BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sistem kardiovaskuler merupakan sistem yang memberi fasilitas proses pengangkutan berbagai substansi dari, dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri dari organ penggerak yang disebut jantung, dan sistem saluran yang terdiri dari arteri yang mergalirkan darah dari jantung, dan vena yang mengalirkan darah menuju jantung. Jantung manusia merupakan jantung berongga yang memiliki 2 atrium dan 2 ventrikel. Jantung merupakan organ berotot yang mampu mendorong darah ke berbagai bagian tubuh. Jantung manusia berbentuk seperti kerucut dan berukuran sebesar kepalan tangan, terletak di rongga dada sebalah kiri. Jantung dibungkus oleh suatu selaput yang disebut perikardium. Jantung bertanggung jawab untuk mempertahankan aliran darah dengan bantuan sejumlah klep yang melengkapinya. Untuk mejamin kelangsungan sirkulasi, jantung berkontraksi secara periodik. Otot jantung berkontraksi terus menerus tanpa mengalami kelelahan. Kontraksi jantung manusia merupakan kontraksi miogenik, yaitu kontaksi yang diawali kekuatan rangsang dari otot jantung itu sendiri dan bukan dari syaraf. Gagal jantung sangat sering ditemukan. Penyakit ini termasuk salah satu dari urutan tertinggi dalam daftar penyebab kematian dikebanyakan negara-negara Barat, tetapi di negara tropis penyakit ini juga merupakan penyebab sangat penting dari invaliditas dan bahkan kematian
Anatomi Jantung : 1. Bentuk Serta Ukuran Jantung Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskuler. Jantung dibentuk oleh organ-organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri. Ukuran jantung panjangnya kirakira 12 cm, lebar 8-9 cm seta tebal kira-kira 6 cm. Berat jantung sekitar 715 ons atau 200 sampai 425 gram dan sedikit lebih besar dari kepalan tangan. Ada 4 ruangan dalam jantung dimana dua dari ruang itu disebut atrium dan sisanya adalah ventrikel. Pada orang awam, atrium dikenal dengan serambi dan ventrikel dikenal dengan bilik. Kedua atrium merupakan ruang dengan dinding otot yang tipis karena rendahnya tekanan yang ditimbulkan oleh atrium. Sebaliknya ventrikel mempunyai dinding otot yang tebal terutama ventrikel kiri yang mempunyai lapisan tiga kali lebih tebal dari ventrikel kanan. Kedua
atrium
dipisahkan
oleh
sekat
antar
atrium
(septum
interatriorum), sementara kedua ventrikel dipisahkan oleh sekat antar ventrikel (septum inter- ventrikulorum). Atrium dan ventrikel pada masing-masing sisi jantung berhubungan satu sama lain melalui suatu penghubung yang disebut orifisium atrioventrikuler. Orifisium ini dapat terbuka atau tertutup oleh suatu katup atrioventrikuler (katup AV). Katup AV sebelah kiri disebut katup bikuspid (katup mitral) sedangkan katup AV sebelah kanan disebut katup trikuspid.
2. Katup-Katup Jantung Diantara atrium kanan dan ventrikel kanan ada katup yang memisahkan keduanya yaitu katup trikuspid, sedangkan pada atrium kiri dan ventrikel kiri juga mempunyai katup yang disebut dengan katup mitral/ bikuspid. Kedua katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat terbuka dan tertutup pada saat darah masuk dari atrium ke ventrikel. •
Katup Trikuspid Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan. Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan menuju ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi mencegah kembalinya aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat kontraksi
ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3 daun katup. •
Katup pulmonal Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam ventrikel kanan melalui trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan berhubungan dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang terbuka bila ventrikel kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel kanan relaksasi, sehingga memungkinkan darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis.
•
Katup bikuspid Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium kiri menuju ventrikel kiri.. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup.
