SATUAN ACARA PENYULUHAN TB PADA ANAK
Oleh :
Leonita Budi Utami, S.Ked
Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung
SATUAN ACARA PENYULUHAN
1.
Pokok bahasan
: TB Pada Anak
2.
Sub pokok Bahasan
:
a.
Pengertian Penyakit TB
b.
Penularan dan Penyebaran Bakteri TB Pada Anak
c.
Gejala Klinis Penyakitr TB Pada Anak
d.
Pencegahan Penyakit TB Pada Anak
e.
Tindakan Lanjut Pada Anak dengan Penyakit TB
3.
Sasaran
: Masyarakat
4.
Tempat
: Puskesmas Cipedes Kelurahan Cipedes
5.
Hari/ Tanggal
: 01 Maret 2013
6.
Waktu
: 1x25 menit
7.
Tujuan Umum
:
Setelah
dilakukan
penyuluhan,
diharapkan
menamb menambah ah penget pengetahu ahuan an masya masyaraka rakatt tentan tentang g penyakit TB pada anak. Khusus
: Setelah dilakukan penyuluhan, diharapkan a.
Masyarakat mengerti Pengertian penyakit TB
b.
Masya Masyarak rakat at meng menger erti ti Penu Penula lara ran n dan dan Peny Penyeba ebaran ran Bakteri TB Pada Anak
c.
Masyarak Masyarakat at menger mengerti ti Gejala Gejala Klinis Klinis Penya Penyakit kit TB Pada Anak
d.
Masyarakat mengerti Pencegahan Penyakit TB Pada Anak
e.
Masyarakat mengerti Tindakan Lanjut Anak dengan Penyakit TB
8.
Metode
: Penyuluhan dan tanya jawab
9.
Media
: LeafLet
10. Materi
: Terlampir
11. Kegiata Kegiatan n No
Kegiatan
Waktu
Kegiatan Sasaran
1
Pembukaan
3 menit
-
Menyiapkan peralatan
-
Mengucapkan salam dan menyapa audience
- Memp Memper erke kena nalk lkan an diri diri - Mohon
izin
dan
menjelaskan
maksud dan tujuan - Menj Menjela elask skan an pok pokok ok bah bahasa asan n yan yang g
2
Inti
7 menit
akan disampaikan - Menjelaskan materi -
Mem Memberi beri
kese kesem mpatan atan
kepa kepad da
masyarakat untuk bertanya 3
No 4
Jawab
- Menj Menjaw awab ab pert pertan any yaan aan
Pertanyaan
-
Kegiatan Penutup
Waktu 5 menit
Evaluasi hasil penyuluhan
Kegiatan Sasaran - Membuat ke kesimpulan dari ma materi
secara menyeluruh - Memberikan
saran
kepada
masyarakat untuk melakukan apa yang telah disampaikan - Salam
berpamitan
dan
mengucapk mengucapkan an terima kasih untuk partisipasinya
12. Rencana Ev Evaluasi
:
a.
Apakah Masyarakat mengerti tentang pengertian penyakit TB?
b.
Apakah Apakah Masyarakat Masyarakat mengerti penularan penularan dan penyebaran penyebaran bakteri TB pada anak?
c.
Apakah Masyarakat mengerti gejala klinis penyakit TB pada anak ?
d.
Apakah Masyarakat mengerti pencegahan penyakit TB pada anak?
e.
Apakah Masyarakat mengerti tindakan lanjut pada anak dengan TB?
DAFTAR PUSTAKA TB PADA ANAK
Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. 1 Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus. Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan
asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang diperhatikan.
Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB milier atau TB ekstrapulmoner. Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak <15 tahun. 1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran
kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis. TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant ) selama bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur.
Epidemiologi
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang
TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%. Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik. Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan
patogen terhadap manusia.
Hanya
terdapat
5
spesies
dari
Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus, bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis varian humanus.
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal pada suhu 37-41 0C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O 2 pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya. M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara
lambat, dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.
Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon. Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. 6 Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ). Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ.
Gambar 3.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini. Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB
terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.
Manifestasi klinis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease. Manifestasi sistemik
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu: 1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. 2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik
pertumbuhan. 3.
Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat ( failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel. 5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. 6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare. 7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Manifestasi Spesifik Paru. TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadangkadang, demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan individu dengan TB menular yg tes tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti. TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis
yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi. Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan. Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan. TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer. Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB, merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia
dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas. TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis. Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa minggu. Pemeriksaan penunjang
•
Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan.
Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif. Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi
10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya
15 mm sangat
mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan
•
5mm.
Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan
interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
•
Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah: -
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
-
Konsolidasi segmental/lobar
-
Milier
-
Kalsifikasi dengan infiltrat
-
Atelektasis
-
Kavitas
-
Efusi pleura
-
Tuberkuloma
•
Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi,
hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
•
Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR. Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.
•
Patologi Anatomik
Pemeriksaan
PA
dapat
menunjukkan
gambaran
granuloma
yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans. Untuk
memudahkan
merekomendasiskan
diagnosis
diagnosis
TB
paru
pada
anak,
IDAI
TB anak dengan sistem skoring, yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Parameter
Kontak TB
0
Tidak jelas
1
-
2
3
Uji Tuberkulin
Negatif
-
Laporan keluarga (BTA negatif atau tidak jelas) -
Berat badan / Status Gizi
-
BB/TB < 90% atau
Klinis buruk
BB/U < 80%
atau BB/TB < 70%
gizi
BTA(+)
Positif (≥ 10 mm atau ≥ 5 mm pada keadaan imunosupresi) -
atau BB/U < 60% Demam sebab jelas
tanpa yang
-
≥ 2 minggu
-
-
Batuk
-
≥ 3 minggu
-
-
Pembesaran kelenjar koli, aksila, inguinal
-
≥ 1 cm, jumlah
-
-
Pembengkakan tulang / sendi panggul, lutut, falang
-
Ada pembengkakan
-
-
Foto Thorak
Normal/kelainan tidak jelas
Gambaran sugestif TB
-
-
> 1, tidak nyeri
Catatan:
•
Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.
•
Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.
•
Berat badan dinilai saat datang.
•
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
•
Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus.
•
Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
•
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.
•
Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).
•
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.
Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis
Penatalaksanaan
•
Obat TB yang Digunakan
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain ( second line, lini kedua) adalah paraaminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,
ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR. Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak r utin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin
adalah
gangguan
gastrointestinal
(mual
dan
muntah),
dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan
dosis
harian
isoniazid
menjadi
maksimal
10mg/kgBB/hari.
Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat,
termasuk
kuinidin,
siklosporin,
digoksin,
teofiin,
kloramfenikol,
kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada
anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah
hepatotoksisitas,
anoreksia,
dan
iritasi
saluran
cerna.
Reaksi
hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada
anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan s ecara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
Nama Obat
Dosis harian (mg/kgBB/ha ri)
Dosis maksimal (mg/hari)
Efek Samping
Isoniazid
5-15*
300
Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin **
10-20
600
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinami d
15-30
2000
Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol
15-20
1250
Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisi n
15-40
1000
Ototoksis, nefrotoksik
*
Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.
**
Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan. Gambar 5.1. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya
•
Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase
lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid. Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu. 2 Bulan
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid
6 Bulan
9 Bulan
12 Bulan
Etambutol Streptomisin Prednison
Gambar 5.2. Paduan Obat Antituberkulosis
•
Evaluasi hasil pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan. Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi. Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan
evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin. Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan
•
Evaluasi efek samping pengobatan
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan
Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah. Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat. Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada
pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh ( fulldose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.
•
Putus obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.
•
Multi Drug Resistance (MDR) TB
Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan
dengan
pengobatan.
Manajemen
TB
semakin
sulit
dengan
meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat. Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut
WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja. Nonmedikamentosa
•
Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai berikut : •
Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan
dana. •
Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
•
Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
•
Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
•
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB.
•
Sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. 2 Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.3,5
•
Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan
medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat. Pencegahan
•
Imunisasi BCG
Imunisasi BCG ( Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi. Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif
aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens
0,1-1%.
Kontraindikasi
imunisasi
BCG
adalah
kondisi
imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan optimal.
•
Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi
TB,
sedangkan
kemoprofilaksis
sekunder
mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.
Komplikasi Dan Prognosis
•
Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus. •
Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa
yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
•
•
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB.
•
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain.
Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
•
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon, radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi.
•
Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB
•
Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.
•
Komplikasi yang
dapat
terjadi
adalah Limfadenitis,
meningitis,
osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi.
•
Saran
•
Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB
merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB.
•
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, diperlukan usaha penyegaran kembali tentang TB anak, khususnya bagi dokter umum maupun dokter anak yang sering menangani kasus TB anak.