DEFINISI DISTOSIA
Dystocia berasal dari bahasa Latin yaitu tokos yang tokos yang berarti kelahiran bayi. Dystocia yaitu keabnormalan atau kesulitan dalam melahirkan. Menurut Sinelair, Constance (2009), distosia merupakan persalinan yang tidak normal atau pelahiran yang sulit, disebabkan oleh malposisi kepala janin ( asinklitisme atau ekstensi), dorongan eksplus yang tidak adekuat, ukuran atau presentasi janin, panggul yang mengalami kontraksi atau kelainan jalan lahir. Menurut Achadiat, Chrisdiono (2004), distosia adalah persalinan abnormal / sulit yang ditandai dengan kelambatan atau tidak adanya kemajuan proses persalinan dalam satuan waktu tertentu. Distosia merujuk pada kemampuan persalinan yang tidak normal. Persalinan berlangsung lebih lama, lebih nyeri, atau tidak normal karena adanya masalah pada mekanisme persalinan, tenaga/ kekuatan, jalan lahir, janin yang akan dilahirkan, atau masalah psikis. Distosia merupakan indikasi paling umum dilakukannya persalinan seksio sesarea, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 50% pelahiran dengan pembedahan (Sokol et al., 1994) Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks di kanan garis waspada persalinan aktif (Syaifuddin, 2002). Persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan lebih dari 18 jam pada multi (Manuaba, 2010) American college of Obstetricians dan Gynecologist (ACOG) memiliki definisi sendiri mengenai gangguan kemajuan persalinan yang diadaptasi dari definisi awal pada tahun 1983. Distosia pada kala II persalinan ditandai dengan: 1. Pada nulipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 2 jam 2. Pada nulipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 3 jam 3. Pada multipara tanpa anestesi regional kala II le bih dari 1 jam 4. Pada multipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 2 jam Distosia didefinisikan sebagai persalinan yang panjang, sulit, atau abnormal, yang timbul akibat berbagai kondisi yang berhubungan dengan 5 faktor persalinan sebagai berikut: 1. Persalinan disfungsional akibat kontraksi uterus yang tidak efektif atau akibat upaya mengedan ibu (kekuatan/power)
2. Perubahan struktur pelvis (jalan lahir) 3. Sebab pada janin meliputi kelainan presentasi/kelainan posisi, bayi besar, dan jumlah bayi 4. Posisi ibu selama persalinan dan me lahirkan 5. Respons psikologis ibu terhadap persalinan yang berhubungan dengan pengalaman, persiapan, budaya, serta sistem pendukung
EPIDEMIOLOGI DISTOSIA
Menurut Festin, et al (2009) dalam penelitiaannya, didapati prevalensi disproporsi fetopelvik di Asia Tenggara sebanyak 6,3% dari kelahiran total. Hal ini menjadi indikasi kedua tersering dilakukannya tindakan seksio sesarea setelah riwayat seksio sesarea (7%). Dalam penelitian yang sama didapati bahwa prevalensi disproporsi fetopelvik di Indonesia berjumlah 3,8% dari kelahiran total, dan disproporsi fetopelvik menjadi indikasi ketiga tindakan seksio sesarea (12,8%) setelah malpresentasi (18,6%) dan seksio sesarea sebelumnya (15,2%). Namun, jika definisi disproporsi fetopelvik mengikutsertakan malpresentasi seperti yang dikemukakan oleh Craig (pada penjelasan berikutnya), maka disproporsi fetopelvik menjadi indikasi tersering dilakukannya tindakan seksio sesarea di Indonesia. Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2005, disproporsi fetopelvik menyumbang sebanyak 8% dari seluruh penyebab kematian ibu di seluruh dunia. Menurut Shields (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Dystocia in Nulliparous Women, pada tahun 2003 sekitar 17% wanita di Amerika mendapat penatalaksanaan dengan
oxytocin. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi peningkatan insidensi persalinan secara sesar menjadi 20.6%. Dystocia merupakan indikasi persalian sesar sebanyak 50%. Di Indonesia berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia(SKDI) tahun 2002-2003 melaporkan bahwa dari seluruh persalinan, persalinan lama sebesar 31 , perdarahan berlebihan sebesar 7 %, infeksi sebesar 5 %. Pada ibu yang melahirkan melalui bedah sesar 59 % terjadi akibat persalinan yang mengalami komplikasi dimana sebagian besar merupakan persalinan lama (42 %). Berdasarkan survey ini dilaporkan juga bahwa bayi yang meninggal dalam usia 1 bulan setelah dilahirkan 39 % terjadi akibat komplikasi termasuk persalinan lama (30%), perdarahan 12 % dan infeksi 10 % .
2. Perubahan struktur pelvis (jalan lahir) 3. Sebab pada janin meliputi kelainan presentasi/kelainan posisi, bayi besar, dan jumlah bayi 4. Posisi ibu selama persalinan dan me lahirkan 5. Respons psikologis ibu terhadap persalinan yang berhubungan dengan pengalaman, persiapan, budaya, serta sistem pendukung
EPIDEMIOLOGI DISTOSIA
Menurut Festin, et al (2009) dalam penelitiaannya, didapati prevalensi disproporsi fetopelvik di Asia Tenggara sebanyak 6,3% dari kelahiran total. Hal ini menjadi indikasi kedua tersering dilakukannya tindakan seksio sesarea setelah riwayat seksio sesarea (7%). Dalam penelitian yang sama didapati bahwa prevalensi disproporsi fetopelvik di Indonesia berjumlah 3,8% dari kelahiran total, dan disproporsi fetopelvik menjadi indikasi ketiga tindakan seksio sesarea (12,8%) setelah malpresentasi (18,6%) dan seksio sesarea sebelumnya (15,2%). Namun, jika definisi disproporsi fetopelvik mengikutsertakan malpresentasi seperti yang dikemukakan oleh Craig (pada penjelasan berikutnya), maka disproporsi fetopelvik menjadi indikasi tersering dilakukannya tindakan seksio sesarea di Indonesia. Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2005, disproporsi fetopelvik menyumbang sebanyak 8% dari seluruh penyebab kematian ibu di seluruh dunia. Menurut Shields (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Dystocia in Nulliparous Women, pada tahun 2003 sekitar 17% wanita di Amerika mendapat penatalaksanaan dengan
oxytocin. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi peningkatan insidensi persalinan secara sesar menjadi 20.6%. Dystocia merupakan indikasi persalian sesar sebanyak 50%. Di Indonesia berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia(SKDI) tahun 2002-2003 melaporkan bahwa dari seluruh persalinan, persalinan lama sebesar 31 , perdarahan berlebihan sebesar 7 %, infeksi sebesar 5 %. Pada ibu yang melahirkan melalui bedah sesar 59 % terjadi akibat persalinan yang mengalami komplikasi dimana sebagian besar merupakan persalinan lama (42 %). Berdasarkan survey ini dilaporkan juga bahwa bayi yang meninggal dalam usia 1 bulan setelah dilahirkan 39 % terjadi akibat komplikasi termasuk persalinan lama (30%), perdarahan 12 % dan infeksi 10 % .
Kejadian distosia ditemukan pada nullipara sehat dengan tidak ada indikasi untuk induksi atau pilihan kelahiran sesar sebanyak 37% (Kjaergaard H, Olsen H, Olsen J, Ottesen J, Ottesen B, Dykes B, Dykes AK, 2009). Sedangkan insidensi distosia bahu bervariasi antara 0,2 dan 1,4 persen, yang bergantung pada criteria yang digunakan, dengan insidensi lebih rendah jika diagnosis tidak memerlukan penerepan berbagai perasat untuk mengatasi distosia. Meskipun risiko distosia bahu berkaitan dengan ukuran bayi, namun banyak kasus terjadi pada bayi yang ukurannya tidak dianggap berlebihan (Tabel 23-6). Terdapat bukti bahwa insidensi distosia bahu telah meningkat seiring waktu karena peningkatan berat badan lahir. Kejadian distosia ditemukan pada nullipara sehat dengan tidak ada indikasi untuk induksi atau pilihan kelahiran sesar sebanyak 37% (Kjaergaard H, Olsen H, Olsen J, Ottesen J, Ottesen B, Dykes B, Dykes AK, 2009). Sedangkan insidensi distosia bahu bervariasi antara 0,2 dan 1,4 persen, yang bergantung pada criteria yang digunakan, dengan insidensi lebih rendah jika diagnosis tidak memerlukan penerepan berbagai perasat untuk mengatasi distosia. Meskipun risiko distosia bahu berkaitan dengan ukuran bayi, namun banyak kasus terjadi pada bayi yang ukurannya tidak dianggap berlebihan (Tabel 23-6). Terdapat bukti bahwa insidensi distosia bahu telah meningkat seiring waktu karena peningkatan berat badan lahir. Angka kejadian distosia bahu me nurut American College of o f Obstetricians and Gynecologists (ACOG) adalah 0,6-1,4%.
Namun angka kejadian ini bervariasi mulai dari
1 dalam 750 kelahiran hingga 1 dalam 15 kelahiran (Sokol & Blackwell, 2003 dan Poggi dkk, 2004). Salah satu alasan utama variasi ini adalah kesulitan dalam dalam diagnosis dan adanya kasus distosia bahu yang tidak dilaporkan karena kondisinya yang bersifat ringan dan dapat ditangani dengan outcome yang menguntungkan (Allen & Gurewitsch, 2010).
KALSIFIKASI DISTOSIA
Klasifikasi distosia berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
DISTOSIA DISFUNGSIONAL
Distosia disfungsional adalah distosia karena kekuatan-kekuatan yang mendorong anak tidak memadai (Bratakoesoema, 2005). Distosia disfungsional dibagi menjadi dua macam yaitu: A. Distosia Kerena Kelainan His
Distosia karena kelainan his adalah perlambatan persalinan yang diakibatkan kontraksi uterus abnormal. Gilbert (2007) menyatakan beberapa faktor yang dicurigai dapat meningkatkan resiko terjadinya distosia uterus sebagai berikut: a) Bentuk tubuh (berat badan yang berlebihan, pendek) b) Kondisi uterus yang tidak normal (malformasi kongenital, distensi yang berlebihan, kehamilan ganda, atau hidramnion) c)
Kelainan bentuk dan posisi janin
d) Disproporsi cephalopelvic (CPD) e) Overstimulasi oxytocin f)
Kelelahan, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, dan kecemasan
g) Pemberian analgesik dan anastetik yang tidak semestinya Baik tidaknya kontraksi uterus atau his dapat dinilai dari beberapa kriteria yaitu: 1. Kemajuan persalian 2. Sifat-sifat his: frekuensi, kekuatan dan lamanya his. Kekuatan his dinilai dari cara menekan dinding rahim pada puncak kontraksi (Acme). 3. Besarnya caput succedaneum. Kemajuan persalinan dinilai dari kemajuan pembukaan serviks, kemajuan turunnya bagian terendah janin, dan bila janin sudah sampai di bidang Hodge III atau lebih rendah dinilai dari ada atau tidak adanya putaran paksi dalam. Penilaian kekuatan his dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, yakni menilai secara manual sifat-sifat his dengan palpasi atau bantuan CTG (Cardio tocography). Kekuatan his tidak boleh dinilai dari perasaan nyeri penderita. His dikatakan kurang kuat jika: 1. Terlalu lemah yang dinilai dengan palpasi pada puncak his. 2. Terlalu pendek yang dinilai dari lamaya kontraksi. 3.
Terlalu jarang yang dipantau dari waktu sela antara 2 his. Dalam pemantauan kemajuan persalinan, ketiga sifat di atas perlu dinilai secara
objektif dengan melakukan penilaian secara manual, yaitu dengan melakukan palpasi abdomen sekurang-kurangnya selama 10 menit. Menurut WHO, his dinyatakan memadai bila terdapat his yang kuat sekurangkurangnya 3 kali dalam kurun waktu 10 menit dan masing-masing lamanya > 40 detik.
Interval his yang terlampau pendek dan / atau lamanya > 50 detik dapat membahayakan kesejahteraan janin. Distosia karena kelainan his dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) Disfungsi hipotonis Yaitu kontraksi his yang terlalu lemah. Dengan CTG, terlihat tekanan yang kurang dari 15 mmHg. Tekanan tersebut tidak mencukupi untuk kemajuan penipisan serviks dan dilatasi. Dengan palpasi, his jarang dan pada puncak kontraksi dinding rahim masih dapat ditekan ke dalam. 2) Disfungsi hipertonis Yaitu kontraksi his yang berlebihan dan tidak terkoordinasi. Ibu yang mengalami disfungsi hipertonis akan sangat me rasakan kesakitan. Kontraksi ini biasa terjadi pada tahap laten,yaitu dilatasi servikal kurang dari 4 cm dan tidak terkoordinasi. Kekuatan kontraksi pada bagian tengah uterus lebih kuat dari pada di fundus, karena uterus tidak mampu menekan kebawah untuk mendorong sampai ke servik. Uterus mungkin mengalami kekakuan diantara kontraksi. Perbedaan Disfungsi Hipotonis dan Hipertonis HIPOTONIS
HIPERTONIS
Kejadian
4% dari persalinan
1% dari persalinan
Saat terjadinya
Fase aktif
Fase laten
Nyeri
Tidak nyeri
Nyeri berlebihan
Fetal distress
Lambat terjadi
Cepat
Reaksi terhadap oksitosin
Baik
Tidak baik
Pengaruh sedatif
Sedikit
Besar
Disfungsi his hipertonis ini dapat menyebabkan partus presipitaus yakni persalinan yang lebih pendek dari 3 jam. Kadang-kadang pada multipara dan jarang sekali primigravida terjadi persalinan yang terlalu cepat sebagai akibat his yang kuat dan kurangnya tahanan dari jalan lahir. Bahaya bagi anak meninggi kare na oksigenasi kurang sebagai akibat kontraksi rahim yang terlalu kuat, mungkin bayi juga mengalami trauma karena lahir sebelum ada persiapan yang cukup, misalnya jatuh ke lantai.