•
Katup Aorta Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta. Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan menutup pada saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali kedalam ventrikel kiri. Jantung adalah salah satu organ tubuh yang vital. Jantung kiri berfungsi memompa darah bersih (kaya oksigen/zat asam) ke seluruh tubuh, sedangkan jantung kanan menampung darah kotor (rendah oksigen, kaya karbon dioksida/zat asam arang), yang kemudian dialirkan ke paru-paru untuk dibersihkan. Jantung normal besarnya segenggam tangan kiri pemiliknya. Jantung berdenyut 60-80 kali per menit, denyutan bertambah cepat pada saat aktifitas atau emosi, agar kebutuhan tubuh akan energi dapat terpenuhi. Andaikan denyutan jantung 70 kali per
menit, maka dalam 1 jam jantung berdenyut 4200 kali atau 100.800 kali sehari semalam. Tiap kali berdenyut dipompakan darah sekitar 70 cc, jadi dalam 24 jam jantung memompakan darah sebanyak kira-kira 7000 7.571 liter. Jantung mempunyai dua fungsi : 1. Jantung harus menyediakan darah yang cukup mengandung oksigen dan nutrisi untuk organ-organ dari tubuh, darah ini harus mempunyai tekanan yang cocok untuk perfusi dan pemberian makanan. Pada saat yang sama jantung juga harus memompakan darah yang mengandung bahan-bahan sisa ke organ- organ ekskresi misalnya hati dan ginjal dan memompakan darah yang suhunya berlebihan ke sistem pendingin dari tubuh, yaitu pembuluh darah di kulit. Semua hal ini dapat dilakukan oleh jantung sebelah kiri. 2. Fungsi lain dari jantung ialah mengisi darah dengan oksigen yang segar dari udara dan pada saat yang bersamaan mengekskresi salah satu hasil akhir metabolisme yaitu karbondioksida. Pertukaran kedua gas ini dengan udara dari alveoli paru berlangsung melaui membran alveolus yang sangat tipis. Jika tekanan sama tingginya dengan tekanan di bilik kiri atau aorta, cairan darah segera akan mengisi alveoli dengan cara filtrasi dan penderita akan mati oleh karena edema paru.
1.2. Epidemiologi Gagal jantung adalah merupakan suatu sindrom, bukan diagnosa penyakit. Sindrom gagal jantung kongestif (Chronic Heart Failure/ CHF) juga mempunyai prevalensi yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang buruk. Prevalensi CHF adalah tergantung umur/agedependent. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah
45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun. Dengan semakin meningkatnya angka harapan hidup, akan didapati prevalensi dari CHF yang meningkat juga. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya lansia yang mempunyai hipertensi akan mungkin akan berakhir dengan CHF. Selain itu semakin membaiknya angka keselamatan (survival) post-infark pada usia pertengahan, menyebabkan meningkatnya jumlah lansia dengan resiko mengalami CHF. Angka kejadian PJPD (Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah) di Amerika Serikat pada tahun 1996 dilaporkan hampir mencapai 60 juta penderita, ternyata dari 5 orang Amerika 1 diantaranya menderita PJPD. Macam-macam PJPD di negeri itu dapat dilihat pada tabel 1. Tekanan darah tinggi paling sering dijumpai, disusul dengan Penyakit Jantung Koroner dan Stroke. Gagal Jantung Kongestif merupakan komplikasi Tekanan Darah Tinggi yang tak terkontrol dengan baik, atau PJK yang luas, cukup sering ditemukan.
JENIS PENYAKIT
JUMLAH PENDERITA
1. Tekanan Darah Tinggi
50.000.000
2. Penyakit Jantung Koroner
12.000.000
3. Infark Miokard
7.000.000
4. Iskemia Miokard
6.200.000
5. Stroke
4.400.000
6. Gagal Jantung Kongestif
4.000.000
7. Penyakit Jantung Reumatik
1.800.000
8. Penyakit Jantung Bawaan
1. 000.000
Tabel 1. Jenis Penyakit Jantung dan pembuluh Darah serta angka kejadiannya di USA
Gagal jantung merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang banyak dijumpai dan menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas utama baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. (6) Data yang diperoleh dari rekam medik Rumah Sakit RK Charitas diperoleh data prevalensi penderita CHF pada tahun 2008 sebanyak 114 orang, sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 135 orang, dan pada periode bulan Januari sampai dengan Juni 2010 berjumlah sebanyak 72 orang. 10
BAB II PEMBAHASAN II.1.
DEFINISI Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.2 Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA.2 Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan pembagian: •
Derajat I : tanpa gagal jantung
•
Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
•
Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
•
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu: •
Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
•
Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
•
Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
•
Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
II.2.
