RE F ER AD ANASTESI ANASTESI
*Kepaniteraan *Kepaniteraan Klinik senior/ G1A212038/ Juni 2015 **Preceptor/ **Preceptor/ dr. Sulistyowati, Suli styowati, Sp. An
SEPSIS Agung Frananda, S. Ked*, dr. Sulistyowati, Sp. An
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL REPORT SESSION SEPSIS
Oleh: Agung Frananda, S. Ked G1A212038
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI/RSUD. RADEN MATTAHER PROV. JAMBI
Jambi, Juni 2015 Pembimbing
dr. Sulistyowati, Sp.An
2
KATA PENGANTAR
Bismillah, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas CLI NI CAL RE PORT SESSION (CSS) pada Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/SMF Anestesi dan Reaminasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi yang berjudul SEPSIS Tugas ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam mengenai teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/SMF Anestesi dan Reaminasi RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sulistyowati, Sp.An selaku preseptor yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis pada karya yang penulis susun. Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan, sehingga diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya. Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Jambi, Juni 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul
……………………………………………..…
1
Halaman Pengesahan
……………………………………………..…
2
Kata Pengantar
……………………………………………..…
3
Daftar Isi
……………………………………………..…
4
BAB I Pendahuluan
…….…………………..………………………
5
BAB II Tinjauan Pustaka
.................................................................
6
2.1. Definisi
…………….…………………………..........
6
2.2. Epidemiologi
…….…………………..……………………
6
2.3. Etiologi
…………….…………………………........
7
2.4. Patofisiologi
…….………………………….....................
8
2.5. Perkembangan
…………….………………………….........
14
2.6. Penatalaksanaan Awal …………….…………………………..
14
2.7. Manifestasi Klinik
15
2.8. Diagnosa
.………………..………………………
….……………..………………………........
17
2.9 Pemeriksaan Penunjang .....................................................
20
2.10 Penatalaksanaan .............................................................
20
2.11 Komplikasi .....................................................................
21
2.12 Prognosis .........................................................................
23
BAB III Kesimpulan
…….…………………..………………………
24
BAB V Kesimpulan
…….…………………..………………………
24
DAFTAR PUSTAKA
…….…………………..………………………
25
4
BAB I PENDAHULUAN
Sepsis merupakan suatu penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada bayi-bayi yang dirawat di rumah sakit dan pada bayi-bayi prematur. Patofisiologi dan simptom sepsis pada orang dewasa dan anak-anak pada dasarnya hampir sama,
yaitu
mengindikasikan
adanya
respon
inflamasi
sistemik
yang
menyebabkan terjadinya koagulopati, hipotensi, perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, dan pada akhirnya, kegagalan organ dan kematian. Walaupun kedua kelompok usia ini menunjukkan gambaran yang hampir sama, namun sebenarnya ada beberapa perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan peran mediatormediator sepsis, dan patofisiologi dari sepsis itu sendiri pada orang dewasa, anakanak, dan pada bayi. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah terjadi kemajuan-kemajuan pesat akan pemahaman potofisiologi sepsis. Inflamasi, aktivasi koagulasi, dan proses fibrinolisis yang terganggu/tersupresi, merupakan mekanisme-mekanisme penting sebagai patofisiologi sepsis dan dikenal dengan sepsis cascade. Terapi-terapi terbaru yang potensial terhadap sepsis kini lebih diarahkan kapada respon selular. Pemahaman akan patofisiologi sepsis tentunya penting untuk diagnostik dengan sensifitas dan spesifisitas yang baik untuk deteksi dini serta penatalaksanaannya.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi
Sepsis adalah adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah atau jaringan lain atau dapat dikatakan suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan tersebut. Septikemia adalah penyakit sistemik yang berhubungan dengan adanya dan bertahannya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah. Bakteremia adalah adanya bakteri di dalam darah. Viremia adalah adanya virus di dalam darah. Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg. 2.2
Epidemiologi
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat. Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 Kematian di Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit. Klinik dan pusat kesehatan (89,9%) dan 94% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut.