B. Distosia karena Kekuatan Mengejan Kurang Kuat Yaitu distosia yang disebabkan kekuatan abdomen untuk mendorong janin kurang kuat. Kekuatan ini normalnya berfungsi untuk membantu kontraksi uterus/his. Kelainan ini disebabkan karena kelainan pada dinding perut seperti luka parut baru pada dinding perut, diastase muskulus rektus abdominis atau kelainan keadaan umum ibu seperti sesak nafas atau adanya kelelahan ibu.
DISTOSIA KARENA KELAINAN PADA JALAN LAHIR
Pelvis (panggul) tersusun atas empat tulang: sakrum, koksigis, dan dua tulang inominata yang terbentuk oleh fusi ilium, iskium, dan pubis. Tulang-tulang inominata bersendi dengan sakrum pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang inominata sebelahnya di simfisis pubis (Cunningham, et al,2010). Panggul dibagi menjadi dua regio oleh bidang imajiner yang ditarik dari promontorium sakrum ke pinggir atas simfisis pubis, yaitu: a.
Panggul palsu Terletak di atas bidang, berfungsi untuk menyokong intestinum.
b. Panggul sejati Terletak di bawah bidang, memiliki dua bukaan yaitu: arpertura pelvis superior (pintu atas panggul) dan arpetura pelvis inferior (pintu bawah panggul) (Baun, 2005). Selama proses kelahiran pervaginam, bayi harus dapat melewati kedua pembukaan panggul sejati ini (Amatsu Therapy Association and Amatsu Association of Ireland, 2006).
Gambaran anteroposterior panggul normal wanita dewasa. Digambarkan diameter anteroposterior (AP) dan Transversal (T) pintu atas panggul. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed. Caldwell dan Moloy mengembangkan suatu klasifikasi panggul yang masih digunakan hingga saat ini. Klasifikasi Caldwell-Molloy didasarkan pada pengukuran diameter transversal terbesar di pintu atas panggul dan pembagiannya menjadi segmen anterior dan posterior. Bentuk segmen-segmen ini menentukan klasifikasi panggul menjadi: panggul ginekoid, anthropoid, android, ataupun platipeloid. Karakter segmen posterior menentukan tipe panggulnya, dan karakter segmen anterior menetukan kecenderungannya. Kedua hal ini ditentukan karena kebanyakan panggul bukan merupakan tipe murni, melainkan campuran, misalnya, panggul ginekoid dengan kecenderungan android berarti panggul posteriornya berbentuk ginekoid dan panggul anteriornya berbentuk android (Cunningham, et al., 2010).
Panggul ginekoid dianggap sebagai panggul normal wanita, sementara panggul android merupakan varian dari panggul pria. Panggul android lebih sering ditemukan pada wanita dengan akitvitas fisik yang berat selama masa remaja. Panggul android juga ditemukan pada wanita yang mengalami keterlambatan dalam posisi tegak, yaitu setelah
usia 14 bulan, sementara panggul platipeloid lebih sering ditemukan pada wanita yang memiliki kemampuan posisi tegak sebelum umur 14 bulan (Leong, 2006). Perbandingan antara kepala janin dan panggul yang tidak serasi dapat menyebabkan distosia. Distosia karena kesempitan panggul dibagi m enjadi tiga yaitu: A. Kesempitan Pintu Atas Panggul Bentuk pintu atas panggul wanita, dibandingkan dengan pria, cenderung lebih bulat daripada lonjong. Terdapat empat diameter pintu atas panggul yang biasa digunakan: diameter anteroposterior, diameter transversal, dan diameter oblik. Diameter anteroposterior yang penting dalam obstetrik adalah jarak terpendek antara promontorium sakrum dan simfisis pubis, disebut sebagai konjugata obtetris. Normalnya, konjugata obstertis berukuran 10 cm atau lebih, tetapi diameter ini dapat sangat pendek pada panggul abnormal. Konjugata obstetris dibedakan dengan diameter anteroposterior lain yang dikenal sebagai konjugata vera. Konjugata vera tidak menggambarkan jarak terpendek antara promontorium sakrum dan simfisis pubis. Konjugata obstetris tidak dapat diukur secara langsung dengan pemeriksaan jari. Untuk tujuan klinis, konjugata obstetris diperkirakan secara tidak langsung dengan mengukur jarak tepi bawah simfisis ke promontorium sakrum, yaitu konjugata diagonalis, dan hasilnya dikurangi 1,5-2 cm.
Gambar 2.2. Gambaran tiga diameter anteroposterior pintu atas panggul: konjugata vera, konjugata obstetris dan konjugata diagonalis yang dapat diukur secara klinis.
Diameter
anteroposterior
panggul
tengah
juga
diperlihatkan.
(P
=
promontorium sakrum; Sim = simfisis pubis). Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed. Pintu atas panggul dianggap sempit jika konjugata vera ≤ 10 cm atau jika
diameter transversa < 12 cm. Konjugata vera dilalui oleh diameter biparietalis yang ±9,5 cm dan kadang-kadang mencapai 10 cm. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa konjugata vera yang kurang dari 10 cm dapat menimbulkan kesulitan dan kesukaran bertambah lagi jika kedua ukuran pintu atas panggul, yaitu diameter transversa sempit. Panggul sempit mempunyai pengaruh yang besar pada kehamilan maupun persalinan. Pengaruh pada kehamilan: a.
Dapat menimbulkan retrofexio uteri gravidii incarcerata.
b. Karena kepala tidak dapat turun, terutama pada primigravida fundus lebih tinggi daripada biasa dan menimbulkan sesak nafas atau gangguan peredaran darah. c.
Kadang-kadang fundus menonjol ke depan hingga perut menggantung.
d. Perut yang menggantung pada seorang primigravida merupakan tanda panggul sempit (abdomen pendulum). e. Kepala tidak turun ke dalam rongga panggul pada bulan terakhir. f.
Dapat menimbulkan letak muka, letak sunsang, dan letak lintang.
g.
Biasanya anak seorang ibu dengan panggul se mpit lebih kecil daripada ukuran bayi rata-rata.
Gambar Abdomen pendulum dengan kehamilan Pengaruh pada persalian: a.
Persalinan lebih lama dari biasa: Disebabkan karena gangguan pembukaan dan karena banyak waktu dipergunakan untuk mulase kepala anak. Kelainan pembukaan dapat terjadi karena ketuban pecah sbelum waktunya karena bagian depan kurang menutup pintu atas panggul, selanjutnya setelah ketuban pecah kepala tidak dapat menekan pada serviks karena tertahan pada pintu atas panggul.
b. Pada panggul sempit sering terjadi kelainan pesentasi atau posisi, misalnya:
Pada panggul picak sering terjadi letak defleksi supaya diameter bitemporalis yang lebih kecil dari diameter biparietalis dapat melalui konjugata vera yang sempit itu.
Bila seluruh lubang panggul sempit, kepala anak mengadakan hiperfleksi supaya ukuran-ukran kepala yang melalui jalan lahir sekecil-kecilnya.
Pada panggul sempit melintang, sutura sagitalis aka masuk pintu atas panggul dalam jurusan muka belakangpintu atas panggul.
Dapat terjadi ruptura uteri jika his menjadi terlalu kuat dalam usaha mengatasi rintangan yang ditimbulkan oleh panggul yang sempit.
Sebaliknya, jika otot rahim menjadi lelah karena rintangan oleh panggul smepit, dapat terjadi infeksi intrapartum. Infeksi ini tidak saja membahayakan ibu, tetapi juga dapat menyebabkan kematian anak di dalam rahim. Kadang-kadang karena infeksi kemudian dapat terjadi timpana uteri atau physometra.
Terjadi fistel, yaitu tekanan yang lama pada jaringan yang dapat menimbulkan iskemi yang menyebabkan nekrosis. Nekrosis ini menimbulkan fistula vesikovaginalis atau fistula rektovaginalis. Fistula vesikovaginalis lebih sering terjadi karena kandung kencing tertekan antara kepala anak dan simfisis, sedangkan rektum jarang tertekan dengan hebat karena adanya lengkungan rongga sakrum.
Ruptura simfisis (simfisiolisis) dapat terjadi bahkan kadang-kadang ruptura dari artikulasi sakroiliaka. Jika terjadi simfisiolosis, pasien mengeluh nyeri di daerah simfisis dan tidak dapat mengangkat tungkainya.
Paresis kaki dapat timbul karena tekanan dari kepala pada urat-urat saraf di dalam rongga panggul.; yang paling sering terjadi ialah kelumpuhan nervus peroneus.
Pengaruh pada anak a. Kematian perinatal meningkat pada partus yang lama, misalnya yang lebih lama dari 24 jam atau kala II yang lebih dari 1 jam apalagi jika ketuban pecah sebelum waktunya. b. Prolapsus funikuli dapat menimbulkan kematian anak. c.
Moulage yang kuat dapat menimbulkan perdarahan otak, te rutama jika diameter biparietal berkurang lebih dari ½ cm. Selain itu, mungkin pada tengkorak terdapat tanda-tanda tekanan, terutama pada bagian yag melalui promontorium (os parietal) bahkan dapat terjadi fraktur impresi
B. Kesempitan Bidang Tengah Panggul Panggul tengah diukur setinggi spina iskiadika, atau bidang dimensi panggul terkecil. Memiliki makna khusus setelah engagement kepala janin pada partus macet. Diameter interspinosus, berukuran 10 cm atau sedikit lebih besar, biasanya merupakan diameter pelvis terkecil. Diameter anteroposterior setinggi spina iskiadika normal berukuran paling kecil 11, 5cm.
Gambar 2.3. Panggul wanita dewasa yang memperlihatkan diameter anteroposterior dan transversal pintu atas panggul serta diameter transversal (interspinosus) panggul tengah. Konjugata obstetris normalnya lebih dari 10 cm. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed. Ukuran-ukuran bidang tengah panggul tidak dapat diperoleh secara klini, harus diukur secara rontgenologis, tetapi kita dapat juga menduga adanya kesempitan bidang tengah panggul jika: 1. Spina ischiadica sangat menonjol 2. Dinding samping panggul konvergen 3. Dinding antar tuber ischii 8,5cm atau kurang Kesempitan bidang tengah panggul dapt menimbulkan gangguan putaran paksi jika diameter antara kedua spina ≤9cm sehingga kadang -kadang diperlukan
seksio sesarea.
C. Kesempitan Pintu Bawah Panggul Pintu bawah panggul terdiri dari dua daerah yang menyerupai segitiga. Areaarea ini memiliki dasar yang sama yaitu garis yang ditarik antara dua tuberositas iskium. Apeks dari segitiga posteriornya berada di ujung sakrum dan batas lateralnya adalah ligamentum sakroiskiadika dan tuberositas iskium. Segitiga anterior dibentuk oleh area di bawah arkus pubis. Tiga diameter pintu bawah panggul yang biasa digunakan yaitu: anteroposterior, transversal, dan sagital posterior.
Gambar 2.4. Pintu bawah panggul dengan diameter-diameter yang penting. Perhatikan bahwa diameter anteroposterior dapat dibagi menjadi diameter sagital anterior dan posterior. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23 rd ed. Pintu bawah panggul dikatakan sempit jika jarak antara tuber os ischii 8 cm atau kurang. Jika jarak ini berkurang, dengan sendirinya arcus pubis meruncing. Oleh karena itu, besarnya arcus pubis dapat dipergunakan untuk menentukan kesempitan pintu bawah panggul. Oleh karena itu, jelaslah bahwa jika jarak antar kedua tuber ischiadika sempit, kepala akan dipaksa keluar ke sebelah belakang dan mungkin tidaknya persalinan bergantung pada besarnya segitiga belakang. Lahirnya kepala pada segitiga yang belakang biasanya menimbulkan robekan perineum yang besar. Kesempitan pintu bawah panggul juga dapat menyebabkan gangguan putaran paksi.
