BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Sistem Distribusi Tenaga Listrik
Sebuah sistem tenaga listrik terdiri dari pusat pembangkit, transmisi dan distribusi. Pusat pembangkit biasanya terletak jauh dari pusat beban dan dibangun dekat dengan sumber energi penggerak turbinnya, contoh PLTA dibangun dekat dengan waduk, PLTU dekat dengan laut, atau PLTP dekat dengan daerah pegunungan, dan sebagainya. sebagainya. Tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit dengan tegangan 10-24 kV yang kemudian akan disalurkan melalui jaringan transmisi. Panjangnya saluran transmisi hingga ratusan kilometer, akan menyebabkan rugi-rugi daya yang besar. Oleh karena itu sebelum disalurkan melalui saluran transmisi, tegangannya dinaikkan terlebih dahulu dengan transformator penaik tegangan yang ada menjadi 70 kV, 150 kV, atau 500 kV. Dengan daya yang sama bila nilai tegangannya diperbesar, maka arus yang mengalir akan semakin kecil. Kerugian daya adalah sebanding dengan kuadrat arus yang mengalir (P Losses=I2.R), dengan demikian semakin kecil arus yang mengalir rugi-rugi daya (P Losses ) juga akan semakin kecil. Tegangan transmisi sebesar 70 kV, 150 kV, atau 500 kV yang masuk ke Gardu Induk akan diturunkan lagi menjadi 20 kV dengan transformator penurun tegangan, kemudian dengan sistem tegangan tersebut penyaluran daya listrik dilakukan oleh saluran distribusi primer. Tegangan operasi pada saluran disribusi primer sebesar 20 kV untuk sistem jaringan tiga fasa. Jaringan distribusi primer digunakan untuk pelanggan-pelanggan besar seperti pabrik dan industri besar. Sedangkan bagi pelanggan kecil, seperti rumah tangga, dari saluran distribusi primer
(Jaringan Tegangan Menengah) 20 kV tersebut akan disalurkan lagi melalui saluran distribusi sekunder (Jaringan Tegangan Rendah) 220/380 V dengan menurunkan tegangannya lewat gardu-gardu distribusi.
Gambar 2.1 : Sistem Tenaga Listrik
2.2
Konfigurasi Jaringan Distribusi
Konfigurasi jaringan yang diterapka di suatu daerah merupakan hasil pertimbangan antara alasan-alasan teknis dan ekonomis di lain pihak. Alasan teknis ini berupa keandalan, stabilitas dan kontinyuitas pelayanan energi listrik. Sedangkann alasan ekonomis didasarkan pada peralatan material yang digunakan untuk membangun suatu konfigurasi jaringan distribusi. Dari segi keandalan yang ingin dicapai ada dua pilihan konfigurasi jaringan : a. Jaringan dengan dengan satu sumber pengisian : cara penyaluran ini merupakan yang paling sederhana. Gangguan yang timbul akan mengakibatkan pemadaman. b. Jaringan dengan beberapa sumber pengisian : keandalannya lebih tinggi. Secara ekonomi lebih mahal karena menggunakan perlengkapan penyaluran yang lebih banyak. Pemadaman akibat gangguan gangguan juga dapat diminimalisir.
(Jaringan Tegangan Menengah) 20 kV tersebut akan disalurkan lagi melalui saluran distribusi sekunder (Jaringan Tegangan Rendah) 220/380 V dengan menurunkan tegangannya lewat gardu-gardu distribusi.
Gambar 2.1 : Sistem Tenaga Listrik
2.2
Konfigurasi Jaringan Distribusi
Konfigurasi jaringan yang diterapka di suatu daerah merupakan hasil pertimbangan antara alasan-alasan teknis dan ekonomis di lain pihak. Alasan teknis ini berupa keandalan, stabilitas dan kontinyuitas pelayanan energi listrik. Sedangkann alasan ekonomis didasarkan pada peralatan material yang digunakan untuk membangun suatu konfigurasi jaringan distribusi. Dari segi keandalan yang ingin dicapai ada dua pilihan konfigurasi jaringan : a. Jaringan dengan dengan satu sumber pengisian : cara penyaluran ini merupakan yang paling sederhana. Gangguan yang timbul akan mengakibatkan pemadaman. b. Jaringan dengan beberapa sumber pengisian : keandalannya lebih tinggi. Secara ekonomi lebih mahal karena menggunakan perlengkapan penyaluran yang lebih banyak. Pemadaman akibat gangguan gangguan juga dapat diminimalisir.
Terdapat 3 jenis konfigurasi jaringan distribusi yang paling banyak digunakan di dalam sistem distribusi di Indonesia, yaitu : a. Konfigurasi Radial Konfigurasi Radial b. Konfigurasi Loop Konfigurasi Loop c. Konfigurasi Spindle
2.2.1 Konfigurasi Radial Radial
Ciri dari konfigurasi Radial konfigurasi Radial adalah bila antara titik sumber dan titik bebannya hanya terdapat satu saluran, tidak ada alternatif saluran lainnya. Bentuk konfigurasi ini merupakan bentuk dasar, paling sederhana dan paling banyak digunakan. Dinamakan radial karena radial karena saluram ini ditarik dari titik sumber ke cabang-cabang atau titik-titik beban yang dilayani. Ciri-ciri dari konfigurasi jaringan radial adalah : a. Bentuknya sederhana b. Biaya investasinya relatif murah c. Kualitas pelayanan dayanya relatif jelek, karena rugi tegangan dan rugi daya yamg terjadi pada saluran relatif besar d. Kontinyuitas pelayanan daya tidak terjamin, sebab antara titik sumber dan titik beban hanya han ya ada satu alternatif saluran sehingga bila saluran tersebut mengalami gangguan, maka seluruh rangkaian sesudah titik gangguan akan mengalami pemadaman. Untuk melokalisir gangguan pada konfigurasi radial ialah jaringan dilengkapi dengan peralatan pengaman antara lain fuse, fuse, sectionalizer , recloser , atau alat pemutus beban lainnya. Fungsi pengaman untuk mengamankan gangguan pada bagian saluran yang dilayaninya.
150/70 kV
GARDU DISTRIBUSI
TRAFO GI 20 kV
PMT GARDU DISTRIBUSI BEBAN
Jaringan Radial Gambar 2.2 : Konfigurasi Jaringan Radial
2.2.2 Konfigurasi Loop
Konfigurasi jaringan ini merupakan jaringan dengan bentuk tertutup, disebut juga bentuk jaringan Ring . Konfigurasi Loop merupakan variasi dari konfigurasi Radial. Susunan rangkaian saluran membentuk ring membentuk ring , yang memungkinkan titik beban terlayani dari dua arah saluran, sehingga kontinyuitas pelayanan lebih terjamin serta kualitas dayanya menjadi lebih baik, karena drop tegangan dan rugi daya saluran lebih kecil. Struktur jaringan ini merupakan gabungan dari dua buah struktur jaringan radial , dimana pada ujung dari dua buah jaringan di pasang sebuah saklar (switch) berupa ABSW atau LBS. Pada saat terjadi gangguan, setelah gangguan dapat dapat diisolir, maka pemutus atau pemisah ditutup sehingga aliran daya listrik ke bagian yang tidak terkena gangguan tidak terhenti. Pada umumnya penghantar dari struktur ini mempunyai struktur yang sama, ukuran konduktor tersebut dipilih sehingga dapat menyalurkan seluruh daya listrik beban struktur Loop, Loop, yang merupakan jumlah daya listrik beban dari kedua struktur radial struktur radial .
Terdapat 2 jenis konfigurasi jaringan Loop jaringan Loop,, yaitu : a. Open Loop Konfigurasi Jaringan Open Loop ini merupakan pengembangan dari sistem Radial , sebagai akibat diperlukannya keandalan yang lebih tinggi dan umumnya sistem ini dapat dipasok dalam satu gardu induk. Dimungkinkan juga dari gardu induk lain tetapi harus dalam satu sistem di sisi tegangan tinggi karena hal ini diperlukan untuk memudahkan manuver beban pada saat terjadi gangguan atau kondisi-kondisi pengurangan beban. Proteksi untuk sistem ini masih sederhana tetapi harus memperhitungkan panjang jaringan pada titik manuver terjauh di sistem tersebut. Sistem ini umunya banyak digunakan di PLN baik pada SUTM maupun SKTM. 150/70 kV 150/70 kV
TRAFO GI-2
TRAFO GI-1
Open loop dari 2 GI
20 kV P P M M T T
20 kV P M T
GARDU DISTRIBUSI
P M T
GARDU DISTRIBUSI
Open loop dari 1 GI BEBAN
BEBAN
Gambar 2.3 : Konfigurasi Jaringan Open Loop
b. Close Loop Konfigurasi Jaringan Close Loo p ini layak digunakan untuk jaringan yang dipasok dari satu gardu induk, memerlukan sistem proteksi yang cukup rumit
biasanya menggunakan rele arah (directional relay). Sistem ini mempunyai kehandalan yang lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya, dan sistem ini jarang digunakan di PLN tetapi biasanya dipakai untuk pelanggan-pelanggan khusus yang membutuhkan keandalan tinggi,
150/70 kV
20 kV PMT
GARDU DISTRIBUSI
TRAFO GI
Close Loop BEBAN
GARDU DISTRIBUSI
Gambar 2.4: Konfigurasi Jaringan Close Loop
2.2.3 Konfigurasi Jaringan Spindle
Sistem spindle merupakan sistem yang relatif handal karena disediakan satu buah express feeder yang merupakan feeder / penyulang tanpa beban dari gardu induk sampai Gardu Hubung, banyak digunakan pada jaringan SKTM. Sistem ini relatif mahal karena pembangunannya mempertimbangkan perkembangan beban di masa yang akan datang, proteksinya relatif sederhana hampir sama dengan sistem Open Loop. Biasanya di tiap-tiap feeder dalam sistem spindle disediakan gardu tengah (middle point) yang berfungsi untuk titik manuver apabila terjadi gangguan pada jaringan tersebut.
