UNIVERSITAS INDONESIA
PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
(STUDI PADA NEGARA INDONESIA)
MAKALAH
POKOK BAHASAN PERTEMUAN KEDUA
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk Mata Kuliah Pajak Internasional
Dosen Pengampu: Drs. Iman Santoso M.Si.
DINA AMALIA INDRIYATI (1406621191)
NATHASYA MARTA NINGRUM (1406621065)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal
Depok
Maret 2017
ABSTRAK
Transaksi antarnegara membuat dunia semakin menyatu dan mengecil yang
disebabkan oleh adanya saling terkait dan saling bergantung satu sama lain.
Permasalahan pajak antarnegara terkait dengan perbedaan azas-azas
perpajakan yang dianut sehingga menimbulkan adanya pemungutan pajak yang
lebih dari satu kali di negara yang berbeda. Maka, dalam meminimalisasi
pajak berganda, diperlukan perjanjian penghindaran pajak berganda.
Indonesia lebih mengarah ke UN Model yang kepentingan Indonesia sebagai
negara berkembang telah tercermin dalam model tersebut dan secara teoritis
ketentuan dalam UN Model mengikuti perkembangan dari OECD Model. Di
Indonesia, P3B ditetapkan dan disahkan oleh Keputusan Presiden sehingga
menganut aliran monoist dan bersifat lex specialis derogat lex generali
dari UU PPh dan apabila ada konflik antara P3B dengan hukum domestik maka
yang berlaku adalah P3B (tax treaty superceeding domestic laws). Selain
itu, Negara Indonesia memiliki variasi dalam kewenangan untuk mengelola
pajak pada P3B dengan negara lain, yaitu hak pemajakan penuh, pemberian hak
pemajakan terbatas, dan pelepasan hak pemajakan
Kata Kunci:
Pajak Berganda, Pajak Internasional, Perbandingan Model P3B, Tahapan
Negosiasi P3B, Interpretasi P3B, Kedudukan P3B atas Undang Undang Domestik
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.......................................................................
........................i
ABSTRAK.....................................................................
.........................................ii
DAFTAR
ISI.........................................................................
................................iii
DAFTAR
GRAFIK......................................................................
.........................iv
DAFTAR
TABEL.......................................................................
...........................v
BAB 1
PENDAHULUAN.................................................................
.....................1
1.1 Latar
Belakang....................................................................
...............................1
1.2 Pokok
Permasalahan................................................................
..........................2
BAB 2 KERANGKA
TEORI.......................................................................
.........4
2.1 Pajak Berganda
Internasional...............................................................
..............4
2.2 Perjanjian Pajak Berganda
Internasional...........................................................6
2.3 Perbandingan Model P3B (UN dan OECD
Model)...........................................9
2.3.1 Sejarah Model
P3B............…………………………............................10
2.3.2 Model UN.....................................…………………………………….14
2.3.3 Model OECD...............................………………………………....…..14
2.4 Tahapan Negosiasi
P3B.........................................................................
..........15
2.5 Interpretasi
P3B.........................................................................
.......................16
2.5.1 Vienna Conviction on the Law of Treatise……………………………16
2.5.2 Model OECD dalam Perjanjian Perpajakan…………………………...18
2.5.3 Interpretasi menggunakan Definisi dalam Model OECD Pasal 3 (1)…19
2.6 Kedudukan P3B atas Undang Undang Domestik
............................................23
BAB 3 ANALISIS DI NEGARA
INDONESIA.................................................28
3.1 Penerapan Model P3B di
Indonesia.................................................................28
3.2 Tahapan Negosiasi P3B yang dilakukan oleh
Indonesia...........................…..34
3.3 Hukum P3B dengan Hukum Domestik di
Indonesia.......................................37
3.4 Hak Pemajakan Negara Indonesia dengan an Another Contracting
States.....40
BAB 4
PENUTUP.....................................................................
............................42
4.1
Simpulan....................................................................
......................................42
4.2
Saran.......................................................................
..........................................42
DAFTAR
PUSTAKA.....................................................................
......................44
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Angka Ekspor dan Angka Impor Tahun 1994 dan Tahun 1995 (dalam
jutaan
US$)........................................................................
.......................................2
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ketentuan yang Diterapkan antara P3B dan Undang Undang
Domestik.......................................................…............
...........................................7
Tabel.2. Perbedaan Indonesia Model, UN Model 2011 dan OECD Model
2014.......................................………………………………………..................
...29
Tabel 3. Daftar Negara Mitra P3B
Indonesia.........................………………........34
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendapatan Negara Indonesia paling besar sampai saat ini berdasarkan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) merupakan
pajak. Pajak merupakan suatu kontribusi wajib masyarakat untuk negara yang
diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945). Bentuk pengesahan hukum ini sebagai wujud agar pajak
tidak dianggap sebagai pencurian atas kekayaan pribadi yang mampu melanggar
hak asasi manusia. Hal ini pun sejalan dengan motto Amerika dan Inggris
sejak abad 108 menyatakan "tax without representation is a robbery". Oleh
sebab itu, pajak merupakan suatu persetujuan dari masyarakat untuk
'memajaki' dirinya sendiri di negara tersebut. Dengan terjaminnya
pemungutan pajak oleh Undang Undang Dasar 1945, negara dapat memaksakan
warganya untuk membayar pajak karena sudah menjadinhukum positif. Di
Indonesia terdapat Undang Undang Ketentuam Umum dan Tata Cara Pemajakan,
Undang Undang Pajak Penghasilan, Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Undang Undang Pajak
Bumi dan Bangunan, Undang Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,
Undang Undang Bea Meterai, Undang Undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa, Undang Undang Pengadilan Pajak, dan Undang Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Keberadaan pajak sebagai hukum positif di Negara Indonesiamenjadi suatu
masalah ketika adanya transaksi antarnegara. Transaksi antarnegara membuat
dunia semakin menyatu dan mengecil yang disebabkan oleh adanya saling
terkait dan saling bergantung satu sama lain, seperti pertukaran barang,
migrasi sumberdaya manusia, transaksi jasa lintas perbatasan, arus modal
serta pembiayaan antarnegara, dan arus informasi[1]. Peningkatan
perdagangan internasional Negara Indonesia dapat dilihat dari kenaikan
ekspor dan impor yang telah dirangkum dalam Grafik 1.
Grafik 1. Angka Ekspor dan Angka Impor Tahun 1994 dan Tahun 1995 (dalam
jutaan US$)
sumber: Gunadi (2007), diolah kembali oleh penulis
Disisi lain, adanya pertimbangan ekonomis dalam melakukan transaksi
antarnegara, yaitu keduabelah pihak mendapatkan manfaat serta keuntungan
dan ini sesuai dengan prinsip ekonomi menyatakan "trade can make everyone
better off because trade allows each person to specialize in the activities
he or she does best"[2].
Transaksi antarnegara menyebabkan iklim perekonomian internasional
menjadi tidak kondusif karena setiap negara memiliki hukum untuk negaranya
sendiri, terutama aturan mengenai pengenaan pajak karena pajak dikenakan
atas setiap aktivitas manusia, seperti penghasilan yang diterima atau
diperoleh dan transaksi perdagangan. Undang undang domestik yang ada di
tiap negara mampu menimbulkan masalah pemajakan secara berganda sehingga
dapat menghambat perdagangan yang nantinya akan menimbulkan distorsi
ekonomi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi negara.
1.2 Pokok Permasalahan
Timbulnya transaksi internasional didorong karena adanya aspek pajak
antar kedua belah negara atas satu transaksi. Indonesia adalah negara
berdaulat yang mempunyai kewenangan untuk mengatur orang, barang, atau
obyek yang berada didalam kekuasaannya, tak terkecuali yuridiksi terkait
dengan pemungutan pajak yang merupakan konsekuensi dari negara yang
berdaulat[3]. Yuridiksi domestik dilandasi pada azas-azas perpajakan yang
dianut negara tersebut[4]. Permasalahan pajak antarnegara terkait dengan
perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut sehingga menimbulkan adanya
pemungutan pajak yang lebih dari satu kali di negara yang berbeda. Pajak
berganda dapat muncul apabila berdasarkan undang undang domestik di masing-
masing negara seseorang dianggap menjadi penduduk di kedua negara (dual
resident)[5]. Maka, dalam meminimalisasi pajak berganda, diperlukan
interpretasi yang sama melalui suatu persetujuan bersama antarnegara
terkait dengan yuridiksi pemajakan negara asal dengan negara yang melakukan
transaksi melalui perjanjian penghindaran pajak berganda (selanjutnya
disebut P3B).
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda dapat muncul apabila berdasarkan undang undang domestik
di masing-masing negara seseorang dianggap menjadi penduduk di kedua negara
(dual resident)[6]. Secara definitif, menurut Knechtle yang dikutip oleh
Gunadi, pajak berganda dibedakan dalam arti luas maupun arti sempit[7].
Definisi pajak berganda dalam arti luas meliputi setiap bentuk pembebanan
pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda
(double taxation) atau lebih (multiple taxation) atas suatu fakta fiskal
(subyek dan/atau obyek pajak) sehingga tidak mempertimbangkan penyebab dari
pembebanan ganda atau beberapa kali tersebut berasal dari kombinasi antara
pajak dan pungutan lainnya atau karena kombinasi dari berbagai jenis pajak
atau disebabkan oleh pembebanan pajak secara bersamaan oleh administrasi
pajak yang sama atau berbeda. Namun, dalam arti sempit, semua kasus
pemajakan beberapa kali terhadap suatu subyek dan/atau obyek pajak dalam
satu administrasi pajak yang sama disebabkan oleh pemajakan secara vertikal
(pemerintah pusat dan daerah), horizontal (antarpemerintah daerah), atau
diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengan provinsi lainnya).
Pemajakan atas aspek internasional termasuk dalam pengertian secara luas
dari pajak berganda.
Ada dua penyebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu secara
ekonomis dan secara yuridis[8]. Pajak berganda internasional yang
disebabkan secara ekonomis terjadi ketika suatu penghasilan yang sama
dikenakan pajak lebih dari satu kali di negara tersebut dan/atau oleh lebih
dari satu negara, contohnya pengenaan atas keuntungan perusahaan.
Keuntungan perusahaan (net income) dikenakan pajak penghasilan atas badan
yang kemudian net income after tax dibagikan kepada pemilik saham
perusahaan tersebut. Apabila pemilik saham
berada di luar negeri maupun di negara itu sendiri, dividen yang berasal
dari net income tax akan dikenakan pajak penghasilan atas dividen. Namun,
Miller menyatakan bahwa fokus dari pajak berganda internasional disebabkan
atas yuridiksi. Pajak berganda internasional yang disebabkan secara yuridis
terjadi ketika pajak atas satu transaksi antarnegara dikenakan lebih dari
satu negara. Hal ini terkait dengan penentuan yuridiksi pemajakan atas azas
sumber atau azas domisili (residence).
Perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut yuridiksi domestik dalam
transaksi antarnegara menimbulkan adanya pemungutan pajak yang lebih dari
satu kali di negara yang berbeda. Ada tiga jenis konflik yuridiksi yang
melatarbelakangi terjadi pengenaan pajak berganda secara internasional,
yaitu[9]:
a) Konflik antara azas domisili dengan azas sumber
Azas domisili merupakan pengenaan pajak oleh negara karena orang pribadi
atau badan tersebut berdomisili di negara yang bersangkutan atau karena
status kewarganegaraannya sedangkan azas sumber menyatakan negara berhak
mengenakan pajak karena orang pribadi atau badan memperoleh penghasilan
yang berasal dari negara tersebut[10]. Konflik ada ketika satu negara
menganut azas domisili dan negara lainnya menganut asas sumber
b) Konflik karena perbedaan definisi penduduk
Konflik ini terjadi ketika pribadi atau badan dalam melakukan transaksi
internasional dianggap sebagai penduduk di kedua negara tersebut. Konflik
mengenai kependudukan ganda (dual resident) ini biasanya terjadi atas orang
pribadi sedangkan pengurus badan hukum biasanya berada di negara pada saat
badan tersebut didirikan. Konflik ini terkait dengan azas domisili
seseorang atau badan di kedua negara tersebut.
c) Perbedaan definisi tentang sumber penghasilan
Apabila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai
penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Konflik ini terkait dengan azas
sumber yang diberlakukan di kedua negara tersebut.