6
2.3
Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan
oleh
virus,
atau
semakin
sering,
disebabkan
oleh
jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi. Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur. Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis. Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu: a. Infeksi paru-paru (pneumonia) b. Flu (influenza) c. Appendiksiti d. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
7
e. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius) f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit g. Infeksi pasca operasi h. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteks
2.4
Patofisiologi Sepsis
Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme patogen dan tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis berhubungan dengan patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan gambaran klinis akan suatu hipotensi yang berat dan aliran darah yang terbendung akibat terbentuknya mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi organ yang kemudian dapat berkembang menjadi disfungsi dari beberapa organ dan akhirnya kematian. Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon terhadap sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang menginvasi (organisme Gram-positif, organisme Gram-negatif, jamur, atau virus). Respon pejamu terhadap
organisme
Gram-negatif
dimulai
dengan
dikeluarkannya
lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel bakteri Gram-negatif, yang dikeluarkan saat proses lisis. Organisme Gram-positif, jamur dan virus memulai respon pejamu dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponenkomponen antigen seluler. Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi (Gambar 1). Mediator-mediator inflamasi adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari aktivasi makrofag. Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi ini terjadi pada endotel dan menyebabkan
8
migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombus. Akibat aktivasi endotelium, terjadi peningkatan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada lesi tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses fibrinolisis yang terganggu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah reseptor pada permukaan sel yang diperlukan untuk sintesis dan pemunculan molekul antitrombotik. 1. Respon Inflamasi
Pada orang dewasa , tumor necrosis factor alpha ( TNF-α ) merupakan mediator sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin dan sel-sel lain yang juga terlibat. Mula-mula, makrofag teraktivasi dan memproduksi sejajaran mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF-α , Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL8, platelet activating factor (PAF), leukotrien , dan thromboxane-A2. Mediatormediator proinflamasi ini mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan menghasilkan kerusakan endotel. Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan unsurunsur plasma menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang mana dapat berujung pada kerusakan organ. Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan vasodilatasi melalui aksi nitric oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi yang berat dihasilkan dari produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga melepaskan peptida-peptida vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan kerusakan sel endotel ini, terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial. Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi netrofil yang berada di paru-paru. Kerusakan kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas di paru-paru, serta dapat menyebabkan oedem paru
non
kardiogenik. Sitokin-sitokin proinflamasi mengaktivasi sistem komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Sistem komplemen merupakan komponen 9
yang esensial pada imunitas bawaan. Namun demikian, aktivasi yang berlebihan, seperti yang terjadi pada sepsis, dapat menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk dari aktivasi komplemen lainnya mengaktifkan kemotaksis neutrofil, fagositosis dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, meningkatkan agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi, dan produksi radikal oksigen yang toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari mast cells dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan terkumpulnya cairan di dalam ”rongga ke -tiga” yang dapat ditemukan pada keadaan sepsis. Pada hewan percoobaan, C5a menginduksi hipotensi, vasokonstriksi pulmonal, neutropenia, dan kebocoran vaskular sehubungan dengan kerusakan kapiler. Data-data
yang
menggambarkan
mediator-mediator
sepsis
dan
antagonisnya pada orang dewasa tidak dapat diaplikasikan seluruhnya pada anakanak. Perkembangan mediator-mediator sepsis dan aktivitas agonis naturalnya pada anak-anak masih belum jelas. Pada neonatus, didapatkan fungsi sel-B yang terganggu serta perubahan produksi sel-T. Neonatus, terutama bayi yang lahir prematur memiliki sistem komplemen yang terganggu baik kuantitas maupun kualitasnya. Respon mediator yang utama pada orang dewasa lebih mudah dipahami dibandingkan dengan pada anak-anak. Perbedaan presentasi pada neonatus dapat lebih kepada kesatuan kuantitatif (level darah bervariasi menurut usia) versus perbedaan kualitatif (respon fisiologis terhadap aktivasi mediator). Orang dewasa dan bayi menampakkan gejala-gejala yang mengindikasikan respon inflamasi sistemik yang menuju kepada koagulopati, hipotensi, perfusi jaringan perifer serta organ yang inadekuat, dan akhirnya kegagalan organ serta kematian.
