Judul Tesis
: Wacana Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
Penyusun
: Mahsun., S. Ag.
Kajian Tipologis Mengenai Dinamika Hukum Islam Di Indonesia Oleh: Achmad Fauzi Diskursus tentang wacana elastisitas dan adaptasibilitas hukum Islam dengan kondisi sosial telah menjadi perdebatan serius dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam. Ada dua paradigma yang digunakan terkait dengan persoalan ini. Pertama, paradigma yang mencoba memposisikan hukum sebagai alat rekayasa sosial yang bisa menunjang proses pembangunan. Kedua, paradigma yang mencoba menempatkan hukum Islam sebagai medium kritik sosial. Dalam hal ini hukum Islam dijadikan sarana untuk mengkritisi dan menilai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara. Perbedaan kedua paradigma tersebut yang kemudian secara tidak langsung memunculkan keanekaragaman pemikiran dalam diskursus hukum Islam di Indonesia. Hal inilah yang kemudian secara komprehensif
dibahas dalam penelitian yang ditulis oleh Mahsun. penelitian yang dilakukan Mahsun berangkat dari fenomena munculnya tema-tema pemikiran hukum Islam dalam diskursus pemikiran keislaman di Indonesia pada tahun 1970 hingga tahun 2000. Memang tidak dapat terbantahkan, bahwa setelah berakhirnya kekuasaan orde lama, pemikiran hukum Islam di Indonesia menjadi berkembang, dan hal menarik yang perlu dicatat, perkembangan ini juga diramaikan dengan munculnya berbagai macam tema yang dijadikan “frame” oleh para penggagasnya, seperti Pribumisasi Islamnya Abdurrahman Wahid, Fiqh Mazhab Nasionalnya Hazairin, Islam Transformatifnya Moeslim Abdurrahman, Tauhid Sosialnya Amin Rais, Islam Alternatifnya Jalaluddin Rahmat, dan berbagai tema lainnya. Dari kebermacaman tema yang muncul, tidak semuanya bertalian dengan persoalan spesifik hukum Islam, dan oleh sebab itu, Mahsun dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada lima tema, yaitu Fiqh
Indonesianya Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Madzhab
Nasionalnya Hazairin, Reaktualisasi Ajaran Islamnya Munawir Sjadzali, Agama Keadilannya Masdar F. Mas’udi, dan Fiqh Sosialnya Sahal Mahfudh dan Ali Yafie. Pemilihan lima tema tersebut didasarkan pada asumsi bahwa eksistensinya bisa diperhitungkan secara metodologis, memiliki aplikasi pemikiran, di samping satu kenyataan bahwa tema tersebut kehadirannya telah mendapatkan respon yang cukup luas di masyarakat.
Dalam penelitian ini, Penyusun berupaya untuk menjawab dua pertanyaan mendasar, yaitu: pertama, mengapa keberagaman (heterogeneous) pemikiran hukum Islam di Indonesia muncul secara massif bersamaan dengan dijadikan dan dijalankannya modernisasi-pembangunan sebagai pola umum dan resmi pelbagai kebijakan pemerintah?. Kedua, bagaimana tipologi yang dapat dibangun dari fenomena tema-tema pemikiran hukum Islam di indonesia pada tahun 1970 hingga tahun 2000 itu jika ia dihubungkan dengan implementasi modernisasi pembangunan pemerintah? Dua pertanyaan ini muncul dari asumsi yang dibangun oleh Mahsun bahwa lahirnya
tema-tema tersebut adalah respon hukum Islam terhadap
modernisasi pembangunan. Asumsi yang dibangun oleh Mahsun cukup beralasan, karena sebuah pemikiran tidaklah lahir dalam ruang hampa. Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak dapat dipisahkan dari problematika sosial yang melingkupinya. Penelitian yang dilakukan Mahsun merupakan penelitian kepustakaan (library research), yakni penelitian yang memfokuskan pada data secara literer. Model ini berupaya mengumpulkan tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat, baik berupa buku, jurnal, majalah, koran dan sebagainya. Terkait dengan hal ini, Mahsun melakukan eksplorasi atas tulisan yang terkait dengan tematema pemikiran hukum Islam, khususnya yang terkait dengan tokoh yang dikajinya. Adapun tulisan lain yang mempunyai relasi dengan penelitiannya dimasukkan dalam sumber sekunder. Winarno Surachmad mendefiniskan data sekunder sebagai data yang diperoleh dari bukan sumber utama, melainkan sudah dikumpulkan pihakpihak lain dan sudah diolah. 1 Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis historis dan pendekatan tipologis. Pendekatan historis di sini, sebagaimana pendapat Louis Goottschalk,2 adalah sebuah proses pengujian dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau. Berdasarkan pada proses pengujian dan penganalisaan secara kritis tersebut, sebuah pendekatan historis dapat membuat sebuah periodesasi atau tahapan-tahapan yang ditempuh untuk sebuah penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakekat sejarah. 1
Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Resech: Pengantar Metodologi Ilmiyah (Bandung: Tarsito, 1975), hlm. 156.
2
Louis Goottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method, (New York: Alfred A. Knopf, 1956), hlm. 48.
Sedangkan Pendekatan sosiologi memiliki tujuan mencari prinsip-prinsip dari interaksi antara individu dan struktur sosialnya, serta menemukan dan memahami nilai-nilai tertentu yang hidup di masyarakat.3 Penggunaan pendekatan sosiologis historis yang digunakan oleh Mahsun sangatlah tepat, karena pendekatan ini secara spesifik dipergunakan untuk mengamati proses interaksi pemikir dengan dimensi ruang dan waktu dimana ide pemikiran itu muncul. Selain itu, pendekatan tipologis (taksonomi) juga dominan dalam penggunaannya. Pendekatan ini berlandas pada pola pikir dan asumsi bahwa karakter umum dan mutlak beda itu tidak ada, yang ada adalah kemiripan karakter yang batas bedanya tiada pasti. Berbeda dengan pendekatan lainnya, pendekatan tipologis berupaya mengamati pola atau sifat khas dari individu atau kelompok yang membedakannya dengan yang lain. Pendekatan inilah yang secara khusus digunakan oleh penyusun dalam membuat pemetaan tematema pemikiran hukum Islam di Indonesia. Kajian tipologis (taksonomi) mengenai dinamika hukum Islam di Indonesia belumlah banyak digarap. Dari penelusuran literatur, model kajian tipologis terhadap hukum Islam di Indonesia tidak ditemukan. Penulis lain cenderung menggunakan pendekatan tipologis dalam perspektif sosial, politik dan budaya. Ada satu problematika terkait dengan pendekatan tipologis, yakni bahwa kajian tipologis sering berujung pada simplifikasi. Problem ini dikarenakan alat ukur yang dipakai sangatlah subyektif. Namun terlepas dari problematika tersebut, kajian tipologis
sangat
penting
untuk
melihat
keberagaman,
karakteristik
dan
perkembangan pemikiran yang ada dalam tenggang waktu atau kawasan tertentu.
3
Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. x.