Konflik yang mengakibatkan terjadinya tambahan jumlah pajak yang harus
dipikul ini memicu adanya tindakan penghindaran pajak berganda. Akibat dari
penghindaran pajak berganda adalah tiap negara yang melakukan transaksi
internasional melakukan eliminasi terhadap pajak berganda internasional
melalui beberapa pendekatan, yaitu[11]:
a) Unilateral (sepihak)
Unilateral merupakan pencantuman ketentuan penghindaran pajak berganda
internasional didalam undang undang domestiknya untuk setiap negara yang
mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh atau diterima
subyek dalam negeri, seperti pembebasan pajak atas penghasilan luar negeri
atau mengecualikan dari pajak atas penghasilan luar negeri. Pendekatan ini
cenderung hanya memberikan keringanan pajak berganda internasional secara
sepihak.
b) Bilateral (antardua negara)
Pendekatan ini didasarkan pada kesepakatan antarnegara pemegang yuridiksi
pemajakan. Kesepakatan tersebut dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian
yang ditandatangani oleh pemerintah kedua negara. Apabila adanya keringanan
pada perjanjian internasional dibandingkan undang undang domestik maka yang
berlaku adalah perjanjian internasional tersebut.
c) Multilateral (beberapa negara secara serempak)
Multilateral hampir menyerupai bilateral namun diterapkan lebih dari dua
negara. Penerapan pendekatan multilateral ini biasanya digunakan untuk
negara-negara yang berada dalam satu kawasan, seperti Uni-Eropa.
2.2 Perjanjian Pajak Berganda Internasional
Sejak abad ke-19, tiap negara sudah melakukan perjanjian bilateral
dengan tujuan menghindari pajak berganda. Awalanya, hanya negara-negara
federal yang melakukan perjanjian ini, seperti antara Prussia dan Saxony
terkait dengan pajak langsung (direct taxes), Austria dengan Hungaria
terkait dengan pajak atas keuntungan bisnis, dan sebagainya lalu setelah
perang dunia pertama, adanya peningkatan jumlah tax treaties dan menyebar
luas di Eropa. Studi komprehensif mengenai konsekuensi dari pajak berganda
ditemukan oleh empat ahli ekonomi dan studi ini dimasukkan dalam Report on
Double Taxation yang disampaikan dalam Financial Committee of The League of
Nation di tahun 1923[12].
Menurut Amatucci dkk, dasar dalam mendefinisikan P3B (tax treaty,
double taxation treaty) terkait dengan dua sifat mendasar, pertama, suatu
perjanjian internasional yang diadakan dua negara dalam mengelola yuridiksi
fiskal (fiscal yuridiction) dan kedua, perjanjian internasional menjadi
bagian dalam hukum pajak kedua negara yang melakukan perjanjian dengan cara
langsung dimasukkan pada undang undang domestik atau perlu adanya proses
hukum untuk masuk dalam undang undang domestik[13]. Maka, tujuan utama dari
pengelolaan yuridiksi fiskal menurut Holmes adalah[14]:
"avoiding double taxation which would otherwise arise from an
international transaction or event if each country imposed its own tax
on the same income or capital; alocating the tax imposed between the
governments that are parties to tax treaty; and preventing the evation
of taxation on those international transaction or events."
Kedudukan hukum P3B dalam undang undang domestik terkait dengan
pembagian hak pemajakan antara dua negara. P3B tidak memberikan hak
pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B melainkan hak masing-
masing negara tersebut dihilangkan atau dibatasi berdasarkan persetujuan
dalam pembatasan hak pemajakan yang tercantum di P3B[15]. Penerapan
ketentuan P3B dan undang undang domestik terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Ketentuan yang Diterapkan antara P3B dan Undang Undang Domestik
"Ketentuan UU Domestik "Ketentuan P3B "Ketentuan yang "
" " "Diterapkan "
"Mengatur "Mengatur "P3B "
"Mengatur "Tidak mengatur "Undang Undang Domestik "
"Tidak mengatur "Mengatur " "
"Tidak mengatur "Tidak mengatur " "
sumber: Kurniawan (2012), diolah kembali oleh penulis
Ada tiga hak pemajakan dalam menentukan hukum P3B dalam undang
domestik[16], yaitu:
a) Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights)
Suatu negara diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan
penduduk negara lainnya yang bersumber dari negaranya sepenuhnya sesuai
dengan undang undang domestik negara tersebut tanpa adanya pembatasan.
Maka, tarif pajak dan tata cara pemajakan sepenuhnya tunduk pada undang
undang domestik negara tersebut.
b) Pemberian Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights)
Negara sumber penghasilan diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu
penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negara tersebut
namun dengan pembatasan tarif. Apabila tarif pajak undang undang domestik
lebih tinggi dari tarif yang ditentukan dalam P3B maka tarif pajak yang
diterapkan adalah tarif pajak menurut ketentuan P3B.
c) Pelepasan Hak Pemajakan (relinquished taxing rights)
Suatu negara melepaskan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari
negara tersebut dan merelakan penghasilan tersebut dipajakai negara
lainnya. Maka, tarif pajak yang diterapkan adalah tarif pajak menurut
undang undang domestik negara lainnya yang bukan negara sumber penghasilan.
Tujuan P3B adalah untuk mengurangi pemajakan berganda (avoid double
taxation) dan untuk mencegah penyelundupan pajak (avoid double non-
taxation).[17] Selain itu, tujuan P3B untuk menyamakan tarif pajak antara
dua negara yang melakukan perjanjian. Bagi Indonesia, tujuan utama
diadakannya P3B pada permulaannya adalah sebagai pelengkap dari kebijakan
penanaman modal asing. Apabila pengenaan pajak berganda dapat dihindari
seminimal mungkin, maka diharapkan dapat mencegah timbul efek negatif yaitu
distorsi dalam transaksi internasional. Di samping itu P3B memiliki tujuan
lainnya, yaitu[18]:
a. Mencegah timbulnya pengelakan pajak (tax evasion)
b. Memberikan kepastian
c. Pertukaran informasi
d. Penyelesaian sengketa di dalam penerapan perjanjian penghindaran
pajak berganda
e. Non diskriminasi
f. Bantuan dalam penagihan pajak
g. Penghematan dalam cash flow
Sedangkan, terkait dengan subyek P3B, ada 3 kelompok orang atau badan
yang tercakup perjanjian penghindaran pajak berganda, yaitu orang atau
badan yang merupakan penduduk (resident), orang atau badan yang merupakan
penduduk (resident) negara mitra, dan orang atau badan yang merupakan
penduduk (resident) kedua negara (dianggap penduduk baik oleh Indonesia dan
negara mitra) [19].
2.3 Perbandingan Model P3B (UN dan OECD Model)
Penerapan P3B dihampir seluruh dunia didasarkan pada dua model, yaitu
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) model tax
convention atau United Nations (UN) model tax convention. Kedua model itu
mengatur mengenai konsep pembagian hak pemajakan dalam aspek internasional
pada transaksi investasi dan bisnis. Model OECD lebih mengarah kepada
pemegang modal yang melakukan ekspor sedangkan Model UN mengarah kepada
pemilik modal yang melakukan impor agar dapat mempertahankan hak-hak
perpajakannya[20].
Sistematika P3B secara spesifik yang ada di Model OECD maupun UN Model
sebagai berikut:
CHAPTER I: Scope of the Convention
Article 1: Personal Scope
Article 2: Taxes Covered
CHAPTER II: Definitions
Article 3: General Definitions
Article 4: Resident
Article 5: Permanent Establishment
CHAPTER III: Taxation of Income
Article 6: Income from Immovable Property
Article 7: Business Profits
Article 8: Shipping, Inland Waterways Transport, and Air Transport
Article 9: Associated Enterprises
Article 10: Dividends
Article 11: Interest
Article 12: Royalties
Article 13: Capital Gains
Article 14: Independent Personal Services
Article 15: Income From Employment
Article 16: Directors' Fees
Article 17: Artistes and Athletes
Article 18: Pensions
Article 19: Government Service
Article 20: Students
Article 21: Other Income
CHAPTER IV: Taxation of Capital
Article 22: Capital
CHAPTER V: Methods for Elimination of Double Taxation
Article 23 A: Exemption Method
Article 23 B: Credit Method
CHAPTER VI: Special Provisions
Article 24: Non-Discrimination
Article 25: Mutual Agreement Procedure
Article 26: Exchange of Information
Article 27: Diplomatic Agents and Consular Officers
Article 28: Territorial Extension
CHAPTER VII: Final Provisions
Article 29: Entry into Force
Article 30: Termination
Sistematika ketentuan P3B tersebut secara umum terdiri dari: (1) bagian
pendahuluan yang mengatur ruang lingkup P3B dan beberapa definisi; (2)
bagian tentang perlakuan perpajakan atas jenis-jenis penghasilan dan metode
penghindaran pajak berganda yang merupakan bagian utama P3B; (3) bagian
pengaturan khusus, seperti non-discrimination, mutual agreement procedure,
exchange of information, dan diplomatic agents and consular officers; dan
(4) ketentuan mengenai temporal scope, yang meliputi saat mulai berlaku dan
tata cara terminasi[21].
2.3.1 Sejarah Model P3B
Model ini dibuat setelah Perang Dunia Pertama mulai muncul berbagai
permasalahan mengenai pajak penghasilan antar negara. Hal ini tak lepas
dari pembiayaan perang untuk antar negara yang bersekutu, bertambahnya
negara-negara yang menetapkan pajak penghasilan, serta tarif pajak yang
meningkat pada saat dan setelah perang berlangsung. Salah satu
permasalahannya adalah setiap negara memiliki ketentuan yang berbeda-
beda, contohnya Amerika membuat kredit pajak untuk penghasilan yang
berasal dari luar negeri sedangkan Belanda, membebaskan penghasilan
asing dari pajak di residence country.[22] Perbedaan kebijakan pajak
atas penghasilan luar negeri ini tentu saja menimbulkan masalah baru.
Oleh karena itu, pada tahun 1922 Liga Bangsa-Bangsa pun membuat tim
yang terdiri dari empat ekonom handal untuk mengatasi masalah ini. Pada
akhirnya, tim ini berhasil menyusun beberapa pilihan, tetapi keputusan
finalnya cenderung memihak residence country, yaitu negara yang paling
berhak memajaki adalah adalah residence country atau negara domisili
sebagai negara pengekspor modal.
Keputusan ini ditelaah kembali oleh beberapa ahli (technical
experts) bedasarkan pengalaman mereka dalam menangani kasus-kasus
serupa. Pada tahun 1928, mereka berhasil menyelesaikan draft pertama
hingga pada tahun 1943, Model Meksiko diterbitkan. Berbeda dengan
sebelumnya, Model Meksiko dapat dikatakan memberikan keuntungan yang
lebih bagi negara pengimpor modal atau source countries.
Tak sedikit negara-negara maju merupakan resident countries yang
tidak setuju. Maka pada tahun 1946, Komite Fiskal Liga Bangsa-Bangsa
membuat beberapa pertemuan penting di London untuk memperbaiki Mexico
Model. Pertemuan-pertemuan tersebut menghasilkan London Model yang,
tentu saja, lebih mendukung residence countries. Namun tak lama
setelahnya, Liga Bangsa-Bangsa bubar dan penerusnya, Persatuan Bangsa-
Bangsa tak meneruskan program ini sehingga London Model menjadi model
P3B secara de facto selama hampir 20 tahun.
Pada tahun 1963, Organisation for European Economic Co-operation
(OECC) yang nantinya akan berubah menjadi OECD mengambilalih dengan
mengembangkan model P3B bedasarkan Model London. Pada tahun 1963, draft
pertama selesai dibuat dan akhirnya tahun 1977, Model OECD diterbitkan.