10
2. Hubungan Inflamasi dan Koagulasi
Inflamasi dan koagulasi sangat berkaitan erat di dalam terjadinya sepsis. Mediator-mediator
inflamasi
membangkitkan
ekspresi
tissue
factor dan
menginisiasi koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik, sementara pembentukan trombin dari koagulasi yang teraktivasi menstimulasi aktifnya mediator-mediator proinflamasi. Pelepasan TNF-α, IL-1, and IL-6 menghasilkan monosit-monosit yang aktif untuk mengekspresikan tissue factor (TF) yang kemudian akan menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan produksi fibrin. Tissue factor merupakan reseptor dengan afinitas tinggi serta kofaktor untuk faktor VIIa. Saat TF diekspresikan kepada monosit, dia menempel pada factor VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang mengubah factor-faktor X dan IX menjadi bentuk yang aktif. Munculnya tissue factor secara langsung mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik, dan melalui feedback loops, mengaktifkan jalur intrinsik secara tidak langsung. Kolagen dan kallikrein mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik serta mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin memiliki efek multiple pada inflamasi dan juga membantu memelihara keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel-sel endotel, makrofag, dan monosit, menyebabkan pelepasan TF, platelet activating factor , dan TNF-α. Respon sitokin berkontribusi pada aktivasi platelet dan agregasi. Trombin menstimulasi chemoattractant bagi
11
neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis. Trombin yang berlebihan akan menstimulasi terjadinya inflamasi dengan meningkatkan produksi sel endotel E-selectin
dan
P-selectin
yang
menghasilkan
perlekatan
neutrofil
pada
endothelium. Proses ini berperan dalam pembentukan mikrotrombus. Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang melepaskan bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler. Tubuh memiliki mekanisme inhibisi bawaan serta antikoagulan endogen untuk memelihara homeostasis. Protein C yang teraktivasi memiliki reaksi antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi faktor Va dan VIIIa. Secara tidak langsung, produksi trombin juga mengurangi inflamasi dan memperbaiki aktifitas fibrinolisis. Protein C yang teraktivasi juga menurunkan ekspresi TF. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) diproduksi oleh sel-sel endotel dan TF yang tidak aktif. TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X secara langsung. Seluruh mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis. TNF-α menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin III, protein C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi trombin yang tidak teratur. Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik, serta faktor IX pada jalur intrinsik. Hasil akhir dari dari aktifasi tiap jalur adalah berhubungan dan sama; protrombin memproduksi trombin, dan fibrinogan diubah menjadi fibrin. Bila proses ini tidak diperiksa oleh antikoagulan natural, trombin akan menyebabkan koagulasi yang tidak terkontrol yang mengarah kepada disfungsi organ seperti yang terjadi pada keadaan sepsis berat.
3. Fibrinolisis yang terganggu
12
Fibrinolisis (lisisnya bekuan/clot) merupakan respon homeostasis tubuh untuk mengaktifkan sistem koagulasi. Pembersihan fibrin penting untuk penyembuhan luka, angiogenesis, dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis meliputi aktivator plasminogen jaringan sel endotel tissue plasminogen activator (t-PA) atau urokinase plasminogen activator (u-PA). Tubuh juga memiliki inhibitor alami terhadap fibrinolisis, seperti PAI-1 dan thrombinactivatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator serta inhibitor diperlukan untuk memelihara keseimbangan homeostasis. Sepsis mengganggu respon fibrinolisis yang normal dan membuat tubuh kurang mampu untuk menghilangkan mikrotrombus. TNF-α mensupresi fibrinolisis dengan meningkatkan level PAI-1 serta mencegah pembersihan fibrin. Pemecahan fibrin menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin degradation products) seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediator-mediator proinflamasi (IL-6 dan TNF-α) bekerja secara sinergis untuk meningkatkan jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah berukuran kecil dan sedang., serta potensial terhadap disfungsi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat termanifestasikan sebagai distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal, dan yang paling berat adalah progresi ke arah kematian. Kadar trombin yang tinggi yang dihasilkan dari aktivasi koagulasi menuntun kepada aktifnya TAFI. Meningkatnya jumlah TAFI merupakan mekanisme penting dalam inhibisi system fibrinolisis selama sepsis. Protein C endogen yang teraktivasi memiliki sifat profibrinolitik dengan kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1 dan membatasi pembentukan TAFI. Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi kemampuan tubuh untuk mengubah protein C menjadi protein C yang teraktivasi. Sebagai akibatnya, pada keadaan sepsis, kemampuan untuk memulihkan homeostasis melalui efek profibrinolitik dari protein C terganggu. Respon koagulasi dan sistem fibrinolisis
yang
sejenis
dapat
dilihat
juga
pada
bayi
dengan
infeksi
meningokokus. Hubungan antara protein C yang sangat rendah dengan tingginya mortalitas menyokong hipotesis yang menyebutkan bahwa mekanisme dari penyakit yang mendasari sepsis secara kualitatis adalah sama, tanpa melihat
13
kuantitas
2.5
atau
perbedaan
faktor
darah
berdasarkan
usia
Tahapan Perkembangan Sepsis
Sepsis berkembang dalam tiga tahap : a. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit b. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru paru atau hati c. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen yang cukup.