DISTOSIA KARENA KELAINAN PRESENTASI, POSISI
A. Kelainan Posisi (Positio Occipito Posterior Per sistens) Pada kebanyakan persalinan dengan posisi oksipito posterior, kepala akan mengalami putaran paksi sehingga anak lahir dengan oksiput di bawah simfisis, namun karena sudut pemutaran besar (umumnya 135 0), kala II biasanya sedikit lebih lama. Putaran paksi ini baru terjadi pada Hodge III dan bahkan kadang-kadang baru terjadi pada Hodge IV.Jika pada posisi oksipito posterior ubun-ubun kecil berputar ke belakang, kita sebut positio oksipito posterior persisten. Penyebab tidak terjadinya putaran paksi ialah panggul antropoid, android, kesempitan bidang tengah panggul, ketuban pecah sebelum waktunya, fleksi kepala kurang, dan inersia uteri. Adakalanya oksiput berputar ke belakang dan anak lahir dengan muka di bawah simpisis. Ini terutama terjadi jika fleksi kepala kurang. Untuk menghindari ruptura perinei totalis, episiotomi harus dibuat lebih lebar karena dalam hal ini perineum diregang oleh sirkumferensia oksipito frontalis. Hanya sebagian kecil (4%) dari positio oksipito posterior persisten ini yang memerlukan pertolongan pembedahan. B. Kelainan Presentasi 1) Presentasi Muka
Adalah presentasi kepala dengan defleksi maksimal hingga oksiput mengenai punggung dan muka terarah ke bawah (kaudal terhadap ibu). Letak defleksi mungkin karena tonus otot-otot ekstensor anak lebih kuat dari tonus otototot fleksor. Punggung terdapat dalam lordosis dan biasanya terdapat di belakang. Penyebab yang terpenting adalah panggul yang sempit dan anak yang besar. Diagnosis presentasi muka dapat ditegakkan jika: Dalam kehamilan—Letak muka kadang-kadang dapat dicurigai dalam kehamilan jika: a. Tonjolan kepala terba sepihak dengan punggung dan antara belakang kepala dan punggung terba sudut yang runcing (sudut Fabre); tonjolan kepala ini juga bertentangan dengan pihak bagian-bagian kecil. b. Bunyi jantung anak terdengar pada pihak bagian-bagian kecil. Diagnosis tersebut dapat diperkuat dengan foto Rontgen pelvis anero-posterior dan lateral atau dengan USG. Dalam persalinan—Dengan pemeriksaan dalam, pada pembukaan yang cukup besar, akan teraba orbita, hidung, tulang pipi, mulut dan dagu. Karena muka agak lunak, harus dibedakan dari bokong.
A.
B.
C.
Gambar A. Letak puncak kepala; B. Let ak dahi; C. Letak muka Presentasi muka dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
1. Letak muka primer—disebabkan oleh adanya kelainan pada anak dan tak dapat diperbaiki, seperti struma kongenitalis, kelainan tulang leher, lilitan tali pusat yang banyak di leher, meningokel, anensefal, dan anak lahir besar.
Gambar presentasi muka, dagu sebagai petunjuk 2. Letak muka sekunder —anak normal, namun ada kelainan, seperti panggul picak, sinding perut kendor hingga rahim jatuh ke depan, bagian-bagian yang menumbung dan hidramnion.
Gambar Mekanisme persalinan letak muka (dagu ke belakang)
Mekanisme persalinan presentasi muka adalah sebagai berikut: Pada awal persalinan, kepala janin mengalami defleksi ringan saja. Akan tetapi, dengan turunnya kepala, defleksi bertambah hingga dagu menjadi bagian yang terendah. Hal ini disebabkan jarak dari foramen magnum ke belakang kepala lebih besar daripada jarak dari foramen magnum ke dagu. Diameter submento-bregmatika (9 ½) melalui jalan lahir. Karena dagu merupakan bagian yang terendah, dagulah yang paling dulu mengalami rintangan dari otot-otot dasar panggul hingga memutar ke depan ke arah simfisis. Dalam vulva, mulut tampak lebih dahulu. Kepala lahir dengan gerakan fleksi; berturut-turut lahirlah hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar, dan akhirnya tulang belakang kepala. Vulva diregang oleh diameter submento-oksipitalis (11 ½ cm). Presentasi muka dapat lahir spontan. Pada umumnya, partus lebih lama, yang meninggikan angka kematian janin. Kemungkinan ruptura perinei yang lebih besar. 2) Presentasi Dahi Adalah letak kepala dengan defleksi yang sedang hingga dahi menjadi bagian yang terendah. Biasanya letak dahi bersifat sementara dan dengan majunya persalinan menjadi letak muka atau letak belakang kepala. Letak dahi yang menetap agak jarang terjadi. Penyebab letak dahi kira-kira sama dengan penyebab letak muka. Dalam kehamilan letak dahi jarang dapat diketahui karena dengan palpasi saja paling-paling dapat dicurigai letak defleksi, yaitu bila: 1. Tonjolan kepala teraba pada pihak punggung anak (bertentangan dengan bagian yang kecil-kecil). 2. Bunyi jantung anak dan bagian-bagian kecil anak sepihak. Mekanisme persalinan letak dahi adalah sebagai berikut: Letak dahi merupakan letak yang paling buruk diantara letak kepala. Pada letak dahi ukuran terbesar kepala, yaitu diameter mento-oksipitalis akan melalui jalan lahir. Diameter ini cukup besar (13 ½ cm); lebih besar daripada semua ukuran pintu atas panggul. Oleh karena itu, pada anak yang cukup besar kepala tidak dapat masuk ke dalam pintu atas panggul. Pada anak yang kecil, kepala dapat masuk. Namun, dengan mulase yang kuat, kemudian terjadi putaran paksi sehingga dahi memutar ke depan ke arah simfisis.
Dahi paling dulu tampak pada vulva dan tulang rahang atas menjadi hipomoklion. Dengan fleksi, lahirlah ubun-ubun besar dan belakang kepala. Setelah belakang kepala lahir dengan gerakan defleksi, berturut-turut lahir mulut dan dagu. Vulva diregang oleh diameter maksila oksipitalis. Pada letak dahi yang bersifat sementara, anak dapat lahir spontan sebagai letak belakang kepala atau letak muka. Jika letak dahi menetap, prognosis buruk, kecuali jika anak kecil. 3) Letak Sungsang Adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang terendah (presentasi bokong). Terdapat 3 jenis presentasi sungsang : 1.
Frank breech atau bokong murni (50-70%) yaitu tampak ekstremitas bawah
mengalami fleksi pada sendi panggul dan ekstensi pada sendi lutut sehingga kaki terletak berdekatan dengan kepala. 2.
Complete breech atau bokong sempurna (5-10%) yaitu satu atau kedua lutut
dalam keadaan fleksi. 3.
Foot ling atau incomplete atau presentasi kaki (10-30%) yaitu satu atau kedua kaki
atau lutut terletak di bawah bokong sehingga kaki atau lutut bayi terletak paling bawah pada jalan lahir (Cunningham, 2005). Jenis-jenis Presentasi Sungsang
Dari letak-letak ini, letak bokong murni paling sering dijumpai. Punggung biasanya terdapat kiri depan. Frekuensi letak sungsang lebih tinggi pada kehamilan
muda dibandingkan dengan kehamilan aterm dan lebih banyak pada multigravida daripada primigravida. Diagnosis letak sungsang adalah ketika pergerakan anak teraba oleh si ibu di bagian perut bawah, dib bawah pusat, dan ibu sering merasa benda keras (kepala) mendesak tulang iga. Pada palpasi, akan teraba bagian keras, bundar, dan melenting pada fundus uteri. Punggung anak dapat diraba pada salah satu sisi perut dan bagianbagian kecil pada pihak yang berlawanan. Di atas simfisis, teraba bagian yang kurang bundar dan lunak. Bunyi jantung terdengar pada punggung anak setinggi pusat. Jika pembukaan sudah besar, pada pemeriksaan dalam teraba 3 tonjolan tulang, yaitu kedua tubera ossis ischii dan ujung os sakrum, sedangkan os sakrum dapat dikenal sebagai tulang yang meruncing dengan deretan prosesus spinosus di tengah-tengah tulang tersebut. Antara tiga tonjolan tulang tadi dapat diraba anus dan genetalia anak, tetapi jenis kelamin anak hanya dapat ditentukan jika edema tidak terlalu besar. Bokong harus dibedakan dari muka. Muka dapat disangka bokong karena tulang pipi dapat mnyerupai tubera ossis ischii, dagu menyerupai ujung os sakrum, sedangkan mulut disangka anus. Yang menentukan ialah bentuk os sakrum yang mempunyai deretan prosesus spinosus yang disebut krista sakralis media. Perbedaan letak kaki dan tangan 1. Pada kaki ada kalkaneus, jadi ada tiga tonjolan tulang ialah mata kaki dan kalkaneus. Pada tangan, hanya ada mata di pergelangan tangan. 2. Kaki tidak dapat diluruskan terhadap tungkai, selalu ada sudut. 3. Jari kaki jauh lebih pendek dari telapak kaki. Mekanisme persalinan letak sungsang adalah sebagai berikut: a) Garis pangkal paha masuk serong ke dalam pintu atas panggul. Pantat depan memutar ke depan setelah mengalami rintangan dari otot-otot dasar panggul. Dengan demikian, dapat terjadi laterofleksi badan untuk menyesuaikan diri dengan lengkungan panggul. b) Pantat depan tampak terlebih dahulu pada vulva dan dengan trokanter depan sebagai hipomoklion dan laterofleksi dari badan lahirlah pantat belakang pada pinggir depan perineum disusul dengan kelahiran pantat depan.
c) Setelah bokong lahir, terjadi putaran paksi luar agar punggung berputar sedikit ke depan sehingga bahu dapat masuk pintu atas panggul dalam ukuran serong dari pintu atas panggul. Sesudah bahu turun, terjadilah puatarn paksi dari bahu sampai ukuran bisakromial dalam ukuran muka belakang dari pintu bawah panggul. Oleh karena itu, punggung berputar lagi ke samping. d) Pada saat bahu akan lahir, kepala dalam keadaan fleksi masuk pintu atas panggul dalam ukuran melintang pintu atas panggul. Kepala ini mengadakan putaran paksi sedemikian rupa hingga kuduk terdapat di bawah simfisis dan dagu di sebelah belakang. Berturut-turut lahir pada perineum, seperti: dagu, mulut, hidung, dahi dan belakang kepala. Bagi ibu pada letak sungsang tak banyak berbeda dengan prognosis pada letak kepala; mungkin ruptura perineum lebih sering terjadi. Sebaliknya, prognosis bagi anak dengan letak sungsang, lebih buruk ter utama jika anaknya besar dan ibunya seorang primigravida. Kematian anak ±14%. Jika kematian kar ena prematuritas dikurangi, kematian anak dengan letak sungsang tetap 3 kali lebih besar daripada kematian anak letak kepala. Penyebab kematian anak letak sungsang adalah: 1. Setelah pusat lahir, kepala anak mulai masuk ke rongga panggul sehingga tali pusat tertekan antara kepala dan rongga panggul. Diduga bahwa kepala harus lahir dalam 8 menit, sesudah pusat lahir supaya anak dapat lahir dengan selamat. 2. Pada letak sungsang dapat terjadi perdarahan otak karena kepala dilahirkan dengan cepat. 3. Dapat terjadi kerusakan tulang belakang karena tarikan badan anak. 4. Pada letak sungsang lebih sering terjadi tali pusat menumbung karena bagian depan anak kurang baik menutup bagian bawah rahim. 4) Letak Lintang Pada letak lintang, sumbu panjang anak tegak lurus tau hampir tegak lurus pada sumbu panjang ibu. Pada letak lintang bahu menjadi bagian terendah, yang disebut sebagai presentasi bahu atau presentasi akromion. Jika punggung terdapat di sebelah depan disebut dorsoanterior dan jika di belakang disebut dorsoposterior. Pada inspeksi tampak bahwa perut melebar ke samping dan pada kehamilan
cukup bulan, fundus uteri lebih rendah dari biasanya, hanya beberapa jari di atas pusat. Pada palpasi ternyata bahwa fundus uteri maupun bagian bawah rahim kosong, sedangkan bagian-bagian besar (kepala dan bokong) teraba di samping kiri atau kanan di atas fosa iliaka. Jika tahanan terbesar teraba di sebelah depan, punggung ada di sebelah depan. Sebaliknya jika teraba tonjolan-tonjolan, ini disebabkan oelh bagian kecil-kecil sehingga punggung terdapat di sebelah belakang.
Gambar palpasi abdomen pada letak lintang Dalam persalinan, pada pemeriksaan dalam dapat diraba sisi toraks sebagai susunan tulang-tulang yang sejajar dan jika pembukaan sudah besar, akan teraba skapula dan pada pihak yang bertentangan dengan skapula, akan teraba klavikula. Arah menutupnya ketiak menunjukkan arah kepala.
Gambar ketiak menutup ke kiri, kepala di kiri
Sering kali salah satu lengan menumbung dan untuk menentukan lengan mana yang menumbung kita coba berjabat tangan ; jika dapat berjabat tangan (dengan tangan kanan), tangan yang menumbung adalah tangan kanan.
Gambar presentasi bahu dengan bahu yang telah jauh masuk ke r ongga panggul Mekanisme persalinan letak lintang adalah sebagai berikut: ada kalanya anak pada permulaan persalinan dalam letak lintang, berputar sendiri menjadi letak memanjang. Kejadian ini disebut versio spontanea. Versio spontanea hanya dapat terjadi jika ketuban masih utuh. Anak yang menetap dalam letak lintang pada umumnya tidak dapat lahir spontan, kecuali anak yang kecil atau anak yang mati dan sudah mengalami maserasi dapat lahir secara spontan. Dalam kala I dan II anak ditekan dan badan anak melipat sedemikian rupa sehingga kepala anak mendekati permukaan ventral tubuh anak; akibatnya ukuran melintang berkurang sehingga bahu dapat masuk ke dalam rongga panggul. Setelah ketuban pecah, bahu didorong ke dalam rongga panggul dan lengan yang bersangkutan biasanya menumbung. Akan tetapi, tidak lama kemudian kemajuan bagian depan ini berhenti. Rahim menambah kekuatan kontraksi untuk mengatasi rintangan dan ber angsur terjadilah lingkaran retraksi patologis. Jika keadaan ini dibiarkan, terjadilah ruptura uteri atau his menjadi lemah karena otot rahim kecapaian dan timbullah infeksi intra uterin sampai terjadi tympania uteri.