Meskipun terlihat seperti terjadi bias karena Model OECD lebih
menguntungkan negara-negara pengekspor modal, hal tersebut sebenarnya
terjadi karena model ini memang sengaja dibuat untuk negara-negara yang
termasuk ke dalam OECD[23]. Mayoritas negara yang termasuk dalam OECD
adalah negara-negara pengekspor modal, yaitu negara-negara maju yang
memiliki tingkat industrialisasi yang sama, tingkat kekayaan yang
hampir sama, dan tingkat investasi yang sama pula. Jika mereka
memberikan hak pemajakan kepada source country yang memiliki tingkat
kekayaan dan perekonomian yang serupa dengan resident country, hasilnya
akan sama saja dengan kalau mereka memberikan hak pemajakan kepada
resident country[24]. Hal ini tentu saja akan berbeda jika ketentuan
ini diaplikasikan ke negara yang berbeda perekonomiannya, seperti ke
negara berkembang dan ke negara yang maju. Tentu saja model ini akan
merugikan negara berkembang karena, menurut Van der Bruggen (2002)
pengorbanan pendapatan/penghasilan (sacrifice revenue) hanya akan berat
sebelah.
Namun begitu, Model OECD lebih digemari dalam negosiasi perjanjian
penghindaran pajak berganda karena selalu mengikuti perkembangan
ekonomi dibandingkan dengan Model UN yang tak banyak berubah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pun akhirnya menaruh perhatian terhadap
kesenjangan ini dan mulai membahasnya. Tujuannya tentu saja agar semua
negara memiliki standarisasi yang sama, baik negara berkembang maupun
negara maju. Maka dibuatlah sebuah komite yang terdiri dari sepuluh
ahli ekonomi yang berasal dari negara maju dan sepuluh ahli ekonomi
yang berasal dari negara berkembang untuk menyusun alternatif model
P3B. Kini, Model UN sudah diperbaharui hingga model terakhir yaitu
tahun 2011.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Model UN lebih diterima
dan digunakan oleh negara berkembang sebagai suatu acuan dalam
perundingan perjanjian penghindaran pajak berganda karena negara-negara
tersebut adalah negara-negara pengimpor modal maupun jasa, sehingga
negara-negara itu menjadi tempat sumber penghasilan.[25] Selain itu,
Model UN juga memberikan satu kriteria tambahan yaitu tes waktu (time
test) untuk menetapkan keberadaan suatu BUT sehubungan dengan kegiatan
pemberian jasa-jasa di negara tersebut.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Model OECD lebih populer
dibanding Model UN. Kini, ada lebih dari 3.000 perjanjian perpajakan di
seluruh dunia yang mengguanakan OECD sebagai dasarnya.[26] Apalagi
Model OECD sering diperbaharui sejak 1963 dan secara tidak langsung
selalu berubah melalui Penjelasan (Commentary) yang memberikan
interpretasi dari model tersebut. Kebalikan dari Model UN, Model OECD
lebih memberikan prioritas hak pemajakan kepada negara-negara maju atas
penghasilan yang diperoleh dari transaksi lintas batas negara yang
merupakan asal modal, teknologi, dan sumber daya manusia.
Meskipun begitu, Model OECD tidak mengharuskan negara-negara
tersebut untuk menggunakannya, melainkan hanya direkomendasikan untuk
negara-negara anggota OECD. Negara seperti Kanada, Belanda, dan
Inggris, misalnya sudah menganggap Model OECD sangat mengikat (almost
binding value). Sedangkan negara lainya seperti Australia dan Jerman
hanya menganggap Model OECD sebagai tambahan (supplementary) untuk
menginterpretasikan suatu kasus atau suatu perjanjian. Sementara
Perancis, dan Italia bahkan hanya menganggap Model OECD sebagai
referensi tambahan, layaknya perkataan para ahli (authoritative tax
academics).[27]
Bedasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan
kedua model tersebut secara garis besar adalah Model OECD lebih
mengarah kepada pemegang modal yang melakukan ekspor sedangkan Model UN
mengarah kepada pemilik modal yang melakukan impor agar dapat
mempertahankan hak-hak perpajakannya.[28] Selain itu, meskipun diatas
disebutkan bahwa Model OECD digunakan oleh sekitar 3.000 perjanjian
perpakan, pada dasarnya, perjanjian perpajakan di seluruh dunia
menggabungkan kedua model tersebut, baik OECD maupun UN, dan mengambil
yang paling baik bagi negara mereka dan juga bedasarkan negosiasi yang
telah mereka lakukan dengan negara lain.
2.3.2 Model UN
UN juga membuat model P3B yang kemudian dikenal sebagai Model UN.
Model UN memberikan hak pemajakan yang lebih luas kepada negara
berkembang atau negara tujuan investasi, teknologi, dan sumber daya
manusia (negara sumber) atas penghasilan yang timbul dari wilayahnya
misalnya menambah satu kriteria lagi yaitu tes waktu (time test) untuk
menetapkan keberadaan suatu BUT sehubungan dengan kegiatan pemberian
jasa-jasa di negara itu. Model UN digunakan oleh negara-negara
berkembang sebagai suatu acuan dalam perundingan perjanjian
penghindaran pajak berganda karena negara-negara tersebut adalah negara-
negara pengimpor modal maupun jasa, sehingga negara-negara itu menjadi
tempat sumber penghasilan[29].
2.3.3 Model OECD
Model ini dikembangkan oleh negara-negara maju (developed
countries) seperti Perancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Canada,
Jepang, dan Korea Selatan[30]. Model OECD dalam menentukan kriteria
pembagian hak pemajakan lebih luas diberikan kepada negara domisili,
misalnya hanya menggunakan satu kriteria yaitu tempat usaha tetap (a
fixed place of business) untuk menentukan keberadaan BUT sehubungan
dengan kegiatan pemberian jasa-jasa selain jasa konstruksi. Hal ini
mencerminkan kepentingan anggota OECD yang merupakan negara-negara maju
yang menjadi tempat domisili aliran modal. Sehingga Model OECD lebih
digemari dalam negosiasi perjanjian penghindaran pajak berganda karena
selalu mengikuti perkembangan ekonomi dan Model OECD melanjutkan ke
area yang baru dalam hal perpajakan seperti e-commerce. Sebagai suatu
model perjanjian penghindaran pajak berganda, Model OECD memiliki
struktur sebagai berikut:[31]
1. Introduction
2. Model Perjanjian terhadap pemajakan atas penghasilan dan modal
3. Commentaries
4. Posisi dari negara-negara anggota OECD ketika mempunyai:
a. Pandangan yang berbeda terhadap pasal-pasal tertentu (reservation);
dan/atau
b. Pandangan yang berbeda terhadap commentaries atas pasal-pasal tertentu
(observation).
5. Posisi dari negara-negara bukan anggota OECD
Model OECD lebih memberikan prioritas hak pemajakan kepada negara-
negara maju atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi lintas batas
negara-negara maju atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi
lintas batas negara yang merupakan asal modal, teknologi, dan sumber
daya manusia.
2.3 Tahapan Negosiasi P3B
Proses pembentukan P3B diawali dengan adanya inisiatif dari salah satu
negara untuk mengadakan suatu P3B[32]. Dalam pembuatan P3B melewati
beberapa tahapan, yaitu[33]:
1. Tahap Penjajakan: dilakukan untuk melihat apakah Indonesia perlu
mempunyai P3B dengan suatu negara.
2. Tahap Perundingan: pemerintah indonesia berpedoman pada kepentingan
nasonal dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum
internasional.
3. Perumusan Masalah
4. Tahap Penerimaan
5. Tahap Penandatanganan: proses persetujuan atas naskah P3B atau
merupakan pernyataan untuk mengikat diri secara definitf sesuai dengan
kesepakan para pihak.
Setelah proses penandatangan selesai, P3B semata-mata tidak dapat langsung
diberlakukan karena setiap negara harus memastikan bahwa P3B dapat
diterapkan dalam hukum domestiknya.
2.5 Interpretasi P3B
Layaknya sumber hukum lainnya, perjanjian perpajakan juga perlu
diinterpretasi agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam aplikasinya. Apalagi
dengan adanya perbedaan bahasa yang tentu saja menjadi penghalang untuk
menginterpretasikan suatu istilah. Bisa jadi suatu istilah tersebut
memiliki arti yang agak berbeda dari terjemahannya. Maka dari itu,
interpretasi suatu istilah harus disetujui oleh kedua belah pihak yang
terlibat dalam perjanjian.[34]
Pada dasarnya telah diatur untuk menginterpretasi suatu perjanjian
dalam Vienna Conviction on the Law of Treatise tahun 1969. Sedangkan, untuk
menginterpretasi perjanjian perpajakan dapat merujuk pada Model OECD,
terutama Pasal 3 ayat 2.
2.5.1 Vienna Conviction on the Law of Treatise
Aturan dalam menginterpretasi ini tercantum dalam pasal 31, pasal
32, pasal 33, dan pasal 33 paragraf 4 dari Vienna Conviction on the Law
of Treatise tahun 1969 yang mengatur bagaimana suatu treaty di
interpretasikan. Pada Pasal 31 disebutkan bahwa,
"a treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the
ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their
context and in light of its object and purpose."
Ini dapat diartikan bahwa sebuah perjanjian harus diinterpretasikan
dengan itikad baik dengan arti sederhana untuk diberikan kepada istilah-
istilah yang ada di perjanjian sesuai konteks dan tujuannya. Pasal ini
bedasarkan pandangan bahwa setiap istilah dianggap sebagai maksud baik
dari setiap pihak, sehingga konsekuesninya interpretasi ini dianggap
sebagai penjelasan atas arti istilah tersebut, bukan untuk mengetahui
maksud lain dari masing-masing pihak. Sedangkan maksud dari 'ordinary
meaning' dari kutipan di atas termasuk di dalamnya arti istilah
tersebut sehari-hari. Sementara maksud kata 'context' termasuk di
dalamnya istilah yang ada di dalam perjanjian dan perjanjian apapun
diantara kedua belah pihak yang dibuat dan instrumen apapun yang dibuat
oleh salah satu pihak dan diterima oleh pihak lainnya. Hal ini juga
berlaku kepada catatan atau surat yang saling dikirimkan pada saat
menandatangani perjanjian, tetapi tidak berlaku pada penjelasan
unilateral yang dibuat oleh satu pihak dan belum disetujui oleh pihak
lainnya.
Pasal terkait interpretasi lainnya dalah Pasal 32 dalam Konvensi
Vienna. Pasal ini berisi tentang material tambahan lainya yang terdapat
dalam suatu perjanjian untuk menjadi referensi dalam menginterpretasi
perjanjian tersebut. Dalam Amatucci, Pasal 32 ini dianggap sebagai
konfirmasi atas Pasal 31 sebelumnya, terutama jika Pasal 31 sulit
digunakan karena ambigu atau menghasilkan keputusan yang tidak masuk
akal[35].
Berikutnya adalah Pasal 33 dari Konvensi Vienna. Pasal ini
menjelaskan bahwa jika perjanjian yang dibuat dengan dua bahasa atau
lebih, kedua bahasa tersebut sama-sama berlaku dan mengikat. Biasanya
sebuah perjanjian menggunakan bahasa ibu masing-masing pihak dan juga
bahasa ketiga seperti bahasa Inggris. Sedangkan dalam Pasal 33 ayat 4
menyatakan jika ada perbedaan arti diantara dua versi bahasa yang
digunakan atau lebih, maka penafsiran yang digunakan adalah salah satu
bahasa yang dapat mendamaikan pertentangan tersebut. Misalnya terjadi
suatu pertentangan akibat salah tafsir, maka dapat digunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa penengah. Namun jika telah menggunakan dua versi
atau lebih dan interpretasi tersebut masih belum bisa diterima, maka
dengan pertimbangan tujuan dan objek perjanjian tersebut, interpretasi
akan dipandu oleh Konvensi Vienna. Jika pendekatan ini masih belum juga
menimbulkan hasil yang memuaskan maka perjanjian tersebut dianggap
cacat.[36]
2.5.2 Model OECD dalam Perjanjian Perpajakan
Dalam Model OECD, interpretasi suatu perjanjian perpajakan dapat
merujuk pada Pasal 3 ayat 2.