2.6
Manifestasi Klinik
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome(SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Pasien-pasien dengan SIRS memiliki spektrum gejala klinis yang menampakkan proses patologis yang progresif. Batasan SIRS ialah respon inflamasi sistemik terhadap gangguan/kerusakan klinis yang ditandai dengan adanya dua atau lebih hal-hal berikut:
14
a.
Temperatur tubuh yang tidak stabil (<35>38,5 °C)
b.
Respirasi > 20 x/ menit atau PCO2 < 32 mmHg
c.
Denyut jnatung > 90 x/menit, delayed capillary refill >3 detik, hipotensi),
d. Hitung leukosit > 12.000/mm3 e. Abnormalitas perfusi (oliguria, asidosis laktat, perubahan status mental). Meningkatnya permeabilitas vaskuler menyebabkan kebocoran kapiler pada jaringan perifer dan paru-paru yang mengakibatkan terjadinya udem perifer dan udem paru-paru. Kerusakan jaringan pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan multiorgan dan kematian.
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini. Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang
non-spesifik
dapat
mengarahkan
adanya
sepsis,
dan
memberikan
pertimbangan sekurang-kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepnuhnya selama perjalanan tinggal
15
di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB /jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan
dan
seharusnya
digunakan
sebagai
tambahan
pertimbangan klinis 2.7
Diagnosa Klinik
Tanda-tanda
klinis
yang
dapat
menyebabkan
dokter
untuk
mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipne yang tidak jelas, tanda-tanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu curah jantung
meningkat,
dengan
resistensi
vaskuler
sistemik
yang
rendah.
Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis Salah satu cara penegakan diagnosa dengan menggunakan pendekatan PIRO (presdisposition, infection, response, organ dsyfungsion). Presdisposisi pada anak misalnya penurunan imunitas tubuh, penggunaan alat-alat infasif atau prosedur medik lama (seperti kateter intravena, kateter urin, pembedahan, perawatan intensif). Sulit untuk membuktikan sepsis hanya berdasarkan kultur darah semata, karena pasien hanya mendapatkan antibiotik sebelumnya. Bila kultur darah positif, diagnosa menjadi lebih mudah. Ditemukan disfungsi organ akan menguatkan diagnosa sepsis menjadi berarti sepsis telah berlanjut. 1. Respon sistem inflamasi sistemik SIRS (systemik inflamantory response syndrome) yaitu respon sistemik terhadap berbagai kelainan klinik berat (misalnya infeksi, trauma, dan luka bakar) yang ditandai dengan > 2 dari 4 kriteria berikut :
16
a. Hipertermi (>380C) atau hipotermi (<360C) b. Takikardi yaitu peningkatan heat rate > 2 sd di ats normal sesuai umur dalam keadaan tidak terdapat stimulasi eksternal, pemakaian obatobatan jangka panjang atau rangsang nyeri atau bradikardia: Hr < 10 persentil sesuai umur tanpa stimulus vagal eksternal, pemakian beta blocker atau penyakit jantung bawaan. c. Takipneu dengan RR > 2 SD di ats normal sesuai umur atau ventilator mekanik yang akut yang tidak berhubungan dengan penyakit neuromuskular atau penggunaan anastesi umum. d. Jumlah leukosit yang meningkat atau menurun (yang bukan akibat dari kemoterapi) sesuai umur atau netrofil imatur > 10%. 2. Infeksi Infeksi yaitu suatu kecurigaan atau bukti (dengan kultur postif, pengecetan jaringan, atau uji PCR) infeksi disebabkan kuman pathogen atau sindrom klinis yang berhubungan dengan kemungkinan besar infeksi. Bukyti infeksi meliputi penemuan positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan atau test laboratorium (misalnya tes darah outih pada cairan tubuh yang normal steril, perforasi usus, foto rontgen yang menunjukan adanya pneumonia, ruam ptekie atau purpura atau purpura fulminan)
17
18
2.8
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah rutin b. GDS c. CRP d. Faktor koagulasi e. Kultur darah f. Apusan darah tepi: leukopenia/leukositosis, granula toksis, shift to the left g. Urinalisis h. Foto thorax i.
