. Dan juga dapat mengalami kesulitan membedakan aroma atau bahkan mencium bau sama sekali.
Pada daerah ini jika Anda mengetuk tulang atau menundukkan kepala, muka akan terasa sakit. Diganosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik. Diagnosis banding sinusitis akut meliputi rinitis akut (common cold) dan Neuralgia trigeminal, rhinovirus, sinus tumor (polip), dan ISNA
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI SINUS PARANASALIS
Trans-Iluminasi (untuk Sinus Maksila)
Dilakukan di kamar gelap
Lampu bertangkai dimasukkan ke dalam rongga mulut, sinar lampu akan menembus rongga sinus maksila, terlihat di pipi, bandingkan kanan dan kiri. Sinus yang terisi cairan tampak suram/gelap
Bermakna bila ada perbedaan kanan & kiri
Pemeriksaan Laboratorium
CRP (C-Reactive Protein: meningkat pada infeksi bakteri).
LED (laju Endap Darah) tanda inflamasi
Pencitraan Radiologi
Foto polos posisi waters: menilai air fluid level pada rinosinusitis akut.
CT-scan: sering digunakan pada rinosinusitis kronis, untuk menilai adanya kelainan anatomis seperti polip
Nasoendoskopi dan sinuskopi
Diagnosis Differensial
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral.
Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi pada anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3. Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUP H.Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. Sardjito Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar 20,8%, tipe 2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%. Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik.
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung. Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip hidung. Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung. Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu terbentuknya polip hidung. Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic fibrosis.
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
Tatalaksana Medikamentosa Rhinosinusitis
Tujuan dan Prinsip
Prinsip Terapi:
Mempercepat penyembuhan
Mencegah Komplikasi (ektra&intracranial)
Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan: membuka sumbatan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus pulih secara alami
Antibiotik dan dekongestan: menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Contoh: Golongan penisilin (amoksisilin)
Jika diperkirakan kuman telah resisten dan memproduksi beta-lactamase, dapat diberikan amoksisilin-klavuranat dan sephalosporin generasi 2
Sinusitis kronik: antibiotic yang sesuai untuk kuman gram negative dan anaerob.
Contoh: sephalosporin
4. Terapi tambahan: analgetik, mukolitik, steroid oral atau topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan
5. Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret menjadi kental
6. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat
TERAPI NON MEDIKAMENTOSA RINOSINUSITIS
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai terapi non medikamentosa yang bias dilakukan untuk penderita rhinosinusitis, di antaranya:
- Menghindari konsumsi produk susu yang berlebihan seperti yoghurt, es krim, keju dan masih banyak lagi, karena hal ini akan membuat penimbunan lendir dalam sinus menjadi lebih banyak dan semakin parah.
- Buat lingkungan menjadi bersih, infeksi yang terjadi pada penderita penyakit sinus karena lingkungan yang kurang steril atau kurang bersih, nah agar infeksi tidak semakin parah, Anda harus rajin membersihkan lingkungan seperti dari debu, polusi dan masih banyak lagi.
- Hindari merokok, asap dari rokok mengandung toksin atau racun yang sangat membahayakan saluran pernapasan terutama untuk penderita sinusitis, maka dari itu jika menderita sinusitis hindari rokok mulai sekarang juga.
- Konsumsi makanan higienis, makanan yang higienis atau bersih akan sangat penting untuk mendukung proses penyembuhan dari penyakit sinusitis ini, konsumsilah makanan yang higienis seperti makanan yang telah terjamin mutunya.
- Bersihkan gigi secara rutin, lendir yang terdapat pada gigi juga akan ikut menyokong pengendapan yang terjadi pada tulang sinus, untuk menghindari hal tersebut terjadi, rutinlah membersihkan gigi dengan cara gosok gigi ataupun berkumur dengan cairan pembersih gigi.
- Jangan mengonsumsi makanan penyebab lendir menjadi banyak seperti es, makanan yang terlalu pedas, makanan yang terlalu asin dan masih banyak lagi, karena hal tersebut akan memicu lendir menjadi banyak dan menyebabkan pengendapan yang lebih besar.
Lakukanlah terapi non medikamentosa secara rutin setiap hari, namun apabila tidak ada perubahan, lebih baik penderita dibawa ke dokter atau rumah sakit terdekat, karena jika dibiarkan akan sangat berbahaya bisa mengakibatkan infeksi organ yang lain seperti paru-paru, jantung, tenggorokan (faringitis) dan masih banyak lagi.
Menulis Resep
Penulisan resep yang lengkap harus terdiri dari:
Inscriptio nama dokter, alamat, SIP, kota, tanggal, R/ (recipe)
Prescriptio nama obat, bentuk obat, jumlah obat, cara pembuatan (kalo racikan), dll
Signatura cara pemakaian, BSO, jumlah obat, waktu minum
Pro nama pasien, umur, BB (terutama anak2), alamat
Subscriptio paraf atau tanda tangan
Inscriptio
Dr. Hendra Tri Hartono
SIP 0706259223
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya no. 6
Jakarta Pusat
Jakarta, 1 Juni 2010
R/
Prescriptio
Bentuk umum :
Nama obat, bentuk obat, dosis, bentuk kemasan, jumlah obat
Jika racikan (misalnya puyer) di baris bawahnya dimasukan cara pembuatan
Signatura
Bentuk umum:
Signatura (S), cara pemakaian, BSO, jumlah obat per minum, waktu minum
Contoh:
S 3 dd tab. I p.c. p.r.n. demam
artinya minum 3x per hari, tiap kali minum 1 tablet, sesudah makan, jika demam
S 4 dd c. orig II a.c.