"As regards the application of the Convention at any time by a
Contracting State, any term not defined therein shall, unless the
context otherwise requires, have the meaning that it has at that
time under the law of that State for the purposes of the taxes to
which the Convention applies, any meaning under the applicable tax
laws of that State prevailing over a meaning given to the term
under other laws of that State."
Intinya pasal ini menyatakan bahwa jika suatu istilah tidak diatur
definisinya dalam perjanjian perpajakan maka untuk mengartikan istilah
tersebut dapat mengacu pada dasar hukum lokal. Hal ini tentu saja
memudahkan masyarakat awam karena dapat menginterpretasi perjanjian
bedasarkan hukum domestik yang lebih familiar. Namun, dapat terjadi
pertentangan jika interpretasi istilah tersebut berbeda dalam hukum
domestik negara yang satu dengan yang lain.
Hal ini menimbulkan perdebatan. Tidak sedikit para ahli yang setuju
bahwa undang-undang domestik yang sebaiknya berlaku jika istilah
tertentu tidak didefinisikan dalam P3B. J. Avery Jones, Davis Ward, dan
Kees van Raad cenderung menginterpretasikan bedasarkan undang-undang
domestik negara sumber. Menurut Avery Jones, pengerrtian "penerapan"
(application) merupakan petunjuk bagi negara yang bersangkutan bahwa
interpretasi tersebut timbul karena adanya P3B, dan tidak akan terjadi
tanpa adanya P3B. Sedangkan Klaus Vogel menginterpretasi bedasarkan
keputusan pengadilan yang harus taat asas dalam kerangka pelaksanaan
P3B. Meskipun begitu, pendekatan ini sulit dilakukan dalam prakteknya.
Permasalahan berikutnya adalah kurun waktunya. Bedasarkan kurun
waktu, undang-undang domestik yang mana yang dijadikan acuan? Undang-
undang saat ditandatanganinya persetujuan atau yang berlaku sesudah
terjadi perubahan?
Undang-undang saat ditandatanganinya persetujuan bersifat statis
dan memiliki kelemahan, yaitu sulit untuk mengetahui dengan jelas makna
suatu istilah yang berkaitan dengan undang-undang yang lama.
Permasalahan lainnya adalah kedudukan Commentary Model OECD dalam
Konvensi Vienna. Jika suatu negara ingin menggunakan Model OECD sebagai
dasar perjanjian dan dasar interpretasi, maka negara tersebut tentu
saja akan mengacu juga kepada Commentary Model OECD. Namun Commentary
Model OECD ini tidak dapat dikatakan sesuai dengan Konvensi Vienna.
Sekilas Commentary Model OECD dapat digolongkan ke dalam pasal 32
Konvensi Vienna. Namun, Commentary Model OECD tidak hanya sekedar
material tambahan, tetapi lebih dari itu. Apalagi pasal 32 hanyalah
konfirmasi atas pasal 31 jika pasal 31 tidak jelas atau absurd[37].
Tetapi tentu saja Commentary tidak bisa digolongkan dalam pasal 31. Hal
ini dikarenakan jika model ini digunakan pada perjanjian perpajakan
antara negara anggota OECD dan negara yang bukan anggota OECD, negara
yang bukan anggota OECD tidak memiliki hak suara karena mereka tidak
ikut dalam pembuatan Model OECD. Apalagi jika Model OECD tersebut
digunakan sebagai dasar perjanjian antar negara sesama bukan anggota
OECD yang berarti kedua belah pihak sama sekali tidak memiliki suara
dalam dasar interpretasinya.
2.5.3 Interpretasi menggunakan Definisi dalam Model OECD Pasal 3 (1)
Dalam Model OECD, terdapat definisi dari istilah-istilah yang
terdapat di dalam perjanjian pajak untuk dapat menghindari perbedaan
interpretasi. Definisi ini tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 yang
mencantumkan beberapa definisi. Namun ada pula definisi yang
dicantumkan pada pasal yang bersangkutan. Salah satu contohnya adalah
definisi istilah bunga yang tercantum dalam pasal 11, dividen dalam
pasal 10, dan royalti dalam pasal 12. Berikut akan dijelaskan beberapa
contoh definisi istilah dan interpretasinya dengan lebih detail dan
jelas:
a) Orang atau Badan
Definisi 'orang atau badan' diperlukan dalam hubungannya dengan pasal
1 yaitu tentang personal scope dan pasal 4 tentang resident. Istilah
ini perlu diperhatikan dengan detail karena mencakup setiap entitas
yang bukan badan hukum tetapi diperlakukan sebagai badan untuk
keperluan perpajakannya. Istilah ini sendiri dapat dibedakan menjadi
dua jenis. Pertama adalah 'orang pribadi' (natural person) dan yang
kedua adalah 'badan hukum' (legal person). Orang pribadi dalam konteks
ini tidak melihat apakah orang itu secara hukum ada, tergantung pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara. Hal ini
berarti, sepanjang ia bisa dipajaki di negara tersebut, ia berhak
mendapatkan perlakuan sesuai P3B yang bersangkutan.
Dalam definisi perusahaan termasuk di dalamnya pengertian badan hukum
dan badan lain yang diperlakukan sebagai badan hukum. Maka, setiap
badan hukum yang dibentuk bedasarkan undang-undang domestik adalah
perusahaan dan person sehingga berhak atas treaty protectin sepanjang
ia merupakan resident dari negara itu. Resident yang dimaksud disini
adalah ia yang dikenai pajak di negara itu bedasarkan domisili, tempat
tinggal, dan kriteria lainnya.
Pengertian "perseroan (perusahaan)" diperlukan dalam kaitannya dengan
pasal 10 tentang dividen, pasal 5 ayat 8, dan pasal 16 tentang
director's fee. Sementara company didefinisikan sebagai "any body
corporate or any entity which is treated as a body corporate for tax
purposes." Termasuk di dalamnya adalah trust dan warisan yang belum
dibagi.
Akan menjadi masalah jika istilah-istilah ini tidak didefinisikan
karena kemungkinan adanya perbedaan hukum antar negara. Bisa dikatakan,
definisi dari istilah-istilah ini dapat menjembatani antara negara yang
satu dengan yang lain. Salah satu contohnya adalah ketentuan
"persekutuan" (partnership) di Indonesia dan Inggris. Di Indonesia,
pengenaan pajak terhadap persekutuan dilakukan pada tingkat
persekutuan. Sedangkan di Inggris, persekutuan dikenai pajak di tingkat
anggotanya. Maka dalam P3B antara Indonesia dan Inggris tercantum
seperti berikut:
(e) the term 'person'compromises an individual, a company and any
other body of persons, but subject to paragraph (2) of this Article
does not include a partnership.
Dari rumusan tersebut diketahui bahwa persekutuan tidak dianggap
seagai body corporate yang dianggap sebagai body corporate untuk tujuan
pajak. Persekutuan kemudian dijelaskan lebih lanjut di ayat 2 dalam
pasal yang sama, yaitu:
2) A partnership deriving its status from Indonesian law which is
treated as a taxable unit under the law of Indonesia shall be
treated as a person for the purposes of this Agreement.
b) Lalu Lintas Internasional
Istilah ini perlu didefinisikan untuk pasal 8, yaitu tentang
perusahaan pelayaran dan penerbangan yang melayani jalur internasional
dikenai pajak di negara domisili. Di dalam definisi tersebut yang
dikenakan pajak adalah perusahaan pelayaran dan penerbangan yang
effective management-nya berada di negara domisili. Akibat dari
effective management adalah bahwa dalam situasi tertenju perusahaan
tersebut tidak berdomisili di negara mana effective management itu
berada.
c) Competent Authority
Dalam P3B juga diberikan definisi tentang competent authoriry di
masing-masing negara. Hal ini tercantum dalam ayat 1. Biasanya,
competent authority adalah menteri keuangan atau pejabat dengan
wewenang yang sama. Istilah ini penting untuk pasal 25 tentang mutual
agreement procedure dan pasal 26 tentang exchange of information.
d) Warga Negara
Definisi warga negaraa dibutuhkan dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 24
ayat 1. Pasal 4 ayat 2 mengatur tentang ketentuan yang mengatur
bagaimana kedua negara memecahkan masalah ketika terjadi domisili
rangkap untuk orang pribadi. Pengertian warga negara juga berlaku untuk
badan hukum yaitu persekutuan dan asosiasi.
e) Territorial Clause atau Definisi Indonesia
Tak hanya definisi istilah yang dicantumkan dalam P3B, tetapi juga
definisi dari 'Indonesia'. Definisi Indonesia memiliki versi yang
berbeda-beda, yang menggambarkan perkembangan politik yang terjadi di
Indonesia. Territorial definition ini merupakan sarana untuk
memperjuangkan kepentingan politik nasional.
Terdapat dua generasi P3B Indonesia, yaitu generasi pertama sebelum
adanya reformasi perpajakan tahun 1983 dan generasi kedua setelah
adanya reformasi perpajakan tahun 1983. Pada generasi pertama, P3B
termasuk didalamnnya adalah Prancis, Jerman (Barat), Inggris, Belanda,
Belgia, Kanada, Jepang, Philipina, dan Thailand. Sedangkan pada
generasi kedua merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 (Undang-
Undang Pajak Penghasilan).
Dari penjelasan di atas, sudah diketahui sumber hukum untuk
menginterpretasi perjanjian perpajakan. Namun tak sedikit para ahli yang
menambahkan pendapatnya terkait interpretasi ini, salah satunya adalah
Prof. Vogel yang memberikan tahapan-tahapan interpretasi sebagai berikut:
Definisi yang digunakan adalah definisi yang diatur dalam P3B atau aturan-
aturan tentang penafsiran
Jika aturan tersebut tidak ada, lihat undang-undang negara yang menerapkan
treaty (lex fori) apakah memberikan arti khusus.
Lihat dan pastikan apakah istilah tersebut memiliki interpretasi yang
berbeda, dan apakah interpretasi yang berbeda itu memang diperlukan sebagai
interpretasi alternatif.
Jika tidak ada aturan tentang penafsiran istilah tersebut, tetapi
diterapkan dalam undang-undang domestik di luar pajak yang dicakup dalam
treaty, aturan umum yang menyangkut interpretasi dari treaty akan
berlaku.[38]
2.6 Kedudukan P3B atas Undang Undang Domestik
Sebelum membahas mengenai P3B sebagai hukum internasional, dalam buku
International Law, Cases, and Material yang ditulis oleh Pugh Henkin
menyatakan tahun 1969 aturan-aturan hukum kebiasaan internasional
dikodifikasi dan dirumuskan dalam Konvensi Wina tentang Hukum Traktat
(Hukum Perjanjian Internasional) yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969
dan mulai berlaku tanggal 27 Januari 1980 sehingga pada Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa Konvensi Wina merupakan petunjuk
yang otoratif untuk hukum dan praktek hukum internasional sampai saat
ini[39]. Traktat pada Pasal 2 Konvensi Wina adalah suatu persetujuan antara
dua negara atau lebih negara mengadakan atau bermaksud mengadakan suatu
hubungan timbal balik menurut hukum internasional. Maka traktat merupakan
instrumen utama untuk memulai atau mengembangkan kerjasama internasional
sehingga tujuan traktat adalah untuk meletakkan kewajiban-kewajiban yang
mengikat bagi negara-negara peserta. Dalam hukum nasional, para warganegara
dapat memilih dari antara sekian banyak instrumen untuk melakukan suatu
perbuatan hukum atau mengadakan suatu transaksi secara internasional[40].
Asif Hasan Quereishi menyatakan ada dua aliran mengenai hubungan antara
hukum internasional dan undang-undang nasional, yaitu tunggal (monist) dan
dualist[41]. Pertama, hubungan tersebut monist apabila hukum internasional
dan hukum nasional merupakan bagian dari undang undang domestik yang
meletakkan hukum internasional diatas hukum nasional. Apabila terjadi
permasalahan terkait dengan pelanggaran atas suatu treaty maka mengajukan
protes dan mendesak ke tingkat peradilan internasional, seperti
International Court for Justice. Menurut teori monoisme, hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua kesatuan hukum dari satu
sistem hukum yang lebih besar, yaitu hukum pada umumnya sehingga
kemungkinan timbulnya konflik antara hukum internasional dan hukum nasional
sangat besar karena terletak didalam satu sistem hukum[42].
