Contoh Best Practice
“BELAJAR DENGAN KAMUSKU”
(BEST PRACTICE)
Oleh : Adang Lasmana Pengalaman ini terjadi sekitar Tahun 2000, ketika itu baru dua tahun aku mengemban tugas sebagai guru SD, dan satu amanah yang cukup besar bagi seorang Guru Pemula sepertiku ketika Kepala Sekolah menugaskan menugaskan langsung langsung menjadi Wali Kelas VI. Para Guru ditempat kerjaku kerjaku rata-rata berpikir dua kali ketika harus menjadi wali kelas VI, hal ini dapat dimaklumi karena dikelas enam inilah keberhasilan kelulusan para peserta didik ditentukan yang pada akhirnya akan berimbas pada gengsi sekolah. Sekolah tempat tugasku berada di daerah pedesaan dengan sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah petani dan buruh tani. Pertanian yang banyak dikembangan merupakan pertanian kering atau peladangan, dan singkong serta jagunglah yang menjadi komiditi unggulan disini. Dengan kondisi itulah, sebagian besar anak didikku berangkat ke sekolah dengan dengan berjalan kaki dan karena kesibukan orangtua mengurus ladanggnya banyak diantara mereka yang belum sempat sarapan pagi. Bisa dibayangkan ketika anak-anak ini sampai di sekolah, jangankan untuk menerima materi pelajaran dengan baik, untuk bertahan agar mereka tidak masuk angin saja sudah cukup. Pada suatu ketika saat pembelajaran Bahasa Indonesia dengan materi mengarang, aku sudah siapkan berbagai intrumen pembelajaran mulai dari SATPEL (semacam RPP sekarang), lembar evaluasi, Lembar Kegiatan Siswa, dan gambar peristiwa sebagai media pembelajaran. Kegiatan diawali dengan sebuah cerita yang sudah kupersiapkan, kemudian siswa belajar menulis karangan dengan berdasarkan gambar yang telah dibagikan. Sungguh diluar dugaan, tatkala sebagai besar siswa banyak yang bolakbalik menghampiri tempat dudukku menanyakan “sebuah kata dalam Bahasa Indonesianya”. Dengan
kondisi seperti inilah sudah dapat dipastikan kegiatan pembelajaran pembelajaran kurang berhasil dan hasil belajar siswa pun belum memuaskan. Pada waktu istirahat kucoba analisis hasil pekerjaan para peserta didikku dengan tujuan mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Dari hasil kegiatan tersebut diperoleh suatu gambaran bahwa khazanah pembendaharaan Bahasa Indonesia para peserta didikku masih lemah. Hal ini bisa dilihat, dengan banyaknya ditemukan kata-kata dari Bahasa Ibu (Sunda) yang digunakan atau dicampur dengan Bahasa Indonesia dalam karangan. Kenyataan ini juga, didukung fenomena dalam proses pembelajaran di mana sebagian besar peserta didik bolak-balik ke meja Guru untuk menanyakan menanyakan kata dalam Bahasa Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama menulis merupakan salah satu keterampilan dari empat keterampilan berbahasa, yaitu; menyimak, berbicara, membaca dan menulis itu sendiri. Keempat keterampilan tersebut merupakan bagian yang tidak berdiri secara sendiri-sendiri, tetapi rangkaian yang berjenjang. Ini artinya kemampuan menulis seseorang tidak akan baik jika ketiga keterampilan sebelumnya belum dikuasai. Saya berpikir masih kurangnya pembendaharaan kata peserta didik dalam menulis sebagai dampak kurangya kegiatan membaca, Terlebih dengan kondisi sekolah pada waktu itu, jangankan perpustakaan buku sumber saja sudah usang dengan jumlah yang terbatas. Perlu juga diketahui sekitar tahun 2000 Biaya Opersional Sekolah (BOS) belum ada sehingga buku-buku sebagai sumber belajar masih minim sekali. Sepintas berpikir ada keingginan untuk menugaskan peserta didik kelas VI untuk membeli kamus Bahasa Indonesia dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan yang dialamanyi. Namun keinginan itu hilang ketika melihat kondisi ekonomi orang tua peserta didikku, belum lagi untuk mencari toko buku terdekat saja harus menuju ke Ibukota Kabupaten yang jaraknya sekitar 45 Km. Akhirnya muncul suatu ide untuk membuat “KAMUSKU”.
Untuk membuat kamusku semua siswa ditugaskan umtuk membeli buku tulis yang murah saja, Buku tersebut digunting sehingga bentuknya memanjang. Tiap hari semua siswa ditugaskan mencari dan menuliskan 10 kata dalam Bahasa Indonesia lengkap dengan artinya dalam kurun waktu satu caturwulan (saat itu masih caturwulan). Selain itu juga siswa harus memperlihatkan sumber kata itu diambil, dan saya menugaskan untuk mencari kata-kata dari potongan kertas pembungkus makanan, koran bekas, dus makanan, dus obat dan apa saja yang mudah didapat dan tentu saja harus gratis. Ada dua tujuan pokok yang ingin saya tanamkan terkait kegiatan ini, yaitu: 1. Membelajarkan peserta didik untuk secara kontinyu berlatih dan gemar membaca. Dengan menuliskan sepuluh kata dan mengartikannya, siswa dituntut untuk membaca dan memahami kata yang ditulisnya. 2. Menanamkan sikap hemat dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Dengan memanfaatkan barang-barang bekas yang tersedia siswa belajara untuk hidup hemat tanpa mengurangi makna untuk belajar. Satu bulan telah kulalui, dan kurang lebih 240 kata telah masuk buku kamusku, kucoba lagi siswa untuk belajar mengarang. Hatiku mulai lega peserta didikku telah nampak konsentrasi untuk menulis karangan, walaupun ada beberapa yang masih nampak kebingungan mencari kata dalam Bahasa Indonesianya, namun hal itu tidak mengganggu jalanya proses pembelajaran. Menjelang akhir tahun semua peserta didik kelas VI dihadapkan untuk mengikuti EBTA/EBTANAS (semacan UN sekarang), dan salah satu kegiatan ujian praktik Bahasa Indonesia adalah menulis
karangan. Sungguh luar biasa ketika rata-rata nilai ujian praktik menulis karangan peserta didikku peringkat satu Kecamatan. Walaupun prestasi yang diperoleh bukan level Internasional tapi dengan kondisi lingkungan dan sekolahku saat itu, saya merasa bangga memiliki anak-anak didik penuh antusias dan kegairahan dalam belajar. Demikian salah satu penggalan cerita dari seorang guru di daerah yang munggkin kurang berarti bagi pembaca. Tetapi saya yakin sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan tak akan hilang dalam catatan Tuhan….Amiiin.
Penulis adalah Guru SDN Rancasari Kec. Tanjungsiang Kab. Subang**)