Dalam hal ini, kepala tertekan ke dalam perut anak dan seterusnya anak lahir dalam keadaan terlipat atau conduplicatio corpore. Yang paling dulu tampak dalam vulva ialah daerah dada di bawah bahu; kepala dan torak melalui rongga panggul bersamaan. Cara lain yang memungkinkan kelahiran spontan dalam letak lintang adalah evolutio spontanea, walaupun jarang sekali terjadi. Evulatio spontanea ada 2 variasi yaitu: 1. Mekanisme dari Douglas. 2. Mekanisme dari Denman. Karena his yang kuat, bahu turun dan kepala tertahan pada ramus superior osis pubis hingga leher teregang. Akhirnya bahu sampai di bawah arkus pubis. Pada saat ini, terjadi latrofleksi dari tulang belakang. Pada modus Douglas, laterofleksi terjadi ke bawah dan pada tulang pinggang bagian atas maka setelah bahu lahir, lahirlah sisi toraks, perut, bokong dan akhirnya kepala. Sedangkan pada modus denman, laterofleksi terjadi ke atas dan pada tulang pinggang bagian bawah maka setelah bahu lahir, lahirlah bokong baru kemudian dada dan kepala. Letak lintang merupakan letak yang tidak mungkin lahir spontan dan berbahaya untuk ibu maupun anak. Biarpun bisa lahir spontan anaknya akan lahir mati.Dalam keadaan tertentu, bila umur kehamilan <30 minggu dan /atau berat anak <1400 gram boleh dicoba persalinan pervaginam. Sikap ini bisa diambil dengan terlebih dahulu mempertimbangkan nilai anak bagi si ibu mengingat mungkin anak lahir mati. Sebaliknya, bila akan dilahirkan dengan seksio sesarea, perlu dipertimbangkan kemampuan perawatan bayi prematur di NICU sehingga perlu ditentukan untung ruginya tindakan yang akan dipilih bagi ibu se belum menetapkan pilihan per vaginam atau seksio. Penyebab kematian bayi ialah prolapsus funikuli dan asfiksisa karena kontraksi rahim terlalu kuat. Juga tekukan leher yang kuat dapat menyebabkan kematian. Prognosis bayi sangat bergantung pada saat pecahnya ketuban. Selama ketuban masih utuh, bahaya bagi anak dan ibu relatif kecil. Oleh karena itu, kita harus berupaya supaya ketuban selama mungkin utuh, misalnya:
1. Melarang pasien mengejan. 2. Pasien dengan anak yang melintang tidak dibenarkan berjalan-jalan. 3. Tidak diberi obat augmentasi his. 4. Pemeriksaan dalam dilakukan harus hati-hati jangan sampai memecahkan ketuban bahkan di luar rumah sakit sedapat-dapatnya jangan dilakukan pemeriksaan dalam. Selama ketuban pecah, bahayanya bertambah karena: 1. Dapat terjadi letak lintang ksip jika pembukaan sudah lengkap. 2. Anak dapat mengalami asfiksia karena gangguan sirkulasi utero plasenta. 3. Tali pusat dapat menumbung. 4. Bahaya infeksi bertambah. 5)
Presentasi Ganda Yang dimaksud dengan presentasi ganda adalah jika di samping bagian terendah teraba anggota badan. Tangan yang menumbung pada letak bahu tidak disebut letak majemuk, begitu pula adanya kaki di samping bokong pada letak sungsang tidak termasuk letak majemuk. Pada letak kepala dapat terjadi : 1. Tangan menumbung. 2. Lengan menumbung. 3. Kaki menumbung. Pada tangan menumbung hanya teraba jari dan telapak tangan di samping kepala, tidak teraba pergelangan tangan. Jika juga pergelangan tangan atau bagian yang lebih proksimal teraba, disebut lengan menumbung. Tangan menumbung prognosisnya lebih baik dari lengan menumbung karena tangan yang ceper bentuknya tidak banyak mengambil tempat dibandingkan dengan lengan. Tangan menumbung pada letak kepala tidak menghalangi turunnya kepala, hanya mungkin menyebabkan terganggunya putaran paksi. Sebaliknya, lengan menumbung dapat menghalangi turunnya kepala. Kaki yang menumbung di samping kepala jarang terjadi pada anak hidup yang cukup besar, tetapi kemungkinan pada anak yang sudah mengalami maserasi. Pada
monstrum dan anak kecil, juga dapat terjadi padakehamilan kembar yang disamping kepala anak I menumbung kaki anak II dalam letak sungsang. Pada letak sungsang jarang sekali tangan teraba di samping bokong dan keadaan ini biasanya tidak menimbulkan kesukaran. Pada letak majemuk sering juga tali pusat menumbung dan hal ini sangat mempengaruhi prognosis. Keadaan ini tidak selalu terdiagnosis dengan pemeriksaan dalam, terutama bila tali pusat terletak di samping kepala (occult prolapse), bila pemantauan persalinan dilakukan dengan CTG kompresi pada tali pusat (tali pusat tertekan antara kepala anak dan panggul) akan memberikan gambaran deselerasi variabel yang bisa berarti adanya gawat janin.
DISTOSIA KARENA KELAINAN JANIN
1) Pertumbuhan janin yang berlebihan Yang dinamakan bayi besar ialah bila berat badannya lebih dari 4000 gram. Kepala dan bahu tidak mampu menyesuaikannya ke pelvis, selain itu distensi uterus oleh janin yang besar mengurangi kekuatan kontraksi selama persalinan dan kelahirannya. Pada panggul normal, janin dengan berat badan 4000-5000 gram pada umumnya tidak mengalami kesulitan dalam melahirkannya. 2) Hidrosefalus Hidrosefalus
adalah
keadaan
dimana
terjadi
penimbunan
cairan
serebrospinal dalam ventrikel otak, sehingga kepala menjadi besar sehingga terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun. Hidrosefalus sering disertai cacat bawaan lain, seperti spina bifida. Hidrosefalus sering pula menimbulkan distosia bahkan ruptura uteri dan anak lahir dalam keadaan sungsang karena kepala terlalu besar untuk masuk ke dalam pintu atas panggul. 3) Kelainan Bentuk Janin Yang Lain a. Janin kembar melekat (double master) Torakopagus(pelekatan pada dada) merupakan janin kembar melekat yang paling sering menimbulkan kesukaran persalinan. b. Janin dengan perut besar Pembesaran perut yang menyebabkan distocia, akibat dari asites atau tumor hati, limpa, ginjal dan ovarium jarang sekali dijumpai. 4) Prolapsus Foeniculi
Keadaan dimana tali pusat berada disamping atau melewati bagian terendah janin didalam jalan lahir setelah ketuban pecah. Pada presentasi kepala, prolaksus funikuli sangat berbahaya bagi janin, karena setiap saat tali pusat dapat terjepit antara bagian terendah janin dengan jalan lahir dengan akibat gangguan oksigenasi.
DYSTOSIA KARENA KELAINAN TRAKTUS GENITALIS
1) Vulva Kelainan pada vulva yang menyebabkan distosia adalah edema, stenosis, dan tumor. Edema biasanya timbul sebagai gejala preeklampsia dan terkadang karena gangguan gizi. Pada persalinan jika ibu dibiarkan mengejan t erus jika dibiarkan dapat juga mengakibatkan edema. Stenosis pada vulva terjadi akibat perlukaan dan peradangan yang menyebabkan ulkus dan sembuh
dengan parut-parut yang
menimbulkan kesulitan. Tumor dalam neoplasma jarang ditemukan. Yang sering ditemukan kondilomata akuminata, kista, atau abses glandula bartholin. 2) Vagina Yang sering ditemukan pada vagina adalah septum vagina, dimana septum ini memisahkan vagina secara lengkap atau tidak lengkap dalam bagian kanan dan bagian kiri. Septum lengkap biasanya tidak menimbulkan distosia karena bagian vagina yang satu umumnya cukup lebar, baik untuk koitus maupun untuk lahirnya janin. Septum tidak lengkap kadang-kadang menahan turunnya kepala janin pada persalinan dan harus dipotong terlebih dahulu. Stenosis vagina yang tetap kaku dalam kehamilan merupakan halangan untuk lahirnya bayi, perlu dipertimbangkan seksio sesaria. Tumor vagina dapat menjadi rintangan pada lahirnya janin per vaginam 3) Servik uteri Konglutinasio orivisii externi merupakan keadaan dimana pada kala I servik uteri menipis akan tetapi pembukaan tidak terjadi, sehingga merupakan lembaran kertas dibawah kepala janin. Karsinoma servisis uteri, merupakan keadaan yang menyebabkan distosia. 4) Uterus Mioma uteri merupakan tumor pada uteri yang dapat menyebabkan distosia apabila mioma uteri menghalangi lahirnya janin pervaginam, adanya kelainan letak
janin yang berhubungan dengan mioma uteri, dan inersia uteri yang berhubungan dengan mioma uteri. 5) Ovarium Distosia karena tumor ovarium terjadi apabila menghalangi lahirnya janin pervaginam. Dimana tumor ini terletak pada cavum douglas. Membiarkan persalinan berlangsung lama mengandung bahaya pecahnya tumor atau ruptura uteri atau infeksi intrapartum.
DYSTOSIA KARENA RESPON PSIKOLOGIS
1) Stress yang diakibatkan oleh hormon dan neurotransmitter (seperti catecholamines) dapat menyebabkan distosia. Sumber stress pada setiap wanita bervariasi, tetapi nyeri dan tidak adanya dukungan dari seseorang merupakan faktor penyebab stress. 2) Cemas yang berlebihan dapat menghambat dilatasi servik secara normal, persalinan berlangsung lama, dan nyeri meningkat. Cemas juga menyebabkan peningkatan level strees yang berkaitan dengan hormon (seperti: β endorphin, adrenokortikotropik,
kortisol, dan epinephrine). Hormon ini dapat menyebabkan distosia karena penurunan kontraksi uterus.
PATOFISIOLOGI DISTOSIA
(Terlampir)
FAKTOR RESIKO DAN ETIOLOGI DISTOSIA
Etiologi distosia biasanya dianggap berasal dari salah satu atau kombinasi 4P (pelvis, passenger, power dan plasenta)
Faktor kekuatan his (power) Dimana kontraksi uterus tidak efektif kekuatannya baik pada kala I ataupun kala II. Kesulitan dalam jalannya persalinan (distosia) karena kelainan tenaga his adalah his yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga menghambat kelancaran persalinan. Kelainan his sering dijumpai pada primigravida tua, sedangkan inersia uteri sering dijumpai pada multigravida dan grandemulti. Faktor yang memegang
peran penting dalam kekuatan his antara lain factor herediter, emosi, ketakutan, salah pimpinan persalinan. Problem with Powers : Abnormal Uterine Contraction Pattern, Hypertonic Contractions, Hypotonic Contractions, Precipitous Labor and Birth.
Faktor Jalan lahir (passege) Dimana terjadi karena bentuk dan ukuran t ulang pelvis tidak normal, imatur ukuran tulang pelvis atau deformitas. Hal ini dapat terjadi bersamaan dengan tidak efektid ekspulsif fetus. yang paling umum berkaitan dengan distosia adalah ukuran atau konfigurasi tulang, kelainan jalan lahir ( misalnya kelainan congenital, luka parut jalan lahir, pelekatan ostium serviks eksterna, kondilomata akuminatasif) dan neoplasia organ reproduksi lainnya ( misalnya karsinoma serviks, kista ovarium, leiomioma uteri) termasuk kandung kemih atau usus yang meregang. Kelainan-kelainan
ini
dapat
terdeteksi
secara
dini
dengan
pemeriksaan
kehamilan yang adekuat. Oleh karena itu, faktor pemeriksaan kehamilan sangat penting dalam memperkirakan proses persalinan. Problem with Passage: Pelvic Contracture, Non-Gynecoid Pelvis.
Faktor Bayi (passeger) Faktor bayi atau janin sangat berpengaruh terhadap proses persalinan. Pada keadaan normal, bentuk bayi, berat badan, posisi dan letak dalam perkembangannya sampai pada akhir kehamilan dan siap untuk dilahirkan, bayi mempunyai kekuatan mendorong dirinya keluar sehingga persalinan berjalan spontan. Suatu keadaan malpresentasi atau malposisi yang tidak lazim baik ukuran atau abnormal perkembangan fetus yang menghambat masuk fetus ke dalam jalan lahir. distosia janin meliputi ukuran janin yang terlalu besar (>4000 gram), malposisi ( misalnya sungsang, dan letak lintang), kelainan congenital ( misalnya hidrosefalus, teratoma sakrokoksigeus) dan kehamilan multiple ( missal malpresentasi, kembar mengunci, janin sungsang, janin presentasi vertex). Kelainan
pada
faktor
bayi
yang
dapat
menyulitkan
proses
persalinan
berhubungan dengan faktor gizi ibu, infeksi bakteri dan virus selama kehamilan seperti toksoplasma, trauma yang dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan. Kelainan janin selama dalam kandung an dapat terdeteksi secara dini apabila ibu melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC)
secara rutin minimal 4 kali selama kehamilan, mulai awal kehamilan pada tenaga kesehatan. Problem with Passenger: Malpresentation, Macrosomia , Fetal Anomalies, Kurang stimuli atau berkaitan ddg faktor penghambat ( faktor hormonal), Faktor fisik (uterine overdistension, multiple gestasi, polyhidramnion, fibrosis servikal, erderly nullipara, obesitas, pathologic retraction ring), Faktor farmakologis (analgesik berlebihan pada fase laten, epidural anastesi) (Cuningham, 2006). Adapun faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap persalinan antara lain : 1. Faktor ibu, yang meliputi: a.Umur Ibu Pada umur kurang dari 20 tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi. Selain itu, kekuatan otot-otot perineum dan otot -otot perut belum bekerja secara optimal, sehingga sering terjadi persalinan lama atau macet yang memerlukan tindakan.