PMT
PMT 150/70 kV
20 kV PMT Express Feeder
TRAFO GI
PMT
PMT GT (Gardu Tengah)
GH (Gardu Hubung)
Gambar 2.5 : Konfigurasi Jaringan Spindle
2.3
Sistem Pentanahan Jaringan Distribusi
Terdapat beberapa pola pentanahan yang diterapkan pada jaringan distribusi 20 kV
di Indonesia. Pola pentanahan ini berpengaruh pada sistem konfigurasi
jaringan, konstruksi jaringan dan koordinasi sistem proteksi yang digunakan. Terdapat 4 macam pola pentanahan yang ada di Indonesia, yaitu : a. Pentanahan netral melalui tahanan tinggi b. Pentanahan netral secara langsung c. Pentanahan netral melaui tahanan rendah d. Pentanahan netral mengambang
2.3.1 Sistem Distribusi 20 kV Tiga Fasa dengan Tiga Kawat Menggunakan Pentanahan Netral Tahanan Tinggi
Sistem distribusi 20 kV tiga fasa dengan tiga kawat menggunakan pentanahan netral tahanan tinggi atau disebut juga dengan sistem distribusi pola 1 menurut SPLN No.26 Tahun 1980 diterapkan di daerah perkotaan dan luar kota yang padat
penduduknya, tidak ada kesulitan teknik yang berarti dalam pembangunannya dan tidak begitu mengganggu keindahan kota, contohnya di Jawa Timur. Ketentuan mengenai sistem jaringan dan sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 1 diatur di dalam SPLN No.52-3 Tahun 1983. Sistem distribusi pola 1 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut : a. Tegangan antar fasa sebesar 20 kV b. Sistem pentanahan berasal dari titik netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu Induk yang dihubungkan secara bintang, ditanahkan melalui tahanan sebesar 500 ohm. Sehingga arus hubung singkat ke tanah maksimum 25 A. c. Konstruksi jaringan pola 1 pada dasarnya adalah saluran udara. Dimana pada saluran utama menggunakan kawat AAAC 150 mm 2 fasa tiga, tiga kawat. d. Sistem konfigurasi menggunakan jenis konfigurasi radial dengan kemungkinan saluran utama (main feeder) dapat di sambungkan secara loop dengan penyulang lain yang terdekat.
150 kV
20 kV PMT
GI
SSO
SSO
OCR FCO
R
DGFR
N T
Recloser
S
GARDU DISTRIBUSI
m h o 0 0 5
Gambar 2.6 : Pengamanan Sistem Distribusi Pola 1
Sistem Pengaman pada sistem distribusi pola 1 adalah : a. PMT (Pemutus Tenaga)
dipasang pada saluran utama di Gardu Induk yang
dilengkapi dengan OCR (Over Current Relay) atau Relai Arus Lebih dan DGFR (Directional Ground Fault Relay) atau Relai Arus Tanah Terarah. b. Untuk pengamanan gangguan fasa-tanah harus menggunakan DGFR yang konstruksinya rumit dan mahal dibanding relai arus tinggi normal, karena arus gangguan fasa ke tanah relatif lebih kecil. c. PMT (Pemutus Tenaga) dikoordinasikan dengan Recloser (Relai Penutup Balik) untuk mengatasi gangguan temporer. d. Recloser juga dikoordinasikan dengan SSO (Saklar Seksi Otomatis) atau disebut juga Sectionalizer , yang berfungsi untuk memisahkan saluran utama ke dalam beberapa seksi agar saat terjadi gangguan permanen luas daerah yang padam dapat diminimalisir. e. Sakelar seksi otomatis (SSO). Bila digunakan pada sistem ini harus dari jenis penginderaan tegangan dan koordinasinya dilakukan dengan penytelan waktu. f. FCO ( Fuse Cut Out ) dipasang pada titik percabangan antara saluran utama dengan saluran cabang. FCO juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi 20 kV, gunanya untuk mengamankan jaringan yang berada di sebelah hilirnya. FCO berfungsi sebagai pengaman beban lebih. g. Alat pengaman fasa-tunggal tidak dapat digunakan untuk mengamankan gangguan satu fasa ke tanah karena arus gangguannya kecil.
2.3.2 Sistem Distribusi 20 kV Tiga Fasa dengan Empat Kawat Menggunakan Pentanahan Netral Tahanan Langsung :
Sistem distribusi 20 kV tiga fasa dengan empat kawat menggunakan pentanahan netral tahanan langsung atau disebut juga dengan sistem pola 2 menurut SPLN No. 12 Tahun 1978 diterapkan di daerah dengan kepadatan beban rendah sekitar 115 kVA/km 2, contohnya di Jawa Tengah. Ketentuan mengenai sistem jaringan dan sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 2 diatur di dalam SPLN No.52-3 Tahun 1983. Sistem distribusi pola 2 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut : a. Tegangan nominal antar fasa sebesar 20 kV, dan tegangan sebesar 20/ √ untuk tegangan fasa-netral. b. Sistem pentanahan dengan titik netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu Induk ditanahkan langsung, sepanjang jaringan kawat netral dipakai bersama untuk tegangan menengah dan tegangan rendah di bawahnya. c. Konstruksi jaringan pola 2 pada dasarnya adalah saluran udara. Dimana pada saluran utama menggunakan kawat AAAC 240 mm 2 fasa tiga dan 150 mm 2 untuk kawat netral. Saluran percabangan menggunakan kawat AAAC 70 mm 2 fasa tiga dan 55 mm 2 untuk kawat netral. Percabangan satu fasa kawat AAAC 55 mm 2 fasa tiga dan 35 mm 2 untuk kawat netral. d. Sistem konfigurasi menggunakan konfigurasi radial dengan kemungkinan saluran utama (main feeder) dapat di sambungkan secara loop dengan penyulang lain yang terdekat. e. Pada sistem ini kawat netral dikondisikan sebanyak mungkin dan merata ditanahkan. Oleh karena itu kawat netral JTM dan JTR dihubungkan dan dipakai
bersama dimana pentanahannya dilakukan sepanjang JTM, JTR dan dihubungkan pula pentanahan dari setiap instalasi rumah konsumen. f. Sistem pelayanan JTM terutama mempergunakan jaringan 1 fasa yang terdiri dari kawat fasa dan netral, memungkinkan penggunaan trafo-trafo kecil 1 fasa yang sesuai bagi beban-beban kecil yang letaknya berjauhan.
150 kV
20 kV PMT
GI
OCR
R
Recloser
Recloser
GFR
SSO
S S O
N T
S
FCO
GARDU DISTRIBUSI
Gambar 2.7 : Pengamanan Sistem Distribusi Pola 2
Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 2 adalah : a. PMT (Pemutus Tenaga)
dipasang pada saluran utama di Gardu Induk yang
dilengkapi dengan OCR (Over Current Relay) atau Relai Arus Lebih dan GFR (Ground Fault Relay) atau Relai Arus Tanah. b. PMT (Pemutus Tenaga) dikoordinasikan dengan Recloser (Relai Penutup Balik) untuk mengatasi gangguan temporer. Jika panjang jaringan lebih dari 20 km, perlu dipasang Recloser ke-2 atau ke-3 pada jarak tertentu sepanjang saluran utama atau cabang. Koordinasi antar recloser dilakukan dengan memilih arus nominalnya dan mengurangi satu tingkat penyetelan waktu operasi juga jumlah buka-tutup kontak relainya.
c. Recloser juga dikoordinasikan dengan SSO (Saklar Seksi Otomatis) atau disebut juga Sectionalizer , yang berfungsi untuk memisahkan saluran utama ke dalam beberapa seksi agar saat terjadi gangguan permanen luas daerah yang padam dapat diminimalisir. d. Pada pola 2 SSO membuka saat rangkaian tidak ada arus dan tidak menutup kembali. SSO bekerja berdasarkan pengindraan dan hitungan kerja buka tutup kontak Recloser saat terjadi arus hubung singkat. e. FCO ( Fuse Cut Out ) dipasang pada titik percabangan antara saluran utama dengan saluran cabang. FCO juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi 20 kV, gunanya untuk mengamankan jaringan yang berada di sebelah hilirnya. FCO berfungsi sebagai pengaman beban lebih. f. Tidak adanya tahanan netral, maka arus hubung tanah relatif menjadi sangat besar dan berbanding terbalik dengan letak gangguan tanah, sehingga perlu dan dapat dipergunakan alat pengaman yang dapat bekerja cepat dan memanfaatkan relai dengan karakteristik waktu terbalik (Inverse Time). g. Arus gangguan fasa-tanah yang besar maka dapat dilakukan koordinasi antara PMT dengan Recloser atau Recloser dengan pengaman lebur (Fuse Cut Out) atau Recloser dengan SSO (Sectionalizer) h. Besarnya arus gangguan serta tingginya frekuensi dari kejadian gangguan fasatanah, maka kemampuan peralatan pengaman harus disesuaikan dengan kondisi tesebut, misalnya menghindari pengggunaan PMT dengan minyak minimum.
