BAB I PENDAHULUAN
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.2 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menunjukan perbaikan, dilakukan operasi. Biasanya diagnosis rinitis atrofi secara klinis tidak sulit. Biasanya sekret berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada 2,3
pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia).
Menurut Boies frekwensi penderita rinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 2,3 Rinitis atrofi atau ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever , dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.
3,5
1
BAB II ANATOMI DAN EMBRIOLOGI HIDUNG
II.1
EMBRIOLOGI HIDUNG
Sadler dalam bukunya mengelompokkan perkembangan hidung pada mudigah bersamaan dengan perkembangan wajah. Pada akhir minggu ke 4, mesenkim yang berasal dari krista neuralis mulai membentuk tonjol-tonjol wajah yaitu (1) tonjol maksila, yang terletak di sebelah lateral stomodeum dan (2) tonjol mandibular pada kaudal stomodeum. Ditepi atas stomodeum, yaitu di sebelah ventral vesikel otak terjadi proliferasi mesenkim yang membentuk prominensia frontonasalis, yang di kanan kirinya muncul plakoda nasal (olfaktorius) yang merupakan penebalan-penebalan setempat yang berasal dari ektoderm permukaan dibawah pengaruh induksi bagian ventral otak depan. Selama minggu ke lima, plakoda hidung tersebut mengalami invaginasi membentuk lubang hidung. Plakoda hidung membentuk suatu rigi jaringan yang masing-masing mengelilingi lubang dan membentuk tonjol hidung lateral dan tonjol hidung medial. Selama dua minggu selanjutnya, ukuran tonjol maksilla terus bertambah besar, dan tumbuh ke arah medial sehingga mendesak tonjol hidung medial ke arah garis tengah. Selanjutnya celah antara dua tonjol medial dan tonjol maksila tersebut menghilang, keduanya bersatu. Awalnya tonjol maksila dan tonjol hidung terpisah oleh sebuah alur yang dalam yaitu alur nasolakrimal. Ektoderm di lantai alur ini membentuk sebuah tali epitel padat yang melepaskan diri dari ectoderm dibawahnya,. Setelah terjadi kanalisasi, tali ini membentuk duktus nasolakrimalis, ujung atasnya melebar membentuk saccus lakrimalis. Setelah lepasnya tali tersebut, tonjol maksila dan tonjol hidung lateral menyatu. Duktus lakrimalis kemudian berjalan dari tepi medial mata menuju ke meatus inferior rongga hidung,. Tonjolan maksila kemudian membesar sampai membentuk pipi dan maksila.
2
Hidung terbentuk dari tonjol-tonjol wajah ke lima; tonjol frontal membentuk jembatannya, gabungan tonjol-tonjol hidung medial membentuk lengkung cuping dan ujung hidung, dan tonjol lateral membentuk sisi-sisinya (alae)
Gambar II.1.1 aspek frontal wajah pada .perkembangan hidung
1
3
II.2
ANATOMI HIDUNG,3
II.2.A Hidung Luar dan Hidung Dalam Secara letak, anatomi hidung dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung luar dan hidung dalam. Dilihat dari arah depan, hidung merupakan organ berbentuk piramida yang terletak pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, sedangkan di dalam hidung terbagi menjadi dua oleh sekat hidung (septum nasi). Susunan hidung luar dari atas kebawah meliputi (1) pangkal hidung (bridge) (2) batang hidung atau dorsum, (3) puncak hidung (tip/apeks), (4) ala nasi, (5) kolumela dan (6) lubang hidung (nares anterior). Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari (1) tulang hidung (os nasal), (2) prosesus frontalis os maksila, (3) prosesus nasalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari (1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, (2) sepasang nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), (3) tepi anterior kartilago septum.
4
Gambar II.2.A.1 Hidung luar dan tulang pembentuk hidung 3
Rongga hidung atau kavum nasi merupakan daerah yang dimulai dari os internum di bagian anterior sampai ke koana di bagian posterior. Pintu (lubang) masuk rongga hidung di bagian depan disebut nares anterior dan pintu keluar dibagian belakang disebut nares posterior (koana) yang merupakan penghubung rongga hidung dan nasofaring.