Faktor risiko
untuk persalinan sulit pada ibu yang belum pernah melahirkan pada kelompok umur ibu dibawah 20 tahun dan pada kelompok umur diatas 35 tahun adalah 3 kali lebih tinggi dari kelompok umur reproduksi sehat (20-35 tahun). Supriyati, Doeljachman dan Susilowati mendapatkan temuan bahwa umur ibu hamil merupakan faktor risiko distosia (penyulit persalinan) yang memerlukan tindakan. Ibu ham il yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun berisiko 4 kali untuk terjadi distosia, dibandingkan ibu hamil yang berumur antara 20 hingga 35 tahun. b.Paritas Paritas menunjukkan jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang wanita. Paritas merupakan faktor penting dalam menentukan nasib ibu dan janin baik selama kehamilan maupun selama persalinan. Pada ibu dengan primipara
(wanita
yang
melahirkan
bayi
hidup) pertama kali,
karena
pengalaman melahirkan belum pernah, maka kemungkinan terjadinya kelainan dan komplikasi cukup besar baik pada kekuatan his (power), jalan lahir (passage) dan kondisi janin (passager). Informasi yang kurang tentang persalinan
dapat pula mempengaruhi proses persalinan. Hasil penelitian Supriyati dkk, menyimpulkan bahwa parit as juga berhubungan secara bermakna dengan kejadian distosia persalinan. Ibu hamil dengan paritas 1 atau lebih dari 5 memiliki risiko untuk terjadi distosia 3,86 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil dengan paritas 2 sampai 5. c. Jarak Kehamilan atau kelahiran sebelumnya Seorang wanita yang hamil dan melahirkan kembali dengan jarak yang pendek dari kehamilan sebelumnya, akan memberikan dampak yang buruk terhadap kondisi kesehatan ibu dan bayi. Hal ini disebabkan, karena bentuk dan fungsi organ reproduksi belum kembali dengan sempurna. Sehingga fungsinya akan terganggu apabila terjadi kehamilan dan persalinan kembali. Jarak kehamilan minimal agar organ reproduksi dapat berfungsi kembali dengan baik adalah 24 bulan. Jarak antara dua persalinan yang terlalu dekat menyebabkan meningkatnya anemia yang dapat menyebabkan BBLR, kelahiran preterm, dan lahir mati, yang mempengaruhi proses persalinan dari faktor bayi (passager). Jarak kehamilan yang terlalu jauh berhubungan dengan bertambahnya umur ibu. Hal ini akan terjadi proses degeneratif melemahnya kekuatan fungsifungsi otot uterus dan otot panggul yang sangat berpengaruh pada proses persalinan apabila terjadi kehamilan lagi. Konstraksi otot-otot uterus dan panggul
yang lemah
menyebabkan kekuatan
his
(power)
pada
proses
persalinan tidak adekuat, sehingga banyak terjadi partus lama / tak maju. Menurut Supriyati dkk, jarak kehamilan atau persalinan merupakan faktor risiko kejadian distosia persalinan dengan nilai OR 8,17 (95% CI : 2,0434,79). Hal ini berarti ibu hamil yang memiliki jarak kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun dengan kehamilan sebelumnya memiliki risiko 8,17 kali untuk terjadi distosia dibandingkan ibu hamil dengan jarak 2 tahun hingga 10 tahun dengan kehamilan sebelumnya. d.Pendidikan Ibu Berdasarkan hasil penelitian Mulidah (2002) pendidikan ibu yang rendah (= SMP) mempunyai risiko 6 kali lebih tinggi untuk mengalami partus
lama dibandingkan dengan ibu
dengan
pendidikan
tinggi (>
SMP). Pada
penelitian Irsal dan Hasibuan, pendidikan ibu rendah memberikan risiko 9,3 kali lipat untuk mengalami kala II yang lebih lama. e. Sosial Ekonomi Sosial
ekonomi
masyarakat
yang
sering
dinyatakan
dengan
pendapatan keluarga, mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi
dalam
memenuhi
kebutuhan
hidupnya
termasuk
kesehatan dan pemenuhan zat gizi. Hal ini pada akhirnya
kebutuhan berpengaruh
pada kondisi kehamilan dan pada faktor kekuatan (power) dalam proses persalinan. Selain itu pendapatan juga mempengaruhi kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan, sehingga adanya kemungkinan komplikasi terutama dari faktor janin (passager) dan
jalan lahir (passage) dapat
terdeteksi. f. Riwayat distosia bahu Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu terbukti sebagai prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain anatomi pelvis seorang wanita tidak akan berubah selama
hamil,
sedangkan
kecenderungan
dibandingkan bayi sebelumnya.
Beberapa
bayi kedua akan lebih besar penulis
menyebutkan
bahwa
persalinan distosia bahu akan kembali terjadi pada wanita dengan riwaya tdistosia bahu sebesar 11,9% (Gherman, 2002). Risiko akan meningkat sampai 20 kali lipat, sehingga beberapa dokter kandungan mengusulkan, sekali terjadi distosia bahu, maka berikutnya harus menggunakan sesar. g.Etnisitas Wanita afrika-amerika memiliki peningkatan resiko terjadinya distosia bahu (Cheng dkk, 2006). Ini dimungkinkan karena kecenderungan memiliki panggul tipe android. h.Faktor Gizi Selain
faktor
ibu
secara
umum,
faktor
yang
cukup
penting
mempengaruhi kondisi kehamilan hingga proses persalinan adalah faktor gizi yang meliputi :
i. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan faktor biologis namun dapat menunjukkan pula status gizi seorang
ibu. Karena tinggi badan pendek menunjukkan
pertumbuhan badan yang kurang optimal sehingga akan berpengaruh pada bentuk atau postur tubuh. Tinggi badan yang pendek biasanya mempunyai bentuk panggul yang sempit, sehingga tidak proporsional untuk jalan lahir kepala (disproporsi panggul kepala). Hal ini merupakan indikasi utama untuk persalinan seksio sesarea. j. Status Gizi/IMT Wanita muda juga meningkat risikonya bila mempunyai berat badan yang kurang (umur gestasi yang kecil) atau kurang dalam memberi makan bayi. Di Indonesia status gizi ibu hamil, sering dinyatakan dalam ukuran lingkar lengan atas (LLA). Apabila ibu mempunyai LLA < 23,5 cm atau berat badan kurang dari 38 kg sebelum hamil, maka termasuk Kekurangan Energi Kalori (KEK). Hal ini menunjukkan status gizi yang buruk bagi ibu dan merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi kehamilan, persalinan dan hasil kehamilan. k. Obesitas Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu. Emerson (1962) menunjukkan bahwa kejadian distosia bahu pada wanita obesitas dua kali lebih sering dibandingkan dengan wanita berat badan normal yaitu sebesar 1,78% : 0,81%. Sandmire (1988) memperkirakan risiko relatif pafa wanita sebelum hamil dengan berat bedan 82 kg adalah 2,3. Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek primer dari wanita obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas cenderung memiliki bayi yang besar pula. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian mengenai kejadian distosia bahu dikaitkan dengan berat badan ibu dan bayi. l. Diabetes Dalam studi Al-Najashs (1989), tingkat distosia bahu pada bayi dengan berat lebih dari 4000 gram yang lahir dari ibu diabetes adalah 15,7%. Sedangkan bayi lahir dari ibu nondiabetes memiliki tingkat distosia bahu 1,6%. Casey (1997),
dalam sebuah penelitian lebih dari 62.000 pasien, menemukan tingkat distosia bahu di populasi ibu yang bersalin 0,9% sedangkan pada pasien dengan diabetes gestasional 3%. Faktor Penyebab Distosia
1. Distosia Karena Kelainan His 2. Distosia Karena Kelainan Presentasi, Posisi Atau kelainan Janin 3. Distosia Karena Kelainan Jalan Lahir Faktor resiko his : 1)
Usia dan paritas Terutama pada primigravida. Sekitar 95 % dari kasdus-kasus berat terjadi dalam persalinan pertama, dan uterus hampir selalu lebih efisien pada kehamilan berikutnya. Insidensi pada primigravida lanjut usia hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan pada wanita muda.
2) Kondisi emosi dan kejiwaan Dikatakan bahwa rasa takut meningkatkan tegangan pada segmen bawah uterus. Akan tetapi, ada wanita tenang yang mengalami persalinan sulit dan ada wanita yang amat emosional yang melahirtkan dengan mudah. Kebanyakan kelainan berat pada system saraf pusat tidak memberikan pengaruh yang merugikan pada persalinan. 3)
Kelainan uterus Yang pasti, kelainan congenital uterus, ute rus yang fungsinya tidak lengkap atau uterus bikornis akan mengganggu persalinan.
4)
Pecahnya ketuban Ketuban yang pecah sebelum serviks mendatar masih keras, tebal, dan tertutup tentu menghasilkan persalinan yang lama dan tidak efisien.
5)
Gangguan mekanis dalam hubungan janin dengan jalan lahir Bagian terendah yang menempel baik pada serviks dan segmen pada uterus pada kala I persalinan dan dengan vagina serta perineum pada kala II akan menghasilkan rangsangan reflex yang baik pada myometrium. Segala sesuatu yang menghalangi hubungan baik ini akan menyebabkan kegagalan reflex tersebut, dan akaibatnya timbullah kontraksi yang jelek. Hubungan antara posisi posterior, sikap
ekstensi dan posisi melintang yang macet (transverse arrest) dengan kerja urterus yang salah telah diketahui dengan baik. Mal posisi menyebabkan gangguan uterus, dan jika keadaan ini bias diperbaiki, meka kontraksi kerap kali menjadi lebih baik. Penurunan yang lambat dan pembebtujan bawah uterus tidak lengkap merupakan tanda dini inkoordinasi rahim. Disporsisi cephalopelvic dalam derajat yang ringan menjadi predisposisi timbuknya kerja uterus yang tidak koordinasi atau his hipertonik. 6) Iritasi uterus Rangsangan yang tidak tepat pada uterus oleh obat-obatan atau oleh tindakan manipulasi intrauterine dapat mengakibatkan his hipertonik (oksitosin yang berlebihan). Gilbert (2007) menyatakan beberapa faktor yang dicurigai dapat meningkatkan resiko terjadinya distosia uterus sebagai berikut: -
Bentuk tubuh (berat badan yang berlebihan, pendek)
-
Kondisi uterus yang tidak normal (malformasi kongenital, distensi yang berlebihan, kehamilan ganda, atau hidramnion)
-
Kelainan bentuk dan posisi janin
-
Disproporsi cephalopelvic (CPD)
-
Overstimulasi oxytocin
-
Kelelahan, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, dan kecemasan
-
Pemberian analgesik dan anastetik yang tidak semestinya
MANIFESTASI KLINIS DISTOSIA 1. Persalinan Disfungsional ( Distosia karena Kelainan Kekuatan)
a) Disfungsi Hipotonik
Waktu persalinan memanjang
Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah atau dalam jangka waktu pendek
Dilatasi serviks lambat
Membran biasanya masih utuh
Lebih rentan terdapatanya plasenta yang tertinggal
b) Disfungsi Hipertonik
Persalinan menjadi lebih singkat (partus presipitatus)
Gelisah akibat nyeri terus menerus sebelum dan selama kontraksi
Ketuban pecah dini
Distres fetal dan maternal Regangan segmen bawah uterus melampaui kekuatan jaringan sehingga dapat terjadi rupture.
2. Distosia karena Kelainan struktur Pelvis a) Bagian terbawah anak goyang dan tes osborn (+) b) Dijumpai kesalahan-kesalahan letak presentasi dan posisi c)
Fleksi kepala tidak ada, bahkan setelah persalinan dimulai
d) Sering dijumpai tali pusat terkemuka dan menumbung 3. Distosia karena kelainan letak dan bentuk janin
a) Kelainan letak, presentasi atau posisi
Posisi oksipitalis posterior persistens (presentasi belakang kepala, UUK dekat sacrum) 1. Posisi oksiput posterior berada di arah posterior dari panggul ibu. 2. Pada pemeriksaan abdomen, bagian bawah perut mendatar, ekstremitas
janin teraba anterior, DJJ terdengar di samping. 3. Pada pemeriksaan vagina, fontanela anterior dekat sakrum, fontanela
anterior dengan mudah teraba jika kepala dalam keadaan defleksi.
Letak sungsang 1. Pergerakan anak terasa oleh ibu dibagian perut bawah dibawah pusat
dan ibu sering merasa benda keras (kepala) mendesak tulang iga. 2. Pada palpasi teraba bagian keras, bundar dan melenting pada fundus
uteri. 3. Punggung anak dapat teraba pada salat satu sisi perut dan bagian-bagian
kecil pada pihak yang berlawanan. Diatas sympisis teraba bagian yang kurang budar dan lunak. 4. Bunyi jantung janin terdengar pada punggung anak setinggi pusat.
