LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN CHOLANGITIS
DISUSUN OLEH:
ALFAN SUHAILI BADRI 201620461011130
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MUHAMMADIYAH MALANG 2017
1. DEFINISI Kolangitis adalah peradangan akut dinding saluran empedu, hampir selalu disebabkan infeksi bakteri pada lumen steril.
Cholangitis merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai berat dan dapat mengancam nyawa.
Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur.
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu. Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal dengan ’’Charcot triad’’. Charcot mendalilkan bahwa ’’empedu stagnan’’ karena obstruksi saluran empedu menyebabkan perkembangan kolangitis.
Kolangitis adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang tersumbat baik secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari dalam lumen saluran empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur saluran empedu.
2. ANATOMI FISIOLOGI Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu (Brunicardi, 2005).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.
DUKTUS SISTIKUS Duktus sistikus merupakan lanjutan dari vesika fellea, terletak pada porta hepatis yang
mempunyai panjang kira-kira 3-4 cm. Pada porta hepatis
duktus sistikus mulai dari kollum vesika fellea, k emudian berjalan ke posterokaudal di sebelah kiri kollum vesika fellea. Lalu bersatu dengan duktus hepatikus kommunis membentuk duktus koledokus. Mukosa duktus ini berlipat-lipat terdiri dari 3-12 lipatan, berbentuk spiral yang pada penampang longitudinal terlihat sebagai valvula disebut valvula spiralis (Heisteri). DUKTUS HEPATIKUS Duktus hepatikus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister yang bersatu membentuk duktus hepatikus komunis pada porta hepatis dekat pada processus papillaris lobus kaudatus. Panjang duktus hepatikus kommunis kurang lebih 3 cm terletak disebelah ventral arteri hepatika propria dexter dan ramus dexter vena portae. Bersatu dengan duktus sistikus menjadi duktus koledokus DUKTUS KOLEDOKUS Duktus koledokus mempunyai panjang kira – kira 7 cm dibentuk oleh persatuan duktus sistikus dengan duktus hepatikus kommunis pada porta hepatis, dimana dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pada kaput pankreas duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars desenden duodeni membentuk suatu benjolan ke dalam lumen disebut papilla duodeni major.
Gambar. 1. Anatomi saluran empedu
Gambar. 1. Anatomi saluran empedu
3. ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO Kolangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya akan berakhir dengan statis aliran empedu dan akhirnya terjadi infeksi, diantaranya : ð Choledocholitiasis ð Terjadi akibat obstruksi saluran empedu, terutama koledokolitiasis, dan penyebab jarang seperti tumor, kateter, indwelling stents, pancreatitis akut, dan striktur ringan. Bakteri (E. coli, klebsiella, clostridium, bacteroides, enterobacter, streptococcus grup D) kemungkinan besar masuk ke sfingter oddi. Sebagian pula, kolangitis parasit, misal, fasciola hepatica, skistosomiasis, dll. ð Striktur bilier sistem ð Neoplasma pada sistem bilier ð Parasit cacing Ascaris ð Pankreatitis kronis ð Tumor pankreas ð HIV/AIDS
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : koledokolitiasis, obstruksi struktur saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun berat penyebab obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi. Kasus obstruksi akibat keganasan hanya 25-40% yang hasil kultur empedunya positif. Koledokolitiasis menjadi penyebab tersering kolangitis.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin banyaknya pemakaian manipulasi saluran biliaris invasif seperti kolangiografi, stent biliaris, untuk terapi penyakit saluran biliaris telah menyebabkan pergeseran penyebab kolangitis. Selain itu pemakaian jangka panjang stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh cairan biliaris yang kental dan debris biliaris yang menyebabkan kolangitis.
4. MANIFESTASI KLINIS Penyakit ini biasanya dimulai secara bertahap dengan kelelahan yang amat sangat, gatal-gatal dan jaudince.