2.3.3 Sistem Distribusi 20 kV Tiga Fasa dengan Tiga Kawat Menggunakan Pentanahan Netral Tahanan Rendah
Sistem distribusi 20 kV tiga fasa dengan tiga kawat menggunakan pentanahan netral tahanan rendah atau disebut juga dengan sistem distribusi pola 31 menurut SPLN No. 26 Tahun 1980 diterapkan di daerah perkotaan yang padat penduduknya, daerah yang mengalami kesulitan teknik yang berarti dalam pembangunan konstruksi saluran udara serta mempertimbangkan keindahan kota, contohnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Namun, untuk daerah-daerah yang kurang padat penduduknya penggunaan saluran udara dapat diijinkan. Ketentuan mengenai sistem jaringan dan sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 3 diatur di dalam SPLN No.52-3 Tahun 1983. Sistem distribusi pola 3 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut : a. Tegangan nominal antar fasanya sebesar 20 kV b. Sistem pentanahan dengan titik netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu Induk dihubungkan secara bintang dan ditanahkan melalui tahanan sebesar 12 ohm, untuk SKTM (Saluran Kabel Tengangan Menengah), sehingga arus hubung singkat ke tanah maksimum 1000 A. Sedangkan tahanan yng ditanahkan untuk SUTM (Saluran Udara Tegangan Menengah) sebesar 40 ohm, maka arus hubung singkat fasa-tanah maksimum 300 A. c. Konstruksi jaringan pada daerah padat beban, perkotaan digunakan saluran kabel tanah sedangkan pada daerah luar kota, pedesaan digunakan saluran udara. Sistem saluran kabel tegangan menengah mempergunakan kabel aluminium dengan islolasi kertas berminyak tipe NA HKBA ukuran 150 mm 2. Sistem saluran udara mempergunakan kawat AAAC 240 mm 2 dan 150 mm 2 fasa tiga, 3 kawat bagi
saluran utamanya, dan kawat AAAC 70 mm 2 fasa tiga, 3 kawat bagi saluran percabangannya. d. Sistem konfigurasi untuk daerah perkotaan menggunakan SKTM dengan sistem Spindle. Untuk daerah di luar kota menggunakan SUTM dengan sistem Radial.
150 kV
I S U U D B I R R A T G S I D
20 kV PMT
GI
SSO
Recloser
OCR
R
GFR
O S S
FCO
N T
S
GARDU DISTRIBUSI
m h o 0 4
GARDU DISTRIBUSI
Gambar 2.8 : Pengamanan Sistem Distribusi Pola 3 dengan Tahanan 40 ohm
Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 3 adalah : a. Pengaman utama adalah PMT pada saluran utama Gardu Induk yang dilengkapi dengan OCR sebagai pengaman arus hubung singkat antar fasa dan GFR sebagai pengaman arus hubung singkat fasa ke tanah. b. PMT dikoordinasikan dengan Recloser untuk mengatasi ganguguan yang bersifat temporer. c. SSO dipasang pada saluran utama dan saluran cabang untuk membagi jaringan ke dalam
beberapa
seksi
sehingga
pemadam
dikoordinasikan dengan urutan kerja Recloser .
dapat
diminimalisir.
SSO
d. Recloser yang dipakai harus tipe dengan pengatur elektronik untuk mendapatkan karakteristik waktu tetap bagi gangguan fasa ke tanah. Demikian pula SSO perlu dilengkapi dengan penginderaan arus fasa tanah yang rendah. e. FCO dipasang sebagai pengaman terhadap gangguan permanen pada saluran cabang yang tidak ditempatkan SSO dan pengaman sisi primer trafo distribusi. f. Arus gangguan fasa tanah pada pola 3 tidak terlalu besar, 1000 A untuk saluran kabel tanah dan 300 A untuk sistem saluran udara, sehingga gangguan pada lingkungan akibat arus tanah (step voltage) dan gangguan jaringan telekomunikasi juga lebih sedikit. g. Mengingat adanya tahanan netral, maka arus gangguan tanah variasinya kecil sehingga tidak efektif bagi penggunaan relai arus lebih dengan karakteristik waktu arus terbalik, sebaiknya dapat digunakan relai dengan karakteristik waktu tetap yang lebih stabil efektif dan mudah penyetelannya. h. Mengingat arus gangguan tanah tidak terlalu besar, maka penyetelan relai arus lebih fasa-tanah dan arus kapasitif lebih diperhitungkan untuk sistem kabel tanah. 150 kV
I S U U D B I R R A T G S I D
20 kV PMT
GI
SSO
Recloser
OCR
R
GFR
FCO
O S S
N T m h o 2 1
S
GARDU DISTRIBUSI
GARDU DISTRIBUSI
Gambar 2.9 : Pengamanan Sistem Distribusi Pola 3 dengan Tahanan 12 ohm
2.3.4 Sistem Distribusi 6 kV Tiga Fasa dengan Tiga Kawat Menggunakan Pentanahan Mengambang
Sistem distribusi 6 kV tiga fasa dengan tiga kawat menggunakan pentanahan mengambang atau disebut juga dengan sistem distribusi pola 4 mempunyai permasalahan yang menonjol dalah faktor keselamatan terhadap lingkungan hidup disekitarnya. Sistem ini hanya diterapkan di beberapa daerah di luar Jawa. Pola ini tidak dilengkapi dengan pengaman gangguan fasa-tanah yang berkerja secara otomatis, untuk itu setidaknya diperlukan adanya indikasi dan sirine (alarm) pada ruang panel. Ketentuan mengenai sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 4 diatur di dalam SPLN No.52-3 Tahun 1983. Sistem distribusi pola 4 memiliki ciri-ciri seperti berikut : a. Pada kondisi normal masing-masing tegangan fasa terhadap tanah adalah V f . Sedangkan besar tegangan antar fasanya
√ Vf . Bila sistem tersebut terdapat titik
netral, maka tegangan dititik netral ke tanah sama dengan nol. b. Bila terjadi ganguan satu fasa ke tanah maka tegangan dua fasa yang lain terhadap tanah sebesar √ Vf dan tegangan yang terganggu adalah nol. Bila pada sistem tersebut terdapat titik netral maka tegangan titik netral-tanah sama dengan Vf . 150 kV
20 kV PMT
GI
OCR OVR
R
FCO
N T
S
GARDU DISTRIBUSI
GARDU DISTRIBUSI
Gambar 2.10 : Pengamanan Ssitem Distribusi Pola 4
Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 4 adalah : a. Pada keadaan gangguan antar fasa, pengamanannya dapat dilakukan dengan memasang dua buah relai arus lebih dengan karakteristrik waktu arus tertentu (definite time) dan waktu arus-terbalik (inverse time). b. Pada keadaan gangguan satu fasa ke tanah, arus gangguan dapat diatasi dengan salah alternatif di bawah ini : 1) Tiga buah Voltmeter yang mengukur tegangan fasa ke tanah secara visual, cara ini hanya memberikan indikasi adanya gangguan, namun perlu tindakan lebih lanjut oleh operator dengan melakukan lokalisir daerah gangguan. 2) Relai tegangan lebih atau OVR (Over Voltage Relay) untuk mendeteksi tegangan urutan nol, cara ini dapat memberikan sinyal dengan suara maupun visual dan mampu memutus beban melalui PMT. Karena pengamanan ini tidak selektif, operator masih diperlukan untuk melokalisir gangguan. Sulitnya mengatasi gangguan pada sistem distribusi pola 4 menyebabkan pola ini jarang digunakan dan lambat laun akan dialihkan ke pola yang lain.
2.4
Pengoperasian Jaringan Distribusi
Pengoperasian sistem distibusi merupakan segala kegiatan yang mencakup pengaturan, pembagian, pemindahan, dan penyaluran tenaga listrik kepada konsumen secepat
mungkin serta menjamin kelangsungan penyaluran/ pelayanan. Sebagai
tolok ukur atas keberhasilan pada pengoperasian dapat dilihat dari beberapa parameter. Parameter-parameter berupa kualitas listrik yang baik dan keandalan dari sistem penyaluran energi listriknya.
2.4.1 Kualitas listrik harus terjaga
Ada 2 ( dua ) hal yang menyatan yang menjadi ukuran mutu listrik yaitu : tegangan dan frekuensi. Tegangan pelayanan ditentukan oleh : a. Batasan toleransi tegangan, pada konsumen TM adalah
5 % , sedangkan pada
konsumen TR maksimum + 5 % dan minimum – 10 %. b. Keseimbangan tegangan pada setiap titik sambungan c. Kedip akibat pembebanan sekecil mungkin d. Hilang tegangan sejenak akibat manuver secepat mungkin Sedangkan untuk frekuensi batasan yang dijinkan adalah batas toleransi frekuensi adalah 1 % dari frekuensi standar 50 Hz Faktor yang membuat baik-tidaknya mutu listrik tersebut dari sisi distribusi adalah faktor pembebanan pada sistem distribusi yaitu pembebanan yang tidak stabil oleh karena pengoperasian normal atau karena
lebih banyak
akibat gangguan pada suplai dari GI dan penyulang.
2.4.2 Keandalan penyaluran tenaga listrik
Sebagai indikator penyaluran adalah angka lama dan atau seringnya pemadaman pada pelanggan yang disebut dengan angka SAIDI dan SAIFI. Angka lama padam : SAIDI (System Average Interuption Uration Index)
mlh di gnggn pelnggn jmlh pelnggn
=
(2.1)
Richard (1984 : 224)
keterangan : U i = Lama waktu gangguan rata – rata unit (menit) N i = Jumlah pelanggan pada satu titik Angka sering padam : SAIFI (System Average Interuption Frequency Index)
mlh gnggn pelnggn
jmlh pelnggn i i
(2.2) Richard (1984 : 223)
keterangan: i = Laju kegagalan unit (kali) N i = Banyak pelanggan pada satu titik =
Jumlah pelanggan
Semua perusahaan penyedia listrik besar akan berusaha untuk menurunkan nilai SAIDI dan SAIFI dari pelayanan penyaluran energi listriknya. Sehingga dapat memenuhi standarisasi perusahaan dengan tingkat kelas dunia yaitu dengan angka SAIDI 100 menit/pelanggan/tahun dan SAIFI 3 kali/pelanggan/tahun.