ETIOLOGI Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di Negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi.4 Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai Penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.4 Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya
infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.4 Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolic (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.4,5 Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi
kardiomiopati
alkohol
dilatasi
yang
(penyakit
berlebihan
otot
jantung
dapat
menyebabkan
alkoholik).
Alkohol
menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung. Terdapat sejumlah factor yang berperan dalam perkembangan dan bertnya gagal jantung : 1. Meningkatnya laju metabolisme (misalnya, demam dan tirotoksikosis) 2. Hipoksia dan anemia : memerlukan peningkatan cairan jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik ; menurunkan suplai oksigen ke jantung. 3. Asidosis (respiratori atau metabolik) 4. Abnormalitas elektrolit : menurunkan kontrktilitas jantung. 5. Disritmia jantung : terjadi denga sendirinya atau secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungus jantung.
II.3.
PATOFISIOLIGI Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar asopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.6,7 Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.6 Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin
II
plasma
dan
aldosteron.
Angiotensin
II
merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.6,7 Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.2,6 Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.2 Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide
vasokonstriktor
yang
poten
menyebabkan
efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian.
Telah
dikembangkan
endotelin-1
antagonis
sebagai
obat
kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.2,6 Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri. Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi baik pada jantung dan secara sistemik. Jika stroke volume kedua ventrikel berkurang oleh karena penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir diastolik dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium akhir diastolik,
menimbulkan waktu sistolik menjadi singkat (hukum Starling pada jantung). Jika kondisi ini berlangsung lama, terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa baik, tetapi peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama/ kronik akan dijalarkan ke kedua atrium dan ke sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sistemik. Akhirnya, tekanan kapiler akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema sistemik. Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan sistem humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium, frekuensi denyut jantung dan tons vena; perubahan terakhir ini akan menimbulkan peningkatan volume darah central. Yang selanjutnya menimbulkan peningkatan preload. Meskipun adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya, dan peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner. Aktivasi sistem saraf simpatis juga meningkatkan resistensi perifer; adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital, tetapi jika aktivasi ini sangat meningkat malah akan menurunkan aliran darah ke ginjal dan jaringan. Resistensi vaskuler perifer juga merupakan determinan utama afterload ventrikel, sehingga aktivitas simpatis yang berlebihan dapat menekan fungsi jantung itu sendiri.
II.3.1. Gagal jantung kiri Gagal jantung kiri terjadi bila curah (output) ventrikel kiri kurang dari volume total darah yang diterima dari jantung kanan melalui sirkulasi pulmoner. Akibatnya terjadi bendungan di sirkulasi paru, dan tekanan darah sistemik turun. Penyebab paling umum dari gagal ventrikel kiri adalah infark miokard.
Penyebab lain meliputi hipertensi sistemik, stenosis atau insufisiensi aorta, dan kardiomiopati. Stenosis mitral dan insufisiensi mitral juga dapat menyebabkan gejala gagal jantung kiri. Pada tahap awal gagal jantung kiri dispnea terlihat bila cadangan jantung berlebihan. Pada saat awitan mulai mengumpul dalam kapiler pulmonal, pembentukan edema interstisial menyebabkan defek pada oksigenasi. Saturasi oksigen darah menurun, menyebabkan kemoreseptor merangsang pusat pernapasan. Pada awalnya frekuensi pernapasan meaingkat selama latihan dan selanjutnya bahkan pada saat istirahat. Napas pendek pada aktivitas fisik (dispnea pada aktivitas fisik) adalah gejala umum dan relatif dini. Individu ini dapat mengeluh sesak napas bila berjalan atau setelah makan banyak. Ketidakmampuan bernapas dalam posisi telentang disebut ortopnea. Pada gagaljantung kiri kronis, edema pulmonal interstisial dan alveolar mungkin ada setiap waktu; posisi duduk tegak dipilih sehingga cairan turun ke dasar paru, yang membuat bernapas lebih mudah.