Cavum nasi dibagi menjadi dua bagian oleh
septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi struktur tulang dibagian tengah yang terdiri dari tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya meliputi (1) lamina perpendikularis os etmoid terletak disebelah atas, (2) vomer dan rostrum sfenoid di bagian posterior (3) krista nasalis os maksila, (4) krista nasalis os palatine, kedua krista merupakan struktur bagian bawah. Bagian tulang rawan meliputi (1) kartilago septum (kuadrangularis) di bagian anterior dan (2) kolumela. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding,, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Dinding lateralnya terdiri dari empat buah konka, (1) konka inferior, paling besar dan letaknya paling bawah, (2) konka media, lebih kecil, letaknya tepat diatas konka
5
inferior, (3) konka superior, ukurannya lebih kecil lagi dari konka media, letaknya diatas konka media (4) konka suprema merupakan yang terkecil, biasanya rudimenter, jarang ditemukan. Disela-sela konka, terdapat rongga udara sempit yang tidak teratur, yang disebut meatus. Penamaan meatus sesuai dengan konka yang ada diatasnya. Pada meatus inferior bagian anterior, terdapat duktus nasolakrimalis. Hiatus semilunaris pada meatus media merupakan muara sinus anterior ( frontalis, maksilaris dan etmoidalis anterior). Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoidales posterior, sedangkan sinus sfenoidales bermuara di resesus sfenoidalis.
Gambar II.2.A.2 lateral hidung tanpa konka
3
II.2.B Vakularisasi Hidung Sistem perdarahan hidung bermula dari dua arteri utama yaitu (1) arteri maksilaris interna dan (2) arteri etmoidalis. Sistem drainase vena berawal dari pleksus kavernosus dibawah membrane mukosa, lalu melalui vena oftalmika, vena fasialis anterior, dan vena sfenopalatina. Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Di anterior septum kartilaginosa, a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
6
a.labialis superior, dan a.palatina mayor beranastomosis menjadi pleksus kiesselbach (little area) yang merupakan lokasi epistaksis tersering.
a. karotis interna
a.etmoidalis anterior& posterior
a. oftalmika
a.maksilarisinterna
a.karotiseksterna
sinusfrontalis, sinusetmoidalis, ataphidung
cabanga. sfenopalatina
konka,meatus, septum
a.labialissuperior, cabanga. infraorbitalis, alveolaris
sinusmaksilaris
cabang a.faringealis
sinus sfenoidalis
Gambar II.2.B.1 Skema perdarahan hidung II.2.C Persarafan Hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan
sensoris
dari
nervus
maksila
melalui
ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
7
ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Gambar II.2.C.1 Persarafan Hidung
4
8
II.3
FISIOLOGI HIDUNG
II.3.A Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Fungsi fisiologis hidung dan SPN adalah (1) fungsi respirasi: air conditioning , purifikasi udara, humidifikasi, penyeimband dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local, (2) fungsi penghidu, (3) fungsi fonasi, (4) fungsi statik dan mekanik, (5) refleks nasal. Pada fungsi respirasi, vibrissae pada vestibulum nasi, silia serta palut lendir membantu filtrasi udara pada inspirasi. Perlu diketahui bahwa anatomi hidung dalam yang ireguler menyebabkan arus balik udara inspirasi yang mengakibatkan penimbunan partikel dalam hidung dan nasofaring, akan tetapi benda asing tersebut akan di ekspektorans atau diangkut melalui transport mukosiliar ke lambung untuk disterilkan menggunakan asam lambung. Pada fungsi penyesuaian udara atau air conditioning udara yang masuk ke hidung akan 0
disesuaikan suhunya dengan suhu tubuh yaitu berkisar 37 C oleh pembuluh darah yang ada di bawah epitel, permukaan konka dan septum yang luas (turbulensi mengenai konka dan septum). Cabang nervus olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum berperan dalam fungsi penghidu hidung. Partikel bau dapat mencapat daerah nervus sensorius tersebut dengan cara difusi dengan palut lendir dan dengan cara menarik nafas dengan kuat. Hidung juga membantu dalam proses pengecapan, untuk membedakan asal rasa manis, dan membedakan asam cuka atau asam jawa. Proses bicara merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan paru paru sebagai sumber tenaga, laring sebagai generator suara, dan struktur kepala dan leher seperti bibir, lidah, gigi, dll sebagai articulator untuk mengubah suara dasar dari laring menjadi pembicaraan yang dapat di mengerti. Sinus, nasofaring
9
dan resonansi hidung berperan pula dalam artikulasi, khususnya pada bunyi tertentu seperti “m”, “n”, “ing”.