2.5
Manuver Jaringan Distribusi
Manuver/Manipulasi
jaringan
adalah
serangkaian
kegiatan
membuat
modifikasi terhadap operasi normal dari jaringan akibat adanya gangguan/ pekerjaan jaringan sehingga tetap tercapainya kondisi penyaluran tenaga listrik yang maksimal atau dengan kata lain yang lebih sederhana adalah mengurangi dareah pemadaman. Kegiatan yang dilakukan dalam manuver : a. Memisahkan bagian-bagian jaringan yang semula terhubung dalam keadaan bertegangan/ tidak bertegangan.
b. Menghubungkan bagian-bagian jaringan yang terpisah menurut keadaan operasi normalnya dalam keadaan bertegangan/ tidak bertegangan.
Optimalisasi atas keberhasilan manuver dari segi teknis ditentukan oleh konfigurasi jaringan dan peralatan manuver yang tersedia di sepanjang jaringan. Peralatan jaringan yang dimaksud adalah peralatan pemutus dan penghubung yang terdiri dari berbagai macam seperti PMT, ABSW, Recloser , LBS, FCO, Sectionalizer . Masing-masing peralatan manuver ini memiliki spesifikasi dan fungsi kerja yang berbeda-beda.
2.5.1 PMT (Pemutus Tenaga)
Pemutus Tenaga (PMT) atau Circuit Breaker adalah suatu peralatan listrik yang dapat menghubungkan atau memutuskan rangkaian listrik dalam keadaan normal atau gangguan yang dilengkapi dengan alat pemadam busur api. Pada kondisi gangguan, operasi kontak PMT bekerja secara otomatis sesuai dengan perintah dari relai pengaman. Bekerjanya kontak-kontak PMT ini akan menimbulkan busur api karena besarnya arus yang mengalir. Oleh karena itu untuk meredam busur api tersebut, kontak-kontak PMT berada di dalam tempat tertutup yang dilengkapi dengan pemadam busur api yang dapat berupa minyak, udara, maupun gas SF 6. Pemberian nama pada PMT ditandai dengan media isolasinya.
Gambar 2.11 : PMT (Pemutus Tenaga) 20 kV
Berikut ini jenis-jenis PMT 20 kV menurut media pemadam busur apinya : a. Oil Circuit Breaker (OCB) Pada PMT jenis minyak, kontak-kontak PMT terendam di dalam ruangan tertutup yang berisi minyak. Pada saat terjadi gangguan kontak gerak (moving contact) PMT bergerak memisahkan kontaknya dari kontak tetap (fixed contact). Pada proses tersebut muncul busur api (arc) dan bersamaan dengan lepasnya kontak gerak tersebut, minyak PMT akan terdesak naik ke atas menyembur busur api.
Fixed contact Oil Arc
Moving contact Contact moving direction Oil pressure direction
Gambar 2.12 : Prinsip Kerja Pemadam Busur Api pada OCB
b. Air Blast Circuit Breaker (ABCB) PMT ini dirancang untuk mengatasi kelemahan pada PMT minyak, yaitu dengan membuat media isolator kontak dari bahan yang tidak mudah terbakar. Saat busur api timbul, udara bertekanan tinggi ditiupkan untuk memadamkan busur api. Terkadang karena besarnya busur api yang timbul, terdapat sisa busur api yang bisa menyembur keluar dari PMT. Residual arc hole
Residual arc Fixed contact
Arc
nozzle
Air blast
Moving contact
Gambar 2.13 : Prinsip Kerja Pemadam Busur Api pada ABCB
c. Vacuum Circuit Breaker (VCB) Pada VCB, kontak-kontak PMT ditempatkan pada suatu ruangan hampa udara. Untuk mencegah masuknya udara ke dalam ruang hampa udara tersebut, maka dilengkapi dengan seal penyekat udara untuk mencegah kebocoran. Apabila terjadi kebocoran pada VCB, maka tidak dapat dilakukan pengisian kembali karena proses membuat vakum tidak dapat dilakukan di ruang terbuka. Dalam VCB tidak ada media pemutus busur listrik. Oleh sebab itu, teknik memutus busur listrik dalam VCB semata-mata tergantung kepada teknik memperpanjang busur listrik.
Fixed contact
Arc Vacuum Moving contact
Gambar 2.14 : Prinsip Kerja Pemadam Busur Api pada VCB
d. SF 6 Circuit Breaker PMT jenis ini memiliki prinsip kerja yang hampir sama dengan PMT Udara Tekan (ABCB). Perbedaannya terletak pada penggantian penggunaan udara dengan gas SF6 dan sistem yang tertutup dari udara luar. Saat kontak terbuka dan busur api uncul, gas SF 6 bertekanan tinggi ditiupkan di antara kontak untuk menyingkirkan partikel bermuatan dari sela antara kontak diam dan kontak gerak. Gas SF6 dipilih karena sifat gas ini yang merupakan bahan isolasi dan pendingin yang baik. Sebagai isolasi listrik, gas SF 6 mempunyai kekuatan dielektrik yang tinggi (2,35 kali lebih baik dari udara). Gas ini tidak boleh bocor dan bercampur dengan udara luar, sehingga sistem dibuat tertutup.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Upper current terminal Insulating enclosure Fixed main contact Fixed arcing contact Moving arching contact Insulating nozzle Moving main contact Moving piston Pressure chamber Lower current terminal Conecting rod Crank Sealing system Shaft Molecular sleve Bottom over
Gambar 2.15 : Bagian-Bagian PMT SF6
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2.16: Proses Pemadaman Busur Api dengan Gas SF 6
Pemadaman busur api pada PMT SF6 ditunjukkan seperti pada Gambar 2.14, urutan proses yang terjadi di dalam ruang pemadam busur api adalah sebagai berikut :
a. Pada Gambar 2.14 (a) menujukkan kondisi kotak-kontak PMT dalam kondisi menutup (close). b. Pada Gambar 2.14 (b) saat kontak-kontak PMT mulai membuka, piston akan mengisi gas SF6 ke dalam ruang pemadam busur api (pressure chamber). c. Pada Gambar 2.14 (c) muncul busur api di antara kontak-kontak PMT yang membuka, kemudian dari pipa penyemprot (insulating nozzle) disemprotkan gas SF6 untuk memadamkan busur api yang muncul. d. Pada Gambar 2.14 (d) menunjukkan kondisi kontak-kontak PMT yang sudah terbuka (open).
Kontak-kontak PMT dapat beroperasi secara otomatis saat terjadi gangguan maupun manual dengan dioperasikan saat pemadaman/pemeliharaan terencana. Operasi kontak-kontak PMT secara otomatis, dikendalikan oleh relai proteksi yang bekerja saat gangguan seperti hubung singkat.
PMT
CT
Relai
+ I beban
-
Sumber DC
Trip Coil
Gambar 2.17 : Rangkaian Kerja Relai Proteksi
Pada saat terjadi gangguan, arus yang mengalir di jaringan menjadi sangat besar, hal ini juga dirasakan oleh CT (Current Transformer). Fungsi CT adalah mentranformasikan besaran arus yang terukur pada sisi primer ke sisi sekunder CT
sesuai dengan rasio CT tersebut. Jika arus yang terukur pada CT melebihi arus setting relai proteksi, maka rele proteksi akan bekerja menutup kontaknya. Kontak relai yang menutup tersebut akan mengalirkan sumber DC ke Trip Coil , kemudian Trip Coil akan memerintahkan PMT untuk trip atau membuka kontak-kontaknya. Pengoperasian PMT secara manual dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara local melalui tombol operasi open/close PMT yang ada pada kubikel, maupun secara remote (kontrol jarak jauh) melalui komputer dengan sistem SCADA.
K
L J
M
A. Auxilary contacts open/close B. Geared motor for closing spring charging C. Incorporate closing spring charging lever D. Mechanical signalling open/close E. Mechanical operating counter F. Plug socket connector of the electrical accesories G. Signalling device for closing spring charged/discharge H. Service releases I. Closing pushbutton J. Opening pushbutton K. Operating mechanism locking electromagnet L. Additional shunt operating release M. Transient contact
Gambar 2.18 : Bagian-Bagian Kontrol Pengoperasian PMT pada Kubikel
Untuk mengetahui kemampuan suatu PMT peru diperhatikan spesifikasi yang tertera pada nameplate kubikel, sehingga PMT bisa difungsikan sesuai dengan rating dan kapasitasnya. Berikut ini contoh spesifikasi PMT 20 kV Merk ABB Seri VM1.