II.3.2. Gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan terjadi bila curah ventrikel kanan kurang dari masukan dan sirkulasi vena sistemik. Sebagai akibatnya, sirkulasi vena sistemik terbendung, dan curah ke paru-paru menurun. Penyebab utama adalah gagal jantung kiri, yang menyebabkan tekanan pulmoner naik, sehingga ventrikel kanan bertambah bebannya. Tanda dan gejala dari gagal jantung kanan dikarakteristikkan oleh edema dependen dan pitting dapat dilihat pada sternum atau sakrum pada individu yang berbaring serta pada kaki dan tungkai individu yang duduk. Pembesaran limpa dan hati dapat menyebabkan tekanan pada organ sekitar, keterlibatan pemapasan, dan disfungsi organ. Asites juga terjadi bila gagal jantung kanan berat dan dapat menyebabkan restriksi pemapasan dan
tekanan abdomen. Efusi pleural juga dapat terlihat karena peningkatan tekanan kapiler distensi vena jugularis terjadi dan dapat diukur di tempat tidur. Pada gagal jantung murni (tidak dicetuskan oleh gagaljantung kiri), gejala pulmonal minimal sampai tidak ada. Edema perifer mungkin masif dan secara bertahap mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh, suatu kondisi yang disebut anasarka.
II.4.
MANIFESTASI KLINIS Meningkatnya volume intravaskuler Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat Edema paru akibat peningkatan tekanan vena pulmolalis sehingga cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli, yang dimanifestasikan dengan batuk dan napas pendek Edema perifer umum dan penambahan berat badan akibat tekan sistemik Turunnya curah jantung akibat darah tidak dapat mencapai jaringa dan organ Tekanan perfusi ginjal menurun mengakibatkan pelepasan renin dari ginjal, yang pada gilirannya akan menyebabkan sekresi aldostoron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler. Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur
pasien, beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung. Pasien dengan kelainan jantung yang dalam kompensasi karena pemberian obat gagal jantung, dapat menunjukkan gejala akut gagal jantung
bila dihadapkan kepada stress, misalnya penyakit infeksi akut. Pada gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri yang terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri, biasanya ditemukan keluhan berupa perasaan badan lemah, berdebar-debar, sesak, batuk, anoreksia, keringat dingin. Tanda obyektif yang tampak berupa takikardi, dispnea, ronki basah paru di bagian basal, bunyi jantung III (diastolic gallop)atau terdengar bising apabila terjadi dilatasi bilik, pulsus alternan. Pada gagal jantung kanan yang dapat terjadi karena gangguan atau hambatan daya pompa bilik kanan sehingga isi bilik kanan menurun, tanpa didahului oleh adanya Gagal jantung kiri, biasanya gejala yang ditemukan berupa edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, lunak dan nyeri bila ditekan; edema pada vena perifer (vena jugularis), gangguan gastrointestinal dan asites. Keluhan yang timbul berat badan bertambah akibat penambahan cairan badan, kaki bengkak, perut membuncit, perasaan tidak enak di epigastrium. Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan : Gejala paru berupa : dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer. Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium. Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi : dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadangkadang hemoptisis, ditambah gejala low output seperti : takikardi, hipotensi dan oliguri beserta gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pectoris pada infark miokard akut. Apabila telah terjadi
gangguan fungsi bilik jantung yang berat, maka dapat ditemukan pulsus alternan. Pada keadaan yang sangat berat dapat terjadi syok kardiogenik. Tempat kongestif tergantung dari ventrikal yang terlibat : Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri Gagal jantung sebelah kiri ; menyebabkan pengumpulan cairan di dalam paru- paru (edema pulmoner), yang menyebabkan sesak nafas yang hebat. Pada awalnya sesak nafas hanya dirasakan saat seseorang melakukan aktivitas, tetapi sejalan dengan memburuknya penyakit maka sesak nafas juga akan timbul pada saat penderita tidak melakukan aktivitas. Sedangkan tanda lainnya adalah cepat letih (fatigue), gelisah/cemas (anxity), detak jantung cepat (tachycardia), batuk-batuk serta irama degub jantung tidak teratur (Arrhythmia). Tanda dan gejala : a. Dispnea : akibat penimbuan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang. b. Ortopnea : kesulitan bernapas saat berbaring Patofisiologi orthopnoea adalah sebagai berikut : pada waktu pasien berbaring, terjadi redistribusi cairan dari jaringan perifer ke paru-paru sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler pulmonary. Hal ini kemudian men-stimulasi ujung saraf pada paruparu sehingga terjadilah orthopnoea. c. Paroximal : nokturna dispnea (terjadi bila pasien sebelumnya duduk lama dengan posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur) d. Batuk : bias batuk kering dan basah yang menghasulkan sputum berbusa dalam jumlah banyak kadang disertai banyak darah.