II.3.B SISTEM MUKOSILIAR HIDUNG
II.3.B.1 Histologi Mukosa Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.
II.3.B.2 Epitel Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi.
10
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 µm dengan diameter 0,3 µm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active
stroke)
dengan
ujungnya
menyentuh
lapisan
mukoid
sehingga
menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama. Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan
ADP
oleh
ATPase.
ATP
berada
di
lengan
dinein
yang
menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin. Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 µm dan diameternya 0,1 µm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng.
11
II.3.B.3 Palut Lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya. Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap. Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura 1994). II.3.B.4 Membrana Basalis Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin.
12
II.3.B.5 Lamina Propia Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masingmasing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
II.3.B.6 Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar. Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring.
13
Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.
14
BAB III RINITIS ATROFI
III.1
DEFINISI,3,5,6
Rinitis atrofi merupakan penyakit kronik nonspesifik yang dita ndai dengan mukosa dan konka yang atrofi, kelainan mukosa yang menyebabkan terbentuknya krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk. Rinitis atrofi memiliki banyak istilah lain seperti Rinitis sika, Rinitis kering, sindrom hidung terbuka dan ozaena.
III.2
EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
III.2.A Epidemiologi4,5 Insidensi terjadinya Rinitis atrofi sudah berkurang pada abad terakhir, dicurigai akibat meningkatnya penggunaan antibiotik pada kasus infeksi kronis nasal. Selain menyerang manusia, Rinitis atrofi juga sering menyerang babi dan sapi. Prevalensi terjadinya Rinitis atrofi primer tinggi pada daerah yang kering, jarang hujan seperti pada gurun-gurun di Arab Saudi. Studi melaporkan bahwa Rinitis atrofi banyak ditemui di pada orang asia, Hispanics dan afrika-amerika. Pada satu studi dilaporkan bahwa 69.6% penderita berasal dari rural area dan 43.5% merupakan pekerja pabrik. Rinitis atrofi banyak menyerang orang dengan sosial ekonomi rendah, dan higienis yang buruk. Angka kejadian enam kali lebih sering pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.
III.2.
Etiologi
2,4
Penyebab dari rinitis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi infeksi bakteri kronik pada hidung dan nasal sering dikatakan sebagai penyebab terjadinya Rinitis alergi primer. Dari hasil pemeriksaan sediaan apus nasal, ditemukan Klebsiella Ozaenae (paling banyak), Coccobacillus of Perez , Coccobacillus of Loewenberg , Pseudomonas Aeruginosa, dll. Defisiensi FE,
15
defisiensi vitamin A, kelainan hormonal, penyakit kolagen dan kelainan autoimun juga sering dikaitkan dengan terjadinya kasus Rinitis atrofi. Rinitis atrofi sekunder merupakan Rinitis atrofi yang terjadi setelah ada kondisi fisik yang terjadi sebelumnya, seperti trauma, infeksi, post operation, dalam terapi radiasi dan lainnya.
III.3
PATOLOGI RINITIS ATROFI,3,4,5
Rinitis atrofi mempunyai gejala yang khas yaitu dengan adanya perubahan atrofi pada seluruh bagian hidung. dr.Benhard fraenkel pada tahun 1876 menyatakan adanya trias Rinitis atrofi meliputi, bau, krusta, dan atrofi nasal. Histopatologi Rinitis atrofi ditandai dengan adanya perubahan epitel respirasi normal menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa betingkat (metaplasia), dengan atau tanpa keratinisasi. Atrofi pada silia, mukosa dan kelenjar submukosa, dimana mukosa menjadi pucat, tampak lengket, terdapat secret yang mongering membentuk krusta berwarna hijau kekuningan dan scabs. Bau yang tercium merupakan akibat dari terjadinya infeksi sekunder. Keluhan anosmia terjadi karena proses atrofi juga mengenai epitel olfaktorius, sel saraf bipolar dan serat saraf, ditambah dengan insufisiensinya udara untuk mencapai area olfaktorius karena adanya krusta yang menghalangi. Rinitis atrofi dibagi menjadi dua jenis. Rinitis Atrofi tipe satu, merupakan tipe
yang sering terjadi, dimana ditemukannya endarteritis obliterans,
periarteritis, dan fibrosis periarteria terminal arteriol akibat dari infeksi kronik dengan infiltrate sel plasma. Rinitis atrofi tipe satu ini berespon baik terhadap efek vasodilator terapi estrogen. Rinitis atrofi tipe dua, lebih jarang ditemui. Pada tipe ini, Sel endotel pada kapiler yang berdilatasi memiliki sitoplasma yang berlebih, dan menunjukkan adanya resorpsi tulang melalui ditemukannya alkaline fosfatase. Rinitis atrofi tipe dua tidak berespon baik terhadap terapi estrogen.