artinya minum 4 x per hari, tiap kali minum 2 sendok bawaan (sirup), sebelum makan
Pro
Bentuk umum: nama pasien, umur, berat badan (wajib untuk anak2), alamat (jika obat mengandung narkotika)
Contoh:
Pro: An. Mike Tyson
Usia : 12 tahun
BB : 20 kg
(alamatnya Tidak wajib kecuali obatnya ada narkotika)
Subscriptio
Bentuk umum: hanya tanda tangan atau paraf saja. Tanda tangan untuk obat yang mengandung narkotika, dan paraf kalo obat-obat lain yang tergolong B(bebas), W(bebas terbatas), G(keras), Psy(psikotropika)
Tambahan
Untuk setiap resep jangan lupa ditutup pake garis, lalu diberi tanda tangan atau paraf di sebelahnya, setelah itu itu baru lanjut ke resep kedua.
Resep Rasional
Tepat Obat
Pemilihan Obat disesuaikan dengan kondisi diagnosis pasien
Fungsi obat :
Remedia cardinale : Berfungsi untuk menyembuhkan penyebab terjadinya penyakit. Cth : antibiotik,antijamur
Remedia adjuvantia = Obat tambahan, simptomatis. Cth : antipiretik, analgetik
Remedia corrigensia : Berfungsi untuk memperbaiki obat yang diberikan (rasa, bau, warna). Cth : saccarin
Remedia constituen = Berfungsi sebagai pelarut. Cth : Aqua pro injection
Tepat Cara Pemberian
Cara pemberian obat yang dipilih disesuaikan dengan tujuan pengobatan, kondisi pasien
Kondisi pasien : sadar, tidak sadar, muntah, gangguan saluran cerna dll
Tujuan pengobatan : onset cepat, durasi panjang, efek lokal dll
TEPAT BSO (Bentuk Sedian Obat)
Konsistensi Padat : serbuk, tablet, kapsul, suppositoria,
Konsistensi setengah padat : salep, krim, pasta, jeli
Konsistensi cair : solutiones/larutan, sirup, elixer, guttae/obat tetes, injeksi, enema, gargarisma, douche, suspensi, emulsi, infusa, aerosolum
Tepat Dosis
Dalam literatur tercantum dosis lazim yaitu rentang dosis yang lazimnya menyembuhkan (telah dibuktikan dengan uji klinis).
Dokter harus memutuskan berapa besar dosis terapi yang akan diberikan pada pasien dipengaruhi keparahan penyakit dan kondisi fisiologis pasien (bayi, orang tua, gangguan organ ekskresi, gangguan hepar dll kondisi tubuh yang mempengaruhi farmakokinetik obat
Tepat Waktu Pemberian
Waktu pemberian obat harus diperhatikan agar mendapat efek terapi optimal, efek samping minimal, dan tidak mengganggu kebiasaan pasien.
Obat diberikan dengan frekuensi tetap (cth antibiotik), jika perlu, sebelum, sesudah, saat makan, pagi, siang, malam sebelum tidur
Bentuk Sediaan Obat
Guttae adalah sediaan cair berupa larutan, emulsi, atau suspensi dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara meneteskan dan menggunakan penetes.
Guttae Nasales
yaitu obat tetes yang digunakan untuk hidung dengan cara meneteskan obat ke dalam rongga hidung.
Maksud penggunaan guttae nasal ialah
- sbg vasokonstriktor
- anti alergi / antiinflamasi
Macam2 obat : antibiotik, sulfonamid, vasokonstriktor, germisida / antiseptik, local anastesi
Contoh :
- afrin adult nasal drops
- afrin paed drops
- iliadin infant drops
- otrivin nasal drops
Nasal Spray
berupa larutan dari beberapa macam obat dalam air yang digunakan dengan menyemburkan (menyemprotkan pada membran mukosa hidung atau tenggorokan dengan menggunakna alat yang disebut "atomizer" dan "nebulizer"
Contoh :
- afrin adult nasal spray
- iliadin spray
- beconase nasal spray
Contoh Spray Hidung :
R/ afrin nasal spray. fl. No.I
S. 2 dd. Nasal spray I
Pro : Ny. U
Contoh Guttae Hidung :
R/ antistin-Privin drops. fl. No.I
S. 3 dd. gutt nasal II
Pro : Tn. R
7. EDUKASI PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Upaya yang dapat dilakukan yaitu :
Koreksi kelainan anatomis hidung sedini mungkin
Meminimalkan kontak dengan penderita penyakit saluran pernafasan
Menghindari faktor pencetus alergi
Meminimalkan terpapar polutan di lingkungan
Menghindari paparan asap rokok
Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, dan menghindari komplikasi
Penggunaan obat
Obat yang digunakan meliputi obat anti alergi dan dekongestan, obat mukolitik untuk mengencerkan sekret, obat analgetik untuk mengurangi rasa nyeri, dan obat antibiotik. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah golongan pinisilin seperti amoksilin, diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Operasi
Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi pembedahan, yaitu mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc, sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar hidung (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus sfenoid dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) dan sinus frontal dapat dilakukan dengan operasi Killian.
Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain : makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk mempercepat penyembuhan pasca operasi dan pengobatan dengan antibiotik.