Presentasi Kasus Gagal Jantung Kronik
Disusunoleh :
Novia Mantari Dera Fakhrunnisa Fakhrunnis a Zuldi Erdiansyah
G1A212102 G1A212103 G1A212109
Pembimbing : dr. Dian Zamroni, Sp.JP
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2013
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :
Gagal Jantung Kronik
Pada tanggal,
Juni2013
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh : Novia Mantari Dera Fakhrunnisa Fakhrunnis a Zuldi Erdiansyah
G1A212102 G1A212103 G1A212109
Mengetahui, Pembimbing
dr. Dian Zamroni, Sp.JP
BAB I LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
: Ny. M
Usia
: 56Tahun
Alamat
: Kebasen,Banyumas
Jenis kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Pendidikan
: SD
Tanggalmasuk
: 28mei 2013
Tanggalperiksa
: 29mei 2013
No. CM
: 88-24-27
B. Anamnesis
1. Keluhanutama : Sesak nafas 2. Keluhantambahan : Kaki bengkak 3. Riwayatpenyakitsekarang Pasien datang dengan keluhan sesak napas dirasakan sejak dua hari SMRS dan semakin memberat. Pasien menyatakan selama ini ( sejak 1 tahun yang lalu) pasien mudah merasa sesak napas terutama jika melakukan aktivitas ringan seperti berjalan dari kamar ke kamar mandi. Pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti memasak ataupun menyapu tanpa merasakan sesak napas. Pasien mengeluhkan sesak nafas bertambah berat jika berada dalam posisi telantang dan sesak nafas berkurang apabila pasien duduk atau tiduran menggunakan bantal tinggi, bvantal yang digunakan sebanyak 4 bantal. Setiap malam pasien hampir selalu terbangun tidur dikarenakan sesak napas. Keluhan sesak
napas tidak disertai bunyi ngik-ngik. Satu hari SMRS pasien merasakan sesak semakin bertambah parah,sesak napas membuat pasien tidak dapat tidur. Sesak napas dirasakan terus menerus walaupun sedang istirahat. Keluhan ini disertai dengan kaki yang membengkak. Kaki bengkak dirasakan sejak dua hari yang lalu. Keluhan kaki bengkak sudah pernah dirasakan
sebelumnya.
Kaki
membengkak
membuat
pasien
sulit
beraktivitas. Kaki membengkak terutama apabila pasien duduk dalam jangka waktu lama. Keluhan kaki membengkan tidak kunjung membaik dalam dua hari terakhir, kaki akan semakin bengkak apabila pasien duduk dalam waktu lama. Pasien juga menyatakan nyeri pada bagian ulu hati sejak kurang lebih 1 minggu SMRS. Nyeri ulu hati ini dirasakan seperti sebah dan kembung hal ini menyebabkan pasien lebih tidak nyaman ketika bernafas. Nyeri ulu hati membaik apabila pasien diberikan makanan, dan memburuk apabila tidak makan dalam jangka waktu yang lama. Nyeri ulu hati tidak diikuti dengan bab berwarna hitam. 4. Riwayatpenyakitdahulu a. Riwayathipertensi
: disangkal
b. Riwayatsakitjantung
: diakui
c. Riwayatkencingmanis
: disangkal
d. Riwayatpenyakitginjal
: disangkal
e. Riwayat penyakit hati
: disangkal
f.
: disangkal
Riwayat alergi
g. Riwayat asthma
: disangkal
h. Riwayat OAT
: disangkal
i.
: 3 kali dengan keluhan yang sama
Riwayat mondok
sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Pertama kali januari 2012 dengan keluhan sesak napas. Keluhan sesak napas sudah dirasakan kurang lebih sepuluh tahun sebelum mondok pertama kali. Terdapat keluhan kaki bengkak ketika pertama kali mondok. Mondok untuk yang kedua dan ketiga yaitu tahun 2012 dengan keluhan yang sama.
5. Riwayatpenyakitkeluarga a. Keluhan yang sama
: disangkal
b. RiwayatHipertensi
: disangkal
c. Riwayat DM
: disangkal
d. Riwayatpenyakitjantung
: disangkal
e. Riwayatpenyakitginjal
: disangkal
f.
: disangkal
Riwayatpenyakithati
g. Riwayat alergi
: disangkal
h. Riwayat asthma
: disangkal
6. Riwayatsosialdanexposure a. Komunitas Pasien tinggal di lingkunganpadat penduduk. Rumahsatudengan yang
lainberdekatan.