e. Mudah lelah : akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat cairan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuanggan sisa hasil kataboliame. f. Kegelisahan : akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernapas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
Disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan Sedangkan Gagal jantung sebelah kanan ; cenderung mengakibatkan pengumpulan darah yang mengalir ke bagian kanan jantung. Sehingga hal ini menyebabkan pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai, perut (ascites) dan hati (hepatomegaly). Tanda lainnya adalah mual, muntah, keletihan, detak jantung cepat serta sering buang air kecil (urin) dimalam hari (Nocturia).
Tanda dan gejala : a. Edema ekstremitas bawah atau edema dependen b. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen c. Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena didalam rongga abdomen d. Nokturna : rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring. e. Lemah : akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuanggan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.
Perubahan-perubahan yang terlihat pada gagal jantung :
1
2
3
Keterangan :
Gambar 1
: Jantungnormal
Gambar 2
: Dinding jantung merentang dan bilik-
bilik jantung membesar, dinding jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah
Gambar 3
:
Dinding-dinding
jantung
menebal,
dinding otot jantung menebal untuk memompa lebih kuat.
II.5.
PEMERIKSAAN FISIK Merupakan prosedur untuk memperoleh data, mengetahui tubuh dan
keadaan fisik klien dalam menentukan diagnostik dan kondisinya, serta pengobatannya. Prosedur pemeriksaan : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. II.5.1. Pemeriksaan fisik umum : a. Keadaan umum pasien
Kelainan Umur pasien Tampak sakit atau tidak Kesadaran dan keadaan emosi dalam keadaan nyaman atau distres Sikap dan tingkah laku b. Tanda vital Pernapasan Nadi Tekanan darah Suhu c. Posture tubuh Berat badan Tinggi badan Bentuk keseluruhan Tekstur kulit Pemeriksaan fisik dilakukan setelah pengambilan anamnesis, perhatikan kepala, leher, torso badan, ekstremitas kiri dan kanan. II.5.2. Kerangka pemeriksaan fisik system kardiovaskuler a. Pada waktu anamnesa, perhatikan wajah pasien, apakah terlihat cemas, tertekan, sesak napas atau tanda-tanda khas penyakit tertentu. b. Periksalah tangan pasien, apakah terasa hangat, berkeringat atau cyanosis
perifer;
periksalah
adanya
clubbing
atau
splinter
haemorrhages pada kuku . c. Palpasi arteri radialis, hitung frekwensi denyut dan tentukan iramanya. d. Tentukan lokasi dan palpasi arteri brachialis, tentukan sifatnya. Ukur tekanan darah. Bila ada kecurigaan ada masalah pada arcus aorta, maka bandingkan denyutnyapada kedua lengan.
e. Pasien berbaring 45°, tentukan tekanan vena jugularis dan bentuk denyut-nya. f. Perhatikan wajah pasien, periksa konjunctiva, lidah dan mulut. g. Palpasi arteri carotis dan tentukan sifatnya. h. Perhatikan dada pasien, inspeksi pericardium dan tentukan jenis pernapasannya,serta perhatikan apakah ada pulsasi yang abnormal i. Palpasi precordium, tentukan lokasi denyut apex dan sifatnya. Perhatikan precordium saat istirahat, apakah ada vibrilasi atau trill yang abnormal. j. Dengarkan dengan stethoschope dan periksalah suara jantung, apakah ada murmur. Bila memungkinkan, dengarkan arteri carotis untuk mencari radiasi murmur atau bruit. k. Perkusi dan auskultasi dada di depan dan belakang, carilah apakah ada efusi pleura. Dengarkan, apakah ada krepitasi pada dasar paru. II.6.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG : hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis, iskemia dan kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia (takikardi, fibrilasi atrial) 2. Rontgen Dada : menunjukan pembesaran jantung, banyaknya mencerminkan dilatasi/ hipertropi bilik. Perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan peningkatan pulmonal (edema pulmonal) 3. Sonogram : dapat menunjukan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam fungsi/ struktur katup atau area penurunan kontrktilitas ventrikuler. (Echokardiogram) 4. Scan Jantung : penyuntikan fraksi dan perkiraan gerakan dinding (Multigated Acuquistion/ MUSA)
5. Kateterisasi Jantung : tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung kanan dan kiri serta stenosis katup atau insufisiensi. II.7.