Disisi lain, hubungan tersebut dualist ketika hukum internasional
memiliki kedudukan yang sama dengan hukum nasional sehingga jika terjadi
perbedaan antara keduanya, pengadilan akan memenangkan undang undang
nasional. Hubungan yang bersifat dualist salah satunya di negara-negara
anggota Amerika. Di Amerika, hukum internasional (treaty) mempunyai
kedudukan yang sama dengan undang undang nasional karena menggunakan
prinsip les posterior derogate lex priori. Sifat treaty di Amerika adalah
self-executing, yaitu secara otomatis akan menjadi bagian dari undang
undang domestik apabila ketentuan treaty tidak bertentangan dengan undang
undang federal. Namun, apabila ada permasalahan terkait dengan pelanggaran
atas suatu treaty maka akan dilakukan ditingkat pengadilan domestik. Hal
ini juga dinyatakan dalam teori dualisme yang menyatakan jika terjadi
konflik perbedaan antara hukum internasional dengan hukum nasional maka
perbedaan itu menurut Anzilotti ditarik dari dua prinsip yang fundamental,
yaitu hukum nasional berbasis pada prinsip aturan negara (state legislaion)
yang harus dipatuhi, sedangkan menurut John O'Brien, hukum internasional
berbasis pada prinsip perjanjian antarnegara dimana harus menghormati
sesuai dengan prinsip pacta sunt servada[43]. Maka, pada aliran monoist,
hukum internasional hanya dapat diberlakukan setelah ditransformasikan ke
dalam hukum nasional, begitu juga sebaliknya.
Pada aspek perpajakan, undang undang domestik setiap negara memiliki
aspek pajak internasional terkait dengan orang atau badan yang melakukan
aktivitas ekonomi lintas batas negara (cross-border transaction). Menurut
De Leon, pajak dipungut berdasarkan kedaulatan setiap negara sehingga
adanya perbedaan sistem perpajakan internasional antarnegara[44]. Negara-
negara dalam transaksi internasional cenderung menganut asas teritorial
(sumber), yaitu penghasilan yang bersumber di suatu negara dikenakan pajak
pada negara yang memberikan sumber penghasilan tersebut maka undang undang
negara tersebut yang berlaku[45].
Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak terbatas dengan
penggunaan asas sumber saja melainkan juga mengaplikasikan asas domisili
(residence). Dalam sistem perpajakan internasional, terdapat suatu norma
yang diterima dan diikuti secara global termasuk Indonesia, seperti yang
dinyatakan oleh Gunadi, yaitu
"....untuk menyerahkan pemajakan utama (primary taxing rights) kepada
negara sumber penghasilan yang mempunyai pertalian teritorial dan
mempertahankan kewenangan pemajakan residual (residual tax claim) terhadap
negara domisili dengan pertalian personal. Selain itum Indonesia akan
memberikan kredit atas pajak penghasilan yang terutang atau dibayar di luar
negeri dan hanya jumlah selebihnya saja, kalau ada, dari pajak penghasilan
Indonesia atas pajak penghasilan mancanegara diatas pajak luar negeri atas
penghasilan dimaksud yang akan dipungut oleh Indonesia."[46]
P3B harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati dalam
Vienna Convention on the Law of Treaties. Bentuk penandatanganan P3B
menandakan bahwa kedua negara harus mematuhi P3B diatas undang undang
domestik dalam mengadakan perjanjian. Negara-negara penganut monistic
principle tidak mensyaratkan P3B harus dituangkan kedalam bentuk undang-
undang terlebih dahulu (atau dengan kata lain P3B diberlakukan secara
otomatis), contohnya adalah negara Belanda, Jepang, Luxemburg, Spanyo,
Portugal dan Swiss sedangkan, bagi negara yang menganut dualistic principle
maka P3B harus dijadikan hukum domestik terlebih dahulu melalui proses
legislasi, contohnya negara Inggris, Australia, Kanada, Denmark, India,
Israel, Selandia baru, Nowergia, dan Swedia[47]. Dengan demikan, ada dua
tipe negara dalam memperlakukan P3B dengan undang undang domestik[48],
yaitu:
a) Langsung (direct effect): aturan P3B dapat langsung menjadi bagian dari
undang undang domestik baik secara langsung melalui penandatangan presiden
atau melalui ratifikasi oleh parlemen
b) Tidak Langsung (indirect effect): aturan P3B dapat menjadi bagian dari
undang undang domestik apabila melalui proses legislasi dalam pembuatan
undang undang
Ada tiga langkah implemntasi P3B pada undang undang domestik yang
dinyatakan oleh M. Edwardes Ker dalam menentukan hubungan antara P3B
dengan undang undang domestik[49], yaitu langkah pertama, undang undang
domestik pada negara tersebut diimplementasikan untuk menentukan jika
undang undang domestik dapat memberikan potensi untuk menambah beban pajak.
Apabila beban pajak tidak meningkat maka P3B tidak dapat diberlakukan namun
langkah kedua menyatakan apabila adanya peningkatan beban pajak maka P3B
dapat dilaksanakan untuk melihat bagimana cara dalam mengelola penghasilan
atau modal yang mengakibatkan beban pajak meningkat. Terakhir, menentukan
tarif yang dapat diberlakukan oleh domestik berdasarkan limit yang ada
dalam P3B. Pada langkah yang ketiga ini menyatakan bahwa undang undang
domestik mengimplementasikan yang diatur dalam P3B.
Selain itu, perlu adanya asas dalam mengatur kekhususan P3B dalam
undang-undang domestik, salah satunya lex specialis derogat legi generali
yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan
aturan hukum yang bersifat umum. Ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam asas tersebut, yaitu[50]:
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku,
kecuali yang diatur secara khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis.
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
yang sama dengan lex generalis.
BAB 3
ANALISIS DI NEGARA INDONESIA
3.1 Penerapan Model P3B di Indonesia
Surahmat (2000) menyatakan model P3B yang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia sebagai berikut:
"Oleh karena Indonesia adalah Negara yang sedang berkembang, maka
prinsip yang dianut dalam kebijakan di bidang persetujuan penghindaran
pajak berganda adalah UN Model. Namun demikian tidak berarti bahwa
semua ketentuan dalam UN Model itu lalu digunakan oleh Indonesia.
Prinsip yang dianut adalah suatu kombinasi antara UN Model dan prinsip-
prinsip pokok yang terkandung dalam undang-undang perpajakan nasional.
Perpaduan antara model tersebut menghasilkan suatu model yang disebut
sebagai Model Indonesia yang dijadikan dasar berpijak dalam
melaksanakan perundingan persetujuan penghindaran pajak berganda."
Berdasarkan pernyataan tersebut maka Indonesia lebih mengarah ke UN Model
yang kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang telah tercermin dalam
model tersebut dan secara teoritis ketentuan dalam UN Model mengikuti
perkembangan dari OECD Model. Perbedaan yang cukup signifikan pada UN Model
dan OECD Model terletak pada isi dari pasal per pasal terutama Chapter III
mengenai Taxation Of Income yang terletak pada Artikel 5 (Permanent
Establishment), Artikel 7 (Business Profits), Artikel 8 (Shipping, Inland
Waterways Transport, and Air Transport), Artikel 10 (Dividends), Artikel 11
(Interest), Artikel 12 (Royalties), Artikel 13 (Capital Gains), dan Artikel
21 (Other Income). Perbedaan ini mampu memberikan perbedaan dalam hak
pemajakannya (taxing right). Pada tulisan ini akan membandingkan Indonesia
Model, UN Model 2011, dan OECD Model 2014. Hal ini terangkum dalam Tabel 2.
Tabel.2. Perbedaan Indonesia Model, UN Model 2011 dan OECD Model 2014
"Keterangan "Indonesia Model "UN Model "OECD Model "
"Permanent "Pasal 2 Ayat (5) UU PPh "Art. 5, par. 1 "Art. 5, par. 1 "
"establishment "Definisi = Bentuk usaha yang "Definisi = Lebih merujuk ke badan "Definisi = Lebih merujuk ke badan "
"(BUT) "dipergunakan oleh orang pribadi "(enterprises) "(enterprises) "
" "yang tidak bertempattinggal di ""a fixed place of business through ""a fixed place of business through "
" "Indonesia atau berada di Indonesia"which the business of an enterprise "which the business of an enterprise "
" "tidak lebih dari 183 hari dalam "is wholly or partly carried on." "is wholly or partly carried on" "
" "jangka waktu 12 bulan, atau badan " " "
" "yang tidak didirikan dan tidak "Pengakuan time-test = "Pengakuan time-test = "
" "bertempat kedudukan di Indonesia, "A building site, a construction, "A building site or construction or "
" "untukmenjalankan usaha atau "assembly or installation project or "installation project constitutes a "
" "melakukan kegiatan di Indonesia "supervisory activities = lebih dari "permanent establishment = lebih dari"
" " "enam bulan "12 bulan "
" "Pengakuan time-test = "The furnishing of services, " "
" "pemberian jasa dalam bentukapapun "including consultancy services, by " "
" "oleh pegawai atau oleh orang lain,"an enterprise through employees or " "
" "sepanjang dilakukan lebih dari 60 "other personnel engaged by the " "
" "hari dalam jangka waktu 12 bulan "enterprise for such purpose, but " "
" " "only if activities of that nature " "
" " "continue (for the same or a " "
" " "connected project) within a " "
" " "Contracting State = lebih dari 183 " "
" " "hari dalam jangka waktu 12 bulan " "
" " "atau tahun fiskal " "
"Business Profit "Pasal 5 Ayat (1) UU PPh "Art. 7, par. 1 "Art. 7, par. 1 dan par. 2 "
" "a. penghasilan dari usaha atau ""(a) that permanent establishment; ""Profits of an enterprise of a "
" "kegiatan bentuk usaha tetap "(b) sales in that other State of "Contracting State shall be taxable "
" "tersebut dan dari harta yang "goods or merchandise of the same or "only in that State unless the "
" "dimiliki atau dikuasai; "similar kind as those sold through "enterprise carries on business in "
" "b. penghasilan kantor pusat dari"that permanent establishment; or "the other Contracting State through "
" "usaha atau kegiatan, penjualan "(c) other business activities "a permanent establishment situated "
" "barang, atau pemberian jasa di "carried on in that other State of "therein. If the enterprise carries "
" "Indonesia yang sejenis dengan yang"the same or similar kind as those "on business as aforesaid, the "
" "dijalankan atau yang dilakukan "effected through that permanent "profits that are attributable to the"