Tabel 2.1 : Spesifikasi PMT ABB Seri VM1 Spesification Rated and insulation voltage [kV] Impulse withstand voltage [kV] Rated frequency [Hz] Rated current [A] at 40 oC Rated breaking capasity and short-time withtstand current [kA] for 3 sec Opening time [ms] Closing time [ms] Arc time [ms]
Rated
24 125 50/60 630 16/20/25 40-60 60-80 10-15
2.5.2 Ai r B reak Switch (ABSW)
ABSW merupakan salah satu peralatan jaringan yang berfungsi sebagai switching (saklar) yaitu peralatan dapat menghunbungkan atau memisahkan jaringan dalam kondisi tidak berbeban. Medium kontaknya adalah udara yang dilengkapi dengan peredam busur api/ interrupter berupa hembusan udara yang berfungsi sebagai peredam busur api yang ditimbulkan pada saat dibukanya pisau ABSW dalam kondisi bertegangan. ABSW juga dilengkapi dengan isolator tumpu sebagai penopang pisau ABSW, pisau kontak sebagai kontak gerak yang berfungsi memutus dan menghubungkan ABSW. Pada saat terjadi gangguan pada jaringan distribusi, fungsi ABSW adalah untuk melokalisir gangguan Selain sebagai pemisah ABSW berfungsi untuk membagi beban. Dalam kondisi operasi normal dua buah penyulang dipisahkan oleh ABSW pada posisi buka/NO (Normaly Open). Titik posisi NO tidak selalu pada ABSW tertentu saja, namun bisa dipindah ke ABSW lain yang sebelumnya pada posisi tutup/NC (Normaly Close) yang berada pada batas pembagi/ seksi atau zone, pemindahan titik ABSW NO ini dengan mempertimbangkan regulasi beban antara kedua penyulang yang disesuaikan dengan kemampuan/ kapasitas dari masingmasing penyulang. Pada kondisi tertentu untuk keperluan pemeliharaan atau
perbaikan peralatan disuatu seksi diperlukan manuver (pelimpahan) beban dari penyulang satu ke penyulang yang lainnya, untuk meminimalkan daerah padam. Kondisi yang sifatnya hanya sementara ini tetap harus diperhitungkan koordinasi pengamannya, sehingga apabila terjadi gangguan dimanapun titiknya, kinerja pengaman jaringan akan tetap terpenuhi. Untuk mengoperasikan ABSW dilakukan secara manual menggunakan handle ABSW. Handle ABSW ini terletak di tiang dimana ABSW dipasang. Di dalam perkembangannya, beberapa ABSW dapat dioperasikan menggunakan bantuan motor, yang biasa disebut dengan ABSW Motorized . Pada ABSW Motorized dilengkapi dengan panel kontrol komunikasi, sehingga operasi open/close ABSW dapat dilakukan secara remote melalui SCADA.
(a)
(b)
Gambar 2.19 : Air Break Switch Motorized (ABSW) (a) ABSW Motorized (b) Panel Kontrol ABSW Motorized
(a)
(c)
(b) Gambar 2.20 : Air Break Switch (ABSW) (a) ABSW NC (Normaly Close), (b) ABSW NO (Normaly Open), (c) Handle ABSW
ABSW hanya dioperasikan pada beban yang relatif kecil, karena media pemadam busur api ABSW berupa hembusan udara dengan tekanan kecil sekitar 100 kg/N 2. Oleh karena itu perlu diperhatikan spesifikasi ABSW yang terpasang pada jaringan distribusi. Berikut ini contoh spesifikasi ABSW seri NPS dari ABB : Tabel 2.2 : Spesifikasi ABS Merk ABB Seri NPS Spesification Rated maximum voltage [kV] Rated current [A] Rated frequency [Hz] Rated light impulse witchstand voltage [kV] Acrross the insulating distance To earth and between phases Creepage distance [mm] Rated short-time withstand current-1s [kA] Rated short-time withstand current-3s [kA] Rated breaking current with breaking whips [A]
Operated
Rated
24 630 50/60 145 125 740 16 12,5 25 for 100 breaking operations Manual by Handling (ABS-NPS From ABB Catalouge)
Menurut spesifikasi ABSW pada Tabel 2.2 bisa dilalui arus hingga maksimal 630 A, namun hanya mampu memutus beban sebesar 25 A.
2.5.3 L oad Br eak Switch (LBS)
Saklar pemutus beban ( Load Break Switch, LBS) merupakan saklar atau pemutus arus tiga fasa untuk penempatan di luar (outdoor) pada tiang JTM, yang dikendalikan secara elektronis. Saklar dengan penempatan di atas tiang ini dioptimalkan melalui kontrol jarak jauh dan skema otomatisasi. Saklar pemutus beban juga merupakan sebuah sistem penginterupsi hampa yang terisolasi oleh gas SF6 dalam sebuah tangki baja anti karat dan disegel. Sistem kabelnya yang fullinsulated dan sistem pemasangannya sederhana yang membuat proses instalasi lebih cepat dengan biaya yang rendah. Sistem pengendalian elektroniknya ditempatkan pada sebuah kotak pengendali yang terbuat dari baja anti karat sehingga dapat digunakan dalam berbagai kondisi lingkungan. Panel kontrol mudah dioperasikan (user-friendly) dan tahan segala kondisi cuaca.
Gambar 2.21 : LBS dengan Control Box
Ciri-ciri LBS : a. Dapat digunakan sebagai pemisah maupun pemutus tenaga dengan beban nominal b. Tidak dapat memutuskan jaringan dengan sendirinya saat terjadi gangguan pada jaringan c. Dibuka dan ditutup hanya untuk memanipulasi beban
LBS menggunakan puffer interrupter di dalam sebuah tangki baja anti karat yang dilas penuh yang diisi dengan gas SF 6. Interrupter tersebut diletakkan secara berkelompok dan digerakkan oleh mekanisme pegas. Ini dioperasikan baik secara manual maupun dengan sebuah motor DC dalam kompartemen motor di bawah tangki. Motor DC memperoleh tegangan dari baterai-baterai 24 Volt dalam ruang kontrol. Transformator arus (CT) dipasang di dalam tangki dan dihubungkan ke elemen-elemen elektronik untuk memberikan indikasi gangguan dan pengukuran arus penghantar (line measurement). Jenis LBS yang digunakan pada Jaringan SUTM adalah Pole-Mounted Load Break Switch. Sesuai dengan namanya Pole-Mounted LBS yang dipasang pada tiangtiang JTM (outdoor ). Beberapa LBS jenis ini dilengkapi dengan fitur sebagai Sectionalizer . LBS tipe ini dipasang pada main feeder dan berfungsi sebagai pembatas tiap seksi-seksi jaringan untuk melokalisir daerah gangguan maupun pemadaman.
Gambar 2.22 : Pole-Mounted LBS
LBS dapat dioperasikan dalam keadaan berbeban (onload ) namun tidak boleh membuka saat terjadi gangguan berupa arus hubung singkat. Hal ini disebabkan karena SF6 yang terdapat di dalam peredam busur api LBS memiliki kemampuan
terbatas terhadap besarnya arus yang melaluinya. Apabila pada saat terjadi gangguan hubung singkat, LBS ikut membuka hal ini justru dapat menyebabkan kerusakan pada LBS tersebut ataupun dikhawatirkan LBS bisa meledak.
Berikut ini merupakan contoh spersifikasi Pole-Mounted LBS : Tabel 2.3 : Spesifikasi LBS Merk Yaskawa seri LFG-25ER141-C
Spesifikasi Dasar Rated Voltage Maximum Voltage Rated Frequency Rated Current Breaking Capasity BIL (Impulse Current F-Gnd) (Impulse Current F-F) Partial Discharge Operation Type Closing Time Opening Time Weight Dimension
Tipe Keterangan LFG-25ERA141(-C) 25 kV 27 kV 50/60 Hz 630 A 12,5 kA 1s 150 kV 165 kV 19kV Motor spring stored energy 24 VDC Less than 1.5 s Less than 100 ms 280 kg 1400 x 1450 x 810 m (Yaskawa LBS Catalouge-LFG-25ER141-C)
LBS dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu secara lokal melalui panel kontrol LBS maupun menggunakan Hook Stick atau secara remote melaui SCADA. Pada panel kontrol LBS terdapat tombol operasi open/close untuk mengoperasikan kontak-kontak LBS saat melakukan manuver jaringan. Jika panel kontrol tidak berfungsi, LBS dapat dioperasikan menggunakan Hook Stick dengan cara mengaitkannya pada lubang handle operasi open/close LBS.
Opening pushbutton Closing pushbutton Selector Switch Local-Remote
Gambar 2.23 : Closing/Opening Pushbutton LBS
(a)
(b) Gambar 2.24 : (a) Hook Stick (b) Manual Handle LBS
2.5.4 Recloser (Pemutus Balik Otomatis-PBO)
Recloser merupakan pemutus tenaga yang dilengkapi dengan relai penutup balik dan dipasang pada jaringan SUTM (Saluran Udara Tegangan Menengah). Relai penutup balik pada dasarnya bukan merupakan jenis relai pengaman, namun dapat digabungkan/ dipasangkan dengan relai hubung tanah atau relai arus le bih jika terjadi gangguan yang bersifat sementara. Reclose artinya menutup kembali, oleh karena itu recloser berfungsi untuk mengamankan peralatan jaringan SUTM apabila terjadi gangguan hubung singkat yang sifatnya temporer/sementara atau permanen.
Contoh gangguan-gangguan temporer : a. Terhubungnya penghantar satu dengan yang lain yang disebabkan oileh tiupan angin. b. Adanya ranting pohon yang bergesekan dengan penghantar pada saat ada tiupan angin. c. Adanya surja petir yang melewati penghantar d. Adanya hewan yang melintas di atas penghantar dan bersentuhan dengan permukaan grounding.