Letak lintang
Dengan inspeksi biasanya abdomen melebar kesamping dan fundus uteri membentang sedikit diatas umbilikus.
Ukuran tinggi fundus uterus lebih rendah tidak sesuai dengan umur kehamilan. Pada palpasi : -
Leopold 1 tidak ditemukan bagian bayi di daerah fundus uteri
-
Leopold 2 balotemen kepala teraba pada salah satu fosa iliaka dan bokong pada fosa iliaka yang lain
Leopold 3 & 4 memberikan hasil negative
Punggung mudah diketahui dengan palpasi, pada punggung anterior suatu dataran keras terletak melintang dibagian depan perut ibu. Pada punggung posterior bagian kecil dapat ditemukan pada tempat yang sama.
Bunyi jantung janin terdengar di di sekitar umbilikus
Presentasi ganda -
Keluhan kehamilan lebih sering terjadi dan lebih berat.
-
Tanda-tanda yang sering terlihat :
-
Ukuran uterus lebih besar dari kehamilan normal
-
Distensi uterus berlebihan, sehingga melewati batas toleransinya dan seringkali terjadi partus prematurus. Usia kehamilan makin pendek dan makin banyaknya janin pada kehamilan kembar.
-
Kenaikan berat badan ibu berlebihan.
-
Kebutuhan ibu akan zat-zat makanan pada kehamilan kembar bertambah sehingga dapat menyebabkan anemia dan penyakit defisiensi lain
-
Polihidramnion.
-
Palpasi yang meraba banyak bagian kecil janin.
-
Detak Jantung Janin lebih dari 1 tempat dengan perbedaan frekuensi sebesar > 8 detik per menit.
b) Kelainan bentuk janin
Hidrosefalus
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejalagejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial. Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu : -
Meliputi pembesaran kepala abnormal,
-
gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi.
-
Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama ke hidupan.
-
Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal.
-
Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa.
-
Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas.
-
Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis.
-
Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok.
-
Mata melihat kebawah, mudah terstimulasi, lemah dan kemampuan makan berkurang. Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:
-
Fontanel anterior yang sangat tegang.
-
Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
-
Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.
-
Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon).
Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia
respirasi).
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DISTOSIA
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien dystocia adalah sebagai berikut: a. Intrauterine Pressure Cathether Placement
Pemeriksaan dengan cara menempatkan perangkat yakni kateter ke dalam ruang amnion selama persalinan untuk mengukur kekuatan kontraksi uterus .Ujung kateter yang ditempatkan dalam ruang amnion tersebut kemudian terkoneksi oleh kabel. Kontraksi diukur dalam mmHg dan ditampilkan pada monitor dalam mode grafis yang disebut dengan Montevideo Unit (MVU).
MVU dihitung dengan mengukur intensitas atau amplitudo puncak (dalam mmHg ) untuk masing-masing kontraksi yang terjadi dalam sepuluh menit dan kemudian menjumlahkannya. Amplitudo kontraksi adalah perbedaan antara nada istirahat dan puncak kontraksi (dalam mmHg ). Misalnya, jika ada 3 kontraksi dalam 10 menit , memuncak 70 , 80 , dan 75 mmHg dari tekanan intrauterine, dan nada uterus dasar dari 10 mmHg, ini akan dihitung sebagai ( 70-10 ) + ( 80-10 ) + ( 75-10 ) = 60 +70 +65 = 195 MVUs. Kontraksi dinilai adekuat jika dinyatakan sebesar 200 MVUs per 10 menit. Sebuah persalinan spontan yang normal umumnya kurang dari 280 MVUs .
b. Kardiotokografi (CTG)
Alat Kardiotokografi (CTG) atau juga disebut Fetal Monitor merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan untuk tujuan melakukan pemantauan kesejahteraan dan kondisi kesehatan janin. Pemeriksaan umumnya dapat dilakukan pada usia kehamilan 79 bulan dan pada saat persalinan. Pemeriksaan CTG diperoleh informasi berupa signal irama denyut jantung janin (DJJ), gerakan janin dan kontraksi rahim. Pemeriksaan dengan kardiotokografi merupakan salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan oleh penyakit penyulit hipoksi janin dalam rahim. Pada dasarnya pemantauan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan hipoksi janin dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut dan akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut. Pada saat bersalin kondisi janin dikatakan normal apabila denyut jantung janin dalam keadaan reaktif, gerakan janin aktif dan dibarengi dengan kontraksi rahim yang adekuat. Kontraksi uterus dinyatakan adekuat jika mencapai 50-60 mmHg. Tekanan intrauterin <15 mmHg dapat dinyatakan sebagai inersia uteri hipotonis.
c.
Palpasi Abdomen
Palpasi abdomen bertujuan untuk mendapatkan data dasar yang diperlukan untuk menentukan presentasi janin dengan pemeriksaan Leopold. Selain itu, palpasi abdomen ini juga berguna untuk mengkaji kemajuan persalinan melalui pengkajian kontraksi uterus. Kontraksi uterus dapat dirasakan sebagai pengerasan di bawah dinding abdomen. Kontraksi diawali di daerah fundus kemudian menjalar ke bawah dan ke seluruh uterus seperti gelombang. Kontraksi terkeras terj adi di fundus dan melemah pada bagian uterus yang lain (dominan fundus). Oleh karena itu, kontraksi lebih mudah dipalpasi dengan meletakkan telapak tangan di bagian fundus. Pemeriksa dapat mengkaji frekuensi kontraksi dengan menetapkan lamanya jarak antara awitan kontraksi yang satu dengan yang lainnya. Tonus istirahat uterus juga harus diobservasi dengan mengkaji tonus di antara dua kontraksi. Dengan cara ini pemeriksa dapat menetapkan apakah kontraksi mengalami peningkatan lama, kuat dan frekuensinya, yang biasa terjadi pada persalinan normal. Kontraksi uterus dinyatakan baik jika te rdapat his yang kuat sekurangkurangnya 3 kali dalam 10 menit dan masing-masing lamanya >40 detik (Johnson, 2001). d. Pelvimetri Klinis
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaan yang penting untuk mendapatkan keterangan tentang keadaan panggul. panggul. Pada wanita dengan tinggi badan kurang dari 150 cm dapat dicurigai adanya kesempitan panggul. Pelvimetri dengan pemeriksaan dalam (manual) mempunyai arti yang penting untuk menilai secara agak kasar pintu atas panggul serta panggul tengah, dan untuk memberi gambaran yang jelas mengenai pintu bawah panggul. Dengan pelvimetri rontgenologik diperoleh gambaran yang jelas tentang bentuk panggul dan ukuran-ukuran dalam ketiga bidang panggul. Akan tetapi pemeriksaan ini
dalam masa kehamilan beresiko, khususnya bagi bagi janin. Menurut English James,dkkCT pelvimetri tingkat radiasinya terhadap janin lebih kurang sepertiga dari tingkat radiasi secara X-ray pelvimetri sehingga lebih aman penggunaannya, namun tetap saja membahayakan janin. Oleh sebab itu tidak dapat dipertanggung jawabkan untuk menjalankan pelvimetri rontgenologik secara rutin pada masa kehamilan, kecuali atas indikasi yang kuat. e. USG
USG (Ultrasonography) adalah alat bntu diagnostik yang sangat berguna untuk memantau keadaan janin selama masa kehamilan. USG bekerja dengan cara menghantarkan gelombang suara yang memiliki frekuensi antara 3,5 - 7,0 MegaHrtz (MHz) ke janin atau pembulu darah dan akan dipantulkan kembali dalam bentuk gambar yang dapat kita lihat di monitor USG. Dengan USG dapat diketagui struktur jaringan janin dengan baik. Instrumen ini berbeda dengan sarana diagnostik lain, seperti X-Ray dan CT-Scan yang memiliki tingkat radiasi yang tinggi. USG tidak memberikan efek reaksi ionisasi terhadap tubuh, sehingga tidak merusak jaringan. Hingga saat ini belum ada laporan adanya efek biologis merugikan yang ditimbulkan oleh pemeriksaan USG pada kehamilan. USG dalam kehamilan memiliki fungsi utama yaitu untuk mengetahui lokasi kehamilan/ janin, jumlah janin, serta keadaan organ kelamin ibu bagian dalam, seperti bentuk rahim dan kedua indung telur. Selain itu USG juga dapat digunakan untuk memeriksa konfirmasi kehamilan, usia kehamilan, pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan, adanya ancaman keguguran, masalah pada plasenta, kemungkinan kehamilan kembar, volume cairan ketuban, kelainan letak letak janin dan jenis kelamin bayi.
PENATALAKSANAAN MEDIS UNTUK SETIAP KLASIFIKASI DISTOSIA
Distosia karena kelainan his ( power )
1. Inersia Uteri Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin , turunnya bagian terbawah janin dan keadaan panggul. Kemudian buat rencana untuk menentukan sikap dan janin yang akan dikerjakan, misalnya pada lettak kepala :
a.
Berikan oksitosin drips 5-10 satuan dalam 500 cc dekstrosa 5 , dimulai dengan 12 tetes permenit, dinaikkan setiap 10-15 menit sampai 40-50 tetes permenit. Maksud dari pemberian oksitosin adalah supaya serviks dapat membuka.
b. Pemberian oksitosin tidak usah terus menerus, sebab bila tidak memperkuat his setelah pemberian lama, hentikan dulu dan ibu dianjurkan beristirahat. Pada malam hari berikan obat penenang misalnya valium 10 mg dan esoknya dapat diulang lagi pemberian oksitosin drips. c.
Bila inersia disertai dengan disproporsi sefalopelvis, maka sebaiknya dilakukan seksio sesarea.
d. Bila semula his kuat tetapi kemudian terjadi inersia uteri sekunder, ibu lemah, dan partus telah berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan 18 jam j am pada multi, tidak ada gunanya memberikan oksitosin drips; sebaiknya partus segera diselesaikan sesuai dengan hasil pemeriksaan dan indikasi obstetrik lainnya ( ekstraksi vakum atau forsep, atau seksio sesarea ) 2. Tetania Uteri a.
Berikan obat seperti morfin, luminal, dan sebagainya, asal janin tidak akan lahir dalam waktu dekat ( 4-6 jam ) kemudian.
b. Bila ada tanda-tanda obstruksi, persalinan harus segera diselesaikan dengan seksio sesarea c.
Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena janin lahir tibatiba dan cepat.
3. Aksi Uterus Inkoordinasi a.
Untuk mengurangi rasa takut, cemas, dan tonus otot, berikan obat-obat anti sakit dan penenang ( sedativa dan anlgetika ) seperti morfin, petidin, dan valium.
b. Apabila persalinan sudah berlangsung lama dan berlarut-larut, selesaikanlah partus menggunakan hasil pemeriksaandan evaluasi, dengan ekstraksi vakum, forsep, atau seksio sesarea.
Distosia perubahan panggul
Sebenarnya panggul hanya merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah anak dapat lahir spontan atau tidak, disamping banyak faktor lain yang memegang peranan dalam prognosa persalinan.
Bila conjugata vera 11 cm dapat dipastikan partus biasa, dan bila ada kesulitan persalinan, pasti tidak disebabkan faktor panggul. Untuk C.V kurang dari 8,5 cm dan anak cukup bulan tidak mungkin melewati panggul tersebut. a) C.V = 8,5 -10 cm dilakukan partus percobaan yang kemungkinan berakhir dengan partus spontan atau dengan ekstraksi vakum-ekstraksi forsep, atau ditolong dengan seksio sesarea sekunder atas indikasi obstetrik lainnya. b) C.V = 6-8,5 cm dilakukan S.C primer c)
C.V = 6 cm dilakukan S.C primer induk Disamping hal-hal tersebut di atas juga tergantung pada :
-
His atau tenaga yang mendorong anak
-
Besarnya janin, preentasi, dan proporsi janin
-
Bentuk panggul
-
Umur ibu dan pentingnya anak
-
Penyakit ibu
Penatalaksanaan distosia karena sebab sebab janin
1. Pertumbuhan janin yang berlebihan a. Pada disproporsi sefalo dan feto pelvis yang sudah diketahui dianjurkan seksio cesarean b. Pada kesukaran melahirkan bahu dan janin hidup dilakukan episiotomy yang cukup lebar dan janin diusahakan lahir, atau bahu diperkecil dengan melakukan kleidotomi unilateral atau bilateral. Setelah dilahirkan dijahit kembali dengan baik dan untuk cedera postkleidotomonya konsulkan pada bagian bedah. c.
Apabila janin meninggal lakukan embriotomi
2. Hidrosefalus a. Kepala janin yang besar dikecilkan dengan jalan melakukan pungsi siterna pada pembukaan 3 – 4 cm. caranya adalah dengan menggunakan jarum pungsi spinal yangbesar cairan dikeluarkan sebanyak mungkin dari dalam ventrikel. Jarum dimasukkan dengan tuntunan tentang supaya tidak salah jalan atau melukai j alan lahir. b. Kalau pembukaan lengkap kerjakan perforasi atau kranioklasi. Pada letak sungsang akan terjadi after coming head, dilakukan perforasi dari foramen ovale
untuk mengeluarkan cairan. Biasanya sesudah kepala jadi kecil janin akan mudah dilahirkan 3. Monster / kelainan bentuk janin Kadang – kadang masih dapat diusahakan kelahiranb pervaginan baik secara biasa ataupun dengan vaginal operatif, tetapi bila usaha ini tidak berhasil atau ada indikasi obstetric lainnya dapat dilakukan sectio cesarea.