Hubunganantarapasiendengantetanggadankeluargadekatbaik. Disekitar lingkungan rumah dinyatakan tidak ada wabah penyakit tertentu. b. Rumah Pasientinggal
bersama
dengan
suaminya.
Rumah
pasien
merupakan rumah permanen. Atap tertutup genteng dan lantai rumah terbuat dari semen. Kamar mandi di dalam rumah. c. Pekerjaan Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.Pasien sering melkukan kegiatan berat seperti mencuci secara manual dan membersihkan rumah. d. Personal habit Pasien tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol. Pasiensetiapharinya makan secara teratur 3 kali sehari. Tidak mempunyai kebiasaan makan asin.
C. Pemeriksaan Fisik Dilakukan di bangsal Mawar RSMS, 29 mei 2013
1. Keadaanumum
: Tampak sesak, sedang
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Tanda vital
:
Tekanandarah
: 100/60 mmHg
Nadi
: 70x/ menit (regular-ireguler, kekuatan sedang)
Respirasi
: 28x/ menit
Suhu
: 36,1ºC
4. BB
: 45 kg
5. TB
: 150 cm
6. Status generalis a. Pemeriksaankepala Bentuk
: mesocephal, simetris, venektasi temporalis (+)
Rambut
: tidakmudahdicabut, distribusi merata
Mata
: conjungtivaanemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulatisokor,diameter 3 mm THT
: Tonsil T1 – T1, lidah tampak kotor (-), tremor (-),discharge (-), napas cuping hidung (-/-)
Mulut
: Bibirsianosis (-), lidahsianosis (-)
Leher
: deviasitrakea (-), tidak teraba pembesaran tiroid, JVP 5+3 cmH2O
b. Pemeriksaan dada Paru
Inspeksi
:Dinding
dada
tampaksimetris,
tidaktampakketinggalangerakantarahemithoraksdextradansi nistra, kelainanbentuk dada (-),retraksiinterkostalis (+) Palpasi
: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi
: Perkusiorientasiseluruhlapangparusonor Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suaradasarvesikuler +/+ Ronkibasahhalus +/+ Ronkibasahkasar -/Wheezing -/Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis di SIC V 2 jarilateral LMCS Pulsasi epigastrium (+), pulsasi parasternal (-)
Palpasi
: ictus cordis diSIC V 2 jarilateral LMCSkuat angkat. thrill
(+) Perkusi
: batas jantung kanan atas
: SIC II LPSD
kiri atas
: SIC II LPSS
kanan bawah
: SIC V LPSD
kiribawah
: SIC V 2jarilateral LMCS
Auskultasi : Apeks: M1 > M2, murmur sistolik. Pada SIC II LPSD dan SIC II LPSS terdapat murmur sistolik. Gallop (-) Abdomen
Inspeksi
: cembung
Auskultasi : bisingusus (+) N Palpasi
: nyeritekan (-) pada seluruh lapang paru, test undulasi (-
)Hepatojugular Refleks (-) Perkusi
: timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Hepar dan lien : sulit dinilai Renal
: nyeri ketok kostovertebrae -/-
Ekstremitas :
Edema Sianosis Akraldingin Reflekfisiologis Reflekpatologis
Ekstremitas Ekstremitas superior inferior Dextra Sinistra Dextra Sinistra + + + + + + -
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darahLengkap 1. Tanggal20 Maret 2013 Darahlengkap
Hemoglobin
: 13,9g/dl
Leukosit
: L 16780uL
Hematokrit
: 40%
Eritrosit
: 4.7 10^6/uL
Trombosit
: 124.000/uL
MCV
: 86,1fL
MCH
: 29.8pg
MCHC
: 34.7 %
RDW
: 14.0%
MPV
: 10.8
HitungJenis
Basofil
: 0,2%
Eosinofil
: L 0.1%
Batang
: L 0,00%
Segmen
: H 90.6%
Limfosit
: 3.4%
Monosit
: 5.7 %
Kimia Klinik SGOT
: H69
SGPT
: 43
GDS
: 92
Natrium
: 136
Kalium
: 5.1
Klorida
: 98
Pemeriksaan EKG
Gambar 1 Hasil Pemeriksaan Elektrokardiografi
Kesimpulan
: Sinus Rhtym . HR 130 bpm, ST-T Changes (-), Incomplete RBBB
E. DIAGNOSA
Gagal Jantung Kronik Stadium C NYHA III
F. Pemeriksaan Penunjang yang Diajukan
1. EKG 2. Ekokardiografi 3. Pemeriksaan Fungsi tiroid 4. Pemeriksaan Enzim jantung 5. Kontrol fungsi hati, ginjal, dan elektrolit
G. Tatalaksana
1. Non Farmakologis a. Bed rest 2. Farmakologi Di IGD (28 Mei 2013. 19.00) a. IVFD RL 10 TPM b. Injeksi Lasix 2 1 amp c. P.o ISDN 5 mg d. Po. Bisoprolol 2 x 2.5 mg e. Rawat bangsal Tanggal 29Mei 2013 a. IVFD RL 10 tpm b. Inj. Lasix 2x1 amp c. Inj. Cedocard 1 mg d. Inj. Fargoxin 1 amp extra e. Po. Canderin 1x 8 mg f.