Gambar 2.25 : Recloser
Cara kerja recloser adalah untuk menutup balik dan membuka secara otomatis yang dapat diatur selang waktunya, dimana pada sebuah gangguan temporer, recloser membuka tetap sampai waktu setting yang di tentukan kemudian recloser akan menutup kembali setelah gangguan itu hilang. Apabila gangguan bersifat permanen, maka setelah membuka atau menutup balik sebanyak setting yang telah ditentukan kemudian recloser akan membuka tetap (lock out). Pada suatu gangguan permanen, recloser berfungsi memisahkan daerah atau jaringan yang terganggu sistemnya secara cepat sehingga dapat memperkecil daerah yang terganggu pada gangguan sesaat, recloser akan memisahkan daerah gangguan secara sesaat sampai gangguan tersebut akan dianggap hilang, dengan demikian
recloser akan masuk kembali sesuai settingannya sehingga jaringan akan aktif kembali secara otomatis. Sebuah recloser memiliki dua buah elemen utama yaitu : a. Dead Time Element (DT) Bewjd t kl tnd wkt “On Delay” yng wkt tndny dpt disetel menurut kebutuhan. Berfungsi untuk menentukan sela waktu dari saat PMT trip hingga saat PMT diperintahkan masuk kembali, dan dead time element ini dimaksudkan agar PMT mempunyai kesempatan untuk memadamkan busur api yang terjadi saat kontak-kontak PMT membuka. b. Blocking Time Element (BT) Berwujud kl tnd wkt “Off Delay” yng wkt tndny dpt dietel menurut kebutuhan. Berfungsi untuk memblock dead time element selama beberapa waktu setelah bekerja memasukkan PMT. Blocking time element ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan PMT agar siap melakukan siklus auto reclosing berikutnya. Diagram rangkaian Recloser yang dipasangkan dengan relai hubung tanah ditunjukkan pada Gambar 2.26. PMT
CT
Keterangan : TC
GFR
S
CC
C
S
= saklar ON/OFF
DT = dead time element BT = blocking time element
BT2
C
DT
= counter
BT DT2 + -
DT1
BT1
Gambar 2.26 : Rangkaian Relai Penutup Balik
Cara kerja relai penutup balik adalah pada saat terjadi gangguan sementara dalam hal ini adalah gangguan tanah, maka GFR akan bekerja menutup kontaknya dan mengalir arus DC menuju trip coil (TC) pada saat itu PMT akan trip. Pada waktu yang sama DT memperoleh energi dan bekerja sesuai dengan jangka waktu setelannya. Saat kontak-kontak DT menutup yang mana kontak pertama (DT 1) memberikan pulsa closing ke closing coil (CC) sehingga PMT menutup kembali. Kontak kedua (DT 2) memberikan energi ke BT, dan BT langsung bekerja membuka kontak-kontaknya. Kontak pertama (BT 1) memutus pulsa closing dan kontak kedua (BT2) memblok DT. Setelah jangka waktu setelan BT habis, maka BT akan reset. Hal tersebut mengartikan DT siap bekerja kembali melakukan proses reclosing berikutnya. Waktu membuka dan menutup pada recloser dapat diatur pada kurva karakteristik. Berdasarkan jumlah siklus reclosing kepada PMT, terdapat dua macam relai penutup balik, yaitu : a. Single shoot reclosing relay Relai jenis ini hanya dapat memberikan perintah reclosing kepada PMT sebanyak satu kali saja dan baru dapat melakukan reclosing lagi setelah jangka waktu blocing time berakhir. Apabila terjadi gangguan selama periode blocking time belum berakhir maka PMT akan trip, kemudian mengunci (lockout). b. Multi shoot reclosing relay Relai jenis ini dapat melakukan relosing lebih dari satu kali, pada umumnya 3 kali siklus reclosing . Setting waktu reclosing yang pertama dengan siklus reclosing selanjutnya dapat diatur sesuai dengan koordinasi recloser terhadap peralatan pengaman yang lain.
Gangguan
Arus
Masuk
PMT
Keluar
tdo Relai
tk
td Dead Time
Pulsa closing
t b
Blocking time
Gambar 2.27 : Diagram Kerja Fungsi Waktu Relai Penutup Balik Single Shoot
gangguan
td1
td2
td3
PMT On Lockout
PMT Off tb1
tb2
tb3
Gambar 2.28 : Diagram Kerja Fungsi Waktu Multi Shoot Reclosing Relay
Urutan kerja relai penutup balik jenis Multi Shoot Reclosing Relay : 1) Bila terjadi gangguan, relai akan memerintahkan PMT untuk trip selama waktu td1, misalnya 0,3 detik. 2) Setelah berakhirnya waktu td1, maka PMT akan on kembali. 3) Jika ternyata gangguan masih ada, PMT akan kebali trip dengan jangka waktu yang lebih lama td2, misalnya 10 detik, dan akan kembali menutup setelah berakhirnya waktu td2. 4) Jika ternyata gangguan masih dirasakan oleh PMT, maka PMT akan trip kembali selama waktu td3, misalnya 1 menit. 5) Setelah jangka waktu td3 habis, PMT akan kembali On. Jika gangguan masih ada selama jangka waktu blocking time (tb 3) maka PMT akan lockout. 6) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gangguan yang terjadi bersifat permanen. Kontak-kontak Recloser beroperasi secara otomatis saat terjadi gangguan. Penempatan dan setting recloser harus disesuaikan dengan kemampuannya menutus arus hubung singkat. Oleh karena itu di dalam memilih Recloser perlu disesuaikan dengan spesifikasinya. Berikut ini contoh spesifikasi Recloser yang dipasang pada SUTM : Tabel 2.4 : Spesifikasi Outdoor Vacuum Recloser Spesification Rated Nominal operating voltage [kV] 24,9 Rated max voltage [kV] 27 Rated power frequency [Hz] 50/60 Rated continuous current [A] 630 Rated symmetrical interupting current [kA] 10 Rate lightnig impulse withstand (BIL) [kV] 125 Max. interupting time [sec] 0,030 Max. closing time [sec] 0,055 (Outdoor Vacuum Recloser 24 kV, ABB Catalouge)
2.5.5 Sectionalizer (SSO)
Sectionalizer atau Saklar Seksi Otomatis (SSO) merupakan peralatan pengaman yang proses kerjanya cara kerjanya terkoordinasi dengan recloser . Sectionalizer berfungsi untuk melokalisir atau memperkecil daerah yang padam akibat gangguan yang bersifat permanen. Sectionalizer pada jaringan dipasang setelah recloser , dan sistem kerjanya berkoordinasi dengan recloser . Ketika recloser membuka, sectionalizer akan mendeteksi tegangan yang hilang. Sectionalizer akan menghitung ketika berapa kali terjadi hilang tegangan. Setelah setting kehilangan tegangan pada sectionalizer terpenuhi, sectionalizer akan lock out . Setting sectionalizer adalah n-1, dimana n adalah setting pada recloser . Hal ini dimaksudkan agar ketika terjadi gangguan yang bersifat permanen, sectionalizer akan melokalisir daerah gangguan dan recloser tidak lock out sehingga daerah yang padam dapat lebih diminimalisir. Dengan dipasangnya sectionalizer dan recloser pada SUTM maka diperlukan adanya koordinasi antara kedua peralatan ini, sehingga ketika terjadi gangguan yang bersifat permanen dan gangguan berada di posisi di depan sectionalizer tidak akan menyebabkan recloser lock out atau bahkan menyebabkan PMT pada pangkal penyulang trip. Dengan demikian, jika koordinasi antara pengaman pada penyulang bekerja dengan baik akan dapat meminimalisir daerah yang padam akibat gangguan.