Penatalaksanaan kelainan letak dan posisi janin
1. Letak defleksi / letak kepala tengadah
Presentase puncak kepala Kepala janin akan lahir dalam keadaan muka dibawa simfisis dengan mekanisme sebagai berikut: Mekanisme -
Setelah kepala mencapai dasar panggul dan ubun-ubun besar berada dibawah simfisis, dengan ubun-ubun besar tersebut sebagai hipomoklion,oksiput akan lahir melalui perineum,diikuti bagian kepala y ang lain. Kelahiran janin dengan ubun-ubun kecil dibelakang menyebabkan regangan yang besar pada vagina dan perineum, hal ini disebabkan karena kepala yang sudah dalam keadaan fleksi maksimal tidak menambah fleksinya lagi. Fleksi kepala yang tidak maksimal dapat mengakibatkan kepala lahir melalui pintu bawah panggul dengan sirkumferensia frontooksipitalis yang lebih
besar dibandingkan
dengan sirkumferensia suboksipsto brekmatika.Kedua keadan tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada vagina dan perineum yang luas. Penanganan : -
Dilakukan pengawasan persalinan yang seksama dengan harapan dapat lahir spontan.
-
Dilakukan ekstraksi vacum atau cunam.
-
Dilakukan episiotomi medio lateral
Presentase muka Mekanisme persalinan -
Mula – mula terjadi penempatan dahi, kemudian defleksi bertambah
-
Garis muka dan letak muka
-
Mulut lebih dahulu di vulva, dengan le her atas sebagai hipomoklion, kemudian terjadi gerakan fleksi, maka lahirlah berturut – turut hidung, mata, dahi, UUB, dan UUK.
-
Lingkaran kepala pada letak muka ialah : planum trachea perietale = 36cm
-
Persalinan akan berlangsung lebih lama, tetapi 80% akan terjadi persalinan spontan
Penanganan -
Bila dagu tidak berada didepan maka bisa diharapkan partus spontan
-
Bila selama pengamatan kala II terjadi posisi mento posterior persistens maka diusahakan lebih dahulu untuk memutar dagu kedepan dengan satu tangan yang dimasukan kedalam vagina. Apabila tidak berhasil atau di dapatkan disproporsi sefalopelvik sebaiknya dilakukan tindakan seksio caesaria. -
Dapat juga di coba untuk mengubah presentase muka menjadi presentase belakang kepala dengan cara
memasukan tangan penolong
kedalam
vagina,kemudian menekan muka pada daerah mulut dan dagu atas. -
Dapat juga dipakai perasat Thorn : Bagianbelakang kepala dipegang oleh tangan penolong
yang
kebawah,sedangkan
dimasukan kedalam vagina kemudian ditarik
tangan yang lain berusaha meniadakan
ekstensi
tubuh janin dengan menekan dada dari luar. -
Dalam persalinan bila dilakukan pemeriksaan dalam,pada pembukaan yang cukup besar akan teraba : orbita, hidung, tulang pipi, mulut dan dagu
-
Dalam mengubah presetase muka menjadi presentase belakang kepala ada syarat yang harus dipenuhi yaitu dagu harus berada dibelakang dan kepala belum turun kedalam rongga panggul dan masih mudah didorong ke atas
Terapi aktif
-
Pada pembukaan lengkap, lakukan versi dan ekstraksi vakum/ forsep
-
Bila pembukaan masih kecil, lakukan section cesarea
-
Pada primigravida, lakukan section cesarean
Presentasi Dahi Mekanisme persalinan
Kepala memasuki panggul biasanya dengan dahi melintang, atau miring. Pada waktu putar paksi, dahi memutar ke depan. Maxilla (fosa canina) sebagai hipomokhlion berada dibawah simfisis, kemudian te rjadi fleksi untuk melahirkan belakang kepala melewati perineum, lalu defleksi maka lahirah mulut dagu dibawah simfisis. Lingkaran kepala memasuki panggul : plan maxillo parietale = 35cm, atau diameter mento-occipitalis = 12,5cm. 2. Letak belakang kepala melingtang -
Observasi dan tunggu, karena kalau his kuat terjadi putaran UUK ke depan dan janin lahir spontan
-
Ibu diminta berbaring kea rah punggung janin
-
Dapat dicoba memutar UUK ke depan dengan koreksi manual, caranya ibu jari diletakkan pada UUK, jari – jari lainnya pada oksiput lalu dicoba reposisi sehingga UUK berada dibawah simfisis
-
Coba dengan pemberian uterotonika, bila his lemah
3. Letak tulang ubun-ubun (POSITIO OCCIPUT DIRECTA) -
Observasi persalinan dengan teliti karena masih dapat lahir spontan.
-
Bisa dicoba manual correction
-
Bila syarat terpenuhi lakukan versidan ekstraksi
-
Bila anak mati lakukan embriotomi
-
Seksio cesarean dapat dilakukan jika da indikasi
4. Letak sungsang Mekanisme persalinan -
Mekanisme persalinan hampir sama dengan keadaan ketika posisi kepala janin di p.a.p hanya saja bedanya pada keadaan sperti ini yang berada pada p.a.p adalah bagian bokong
-
Persalinan berlangsung lama, karena bokong dibandingkan kepala lebih lembek, jadi kurang kuat menekan sehingga pembukaan agak lama
-
Bokong masuk p.a.p dengan garis pangkal paha melintang atau miring
-
Dengan turunnya bokong , terjadi putar sehingga di dasar panggul garis pangkal paha letaknya menjadi muka belakang.
-
Dengan trochanter depan sebagai hipomoklion (dibawah simfisis), terjadi latero – fleksi tubuh janin (punggung), sehingga trochanter belakang melewati
perineum. -
Setelah bokong lahir diikuti kedua kak, kemudian terjadi sedikit rotasi untuk memungkinkan bahu masuk p.a.p dalam posisi melintangatau miring.
-
Lahu bahu depan dibawah simfisis dan bahu belakang lahir
-
Kemudian kepala dilahirkan
Penanganan -
Sikap sewaktu hamil Karena kita tahu bahwa prognosa anak tidak begitu baik, maka usahakan merubah letak janin dengan versi luar, tujuanny adalah untuk merubah letak menjadi kepala, hal ini dilakukan pada primi dengan kehamilan 34 minggu, multi dengan usia kehamilan 36 bminggu, dan tidak ada panggul sempit, gemeli atau plasenta previa. Syaratnya adalah pembukaan kurang dari 5, Ketuban masih ada dan Bokong belum turun atau masuk p.a.p
Teknik a. Lebih dahulu bokong lepaskan dari p.a.p dan ibu berda dalam posisi Trendelenburg b. Tangan kiri letakkan di kepala dan tangan kanan pada bokong c.
Putar kea rah muka/ perut janin
d. Lalu tukar tangan kiri diletkakkan di bokong dan tangan kanan di kepala e. Setelah berhasil pang gurita, dan observasi tensi, djj serta keluhan f.
Pimpinan persalinan Cara berbaring : -
Litotomi sewaktu inpartu
-
Trendelenburg
Melahirkan bokong -
Mengawasi sampai lahir spontan
-
Mengait dengan jari
-
Mengait dengan pengait bokong
-
Mengait dengan tali sebesar kelingking
Ekstraksi kaki -
Ekstraksi pada kaki lebih mudah. Pada letak bokong janin dan dilahirkan dengan cara vaginal atau abdominal (seksio cesarea)
Cara melahirkan pervaginam Terdiri dari partus spontan ( pada letak sungsang janin dapat lahir secara spontan seluruhnya) dan manual aid (manual hilfe). Waktu memimpin partus dengan letak sungsang harus diingat bahwa ada 2 fase : Fase 1 : fase menunggu Sebelum bokong lahir seluruhnya, kita hanya melakukan observasi. Bila tangan tidak menjungkit ke atas (nuchee arm, persalinan akan mudah. Sebaiknya jangan dilakukan ekspresi Kristeller, karena hal ini akan memudahkan terjadinya nuchae arm. Fase 2 : fase untuk bertindak cepat Bila badan janin sudah lahir sampai pusat, tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul, maka janin harus lahir dalam waktu 8 menit. Untuk mempercepat lahirnya janin dapat dilakukan manual aid. Cara melahirkan bahu dan lengan -
Cara klasik (deventer) Pegang bokong dengan menggunakan ibu jari berdampingan pada os sacrum dari jari lain di lipat paha. Kemudian janin ditarik ke arah bawah, sehingga scapula berada dibawah simfisis. Lalu lahirkan bahu dan lengan belakang, kemudian lengan depan.
-
Cara lovset Setelah sumbu bahu janin berada dlam ukuran muka belakang, tubuhnya ditarik ke abwah lalu dilahirkan bhu beserta lengan belakang, kemudian lengan depan. Setelah itu janin diputar 90o sehingga bahu depan menjadi bahu belakang, lalu dikeluarkan seperti biasa.
-
Cara Mueller Tarik janin vertical ke bawah lalu dilahirkan bahu dan lengan depan. Cara melahirkan bahu – lengan depan bisa spontan atau dikait dengan satu
jari menyapu muka. Lahirkan bahu belakang dengan menarik kaki ke atas lalu bahu – lengan belakang dikait menyapu kepala. -
Cara bracht Bokong ditangkap, tangan diletakkan pada paha dan sacrum, kemudian janin ditarik ke atas. Biasanya hal ini dilakukan pada janin kec il dan multipara.
-
Cara potter Dikeluarkan dulu lengan dan bahu depan dengan menarik janin ke bawah dan menekan dengan 2 jari pada scapula. Badan janin diangkat ke atas untuk melahirkan lengan dan bahu belakang dengan menekan scapula belakang.
Cara melahirkan kepala -
Mauriceau (veit smellie) Masukkan jari – jari dalam mulut (muka mengarah ke kiri = jari kiri, mengarah ke kanan = jari kanan). Letakkan anak menunggang pada lengan sementara tangan lain memegang pada tengkuk, lalu tarik ke bawah sampai rambut dan kepala dilahirkan, kegunaan jari dan mulut, hanya untuk menambah fleksi kepala.
-
De snoo Tangan kiri menadah perut dan dada serta 2 jari diletakkan di leher (menunggang kuda). Tangan kanan menolong menekan di atas simfisis. Perbedaannya dengan mauriceau ialah disini tangan t idak masuk vagina.
-
Wigand martin – winckel Satu tangan (kiri) dalam jalan lahir dengan telunjuk dalam mulut janin sedang jari tengah dan ibu jari pada rahang bawah. Tangn lain menekan diatas simfisis atau fundus.
-
Naujoks Satu tangan memegang janin dari depan, tangan lain memegang leher pada bahu, tarik janin ke bawah dengan bantuan dorongan dari atas simfisi.
Cara praque terbalik
Dilakukan pada ubun – ubun kecil terletak sebelah belakang. Satu tangan memegang bahu janin dari belakang, tangan lain memegang kaki lalu menarik janin kea rah perut ibu dengan kuat. Cara reposisi tangn menjungkit (Nuchae Arms ) 1. Satu tangan menjungkit Janin diputar 90o kea rah mana tangan menunjuk, sehingga tangan akan terlepas menyapu kepala. 2. Kedua tangn menjungkit Untuk tangan pertama seperti diatas dan untu tangan kedua diputar berlawanan arah 180o.
ASUHAN KEPERAWATAN DISTOSIA
Pengkajian
1. Identitas Klien : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, agama, suku/bangsa. 2. Keluhan utama : proses persalinan yang lama menyebabkan adanya keluhan nyeri dan cemas. 3. Riwayat Kesehatan a. Riwayat Kesehatan Dahulu Yang perlu dikaji pada klien, biasanya klien pernah mengalami distosia sebelumnya, biasanya ada penyulit persalinan sebelumnya seperti hipertensi, anemia, panggul sempit, biasanya ada riwayat DM, biasanya ada riwayat kembar dll. b. Riwayat Kesehatan Sekarang Biasanya dalam kehamilan sekarang ada kelainan seperti : Kelainan letak janin (lintang, sunsang dll) apa yang menjadi presentasi dll. c.