P.o Bisoprolol 2.5 mg
g. Po. Spironolacton 1 x 25 mg
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah sindrom klinis akibat penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi natrium dan air yang abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongesti ini dapat terjadi dalam paru atau sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung pada apakah gagal jantungnya pada sisi kanan atau menyeluruh. 1 Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai dengan peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal jantung kongestif biasanya disertai dengan kergagalan pada jantung kiri dan jantung kanan.2
B. Epidemiologi
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.3 Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita. 3
C. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal ( preload) meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir (afterload ) meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. 3 Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang mengganggu pengisian
ventrikel
(misal,
stenosis
katup
atrioventrikularis)
dapat
menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti perikarditis konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel. Dengan demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologik atau kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya gagal jantung; efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh
berbagai gangguan patofisiologis. Penelitian terbaru menekankan pada peranan TNF dalam perkembangan gagal jantung. Jantung normal tidak menghasilkan TNF, namun jantung mengalami kegagalan menghasilkan TNF dalam jumlah banyak. 3 Demikian juga, tidak satupun penjelasan biokimiawi yang diketahui berperan dalam mekanisme dasar terjadinya gagal jantung. Kelainan yang mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokardium juga tidak diketahui. Diperkirakan
penyebabnya
adalah
kelainan
hantaran
kalsium
dalam
sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil. 4 Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru, serta emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respons mekanis, respons mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan. Penanganan gagal jantung yang efektif membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis penyakit yang mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.
D. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut: 1.
Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.
2.
Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3.
Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4.
Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat beristirahat. 5 American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu: 1.
Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2.
Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki gejala-gejala dari gagal jantung
3.
Stage C pasien memiliki penyakit jantung structural dan memiliki gejalagejala dari gagal jantung
4.
Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi khusus. 6
E. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output . Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terj aga. 7 Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. 7 Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin
II
plasma
dan
aldosteron.
Angiotensin
II
merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus
vagal
dan
merangsang
pelepasan
aldosteron.
Aldosteron
akanmenyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. 6,7 Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. 2,6 Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. 2 Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.2,6 Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
Gambar 1. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF.
F.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler. 1.
Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik dan karakteristik forward orbackward , left or right heart failure. Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart Study :
a.
Kriteria mayor :
b.
1)
Paroksismal nokturnal dispneu
2)
Ronki paru
3)
Edema akut paru
4)
Kardiomegali
5)
Gallop S3
6)
Distensi vena leher
7)
Refluks hepatojugular
8)
Peningkatan tekanan vena jugularis
Kriteria minor : 1)
Edema ekstremitas
2)
Batuk malam hari
3)
Hepatomegali
4)
Dispnea d’effort
5)
Efusi pleura
6)
Takikardi (120x/menit)
7)
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor. 2.
Pemeriksaan Penunjang a.
Laboratorium Darah -
Pemeriksaan darah lengkap
-
Kimia klinik (SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, natrium, kali um, klorida, kolesterol total, LDL, HDL)
b.
Elektrokardiogram Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat menunjukkan bukti MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia, namun alam kasus noncardiogenic, EKG biasanya normal.
c.
Radiologi 1)
Foto thoraks
Fungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui ukuran dan bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paru paru.