Recloser PMT
PMT
GI
Gambar 2.29 : Penempatan SSO
SSO
Penempatan SSO : 1) Ditempatkan pada jaringan saluran udara tegangan menengah radial, seri dengan recloser 2) SSO dapat dihubung seri pada jaringan loop 3) Sebagai pengaman cadangan (backup) untuk arus gangguan minimum di ujung jaringan setelah SSO 4) SSO dapat ditempatkan di percabangan jaringan SUTM
(a)
(b)
Gambar 2.30 : Sectionalizer
(a) Programmable Resettable Sectionalizer Single Phase (b) Pengoperasian SSO dengan Hook Stick
Pada kondisi lock out kontak SSO dapat membuka secara otomatis, namun untuk memasukkan kontak SSO kembali, petugas harus mendatangi lokasi pemasangan SSO dan memasukkan kontak SSO dengan menggunakan Hook Stick . Tabel 2.5 : Spesifikasi Resettable Electronic Sectionalizer Spesification Rated Rated max voltage [kV] 27 Rated power frequency [Hz] 50/60 Rated continuous current [A] <200 Number of opening counts Resettable beetween 1 – 4 times Rated symmetrical interupting current [kA] 4 Insulation Level (BIL) [kV] 110 Total opening time [sec] 0,5 Memory reseting time [sec] 30 (ABB AutoLink Resettable Electronic Sectionalizer Catalouge)
2.5.6 F use Cut Out (FCO)
Fuse Cut Out atau biasa disebut FCO adalah suatu alat pengaman jaringan distribusi yang melindungi jaringan terhadap arus beban lebih yang mengalir melebihi dari batas maksimum yang disebabkan karena hubung singkat atau beban lebih. Konstruksi dari FCO ini jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan pemutus beban (circuit breaker) yang terdapat di Gardu Induk. FCO hanya dapat memutuskan satu saluran kawat jaringan di dalam satu alat. Apabila diperlukan pemutus saluran tiga fasa maka dibutuhkan FCO sebanyak tiga buah. Pada dasarnya bagian pokok dari FCO adalah sehelai kawat yang mempunyai penampang yang disesuaikan dengan besarnya arus maksimum yang diperbolehkan mengalir pada kawat tersebut yang disebut dengan fuse link . Pemilihan kawat atau fuse link yang dipergunakan pada FCO didasarkan pada faktor lumer yang rendah dan harus memiliki daya hantar yang tinggi. Besarnya faktor lumer ditentukan oleh temperatur bahan pembuatnya. Biasanya bahan-bahan yang dipergunakan sebagai kawat fuse link adalah kawat perak, kawat tembaga, kawat seng, kawat timbel atau kawat paduan dari bahan-bahan tersebut. Kawat yang banyak digunakan sebagai fuse link adalah kawat logam perak, mengingat kawat perak memiliki konduktivitas 60,6 mho/cm lebih tinggi dari kawat tembaga, dan memiliki temperatur 960° C, maka pada jaringan distribusi banyak digunakan. Kawat perak ini dipasangkan di dalam tabung porselin yang diisi dengan pasir putih sebagai pemadam busur api, dan menghubungkan kawat tersebut pada kawat fasa, sehingga arus mengalir melaluinya. FCO ditempatkan sebagai pengaman tansformator distribusi, dan pengaman pada cabang-cabang saluran feeder yang menuju ke jaringan distribusi sekunder.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.31 : Fuse Cut Out (a) Pemasangan FCO (b) Konstruksi FCO (c) Fuse Link
Terdapat berapa jenis fuse link yang digunakan berkaitan dengan pemilihan tipe fuse link pada FCO. Hal ini yang dijadikan pertimbangan berapakah kapasitas fuse link yang dipasang disesuaikan dengan besarnya kapasitas trafo distribusi pada saluran tersebut, selain itu kapasitas fuse link yang dipasang apakah pada sisi primer atau sekunder trafo distribusi. Menurut SPLN No. 64 Tahun 1995 jenis-jenis fuse link tersebut adalah : Tabel 2.6 : Rekomendasi Pemilihan Arus Pengenal Pelebur 24 kV
Trafo Distribusi Daya Arus pengenal pengenal (kVA) (A) Fasa tunggal, 16 25 50
√
Pelebur Primer 24 kV Arus Pengenal (A) Tipe T Tipe K (lambat) (cepat) min Maks min maks
Pelebur Sekunder (230/400 V) Arus Pengenal (A) min Maks
kV
1,3856 2,1651 4,3301
6,3 10
6,3 10
6,3 6,3 10
6,3 6,3 16
80 125 250
100 125 250
6,3 10 10 16 20 25
8 12,5 12,5 16 25 25
6,3 6,3 10 16 16 20 25
6,3 10 12,5 20 25 31,5 40
80 160 250 315 400 500 630
100 200 250 315 400 500 630
Fasa tiga, 20 kV 50 100 160 200 250 315 400
1,4434 2,8867 4,6188 5,7735 7,2169 9,0933 11,5470
500 630 800 1000
14,4330 18,1860 23,0940 28,8670
25 40 50 63
31,5 40 63 63
31,5 40 50 63
40 800 800 63 1000 1000 80 1250 1250 100 1600 1600 (SPLN No.64 Tahun 1995)
Selain pemilihan rating fuse link sebagai pengaman trafo distribusi, terdapat dua jenis fuse link berdasarkan waktu kerjanya yaitu FCO tipe tipe lambat (T) dan cepat (K). Perbedaan dari tipe-tipe ini terletak pada perbandingan kecepatannya, yaitu perbandingan antar arus leleh minimum pada 0,1 detik dan arus leleh minimum pada 300 atau 600 detik. Untuk fuse link tipe “T” (tipe lmbt) pebndingn kecepatannya adalah 10-13. Untuk fuse link tipe “K” (tipe cept) pebndingn kecepatannya adalah 6-8.
Tabel 2.7 : Standar Arus Untuk Pelebur Tipe “T”
Arus pengenal (A) 6,3 8 10 12,5 16 20 25 31,5 40 50 63 80 100 125 160 200
Arus leleh pada
Arus leleh pada
Arus leleh pada
300 detik
10 detik
0,1 detik
(A)
(A)
(A)
Min
Maks
Min
Maks
Min
12,4 15 19,5 26 32,6 39 50 65,5 80 101 124,4 160 200 268,7 366,6 480
14,9 18 23,4 31,2 39,1 47 60 79 96 121 148,7 192 240 322,5 440 576
16 20,5 26,5 36,1 47 57 73,5 97 120 152 189,2 248 319 444,6 630 850
21,4 31 40 54,5 70,6 85 109 144 178 226 282,3 370 475 662,5 941,6 1275
126,9 166 224 311,3 409,6 496 635 846,8 1040 1310 1604,6 2080 2620 3482,5 4750 6250
Rasio kecepatan
Maks 152,2 10 199 11,1 269 11,5 373,5 11,8 491,8 12,5 595 12,7 762 12,7 1014,7 12,9 1240 13,0 1570 13,0 1921 12,9 2500 13,0 3150 13,1 4181,2 13,0 5690 12,9 7470 13,0 (SPLN No.64 Tahun 1995)
Gambar 2.32 : Kurva Karakteristik Pelebur Jenis Letupan Tipe “T”
Tabel 2.8 : tnd Untk Peleb Tipe “K ”
Arus pengenal (A) 6,3 8 10 12,5 16 20 25 31,5 40 50 63 80
Arus leleh pada
Arus leleh pada
Arus leleh pada
300 detik
10 detik
0,1 detik
(A)
(A)
(A)
Min
Maks
Min
Maks
Min
Maks
12,4 15 19,5 26 32,6 39 50 65,5 80 101 124,4 160
14,9 18 23,4 31,2 39,1 47 60 79 96 121 148,7 192
14,1 18 22,5 30,7 39,2 48 60 80,5 98 126 154,6 205
21,4 27 34 45,8 58,2 71 90 119,6 146 188 230,4 307
75,7 97 128 174,1 229 273 350 464,7 565 719 891,4 1180
90,5 116 154 208,8 272 328 420 566,1 680 862 1068,2 1420
Rasio kecepatan 6 6,5 6,6 6,6 6,9 7,0 7,0 7,1 7,1 7,1 7,2 7,4
100 125 160 200
200 268,7 366,6 480
240 322,5 440 576
258 365,5 540 760
388 551,7 816,6 1150
1520 2113,7 2940 3880
1820 7,6 2538,7 7,8 3530 8,0 4650 8,1 (SPLN No.64 Tahun 1995)
Gambar 2.33 : Kurva Karakteristik Pelebur Jenis Letupan Tipe “K”
2.6
Perhitungan Beban per-Section
Beban per-section merupakan beban yang dibatasi oleh dua buah peralatan pemisah yang berdekatan, yang berupa LBS atau ABSW. Untuk menghitung beban per- section ini diperlukan data pengukuran pada masing-masing fasa R,S,T di jaringan 20 kV. Pada saat dilakukan pengukuran beban disebuah titik LBS/ABSW, sesungguhnya beban yang terukur tersebut adalah beban dari t itik pengukuran hingga ujung jaringan tersebut. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Amp Stick
(Ampere Meter Stik). Sehingga untuk menghitung beban per- section kita harus mengetahui di titik mana letak LBS atau ABSW pada suatu penyulang, sehingga dengan mengurangi hasil pengukuran beban di awal dengan hasil pengukuran beban dititik selanjutnya dapat diketahui berapa beban tiap section tersebut.
Gambar 2.34 : Amp Stik
Gambar 2.35 : Pengukuran Beban per-Section
Pengukuran beban per- section di atas menggunakan Amp Stik merk Sensor Link. Setting mode yang dipilih untuk melakukan pengukuran itu adalah mode “ HOLD”. engn memilih mode ini beti pengkn bebn pd f R,,T dpt dilakukan sebanyak 3 kali langsung tanpa perlu melakukan pembacaan tiap kali pengukuran di masing-masing fasanya. Amp Stik langsung bisa melakukan
penyimpanan pencatatan beban pada memorinya. Setelah selesai melakukan pengukuran pada ketiga fasa tersebut, kita tinggal melakukan pembacaan pada I1,I2,dan I3. Contoh jika kita melakukan pengukuran dimulai dari fasa R, kemudian S dan T. Berarti untuk I1 merupakan hasil pengukuran dari beban pada fasa R. Perhitungan beban per- section ini pada dasarnya mengacu pada Persamaan Kirrchoff Current Law (KCL) dimana pada setiap titik percabangan dalam rangkaian listrik, jumlah dari arus yang masuk kedalam titik itu sama dengan jumlah arus yang keluar dari titik tersebut atau jumlah total arus pada sebuah titik adalah nol.