" "oleh bentuk usaha tetap di "establishment." "permanent establishment in "
" "Indonesia; " "accordance with the provisions of "
" "c. penghasilan sebagaimana " "paragraph 2 may be taxed in that "
" "tersebut dalam Pasal 26 yang " "other State. "
" "diterima atau diperoleh kantor " "2. For the purposes of this Article "
" "pusat, sepanjang terdapat hubungan" "and Article [23 A] [23 B], the "
" "efektif antara bentuk usaha tetap " "profits that are attributable in "
" "dengan harta atau kegiatan yang " "each Contracting State to the "
" "memberikan penghasilan dimaksud. " "permanent establishment referred to "
" " " "in paragraph 1 are the profits it "
" " " "might be expected to make, in "
" " " "particular in its dealings with "
" " " "other parts of the enterprise, if it"
" " " "were a separate and independent "
" " " "enterprise engaged in the same or "
" " " "similar activities under the same or"
" " " "similar conditions, taking into "
" " " "account the functions performed, "
" " " "assets used and risks assumed by the"
" " " "enterprise through the permanent "
" " " "establishment and through the other "
" " " "parts of the enterprise." "
"Shipping, Inland"PP No. 57 Tahun 1996 "Art. 8 "Art. 8 "
"Waterways "Orang pribadi yang akan bertolak "Laba yang diperoleh dari "Laba yang diperoleh dari "
"Transport, and "ke luar negeri diwajibkan membayar"pengoperasian pesawat terbang dan "pengoperasian kapal laut atau "
"Air Transport "Pajak Penghasilan kecuali awak "kapal laut dalam jalur lalu lintas "pesawat terbang dalam jalur lalu "
" "dari pesawat terbang dan kapal "internasional hanya akan dikenakan "lintas internasional hanya akan "
" "laut serta kendaraan umum angkutan"pajak di negara tempat manajemen "dikenakan pajak di negara tempat "
" "darat yang beroperasi di jalur "efektif perusahaan tersebut berada. "manajemen efektif perusahaan "
" "internasional atau melakukan "Apabila tempat manajemen efektif "tersebut berada. Apabila tempat "
" "penerbangan, pelayaran dan operasi"perusahaan shipping enterprise atau "manajemen efektif perusahaan "
" "berdasarkan perjanjian carter "inland waterways transport "shipping enterprise atau inland "
" "pengangkutan "enterprise berada pada kapal laut "waterways transport enterprise "
" " "tersebut maka ditentukan berdasarkan"berada pada kapal laut tersebut maka"
" " "darmaga tempat kapal laut tersebut "ditentukan berdasarkan darmaga "
" " "berdomisili (home harbour). "tempat kapal laut tersebut "
" " " "berdomisili (home harbour). "
"Dividen "Pasal 26 Ayat (1) UU PPh "Art. 10, par. 2 "Art. 10, par. 2 "
" "Atas penghasilan dividen yang "Hak pemajakan utama pada negara "Hak pemajakan utama pada negara "
" "dibayarkan, disediakan untuk "domisili namun negara sumber dapat "domisili namun negara sumber dapat "
" "dibayarkan atau telah jatuh tempo "memajaki dengan syarat beneficial "memajaki dengan dengan syarat "
" "pembayaran oleh badan pemerintah, "owner. Adanya pembatasan tarif yang "beneficial owner. Adanya pembatasan "
" "subyek pajak dalam negeri, "akan dinegosiasikan pada Mutual "tarif yang sudah disebutkan secara "
" "penyelenggara kegiatan, BUT, atau "Agreement Procedure. "spesifik batas besaran tarif pajak "
" "pewakilan perusahaan luar negeri "___ per cent (the percentage is to "yang dapat dipungut oleh negara "
" "lainnya kepada Wajib Pajak Luar "be established through bilateral "sumber. "
" "Negeri (selain BUT di Indonesia) "negotiations) of the gross amount of"5 per cent of the gross amount of "
" "dipotong pajak 20% dari jumlah "the dividends if the beneficial "the dividends if the beneficial "
" "bruto. "owner is a company (other than a "owner is a company (other than a "
" " "partnership) which holds directly at"partnership) which holds directly at"
" " "least 10 per cent of the capital of "least 25 per cent of the capital of "
" " "the company paying the dividends; "the company paying the dividends; "
" " "___ per cent (the percentage is to "15 per cent of the gross amount of "
" " "be established through bilateral "the dividends in all other cases. "
" " "negotiations) of the gross amount of" "
" " "the dividends in all other cases. " "
"Bunga "Pasal 26 Ayat (1) UU PPh "Art. 11, par. 2 "Art. 11, par. 2 "
" "Atas penghasilan bunga yang "Hak pemajakan utama pada negara "Hak pemajakan utama pada negara "
" "dibayarkan, disediakan untuk "domisili namun negara sumber dapat "domisili namun negara sumber dapat "
" "dibayarkan atau telah jatuh tempo "memajaki dengan syarat beneficial "memajaki dengan dengan syarat "
" "pembayaran oleh badan pemerintah, "owner. Adanya pembatasan tarif yang "beneficial owner. Adanya pembatasan "
" "subyek pajak dalam negeri, "akan dinegosiasikan pada Mutual "tarif yang sudah disebutkan secara "
" "penyelenggara kegiatan, BUT, atau "Agreement Procedure. "spesifik batas besaran tarif pajak "
" "pewakilan perusahaan luar negeri ""...the tax so charged shall not "yang dapat dipungut oleh negara "
" "lainnya kepada Wajib Pajak Luar "exceed ___ per cent (the percentage "sumber. "
" "Negeri (selain BUT di Indonesia) "is to be established through ""...the tax so charged shall not "
" "dipotong pajak 20% dari jumlah "bilateral negotiations) of the gross"exceed 10 per cent of the gross "
" "bruto. "amount of the interest. The "amount of the interest. The "
" " "competent authorities of the "competent authorities of the "
" " "Contracting States shall by mutual "Contracting States shall by mutual "
" " "agreement settle the mode of "agreement settle the mode of "
" " "application of this limitation." "application of this limitation." "
"Royalti "Pasal 26 Ayat (1) UU PPh "Art. 12, par. 1 dan 2 "Art. 12, par. 1 "
" "Atas penghasilan royalti yang "Hak pemajakan utama pada negara "Memberikan hak pemajakan sepenuhnya "
" "dibayarkan, disediakan untuk "domisili namun negara sumber dapat "kepada negara domisili "
" "dibayarkan atau telah jatuh tempo "memajaki dengan syarat beneficial " "
" "pembayaran oleh badan pemerintah, "owner. Adanya pembatasan tarif yang " "
" "subyek pajak dalam negeri, "akan dinegosiasikan oleh kedua " "
" "penyelenggara kegiatan, BUT, atau "negara. " "
" "pewakilan perusahaan luar negeri " " "
" "lainnya kepada Wajib Pajak Luar " " "
" "Negeri (selain BUT di Indonesia) " " "
" "dipotong pajak 20% dari jumlah " " "
" "bruto. " " "
"Capital gains of"Pasal 26 Ayat (1) huruf g UU PPh "Art. 13, par. 4 dan 5 "Art. 13, par. 4 "
"the capital "Hak pemajakan utama pada negara "Hak pemajakan utama pada negara "Hak pemajakan utama pada negara "
"stock of a "domisili namun negara sumber dapat"domisili namun negara sumber dapat "domisili namun negara sumber dapat "
"company "memajaki dengan hak pemajakan "memajaki jika transaksi pengalihan "memajaki jika adanya keuntungan "
" "terbatas dan batas jumlah pajak "saham perusahaan (keuntungan, bunga,"transaksi pengalihan saham "
" "tersebut boleh dikreditkan. "trust, dan estate) yang sebagian "perusahaan yang berdomisili di "
" ""...keuntungan karena pengalihan "besar asetnya berupa harta tidak "negara sumber melebihi 50% "
" "dari saham dan sekuritas lainnya "bergerak yang terletak di negara "persentase kepemilikan secara "
" "adalah negara tempat badan yang "sumber; dan transaksi pengalihan "langsung atau tidak langsung "
" "menerbitkan saham atau sekuritas "saham perusahaan yang berdomisili di"terhadap harta tidak bergerak yang "
" "tersebut didirikan atau "negara sumber sepanjang melebihi 50%"terletak di negara sumber. "
" "bertempatkedudukan." "persentase kepemilikan tertentu. " "
"Penghasilan lain"Pasal 24 Ayat (3) "Art. 21, par. 1 "Art. 21, par. 1 "
"lain "Penghasilan lain, selain dari "Penghasilan selain yang sudah diatur"Penghasilan selain yang sudah diatur"
" "Pasal 24 Ayat (3) akan dikenakan "khusus dalam P3B akan dikenakan "khusus dalam P3B akan dikenakan "
" "pajak di negara domisili sesuai "pajak hanya di negara domisili "pajak hanya di negara domisili "
" "dengan undang-undang domestiknya. "sesuai dengan undang-undang "sesuai dengan undang-undang "
" " "domestiknya. "domestiknya. "
sumber: UN Model dan OECD Model, diolah kembali oleh penulis
Pada Tabel 2 ini juga membuktikan bahwa isi P3B Indonesia tidak selalu sama
dengan UN Model ataupun OECD Model melainkan tergantung dari proses
negosiasi antarkedua negara yang melakukan perjanjian.
3.2 Tahapan Negosiasi P3B yang Dilakukan oleh Indonesia
Sebelum penandatanganan P3B, Presiden Indonesia perlu untuk
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu kepentingan-kepentingan nasional,
saling menguntungkan, dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena P3B
merupakan persetujuan untuk mengikatkan diri secara definitif antarnegara
sehingga tiap negara yang bersepakat dalam melakukan transaksi
internasional harus mematuhi aturan yang ada dalam P3B dan menerima
konsekuensi yang ada dalam perjanjian tersebut. Pasal 28 Model P3B
Indonesia menyatakan bahwa P3B akan mulai berlaku pada hari berikutnya
setelah tanggal masing-masing Pemerintah saling memberitahukan secara
tertulis melalui saluran diplomatik bahwa formalitas yang diperlukan di
masing-masing negara pihak telah di penuhi.
Ratifikasi yang dilakukan oleh Negara Indonesia melalui penerbitan
Peraturan Presiden tanpa melalui pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah kedua negara yang melakukan perjanjian meratifikasi dan melakukan
pertukaran ratifikasi, biasanya P3B akan berlaku pada tanggal 1 Januari
tahun berikutnya atau sesuai dengan persetujuan. Akhirnya, P3B juga
mengatur mengenai tata cara terminasi apabila salah satu atau kedua negara
tidak menghendaki lagi pemberlakuan P3B. Apabila ingin mengakhiri P3B,
Pasal 29 Model P3B Indonesia menyatakan dapat menyampaikan alasan
menghentikan perjanjian tersebut secara tertulis melalui saluran diplomatik
pada atau sebelum tanggal 30 bulan Juni setiap tahun takwin berikutnya
setelah jangka waktu 5 tahun dari tahun dimana P3B diberlakukan.
Berikut telah dirangkum data negara mitra yang melakukan P3B dengan
Indonesia pada Gambar 2.