9
atau
Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu
lebih
pada
ruang-ruang
di
jantung,
menghasilkan
pembesaran pada jantung. Pemeriksaan radiologi memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien. 2)
Computed Tomography CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis r utin dan manajemen gagal jantung kongestif. 9 Multichannel CT scan berguna dalam menggambarkan kelainan bawaan dan katup, namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik (MRI)
dapat
memberikan
informasi
yang
sama
tanpa
mengekspos pasien untuk radiasi pengion. 9 3)
Echocardiografi Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui atau diduga. Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan katup primer dan sekunder dapat dinilai secara akurat. Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran berharga dalam menentukan fungsi diastolik dan dalam menegakkan diagnosis HF diastolik.
9
Dua dimensi dan Ekokardiografi
Doppler dapat digunakan untuk menentukan kinerja sistolik dan diastolik LV(ventrikel kiri), cardiac output (fraksi ejeksi), dan tekanan
arteri
pulmonalis
dan
pengisian
ventrikel.
Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit katup penting secara klinis.Tingkat kepercayaan di echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan positif palsu dan negatif palsu yang rendah.
9
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penalaksanaan
secara
penderita non
dengan
farmakologis
gagal dan
jantung
secara
meliputi
farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 1. Non Farmakalogi : a. Anjuran umum : 1)
Edukasi
:
terangkan
hubungan
keluhan,
gejala
dengan
pengobatan. 2)
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
3)
b.
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
Tindakan Umum : 1)
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
2)
Hentikan rokok
3)
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
4)
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
5)
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
2.
Farmakologi
Terapi
farmakologik
terdiri
atas
panghambat
ACE,
Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia. 14,15 a.
Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b.
Penghambat
ACE
bermanfaat
untuk
menekan
aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. c.
Penyekat
Beta
bermanfaat
sama
seperti
penghambat
ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik. d.
Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e.
Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f.
Antikoagulan
dan
antiplatelet.
Aspirin
diindikasikan
untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis
dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel. g.
Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h.
Antagonis
kalsium
dihindari.
Jangan
menggunakan
kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cai ran (1,5 – 2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring
jangka
pendek
dapat
membantu
perbaikan
gejala
karena
mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.
13
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca infark. 13 Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi
duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter. 13 Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan. 13
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan. 13
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam. 13 Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit. 13
Nesiritide
adalah
peptide
natriuretik
yang
merupakan
vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan
laju
jantung,
meningkatkan
stroke
volume
karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit.
13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.
13
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt.
13
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclicAMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 – 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt.
13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt.
13
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi.
13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra
aorta,
pemasangan
pacu
jantung ,
implantable
cardioverter
defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok
kardiogenik yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau
ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik
dan
blok
atrioventrikular
derajat
tinggi. Implantable
cardioverterdevice bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik. 13
H. Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu: (2) 1.
Kelas NYHA I
: mortalitas 5 tahun 10-20%
2.
Kelas NYHA II
: mortalitas 5 tahun 10-20%
3.
Kelas NYHA III
: mortalitas 5 tahun 50-70%
4.
Kelas NYHA IV
: mortalitas 5 tahun 70-90%
I.
KESIMPULAN
1. Diagnosis pasien ini adalah gagal jantung kronik (NHYA III Stadium C) Didasarkan oleh anamnesis, yaitu sesak napas, lemah, kaki bengkak. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema inferior, ronki paru, peningkatan JVP. Pemeriksaan EKG didapatkan LAD dan pemeriksaan laboratorium darah tidak didapatkan kelainan 2. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien ini ekokardiogram untuk menentukan kemungkinan kelainan katub yang menyebabkan. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya meliputi fungsi hati, ginjal, dan elektrolit untuk menilai keberhasilan pengobatan dan efek samping. 3. Penanganan pasien ini dilakukan dengan memberikan ACE inhibitor, diuretik, beta blocker, glikosida jantung.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV
2.
Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal medicine.2005; ed XVI
3.
Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan .Buku ajar kardiologi. jakarta : balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia, 2004.hal 7 – 17,115 – 126.
4.
Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M .Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.hal.633-640.
5.
Oemar, Hamed.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. 2004. hal. 7-12.
6.
Kumar, Cotran, Robbins .Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007. Vol. Volume 2.
7.
Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott Williams & Wilkins 2007 ; hal.167-168.
8.
Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of the adult patient sixth edition Philadephia, USA: Lipincott Williams & ,
Wilkins 2009;.hal.275-287 9.
Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition Australia: Blackwell ,
publishing 2006;hal. 10-11. 10.
Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
11.
Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76 : 49- 62.
12.
Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
13.
Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with heart failure. A statement for healthcare professionals from The Cardiovascular Nursing Councils of The American Heart Assiciation Circulation 2000