I2
I1
I3
I4
Gambar 2.36 : Rangkaian Persamaan KCL
Kirrchoff Current Law :
∑ ................................................................................................... (2.3) Atau
∑ - - - ......................................................................................(2.4) ..........................................................................................(2.5) (Network Theory-Uday Bakshi & Ajay Bakshi : 2008) Keterangan : ∑ I = Arus masuk (A) In = Arus cabang (A)
2.7
Rugi-Rugi Jaringan Distribusi Primer
Rugi-rugi atau losses dapat diartikan sebagai selisih antara energi listrik yang disalurkan dengan energi yang diterima. Terjadinya rugi-rugi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti jauhnya daerah penyaluran tenaga listrik dari sumber/suplai, ketidakseimbangan beban, umur peralatan, ukuran dan jenis penghantar,dan sebagainya. Rugi-rugi energi tersebut tidak dapat dihilangkan sepenuhnya namun bisa diminalkan (direduksi). Kerugian pada sistem tenaga listrik dari pembangkit hingga ke konsumen diperkiran ± 14% dari total daya pembangkitan, kerugian tersebut terdiri dari 3% susut transmisi dan 11% susut distribusi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa saluran distribusi memiliki kontribusi yang tinggi di dalam munculnya rugi-rugi pada sistem tenaga listrik. Pada tabel di bawah ini dijabarkan mengenai prosentase kerugian daya pada saluran distribusi. Tabel 2.9 : Kerugian Daya Pada Sistem Distribusi Tenaga Listrik Distribution System
Losses at Full Load Cable 1% - 4% Transformer 0,4% - 3% Capasitors 0,5% - 2% Low Voltage Switchgear 0,13% - 0,34% Busway 0,05% - 0,5% Motor Control Centers 0,01%-0,4% Medium Voltage Switchgear 0,006% - 0,02% Load Break Switches 0,003% - 0,025% Outdoor Circuit Breaker 0,002% - 0,015% (Buku Saku Pelayanan Teknik-Ir.Wahyudi Sarimun N, M.T)
Terdapat dua jenis rugi-rugi pada jaringan distribusi, yaitu rugi daya dan rugi tegangan. Rugi-rugi ini disebabkan karena panjangnya penghantar yang digunakan dalam jaringan distribusi. Pada umumnya jaringan distribusi menggunakan
penghantar jenis tembaga atau aluminium. Namun, mahalnya harga tembaga membuat penghantar jenis aluminium lebih banyak digunakan. Sehingga untuk menghitung rugi-rugi pada jaringan distribusi kita perlu mengetahui berapa nilai impedansi penghantar jenis AAAC (All Aloy Aluminium Conductor), faktor daya jaringan, panjang penghantar dan beban pada saluran tersebut. AAAC merupakan jenis penghantar yang terbuat dari aluminium-magnesiumsilicon campuran logam, keterhantaran elektris tinggi yang berisi magnesium si licide, untuk memberi sifat yang lebih baik. Kabel ini biasanya dibuat dari paduan aluminium 6201. AAAC mempunyai suatu anti karat dan kekuatan yang baik, sehingga daya hantarnya lebih baik.
Gambar 2.37 : AAAC (All Aloy Aluminium Conductor)
Tabel 2.10 : Nilai Tahanan (R) dan Reaktansi (X L) Penghantar AAAC
Luas Penampang [mm2] 16 25 35 50 70 95 120 150 185 240
Jari-jari [mm]
Urat
GMR [mm]
2,2563 2,8203 3,3371 3,9886 4,7193 5,4979 6,1791 6,9084 7,6722 8,7386
7 7 7 7 7 19 19 19 19 19
1,6380 2,0475 2,4227 2,8957 3,4262 4,1674 4,6837 5,2365 5,8155 6,6238
Impedansi urutan Impedansi urutan positif negatif [ohm/km] [ohm/km] 2,0161 + j0,4036 2,1641 + j1,6911 1,2903 + j0,3895 1,4384 + j1,6770 0,9217 + j0,3790 1,0697 + j1,6665 0,6452 + j0,3678 0,7932 + j1,6553 0,4608 + j0,3572 0,6088 + j1,6447 0,3096 + j0,3449 0,4876 + j1,6324 0,2688 + j0,3376 0,4168 + j1,6324 0,2162 + j0,3305 0,3631 + j1,6180 0,1744 + j0,3239 0,3224 + j1,6114 0,1344 + j0,3158 0,2824 + j1,6034 (SPLN No. 64 Tahun 1985)
2.7.1 Perhitungan Rugi Tegangan
Untuk mempermudah di dalam menghitung rugi tegangan digunakan diagram beban saru garis seperti pada gambar di bawah ini : I (Amper) R
+
jXL Vb
Vs
BEBAN
Gambar 2.38 : Diagram Beban Satu Garis
Dari Gambar 2.38 diperoleh diagram persamaan tegangan berikut ini :
Vs
I.R cos θL
θL
V b θL
θL
I.X
I.R I
I.X sin θL
Gambar 2.39 : Diagram Persamaan Tegangan
Nilai jatuh tegangan yang disebabkan oleh penghantar dipengaruhi oleh besarnya arus dan impedansi penghantar (V=I.Z), dimana Z = R+jX = Z
θC
dan nilai arus (I)
tertinggal terhadap tegangan (Vt) sebesar “θL” seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.39. Besarnya sudut “θL” adalah besarnya sudut pada fkto bebn co θ L. Sehingga diperoleh persamaan : VD = I - θL Z θC ........................................................................ (2.6) = I(cos θL + sin θL)(R+jX) ............................................................ (2.7) = I {(Rcos θL + Xsin θL) + j(Rsin θL + Xcos θL)} ........................ (2.8)
Karena nilai (Rsin θL + Xcos θL) sangat kecil, sehingga besarnya rugi tegangan dapat dihitung dengan : VD = I (Rcos θL + Xsin θL) .................................................................. (2.9) Dengan demikian besarnya tegangan beban : VR = VS - I (Rcos θL + Xsin θL) ............................................................ (2.10) Selisih antara tegangan sumber dan tegangan pada beban ini yang disebut dengan drop tegangan yaitu : VD (1ph) = I (Rcos θL + Xsin θL) .........................................................(2.11) VD (3ph) =
√ {I (Rcos θL + Xsin θL)} ...............................................(2.12) (Electrical Power Distribution System : V Kamaraju )
Keterangan : VS = Tegangan sumber (Volt) V b = Tegangan pada beban (Volt) VR = Tegangan pada resistan (Volt) VX = Tegangan pada reaktansi (Volt) VD = Tegangan Drop (Volt) I
= Arus (Ampere)
R
= Resistansi penghantar (ohm)
X
= Reaktansi penghantar (ohm)
Nilai √ pada sistem 3 fasa diperoleh dari penjelasan di bawah ini : A
120,0° 120,0°
N
120,0°
C
B
Gambar 2.40 : Diagram Tegangan 3 Fasa
Tegangan fasa-netral = VA-N = VB-N = VC-N Tegangan fasa-fasa = VA-B = VB-C = VA-C A 30o
X 120,0° 120,0°
N
120,0°
C
B
Gambar 2.41 : Diagram Pembuktian Nilai √ pada Tegangan 3 Fasa
Jika dimisalkan besarnya VA-N = 1, maka : VA-X = VA-N x Cos 60o........................................................................ (2.13) VA-X = 1 x ½
√ ................................................................................. (2.14)
sehingga : VA-B = 2 (VA-X) .................................................................................. (2.15) VA-B = 2 (½
√ ) ................................................................................. (2.16)
VA-B = √ . VA-N ................................................................................. (2.17)
2.7.2
Perhitungan Rugi Daya
Untuk menghitung rugi daya pada suatu saluran, secara sederhana dapat dijelaskan melalui diagram beban satu garis, seperti pada Gambar 2.38. PR P b ................................................................................ (2.18)
.R . .Bebn ................................................................ (2.19) P b -(PR ) ............................................................................... (2.20) Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa P b < Ps. Hal ini disebabkan adanya Karena yang dinamakan rugi-rugi adalah selisih antara daya yang dihasilkan dengan daya yang terukur pada beban, sehingga dapat dikatakan bahwa P R +QXL merupakan rugi daya pada suatu jaringan distrbusi. Persamaan rugi jaringan distribusi 1 fasa : DP = PR = .R (Watt)....................................................................... (2.21) DQ=
.j ................................................................... (2.22)
Persamamaan rugi jaringan distribusi 3 fasa : DP (3ph) = DP (R) + DP (S) + DP (T) ........................................................ (2.23) DQ (3ph) = DQ (R) + DQ (S) + DQ (T) ..................................................... (2.24) (Electrical Power Distribution System : V Kamaraju )
Keterangan : DP = Rugi Daya Aktif (Watt) DQ = Rugi Daya Reaktif (VAr) I
= Arus (Ampere)
R
= Resistansi Penghantar (ohm)
X
= Reaktansi Penghantar (ohm)
2.8
Pelimpahan Beban Penyulang
Pada saat melakukan manuver jaringan distribusi yang disebabkan karena pekerjaan pemeliharaan atau gangguan, untuk meminimalisir daerah padam pada suatu penyulang, maka beberapa beban yang tidak termasuk ke dalam seksi/daerah gangguan akan dimanuver ke penyulang lain agar tetap memeperoleh pasokan energi listrik. Pada saat manuver tersebut, penyulang yang tidak mengalami gangguan akan dilimpahi beban dari penyulang yang mengalami gangguan. Di dalam melakukan pelimpahan beban ada hal-hal yang harus diperhatikan agar kinerja dan kualitas penyaluran energi listrik tersebut tetap terjaga. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pelimpahan beban antara lain : a. Urutan fasa antar penyulang harus sama Urutan fasa R, S, dan T pada dua penyulang yang akan disambung melalui konfigurasi jaringan loop harus memiliki urutan fasa yang sama. Jika salah satu fasanya tertukar hal tersebut bisa menyebabkan terjadinya hubung singkat antar fasa. b. Tegangan antar penyulang harus sama Tegangan yang sama buka berarti harus sama persis antara kedua penyulang tesebut. Ada batasan toleransi sebesar 5% dari tegangan nominal sebesar 20 kV. c. Setting peralatan penyulang seperti Recloser dan PMT Pada peralatan-peralatan tegangan menengah seperti Recloser dan PMT yang bisa dioperasikan pada saat kondisi berbeban, memiliki setting arus maksimal yang mampu dipikul oleh Recloser dan PMT. Sehingga beban yang dilimpahkan tidak boleh melebihi dari besarnya arus setting maksimal Recloser dan PMT. d. KHA Penghantar