Tabel 3. Daftar Negara Mitra P3B Indonesia
"No."Negara "Status "Penandatanganan "Berlaku Efektif"
"1 "Afrika Selatan "In Force"15/07/1997 "01/01/1999 "
"2 "Aljazair "In Force"28/04/1995 "01/01/2001 "
"3 "Amerika "In Force"11/07/1988 "01/02/1997 "
"4 "Australia "In Force"22/04/1992 "01/07/1993 "
"5 "Austria "In Force"24/07/1986 "01/01/1989 "
"6 "Bangladesh "In Force"19/07/2003 "01/01/2007 "
"7 "Belanda "In Force"29/01/2002 "01/01/2004 "
"8 "Belgia "In Force"16/09/1997 "01/01/2002 "
"9 "Brunei "In Force"27/02/2000 "01/01/2003 "
" "Darussalam " " " "
"10 "Bulgaria "In Force"11/01/1991 "01/01/1993 "
"11 "China "In Force"07/11/2001 "01/01/2004 "
"12 "Denmark "In Force"28/12/1985 "01/01/1987 "
"13 "Finlandia "In Force"15/10/1987 "01/01/1990 "
"14 "Hongkong "In Force"23/03/2010 "01/01/2013 "
"15 "Hungaria "In Force"19/10/1989 "01/01/1994 "
"16 "India "In Force"07/08/1987 "01/01/1988 "
"17 "Inggris "In Force"05/04/1993 "01/01/1995 "
"18 "Iran "In Force"30/04/2004 "01/01/2011 "
"19 "Italia "In Force"18/02/1990 "01/01/1996 "
"20 "Jepang "In Force"03/03/1982 "01/01/1983 "
"21 "Jerman "In Force"30/10/1990 "01/01/1992 "
"22 "Kanada "In Force"01/04/1998 "01/01/1999 "
"23 "Korea "In Force"11/07/2002 "01/01/2005 "
" "(Democratic " " " "
" "People's " " " "
" "Republic of " " " "
" "Korea) " " " "
"24 "Korea (Republic "In Force"10/11/1988 "01/01/1990 "
" "of Korea) " " " "
"25 "Kroasia "In Force"15/02/2002 "01/01/2013 "
"26 "Kuwait "In Force"23/04/1997 "01/01/1999 "
"27 "Luxembourg "In Force"14/01/1993 "01/01/1995 "
"28 "Malaysia "In Force"12/09/1991 "01/01/1987 "
"29 "Maroko "In Force"08/06/2008 "01/01/2013 "
"30 "Meksiko "In Force"06/09/2002 "01/01/2005 "
"31 "Mesir "In Force"13/05/1998 "01/01/2003 "
"32 "Mongolia "In Force"02/07/1996 "01/01/2001 "
"33 "Norwegia "In Force"19/07/1988 "01/01/1991 "
"34 "Pakistan "In Force"07/10/1990 "01/01/1991 "
"35 "Papua Nugini "In Force"12/03/2010 "01/01/2015 "
"36 "Perancis "In Force"14/09/1979 "01/01/1981 "
"37 "Filipina "In Force"18/06/1981 "01/01/1983 "
"38 "Polandia "In Force"06/10/1992 "01/01/1994 "
"39 "Portugal "In Force"09/07/2003 "01/01/2008 "
"40 "Qatar "In Force"30/04/2006 "01/01/2008 "
"41 "Republik Ceko "In Force"04/10/1994 "01/01/1997 "
"42 "Romania "In Force"03/07/1996 "01/01/2000 "
"43 "Rusia "In Force"12/03/1999 "01/01/2003 "
"44 "Saudi Arabia "In Force"09/03/1991 "01/01/1989 "
"45 "Selandia Baru "In Force"25/03/1987 "01/01/1989 "
"46 "Seychelles "In Force"27/09/1999 "01/01/2001 "
"47 "Singapura "In Force"08/05/1990 "01/01/1992 "
"48 "Slovakia "In Force"12/10/2000 "01/01/2002 "
"49 "Spanyol "In Force"30/05/1995 "01/01/2000 "
"50 "Sri Lanka "In Force"03/02/1993 "01/01/1995 "
"51 "Sudan "In Force"10/02/1998 "01/01/2001 "
"52 "Suriah "In Force"27/06/1997 "01/01/1999 "
"53 "Suriname "In Force"14/10/2003 "01/01/2014 "
"54 "Swedia "In Force"28/02/1989 "01/01/1990 "
"55 "Swiss "In Force"29/08/1988 "01/01/1990 "
"56 "Taiwan "In Force"01/03/1995 "01/01/1996 "
"57 "Thailand "In Force"15/06/2001 "01/01/2004 "
"58 "Tunisia "In Force"13/05/1992 "01/01/1994 "
"59 "Turki "In Force"25/02/1997 "01/01/2001 "
"60 "Ukraina "In Force"11/04/1996 "01/01/1999 "
"61 "Uni Emirat Arab "In Force"30/11/1995 "01/01/2000 "
"62 "Uzbekistan "In Force"27/08/1996 "01/01/1999 "
"63 "Venezuela "In Force"27/02/1997 "01/01/2001 "
"64 "Vietnam "In Force"22/12/1997 "01/01/2000 "
"65 "Yordania "In Force"12/11/1996 "01/01/1999 "
sumber: ortax.com, diolah kembali oleh penulis
3.3 Kedudukan Hukum P3B dengan Hukum Domestik di Indonesia
Secara konseptual teoritis, Negara Indonesia menghargai adanya hukum
internasional meskipun tidak dicantumkan dalam UUD 1945 melainkan
dinyatakan dalam Pasal 1 dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
"Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut regional
dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan
daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha,
organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
atau warga negara Indonesia." (Pasal 1)
"Hubungan luar negri diselanggarakan sesuai dengan politik luar negeri,
peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasan
internasional. Ketentuan ini berlaku bagi semua penyelnggara hubungan
luar negeri, baik pemerintah maupun non pemerintah." (Pasal 5 Ayat (1))
Sedangkan, perjanjian internasional antara Negara Indonesia dan negara lain
diatur dalam aturannya lainnya, yaitu di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU PI). UU PI
mengatur perjanjian internasional yang memerlukan dan tidak memerlukan
persetujuan khusus dari Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR)
dalam pengesahaannya untuk digabungkan dalam hukum nasional. Perjanjian
internasional yang memerlukan persetujuan khusus dari DPR tercantum dalam
Pasal 10 UU PI, yaitu:
a) Masalah politik, perdamaian, dan pertahanan serta keamanan.
b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia.
c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara.
d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e) Pembentukan kaidah hukum baru.
f) Pinjaman dan atau hibah luar negeri
Disisi lain, Pasal 11 UU PI menegaskan bahwa pengesahan perjanjian
internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud
Pasal 10 UU PI, dilakukan dengan Keputusan Presiden. P3B merupakan
perjanjian internasional yang mengacu pada UU PI terkait dengan prosedur
formal pengesahan (ratifikasi) P3B. Di keenam poin tersebut tidak ada
elemen yang terkait dengan pajak sehingga P3B sebagai perjanjian
internasional dapat disahkan melalui Keputusan Presiden dan dapat secara
langsung digabungkan dalam hukum nasional melalui Keputusan Presiden sesuai
dengan pernyataan Pasal 11 UU PI.
P3B yang dapat digabungkan secara langsung dalam hukum nasional melalui
Keputusan Presiden sesuai dengan tipe negara menurut Andrea Amatucci dkk
adalah direct effect, yaitu aturan P3B dapat langsung menjadi bagian dari
undang undang domestik baik secara langsung melalui penandatangan presiden
atau melalui ratifikasi oleh parlemen. Tipe negara ini juga dapat
menyatakan aliran mengenai hubungan antara P3B dengan undang-undang
nasional, yaitu monoist. Hubungan monist adalah hukum internasional dengan
hukum nasional merupakan bagian dari undang undang domestik. Aliran
hubungan monoist meletakkan hukum internasional diatas hukum nasional
sehingga P3B mempunyai tingkat yang lebih tinggi dibandingkan undang undang
domestik terkait pajak atas transaksi internasional antarnegara yang
bersepakat dan hal ini didukung oleh hukum pada Pasal 32A Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh)
yang menyatakan bahwa,
"Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak."
Maka, P3B Indonesia bersifat lex specialis derogat lex generali dari UU PPh
dan apabila ada konflik antara P3B dengan hukum domestik maka yang berlaku
adalah P3B (tax treaty superceeding domestic laws).
Adanya asas lex specialis derogate lex generalis dalam ketentuan P3B
sebagai hukum internasional sebuah sifat kekhususan, sedangkan undang-
undang domestik bersifat umum. Sehingga karena kekhususan tersebut, aturan
pemajakan dalam P3B mengesampingkan undang undang domestik yang mengatur
hal yang sama. Undang undang domestik Indonesia pun menganut asas ini
tercantum pada Undang-Undang Pajak Penghasilan tepatnya dalam penjelasan
Pasal 32A UU PPh menyatakan:
"Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan
negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-
spesialis) yang mengatur hak hak pemajakan dari masing masing negara
guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak
berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya
mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta
ketentuan perpajakan nasional masing masing negara."
Selain itu, P3B juga menganut asas lex superiori derogate lex inferiori
yaitu ketentuan yang lebih tinggi mengesampingkan ketentuan yang lebih
rendah. Hukum internasional kedudukannya lebih tinggi daripada undang-
undang domestik. Oleh sebab itu, P3B sebagai hukum internasional yang
berkedudukan lebih tinggi dapat mengesampingkan UU PPh sebagai undang
undang domestik yang memiliki kedudukan lebih rendah.
Adagium hukum lain dalam penerapan P3B yaitu lex posteriori generalis
non derogate lex priori specialis yaitu ketentuan umum yang lebih baru
tidak dapat mengesampingkan ketentuan khusus yang sudah ada sebelumnya.
Ketentuan dalam undang-undang domestik yang telah diubah atau diperbaharui
tidak dapat mengesampingkan ketentuan yang sudah ada terlebih dahulu di
dalam P3B. Oleh karena itu, perubahan UU PPh tidak dapat mengesampingkan
P3B meskipun perubahan tersebut bersifat lebih baru dan lebih relevan
dengan kondisi yang ada sekarang. Apabila ingin melakukan penyesuaian
perubahan dalam UU PPh dengan P3B maka perlu dilakukan renegosiasi P3B.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa P3B mengatur pembagian hak
pemajakan dari masing-masing negara pihak pada persetujuan yaitu dengan
membatasi hak pemajakan dari negara sumber. Apabila sesuai dengan P3B
diatur bahwa negara sumber tidak memiliki hak pemajakan atas suatu jenis
penghasilan yang timbul dari wilayah yurisdiksinya, maka ketentuan domestik
yang mengatur bagaimana pemajakan atas penghasilan itu tidak dapat
diterapkan. Sebaliknya, apabila sesuai dengan P3B diatur bahwa sumber
memiliki hak untuk memajaki penghasilan itu, maka bagaimana cara
memajakinya diatur sesuai dengan kententuan undang-undang domestiknya.
3.4 Hak Pemajakan Negara Indonesia dengan an Another Contracting States
Rachmanto menyatakan bahwa pasal-pasal yang ada didalam P3B pada
hakikatnya adalah distributive rules, yaitu membagi hak pemajakan
antarnegara yang mengadakan perjanjian. Negara Indonesia memiliki variasi
dalam kewenangan untuk mengelola pajak pada P3B dengan negara lain, yaitu
hak pemajakan penuh, pemberian hak pemajakan terbatas, dan pelepasan hak
pemajakan, dengan contoh sebagai berikut:
a) Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights)
Pasal 6 ayat 1 P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa "Penghasilan yang
diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari
harta tak bergerak yang berada di pihak Negara lainnya pada Persetujuan
dapat dikenakan Pajak di Negara lain tersebut", sebagai contoh Koko Xiao
(warga negara Singapura) mempunyai rumah di Jakarta kemudian Koko Xiao
menyewakan rumah tersebut ke Mama Dede (warga negara Indonesia). Atas
penghasilan sewa yang diterima oleh Koko Xiao dikenakan pajak sepenuhnya
oleh Indonesia karena rumah merupakan harta tak bergerak yang terletak di
Indonesia (pada kasus ini di Jakarta). Pada P3B Indonesia – Singapura tidak
diatur mengenai tarif dan tata cara pemajakan sehingga penghasilan sewa
rumah tersebut menggunakan ketentuan UU PPh.
b) Pemberian Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights)
Pasal 11 Ayat (1) P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa "Bunga yang
berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada
penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di
Negara pihak lainnya pada Persetujuan tersebut" yang selanjutnya disebutkan
dalam Pasal 11 Ayat (2) P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa "Namun
demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan tempat bunga itu berasal, dan sesuai dengan perundang-undangan
Negara tersebut, akan tetapi apabila penerima dan pemilik bunga adalah
pemberi pinjaman yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak
akan melebihi 10 persen dari jumlah bruto bunga", sebagai contoh bunga yang
dibayarkan oleh Mama Dede (warga negara Indonesia) atas pinjaman dari Koko
Xiao (warga negara Singapura) dikenakan maksimal 10% dari jumlah bruto
bunga. Bunga tersebut merupakan penghasilan yang bersumber dari Indonesia
sehingga Koko Xiao dinyatakan sebagai subyek pajak luar negeri namun tidak
dapat diterapkan tarif 20% seperti yang tercantum dalam Pasal 26 UU PPh
karena P3B memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.
c) Pelepasan Hak Pemajakan (relinquished taxing rights)
Pasal 9 P3B Indonesia – Amerika mengatur bahwa "....penduduk suatu Negara
Pihak pada Perjanjian akan dikecualikan oleh Negara Pihak lainnya pada
Perjanjian dari pengenaan pajak yang berkenaan dengan penghasilan yang
diperoleh penduduk tersebut dari pengoperasian kapal laut atau pesawat
udara dalam jalur lalu lintas internasional," sebagai contoh Amerika
memiliki perusahaan pesawat bernama US Airlines mengoperasikan pesawat
terbang dengan rute Boston-Medan dan Medan-Boston. Atas penghasilan kedua
rute tersebut akan dikenakan pajak di Amerika dan Indonesia tidak boleh
melakukan pemungutan pajak.