16
III.4
PEMERIKSAAN
III.4.A Anamnesa
4
Keluhan yang paling sering di keluhkan pasien adalah adanya perasaan hidung yang tersumbat dikarenakan adanya blunting effect , dan krusta yang besar yang mengahalangi aliran udara. Keluhan lain yang juga sering dikeluhkan pasien adalah bau busuk yang dikeluhkan orang sekitar, yang membuat pasien jadi memiliki masalah sosial, pasien sendiri tidak dapat mencium bau busuk tersebut, karena pasien mengalami anosmia. Pusing, sekret purulent, krusta kehijauan berbau busuk yang terlepas dan menyebabkan pendarahan hidung, dll.
III.4.B Pemeriksaan Fisik 6 Pada 100% kasus ditemui (1) krusta, disusul dengan (2) kavum nasi yang lapang dan tidak ditemuinya konka inferior (atrofi) pada rhinoskopi anterior (62% parsial, 37% total), atrofi konka media pada 57% kasus, adanya (3) sekret pada 52% kasus, dan (4) perforasi septum yang hanya ditemui pada 10% kasus.
III.4.C Pemeriksaan Penunjang III.4.C.1 Radiologi 9 Pada foro rontgen ditemukan (1) penebalan mukoperiostal pada SPN, (2) hipoplasia sinus maksilaris, (3) pembesaran kavum nasi dengan erosi dan bowing pada dinding lateralnya, (4) resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan konka media. Posisi foto yang dapat digunakan posisi Waters, AP, Caldwell dan Lateral.
17
Gambar III.4.C.1 Gambaran radiologi 7
III.4.C.2 Mikrobiologi Ditemuinya kuman Klebsiella Ozaena, Pseudomonas Aeroginosa dan lainnya seperti yang tertera di etiologi pada hasil kultur bakteri.
III.4.C.3 Biopsi (Histopatologi) Mukosa Normal
Rinitis Atrofi
Epitel kolumnar bertingkat semu
Metaplasia skuamosa
Terdapat kelenjar serosa dan kelenjar
Atrofi kelenjar mucus
mukus Absensi silia Endarteritis obliterans
18
Tabel III.4.C.3 Tabel perbandingan biopsy mukosa normal dan rhinitis atrofi
III.5
DIAGNOSA
III.5.A Diagnosa Kerja
8
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis (trias rinitis atrofi), pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis. Diagnosis Banding: Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis dan rinitis sika.
III.5.B Diagnosa Banding 2,8 Diagnosa banding dari rhinitis atrofi adalah (1) Rinitis kronik tbc, (2) rinitis kronik lepra, (3) rinitis kronik sifilis, (4) sinusitis.
III.6 TATALAKSANA
2,3,4,5
Karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan mengatasi gejala. Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau pembedahan.
19
III.6.A Konservatif Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman. Terapi secara paliatif dapat di lakukan dengan melakukan irigasi atau cuci hidung untuk menghilangkan bau dan membersihkan krusta. Nasal irrigation&douches, dengan komposisi 28.4g sodium bicarbonate (disolusi krusta), 28.4g sodium diborate (antiseptik, bertindak sebagai bakterisidal dalam asam dan membantu untuk membuffer bicarbonate), 56.7 sodium chloride (untuk membuat larutan menjadi isotonik). Satu sendok teh campuran diatas dicampur dengan 280ml air hangat-luke, dapat digunakan sebagai douches pada kavum nasi untuk membersihkan krusta menggunakan disposibel 10 atau 20 cc. Dapat diulang 3-4 kali sehari. Saat prosedur berlangsung, pasien diminta untuk terus mengucapkan “K,K,K…” untuk menutup nasofaringeal isthmus, sehingga resiko aspirasi jadi semakin kecil. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut.