Riwayat Kesehatan Keluarga Apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit kelainan darah, DM, eklamsi dan pre eklamsi
4. Pengkajian pola fungsional
5. Aktifitas/istirahat Melaporkan keletihan,kurang energi,letargi,penurunan penampilan 6. Sirkulasi Tekanan darah dapat meningkat,mungkin menerima magnesium sulfat untuk hipertensi karena kehamilan 7. Eliminasi Distensi usus atau kandung kemih yang mungkin menyertai 8. Integritas ego Mungkin sangat cemas dan ketakutan 9. Nyeri atau ketidaknyamanan Mungkin
menerima
narkotika
atau
anastesi
pada
awal
proses
kehamilan,kontraksi jarang,dengan intensitas ringan sampai sedang,dapat terjadi sebelum awitan persalinan atau sesudah persalinan terjadi,fase laten dapat memanjang, 10. Keamanan Serviks mungkin kaku atau tidak siap,pemeriksaan vagina dapat menunjukkan janin dalam malposisi,penurunan janin mungkin kurang dari 1 cm/jam pada nulipara atau kurang dari 2 cm/jam pada mutipara bahkan tidak ada kemajuan.,dapat mengalami versi eksternal setelah getasi 34 minggu dalam upaya untuk mengubah presentasi bokong menjadi presentasi kepala. 11. Seksualitas Dapat primigravida atau grand multipara,uterus mungkin distensi berlebihan karena hidramnion,gestasi multipel.janin besar atau grand multiparis. 12. Pemeriksaan Fisik 13. Kepala Rambut tidak rontok, kulit kepala bersih tidak ada ketombe 14. Mata Biasanya konjungtiva anemis 15. Thorak Inpeksi pernafasan : Frekuensi, kedalam, jenis pernafasan, biasanya ada bagian paru yang tertinggal saat pernafasan
16. Abdomen Kaji his (kekuatan, frekuensi, lama), biasanya his kurang semenjak awal persalinan atau menurun saat persalinan, biasanya posisi, letak, presentasi dan sikap anak normal atau tidak, raba fundus keras atau lembek, biasanya anak kembar/ tidak, lakukan perabaab pada simpisis biasanya blas penuh/ tidak untuk mengetahui adanya distensi usus dan kandung kemih. 17. Vulva dan Vagina Lakukan VT : biasanya ketuban sudah pecah atau belum, edem pada vulva/ servik, biasanya teraba promantorium, ada/ tidaknya kemajuan persalinan, biasanya teraba jaringan plasenta untuk mengidentifikasi adanya plasenta previa 18. Panggul Lakukan pemeriksaan panggul luar, biasanya ada kelainan bentukpanggul dan kelainan tulang belakang.
ANALISA DATA
Data
Etiologi
Masalah
Ds:
Kelainan HIS, jalan lahir, malformasi
Nyeri akut
mengeluh nyeri merintih
fetal ↓
Kelainan power/ kekuatan dan DO: Perubahan curah jantung Perubahan laju pernafasan
gangguan pada jalan lahir ↓
Kontraksi pelvic tidak efisien dalam pembukaan ↓
Pengeluaran janin terhambat ↓
Distosia ↓
Persalinan pervaginam
↓
Tekanan kepala janin pada serviks ↓
Luka pada serviks ↓
Nyeri akut Ds: -
Kelainan his, kelainan jalan lahir, Pasien
mengeluh
keletihan,
kurang
energi, letargi, sehingga kontraksi menurun -
Klien
↓
mengalami
Janin kesulitan melewati PAP ↓
Do:
Kontraksi Tonus otot miometrium kelainan
bentuk
panggul -
His
semenjak
persalinan
menurun
↓
atau
Kesulitan persalinan
saat
↓
persalinan
Partus lama
Frekuensi dan lamanya
↓
kontraksi kurang dari 3
Obstruksi mekanis pada penurunan
kontraksi per menit dan
/ pengeluaran janin
kurang dari 40 detik
↓
(inersi uteri). -
menurun / berhenti secara sekunder
kurang
awal
-
Pembukaan serviks dan kekuatan mendorong janin tidak adekuat
distosia sebelumnya
Ada
↓
mengatakan
pernah
-
kelainan bentuk dan jalan lahir
Terjadi
Risiko Tinggi Cedera Maternal
inersia
uteri
sekunder
(berhentinya
kontraksi
otot-otot
uterus secara sekunder).
Risiko Tinggi Cedera Maternal
-
Uterus
biasanya
mengalami karena
distensi
hidramnion
/
gemeli -
Terdapat tanda ruptur uteri imminens (karena ada obstruksi).
-
Adanya plasenta previa
-
Serviks kaku atau tidak siap untuk persalinan
-
Pembukaan serviks tidak melewati 3 cm sesudah 8
jam
in
partu
(perpanjangan
fase
laten) -
Penurunan janin kurang dari
1
cm/jam
nulipara dari
2
atau cm/jam
pada kurang pada
mutipara bahkan tidak ada kemajuan -
Pembukaan
serviks
lengkap tetapi kepala tetap pada posisinya ( dalam vagina) walau ibu mengedan mungkin,
sekuat tidak
kemajuan (kala II lama).
ada
penurunan
Ds
Kelainan HIS, jalan lahir, malformasi Ibu menanyakan kondisi
-
janin dan dirinya
fetal ↓
Do
-
Ansietas
Kelainan power/ kekuatan dan Wajah nampak cemas, gelisah dan letih
gangguan pada jalan lahir ↓
-
RR dan nadi meningkat
-
Pucat
-
TD meningkat
Kontraksi pelvic tidak efisien dalam pembukaan ↓
Pengeluaran janin terhambat ↓
Distosia ↓
janin sulit keluar ↓
persalinan memanjang ↓
Ibu cemas akan kondisi janin ↓
Ansietas Kelainan HIS, jalan lahir, malformasi
DS:
fetal ↓
Kelainan power/ kekuatan dan
DO: penekanan panggul partus lama DJJ abnormal
kepala
pada
gangguan pada jalan lahir ↓
Kontraksi pelvic tidak efisien dalam pembukaan ↓
Pengeluaran janin terhambat
Resiko tinggi cedera janin
↓
Distosia ↓
janin sulit keluar ↓
persalinan memanjang ↓
resiko cidera pada janin
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1. Diagnose: Nyeri akut b.d Perubahan curah jantung, Perubahan laju pernafasan, Laporan verbal terhadap nyeri, Prilaku ekspresif, seperti gelisah, merintih, meringis, kewaspadaan, lekas marah, mendesah Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri pasien berkurang Kriteria hasil NOC : Pain control No.
Indicator
1
1
Mengakui faktor kausa
2
Mengakui onset nyeri
3
Menggunakan langkah-langkah pencegahan
4
Menggunakan
langkah-langkah
bantuan
analgesik 5
Menggunakan analgesik yang tepat
Keterangan : 1. Never demonstrated 2. Rarely demonstrated 3. Sometimes demonstrated 4. Often demonstrated 5. Consistently demonstrated
non-
2
3
4
5
NOC : Pain level No.
Indicator
1
Lama nyeri
2
Ekspresi wajah terhadap nyeri
3
Diaphoresis
4
RR
5
TD
1
2
3
4
5
Ket: 1= severe 2= substantial 3= moderate 4= mild 5= none Intervensi: managemen nyeri 1. melakukan tidakan yang komprehensif mulai dari lokasi nyeri, karakteristik, durasi, frequensi, kualitas, intensitas, atau keratnya nyeri dan factor yang berhubungan. 2. observasi
isyarat
ketidak
nyamanan
khususnya
pada
ketidak
mamapuan
mengkomunikasikan secara efektif. 3. memberi perhatian perawatan analgesic pada pasien. 4. menggunakan strategi komunikasi terapeutik untuk menyampaikan rasa sakit dan menyampaikan penerimaan dari respon pasien ter hadap nyeri. 5. mengeksplorasi pengetahuan pasien dan keyakinan tentang rasa sakit. 6. mempertimbangkan pengaruh budaya pada respon nyeri. 7. menentukan dampak dari pengalaman rasa sakit dari pengalaman nyeri pada kualitas hidup (tidur, nafsu makan, aktivitas, kognisi, mood, hubungan, kinerja kerja, dan tanggung jawab peran). 8. memberi tahu pasien tentang hal-hal yang dapat memperburuk nyeri 9. kaji pengalaman nyeri klien dan keluarga, baik nyeri kronik atau yang menyebabkan ketidaknyamanan 10. ajarkan prinsip manajemen nyeri
11. ajarkan tentang metode farmakologis mengenai gambaran nyeri 12. ajarkan penggunaan teknik non farmakologi, seperti relaksasi, terapi music, terapi bermain, terapi aktifitas, sebelum,sesudah,dan jika memungkinkan selama nyeri berlangsung, sebelum nyeri itu terjadi atau meningkat dan lama dengan gambaran nyeri lainnya. 2. Diagnosa: Risiko Tinggi Cedera Maternal partus lama, intervensi penanganan distosia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam risiko cedera maternal pada ibu berkurang dengan kriteria Hasil : NOC : Maternal Status : Intrapartum No.
Indicator
1
Frekuensi kontraksi uterus
2
Durasi kontraksi uterus
3
Intensitas kontraksi uterus
4
Progresi dilatasi serviks
1
2
3
4
5
Interverensi : Labor Induction 1. Review obstetrical history for pertinent information that may influence induction 2. Monitor maternal and fetal vital sign before induction 3. Perform or assist with application of mechanical or pharmacological agents (e.g. laminaria and prostaglandin gel) to enhance cervical readiness 4. Observe for onset or change in uterine activity 5. Initiate IV medication (oxytocin) to stimulate uterine activity 6. Monitor labor progress closely, being alert 3. Diagnosa: Anxietas b.d ancaman kematian ditandai dengan gelisah dan rasa nyeri yang meningkatkan ketidakberdayaan Tujuan : setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x 24 jam, rasa cemas klien dapat teratas Kriteria hasil : NOC : Pain level : overall rating
No.
Indicator
1.
Panic attack
2.
Verbalized anxiety
3.
Fatique
1
2
3
4
5
Keterangan : 1 = severe 2 = substantial 3 = moderate 4= mild 5 = none Interverensi
jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan
berikan pengertian kepada pasien mengenai stress tinggi yang dialaminya
berikan informasi yang factual mengenai diagnosis pasien, treatment dan diagnosis
temani pasien disampingnya
bangun atmospir yang membuat kepercayaan pasien pada perawat tinggi
identifikasi perubahan level cemas pasien
instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
4. Diagnosa: risiko tinggi cedera janin yang b.d penekanan kepala pada panggul, partus lama, dan CPD Tujuan umum: cedera pada janin dapat dihindari Tujuan khusus: -
DJJ dalam batas normal
-
Kemajuan persalinan baik
Intervensi: Mandiri a.
Melakukan maneuver Leopold untuk menentukan posisi janin dan presentasi
b. Dapatkan data dasar DJJ secara manual dan/atau elektronik. Pantau dengan sering, perhatikan variasi DJJ dan perubahan periodic pada respons terhadap kontraksi uterus
c.
Catat kemajuan persalinan
d. Inspeksi perineum ibu terhadap kutil vagina, lesi herpes, atau rabas klamidial e. Catat DJJ bila ketuban pecah setiap 15 menit f.
Posisi ibu miring ke arah posisi punggung janin
g.
Siapkan untuk pemindahan rumah sakit sesuai indikasi bila ibu di rumah atau pusat kelahiran alternative
Rasional: a.
Berbaring transversal atau presentasi bokong memerlukan kelahiran caesarea. Abnormalitas lain seperti presentasi wajah, dagu, dan posterior juga dapat memerlukan intervensi khusus untuk mencegah persalinan yang lama.
b. DJJ harus direntang dari 120-160 dengan variasi rata-rata, percepatan dengan variasi rata-rata, percepatan dalam respons terhadap aktivitas maternal, gerakan janin, dan kontraksi uterus c.
Persalinan lama/disfungsional dengan perpanjangan fase laten dapat menimbulkan masalah kelelahan ibu, stress berat, infeksi berat, dan hemoragi karena atonia/rupture uterus, menempatkan janin pada resiko lebih tinggi terhadap hipoksia dan cedera
d. Penyakit hubungan kelamin yang didapat oleh janin selama proses melahirkan dianjurkan persalinan dengan seksio caesaria. Khususnya ibu dengan virus herpes simplek tipe II e. Perubahan pada tekanan cairan amnion dengan rupture atau variasi deselerasi DJJ setelah robek dapat menunjukkan kompresi tali pusat yang menurunkan transfer oksigen ke janin. f.
Meningkatkan perfusi plasental mencegah sidrom hipotensif telentang
g.
Gangguan status fetal atau identifikasi kondisi maternal memerlukan observasi lebih ketat dan dapat menandakan kebutuhan intervensi terapeutik
DAFTAR PUSTAKA
Reeder, et al. 2012. Keperawatan Maternitas : Kesehatan Wanita, Bayi, Lansia, & Keluarga Volume: 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Yuli kusumawati. 2006.faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap persalinan dengan tindakan (studi kasus di RS. Dr. Moewardi Surakarta Doenges, Marilyn E dan Mary Frances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi. Jakarta:EGC. Manuaba. 2007. Pengantar kuliah obstetrik . Jakarta : EGC Sastrawinata, Sulaiman. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi . Jakarta: EGC Depkes RI. 2004. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta :Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi Achadiat, Chrisdiono. 2004. Prosedur tetap obstetric dan ginekologi. Jakarta : EGC Bulechek,Gloria M, dkk. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC). United States of America: Mosby. Chandranita, ida ayu, dkk. 2009. Buku ajar patologi obstetric untuk mahasiswa kebidanan. Jakarta:EGC. Chandranita, ida ayu, dkk. 2009. Memahami kesehatan reproduksi wanita. Jakarta:EGC. Doenges, Marilyn E dan Mary Frances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi . Jakarta:EGC. Farrer, Helen. 2001. Perawatan meternitas edisi II. Jakarta: EGC. Herdman, T. Heather. 2009. NANDA International Nursing Diagnoses : Definition & Classification 2009-2011. United Kingdom : Wiley-Blackwell. Mckinney, Emily Slone, dkk. 2009. Maternal Child Nursing. Canada: Library of Congress Catologing in Publication Data. Moorhead, Sue, dkk. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). United States of America: Mosby.