Maka dapat disimpulkan bahwa P3B menyatakan bahwa salah satu negara
pihak pada persetujuan diberikan hak untuk memajaki penghasilan uang yang
timbul maka negara itu dapat menggunakan hak pemajakannya sesuai dengan
undangundang domestiknya dan sebaliknya namun apabila dalam P3B dinyatakan
bahwa negara itu tidak berhak memajaki penghasilan yang dimaksud maka hak
pemajakan yang dimilikinya sebagaimana diatur dalam undang undang
domestiknya tidak berlaku.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Simpulan
P3B merupakan ketentuan yang ditetapkan dan dijalankan oleh kedua pihak
yang melakukan negosiasi terkait dengan hak pemajakan. Pembentukan P3B yang
dilakukan oleh Negara Indonesia lebih mengarah ke UN Model karena
kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang telah tercermin dalam model
tersebut namun secara teoritis ketentuan dalam UN Model mengikuti
perkembangan dari OECD Model sehingga isi P3B Indonesia juga tidak selalu
sama dengan UN Model ataupun OECD Model melainkan tergantung dari proses
negosiasi antarkedua negara yang melakukan perjanjian. Dengan menganut
kedua model P3B, Negara Indonesia memiliki variasi dalam kewenangan untuk
mengelola pajak pada P3B dengan negara lain, yaitu hak pemajakan penuh,
pemberian hak pemajakan terbatas, dan pelepasan hak pemajakan
Setelah dilakukannya penandatangan atas P3B sebagai perjanjian
internasional dapat disahkan melalui Keputusan Presiden dan dapat secara
langsung digabungkan dalam hukum nasional melalui Keputusan Presiden sesuai
dengan pernyataan Pasal 11 UU PI maka perjanjian internasional dalam hal
P3B menganut aliran mengenai hubungan antara hukum internasional dan undang-
undang nasional monoist. Aliran hubungan monoist meletakkan hukum
internasional diatas hukum nasional sehingga P3B mempunyai tingkat yang
lebih tinggi dibandingkan undang undang domestik terkait pajak atas
transaksi internasional antarnegara yang bersepakat dan hal ini didukung
oleh hukum pada Pasal 32A UU PPh. Hingga saat ini, Indonesia telah bermitra
dengan 66 negara terkait dengan P3B.
4.2 Saran
Keuntungan dari adanya P3B adalah mencegah adanya pengenaan pajak
berganda yang disebabkan oleh transaksi antarngera dengan dua yuridiksi
perpajakan yang berbeda, terjaminnya kepastian hukum bagi para investor,
pendorong masuknya investasi asing yang favourable, dan dalam jangka
panjang membantu mengamankan penerimaan pajak[51]. Disisi lain,
ketidaksiapan hukum pada suatu negara dalam menghadapi arus globalisasi
akan mengakibatkan penyelundupan pajak atas loophole yang ada dalam hukum
domestik negara tersebut (tax avoidance). Maka, perlu adanya pembahasan
secara komprehensif mengenai harmonisasi ketentuan perpajakan
antaryuridiksi agar kedua belah negara memiliki keuntungan seimbang
sehingga mampu melawan praktik produk Base Erotion Profit Shifting (BEPS)
[52].
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Amatucci, Andrea, Eusebio González dan Christoph Trzaskalik. International
Tax Law. Belanda: Kluwer, 2006.
Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi. Konsep dan Aplikasi
Perpajakan Internasional. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center, 2010.
Doernberg, Richard. International Taxation in a Nutshell. United States of
America: West Publishing, 2012.
Gunadi. Pajak Internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2007.
Holmes, Kevin. International Tax Policy and Double Tax Treaties: An
Introduction to Principles and Application. Amsterdam: IBFD, 2007.
Jaja Zakaria. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda serta Penerapannya di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
John Hutagaol. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan
Negara-Negara di Kawasan Eropa. Jakarta: Salemba Empat, 2000.
Knechtle. Basic Problems in International Fiscal Law. Deventer: Kluwer,
1979.
Kurniawan, Anang Mury. Tax Treaty: Memahami Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) Melalui Studi Kasus. Jakarta: Bae Media Indonesia,
2012.
Mankiw, N. Gregory. Principles of Economy. Boston: Cengage Learning, 2016.
Miller, Angharad dan Lynne Oats. Principles of International Taxation. West
Sussex: Bloomsbury Professional, 2012.
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.
Sumitro. Pengantar Hukum Internasional 2. Jakarta: Aksara Persada
Indonesia, 1989.
Surahmat, Rachmanto. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: Sebuah
Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
II. Karya Akademis
Dewi Darmawan, "Tinjauan Yuridis Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi
Generali dalam Tindak Pidana Pemilihan Umum yang telah Daluwarsa",
Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 2012, hlm. 75.
Gunawan Pribadi. "Rekonstruksi Kebijakan P3B di Indonesia", Paper,
Kementerian Keuangan, hlm. 6.
Veronika Daurer and Richard Krever, "Choosing Between The UN And OECD Tax
Policy Models: An African Case Study", Working Paper, European
University Institute, 2012, hlm. 1.
Vogel, Klaus. "Double Tax Treaties and Their Interpretation." 1986.
III. Publikasi Elektronik
Maulana, M. Efril. "Siapkah Indonesia Menerapkan Mandatory Disclosure
Rule." 14 Februari 2017. Danny Darussalam Tax Centre News.
http://news.ddtc.co.id/artikel/9345/analisis-perencanaan-pajak-siapkah-
indonesia-menerapkan-mandatory-disclosure-rule/. 19 Februari 2017.
Ortax. "Tax Treaty Efektif." http://www.ortax.org/ortax/?mod=treaty. 10
Maret 2017.
III. Peraturan-Peraturan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
United Nations Model Tax Convention
Organization for Economic Co-operation and Development Model Tax Convention
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Bagi Orang Pribadi Yang Bertolak Ke Luar Negeri
-----------------------
[1] Gunadi, Pajak Internasional, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 1-2.
[2] N. Gregory Mankiw, Principles of Economy, Cengage Learning, Boston,
2016, hlm. 173.
[3] Knechtle, Basic Problems in International Fiscal Law, Kluwer, Deventer,
1979, hlm. 3.
[4] Anang Mury Kurniawan, Tax Treaty: Memahami Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) Melalui Studi Kasus, Bae Media Indonesia, Jakarta,
2012, hlm. 1.
[5] Rachmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: Sebuah
Pengantar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hlm. 29.
[6] Rachmanto Surahmat, loc. cit.
[7] Gunadi, op. cit., hlm. 110-111.
[8] Angharad Miller dan Lynne Oats, Principles of International Taxation,
Bloomsbury Professional, West Sussex, 2012, hlm. 77-78.
[9] Rachmanto Surahmat, op. cit., hlm. 21-23.
[10] Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan
dan Implementasi di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013,
hlm. 127 dan 129.
[11] Gunadi, op.cit., hlm. 118-119.
[12] Andrea Amatucci, Eusebio González, dan Christoph Trzaskalik,
International Tax Law, Kluwer Law International, Belanda, 2006, hlm. 150.
[13] Ibid., hlm. 149.
[14] Kevin Holmes, International Tax Policy and Double Tax Treaties: An
Introduction to Principles and Application, IBFD, Amsterdam, 2007, hlm. 54.
[15] Ibid., hlm. 87.
[16] Anang Mury Kurniawan, op. cit., hlm. 45-49.
[17] Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi
Perpajakan Internasional, DANNY DARUSSALAM Tax Center, Jakarta, 2010, hlm.
5.
[18] John Hutagaol, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan
Negara-negara di kawasan Eropa, Salemba Empat, Jakarta, 2000,hal. 3.
[19] Jaja Zakaria, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda serta
Penerapannya di Indonesia, Raja Grafindo Persadar, Jakarta, 2005, hlm. 6.
[20] Veronika Daurer and Richard Krever, "Choosing Between The UN And OECD
Tax Policy Models: An African Case Study", Working Paper, European
University Institute, 2012, hlm. 1.
[21] Gunawan Pribadi. "Rekonstruksi Kebijakan P3B di Indonesia", Paper,
Kementerian Keuangan, hlm. 10.
[22] Veronika Daurer, loc.cit.
[23] Veronika Daurer, op.cit., hlm. 5.
[24] Veronika Daurer, loc.cit.
[25] John Hutagaol. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan
Negara-negara di kawasan Eropa. Jakarta: Salemba Empat, 2000, hal. 7
[26] Owens, J., & Bennett, M. OECD Model Tax Convention: Why It
Works. Organisation for Economic Cooperation and Development.the OECD
Observer, Proquest, 2008, hlm. 10-11.
[27] Richelle, Isabelle, and Edoardo Traversa. "The Impact of the OECD and
UN Model Conventions on Bilateral Tax Treaties: 4. Belgium." The Impact of
the OECD and UN Model Conventions on Bilateral Tax Treaties, 2012, hlm. 142-
170.
[28] Veronika Daurer, op.cit.hlm 4.
[29] John Hutagaol. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan
Negara-negara di kawasan Eropa. Jakarta: Salemba Empat, 2000, hal. 7
[30] Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi
Perpajakan Internasional, DANNY DARUSSALAM Tax Center, Jakarta, 2010, hal.
23.
[31] Ibid, hal. 29.
[32] Gunawan Pribadi, op.cit., hlm. 6.
[33] Anang Mury Kurniawan, op. cit., hlm. 54-57.
[34] Klaus Vogel, "Double Tax Treaties and Their
Interpretation", International Tax and Bus, Law 4, 1986, hlm. 37.
[35] Andrea Amatucci, Eusebio González, dan Christoph Trzaskalik, op.cit.,
hlm. 158.
[36] Klaus Vogel, op. cit., hlm. 37.
[37] Andrea Amatucci, Eusebio González, dan Christoph Trzaskalik, op. cit.,
hlm 159.
[38] Rachmanto Surahmat, op.cit., hlm. 67
[39] Sumitro, Pengantar Hukum Internasional 2, Aksara Persada Indonesia,
Jakarta, 1989, hlm. 117.
[40] Sumitro, loc. cit.
[41] Rachmanto Surahmat, loc. cit.
[42] Sefriani, op. cit., hlm. 86.
[43] Ibid., hlm. 87.
[44] Gunadi. op.cit., hlm. 183.
[45] Richard Doernberg, International Taxation in a Nutshell, West
Publishing, United States of America, 2012, hlm. 8.
[46] Gunadi, op.cit., hlm. 10.
[47] Ibid., hlm. 56-57
[48] Andrea Amatucci, Eusebio González, dan Christoph Trzaskalik, op.cit.,
hlm. 155.
[49] Kevin Holmes, op. cit., hlm. 154-156.
[50] Dewi Darmawan, "Tinjauan Yuridis Penerapan Asas Lex Specialis Derogat
Legi Generali dalam Tindak Pidana Pemilihan Umum yang telah Daluwarsa",
Skripsi, Universitas Indonesia. Depok, 2012, hlm. 75.
[51] Rachmanto Surahmat, op.cit., hlm. 4-5.
[52] M. Efril Maulana, "Siapkah Indonesia Menerapkan Mandatory Disclosure
Rule", Danny Darussalam Tax Centre News, 14 Februari 2017, diakses dari
http://news.ddtc.co.id/artikel/9345/analisis-perencanaan-pajak-siapkah-
indonesia-menerapkan-mandatory-disclosure-rule/ pada tanggal 19 Februari
2017, par. 1.
-----------------------
9ïëÞÑÞÑÄÞ·Þ«ž«ž«ž«Þ«ëÞ'Þ«Þ«Þ«Þ«Þ«…«Þ«Þ«u«u«u«u«-hÜxäCJOJQJaJmH
sH
hÙ^ÇCJOJQJaJhÙ^Ç5?CJOJQJaJhÜxä6?CJOJQJaJhÜxäCJOJQJaJhºa^5?CJOJQJaJhÜxä5?CJOJ
QJaJhÜxä5?CJOJQJaJhÜxä5?CJOJQJaJhÜxäjhv Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
3
4 Universitas Indonesia
50 Universitas Indonesia
42
42 Universitas Indonesia
45