DIAGNOSIS Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai.8-10 Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.2,11,12 Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.8,10 Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.8 Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.8 Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACEinhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.2,8,12-14 Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui
tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.8,15
II.8.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
penderita
dengan
gagal
jantung
meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan progosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya.2,16 Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna katup prostesis.16 Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi penatalaksaan non farmakologis dan farmakologis. Gagal jantung kronis bisa terkompensasi
ataupun dekompensasi. Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yang mungkin timbul adalah episode udema paru akut maupun malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak nafas saat aktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat.15 Obat – obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain: diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, βblocker
(carvedilol,
bisoprolol,
metoprolol),
digoxin,
spironolakton,
vasodilator (hydralazine/nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik.15-17 Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.16 Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca infark.2,17 Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab,
perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan.2 Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base
excess
menunjukkan
perfusi
jaringan,
semakin
rendah
menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter.16 Pemberian
loop
diuretik
intravena
seperti
furosemid
akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.2,18 Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.2 Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam.2,19 Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung
yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit.2,19 Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan
stroke
volume
karena
berkurangnya
afterload.
Dosis
pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit.2 Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.1,2,16 Pemberian dopamin < 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik β1 dan β2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt.2
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 – 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt.2 Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt.2 Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena (nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantung harus diterapi.2 Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita
gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik.1,2
II.9.
Prognosis Ad vitam
: dubia ad malam.
Ad functionam
: dubia ad malam.
Ad sanationam
: dubia ad malam.
BAB III PENUTUP Kesimpulan Gagal jantung merupakan tahap akhir penyakit jantung yang dapat menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit jantung. Sangat penting untuk mengetahui gagal jantung secara klinis. Penatalaksanaan meliputi penanganan gagal jantung kronik dan gagal jantung akut, dengan penanganan non medikamentosa, dengan obat – obatan serta dengan menggunakan terapi invasif.
DAFTAR PUSTAKA 1. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements 2005;7 (Supplement J):J15-J20. 2. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007 3. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and epidemiology. BMJ 2000;320:39-42. 4. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000;320:104-7. 5. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive
guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56. 6. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH.ABC of heart failure: pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70. 7. McNamara DM. Neurohormonal and cytokine activation in heart failure. In: Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.117-36. 8. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: investigation. BMJ 2000;320:297-300 9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in general practice. BMJ 2000;320:626-9. 10. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure – full text the task force on acute heart failure of the european society of cardiology. Eur Heart J 2005. 11. Senni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey KR, Redfield NM. Congestive heart failure in the community trends in incidence and survival in 10-year period. Arch Intern Med 1999;159:29-34. 12. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features and complications. BMJ 2000;320:236-9. 13. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62. 14. Abraham WT, Scarpinato L. Higher expectations for management of heart failure: current recommendations. J Am Board Fam Pract 2002;15:39-49. 15. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker;2005.p.449-65. 16. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug management. BMJ 2000;320:366-9.
17. Millane T, Jackson G, Gibbs CR, Lip GYH.ABC of heart failure: acute and chronic management strategies. BMJ 2000;320:559-62. 18. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: management: diuretics, ACE inhibitors, and nitrates. BMJ 2000;320:428-31. 19. Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure Management: digoxin and other inotropes, _ blockers, and antiarrhythmic and antithrombotic treatment. BMJ 2000;320:495-8.
1. Doenges, Marilynn E. dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC 2. Mansjoer, Arief et all. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Media Aescalapius 3. Prof. dr. H. M. Noer Syaifoellah et all. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edesi 3 Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKM 4. Smeltzer, Suzanne C. Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC
5. Mappahya, A.A. 2004. Dari Hipertensi Ke Gagal Jantung. Pendidikan Profesional Berkelanjutan Seri II. FKUH. Makassar. 2004. 2. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. Diagnosis dan
1. tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007 9.