Berdasarkan studi di California, penggunaan
hipertonik salin pulsasi nasal irigasi selama tiga sampai enam minggu menunjukkan perubahan yang signifikan pada gejala-gejala tersebut. Jika sukar mendapatkan larutan diatasm dapat dilakukan juga dengan menggunakan 100cc air hangat, satu sendok makan betadine (15cc), atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air hangat.
Dapat diberikan juga vitamin A
3X50.000 unit dan preparat FE selama dua minggu. Tetes hidung glukosa-gliserin juga dapat di administrasikan setelah melakukan douches. Glukosa diharapkan dapat menghambat infeksi saprofitik, dan bakteri proteolitik, serta meningkatkan pertumbuhan flora komensal. Gliserin disisi lain membantu sebagai lubrikan dan agen higroskopik. Efek samping dari gliserin dapat menyebabkan iritasi. Pada Rinitis Atrofi tipe satu dapat diberikan, estradiol dalam minyak arachis dalam bentuk obat tetes dan semprot (100.000 unit/ml). Perlu diperhatikan, penggunaan dekongestan merupakan kontraindikasi pada rinitis atrofi karena dapat memperburuk patologis penyakit.
20
III.6.B Pembedahan
Dilakukan jika tidak ada perbaikan setelah diberikan pengobatan konservatif. Prinsip pembedahan pada rinitis atrofi dibagi dalam empat kelompok besar (1) mengurangi ukuran dari kavum nasi, untuk mengurangi turbulensi udara dalam kavum nasi dan mencegah pengeringan mukosa serta produksi krusta, (2) menginduksi regenerasi mukosa normal nasal dengan cara penyempitan rongga hidung sebagian atau total, dengan implantasi, dilakukan selama dua tahun, (3) meningkatkan lubrikasi pada mukosa nasal yang kering, (4) improvisasi vaskularisasi pada kavum nasi. Pembedahan dengan tujuan mengurangi ukuran dari kavum nasi pertama kali dilakukan oleh Lautenschlager, dengan cara menarik dinding lateral nasal kea rah medial, atau dinding edial dari antrum maksilaris dengan metode Caldwell Luc. Tindakan ini sering disebut juga “rekalibrasi fosa nasalis”. Menginduksi regenerasi mukosa nasal dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti Metode Young,
disusul
dengan
Modifikasi
Sinha,
Modifikasi
Gadre,
Ghosh’s
vestibuloplasty., dan lainya saling berkaitan dengan metode young. Induksi lubrikasi pada kavum nasal yang kering dapat dilakukan dengan metode Wiitmack, dimana dilakukan implantasi duktus stensen ke antrum maksilaris. Injeksi
ganglion
stellate
dilakukan
dengan
tujuan
adanya
improvisasi
vaskularisasi kavum nasi.
III.7
PROGNOSIS
Prognosis rinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas penyakitnya, jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit di diagnosa pada tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi antimikrobial yang adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat mmengembalikan fungsi hidung kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala
21
klinis yang parah, tetap dicoba dengan terapi medika mentosa, dan jika tidak berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan tindakan bedah. BAB IV RESUME
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu sepsis klebsiela, yang sering Klebsiela Ozaena, kemudian Stapfilokokus, dan Pseudomonas Aeruginosa, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal dan penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya nafas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala dan hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT ditentukan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau. Terapi belum ada yang baku, ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan gejala dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Ed 7. Suyono J, alih bahasa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 2000: 331-3 2. Soepardi EA, Iskandar N, et al, edi. Sumbatan Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2012: 96-100, 117-8 3. Adams GL, Boies Jr LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6. Wijaya C, alih bahasa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC),1997: 173-188, 221-2 4. Gambar diunduh dari emedicine.medscape.com/article/82679-overview pada 16 Juni 2013 5. Dutt SN, Kameswaran M. Aetology and Management of atropic rinitis. J Otolaryngol. 2005 Nov;119:843-52 6. Moore & Kern. Amer J Rhin. 2001;15(6): 355-61 7. Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd. 2003 July 2008; 33:405-7 8. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. CDK. 2004;144:5-7 9. Pace-Balzan, Shankar, Hawke. J Otolaryngol 1991;20:428-32
23