Seringkali didapatkan nyeri hebat di epigastrium atau perut kanan atas karena adanya batu koledokus. Nyeri ini bersifat kolik, menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan Terdapat pembesaran hati dan limpa, atau gejala-gejala sirosis. Bisa juga terjadi hipertensi portal, asites dan kegagalan hati, yang bisa berakibat fatal. Pada sebagian kecil kasus ini tidak didapatkan ikterus, hal ini dapat diterangkan karena batu di dalam duktus koledokus tersebut masih mudah bergerak sehingga kadang-kadang aliran cairan empedu lancar, sehingga bilirubin normal atau sedikit saja meningkat Kadang-kadang tidak jelas adanya demam, tetapi ditemukan lekositosis. Fungsi hati menunjukkan tanda-tanda obstruksi yakni peningkatan yang menyolok dari GGT atau fosfatase alkali. SGOT/SGPT dapat meningkat, pada
beberapa
pasien
bahkan
dapat
meningkat
secara menyerupai
menyerupai hepatitis virus akut .
5. PATOFISIOLOGI Terlampir
6. KOMPLIKASI Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi (kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut: Abses hati piogenik Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple. Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15% (Josh, 2006). Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal. Kerusakan duktus empedu Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus. 7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Laboratorium darah Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau trombositopenia kadang – kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah.
Sebagian
besar
penderita
mengalami
hiperbilirubinemia
sedang.
Peningkatan bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase dan transaminase serum juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik (Shojamanes, 2006) Foto polos abdomen Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika Ultrasonografi Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus. Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi (Brunicardi, 2005) CT Scan Ct Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.
ERCP Endoskopik
merupakan
selang
kecil
yang
mudah
digerakkan
yang
menggunakan lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope Retrograde
Cholangiopancreotography (ERCP) dapat
lebih akurat menentukan penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.
Skintigrafi Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati dan kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran empedu atau hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya. Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat asam iminodiasetik dengan label
99m
Tc.
Kolesistografi oral Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu. Kolangiografi Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien dengan kolangitis.
Pada
sebagian
besar
kasus,
kolangiografi
dilakukan
untuk
menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi jarang diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus ditunda sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd
endoskopik
ataupun
kolangiografi
transhepatik
perkutan
dapat
digunakan untuk menentukan anatomi atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian
perlindungan
antibiotik
instrumentasi pada semua kasus.
yang
tepat
harus
diberikan
sebelum
8. PENATALAKSANAAN Konservatif Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral. Dengan kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan insentif dengan monitoring invasif dan dukungan vasopresor. Pemilihan
awal
perlindungan
antibiotika
empiris
harus
mencerminkan
bakteriologi yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan. Kombinasi ini adalah pilihan
yang sangat baik
untuk melawan basil gram negatif yang sering ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan metronidazole atau clindamycin
memberikan
perlindungan
antibakterial
terhadap
anaerob
bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia. Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk terapi kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis antibiotik saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup organisme yang ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan dalam konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu. Dekompresi Biliaris Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akan berespon terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati kembali ke normal seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan atau malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris segera paling baik dilakukan secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu:
Penanggulangan sfingterotomi endoskopik Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi
endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap disertai dengan penyulit 9. ASUHAN KEPERAWATAN a. Pengkajian
Identitas Keluhan utama Pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas nyeri tidak menjalar /menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri seperti ditusuk tusuk
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit dahulu Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu contohnya riwayat dari keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis, seperti : - Batu kandung empedu atau batu saluran empedu - Pasca cholecystectomy - Manipulasi endoskopik atau ERCP cholangiogram - Riwayat cholangitis sebelumnya - Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki cirri edema bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier
Riwayat penyakit sekarang Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala lain yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan, nyeri abdomen tinja yang acholis.
Riwayat penyakit keluarga Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus, hipertensi, anemia.
Pemeriksaan fisik
System pernafasan
Inspeksi : dada tampak, pernafasan dangkal klien tampak gelisah Palpasi : vocal vremitus teraba merata Perkusi : sonor Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
System kardiovaskuler Terdapat takikardi dan diaphoresis
System neurologi Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
Sistem pencernaan Inspeksi : tampak ad distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual muntah Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas nyeri tekan epigastrium
System eliminasi Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
System integument Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
System musculoskeletal Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP
b. Diagnose keperawatan 1.
Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
2.
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi
3.
Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
4.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen
5.
Dehidrasi berhubungan dengan mual muntah
c. Intervensi keperawatan 1.
Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam nyeri berkurang Criteria hasil : -
Keadaan umum normal pasien tampak nyaman
-
Nyeri berkurang pasien tampak rileks ditunjukkan dengan skala nyeri 1-3
-
Pasien melakukan managemen nyeri saat nyeri kembali datang
-
TTV dalam batas normal
Intervensi : 1.
BHSP R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses keperwatan
2.
Observasi, catat lokasi dan skala nyeri dan karakter nyeri R/ membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan / perbaikan penyakit
3.
Anjurkan pasien dalam posisi nyaman R/ pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen
4.
Anjurkan managemen nyeri distraksi relaksasi nafas dalam R/ untuk melakukan koping pasien terhadap nyeri
5.
Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic R/ untuk mengatasi nyeri
6.
Observasi tanda tanda vital R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
7.
Kaji respon pasien R/ wajah menunjukkan perasaan yang dirasakan klien
2.
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam suhu tubuh kembali normal Criteria hasil : -
Suhu tubuh kembali normal pasien nyaman
-
Tanda vital dalam bats normal
-
Pasien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi suhu tubuh
Intervensi : 1.
BHSP R/ dengan hubunga saling percaya mempermudah proses keperawatan
2.
Observasi tanda vital R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3.
Anjurkan menggunakan pakaian tipis dan minum air putih R/ menggunakan pakaian tipis dan minum air putih yang bnaya dapat menurunkan panas
4. Anjurkan untuk melakukan kompres dingin pada daerah dada dan ketiak R/ kompres dapat membantu menurunkan panas
5. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik R/ antripiretik unutk menurunkan suhu 6. Kaji respon pasien R/ wajah dapat menggambarkan apa yang dirasakan klien
3.
Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam keseimbangan nutrisi terpenuhi Criteria hasil : -
Asupan nutrisi kembali seimbang
-
Pasien menunjukkan energy yang adekuat
-
Ttv dalam batas normal
-
Mual muntah berkurang
Intervensi : 1. BHSP R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses keperawatan 2.
Observasi tanda tanda vital R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3.
Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering R/ untuk mencegah mual muntah
4.
Berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian program diet R/ setiap pasien mempunyai diet yang berbeda
5
Monitoring asupan gizi pasien R/ mengetahui perkembangan nutrisi pasien
6. Kaji respon pasien R/ menggambarkan apa yang dirasakan pasien
4.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam pasien dapat tidur dengan nyaman Criteria hasil : -
Klien dapat tidur dengan nyaman
-
TTV dalam batas normal
-
Klien tidak pucat
-
Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi :
1. BHSP R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses keperawatan 2. Observasi tanda vital R/ untuk mengetahui perkembangan pasien 3. Anjurkan untuk mengatur posisi nyaman R/ dengan posisi nyaman dapat membantu tidur 4. Anjurkan untuk relaksasi nafas dalam R/ untuk merilekskan tubuh 5. Kaji respon pasien
DAFTAR PUSTAKA
Luhulima, JW, dr, Prof, Abdomen, Anatomi II, Bagian Antomi FKUH, Makassar, 2001. hal : 28-29 Brunicardi FC et al . Schwartz’s principles of surgery. 8 th edition.United StatesAmerica : McGraw Hill, 2005.826-42. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44. Connors, P.J., and Carr-Locke, D.L. 1991 Endoscopic Retrograde Cholangiography Findings
and
Endoscopic
Sphincterotomy
for
Cholangitis
and
Pancreatitis,
dari
Gastrointestinal Endoscopy Clinics of North America, 1-1: 27-50, W.B. Saunders, Philadelphia
De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997 hal : 776-778
Josh, J. Adams, Cholangitus, in http://www.emidiche.com 2006, p : 1-11
Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta, 1997, hal : 476-479
Shojamanes, Homayoun, Mo, Cholangitis, in : http:/www.emidicine.com7 2006, p : 1-10
Burkitt G, Quick C, Gatt D. Management of gallstone disease in essensial surgery, second edition, New York ; Churchill Livingstone, 1996, P : 215-220
Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 1968, p : 1154 – 1161
Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta, 1997, hal : 476-479