2.9
1.
Elektrolit dan EKG
Penatalaksanaan
Early goal directed therapy. Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena , pH, atau kadar laktat arteri. kelangsungan
hidup
Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan dibandingkan
dengan
resusitasi
cairan
dan
pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut : a. Tekanan arteri vena central (CVP) 8-12 mmHg b. Tekanan arterial rata-rata (MAP) > 65 mmHg c. Saturasi oksigen vena sentral >70% d. Urine output > 0,5 ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik). Resusitasi awal 20 ml/kgBB selama 5-10 menit dan dapat diulang bebrapa kali sampai lebih dari 60 ml/kg/BB dalam waktu 6 jam. Pada syok septik dengan tekanan nadi sangat sempit koloid lebih efektif daripada kristaloid.
19
2. Inotropik/vasopresor/vasodilator Vasopresor diberikan bila terjadi refrakter terhadap resusitasi volume, dan MAP kurang dari normal, diberikan vasopresor. Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor
potensial:
nor
epinephrine,
dopamine,
epinephrine,
phenylephrine. Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien
syok
septik
mengalami
hiperdinamik,
tetapi
kontraktilitas
miokardium yang dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan epinephrine
3. Terapi antibiotik Pemberian antibiotik segera 1 jam setelah pasien didiagnosa sepsis ditegakan dan oengambilan kultur darah. Pada keadaan dimana focus infeksi tidak jelas, maka antibotik harus diberikan pada keadaan penderita mengalami perburukan, status imunologi yang buruk. Antibiotik yang digunakan amipislin 200 mg/kgBB/hari intravena selama 4 hari. Kombinasi lain adalah amipilin dnegan cefotaxime 100 mg/kgBB/hari intravena dalam 3 dosis.
2.10
Komplikasi
a. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut (acute respiratory distress syndrome). Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin
20
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan. b. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk. c. Gagal jantung Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan d. Gangguan fungsi hati Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama e. Gagal ginjal Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.Jika gagal ginjal berlangsung berat atau
21
ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
2.11
Prognosis
Kematian akibat sepsis tergantung dari lokasi awal infeksi, patogenesis kuman, ada tidaknya disfungsi organ multiple dan respon imun penderita. Kematian karena sepsis utamanya disebabkan oleh syok. Angka kematian mencapai 40-60% untuk penderita dengan sepsis karena kuman enteric gram negativ. Tanda-tanda prognosis buruk bila terjadi hipotensi, koma, leukopenia, trtombositopenia dan kadar fibrogen rendah.
22
BAB III KESIMPULAN
Perkembangan tentang patofisiologi sepsis telah banyak terjadi dalam dekade terakhir. Sebelumnya, sepsis hanya dipandang sebagai suatu proses gangguan
inflamasi.
Penelitian
baru
menunjukkan
bahwa
faktor-faktor
hematologis yang kompleks, termasuk aktivasi koagulasi dan gangguan fibrinolisis, membentuk protrombotik sebagai hasil dari abnormalitas endotel serta disfungsi organ yang diinduksi karena terjadinya sepsis. Patogenesis sepsis melalui 3 tahapan yaitu tahap inflamsi, tahap koagulasi dan disfungsi pembekuan darah, tahap kerusakan jaringan dan kematian. Prinsip penatalaksanaan nya meliputi early goal directed therapy, inotropik, terapi antibiotik. Prognosis tergantung dari awal infeksi, patogenisitas kuman, ada tidaknya disg=fungsi organ multiple dan respon imun pendeita.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Bone at al, Sepsis and multipleorgan failure. The 12 thn Asia Pacific Congrest on disease of the chest soul. 1992:8-18 2. Dobb G. Multiple organ Failure in intensive care word. 2001. 157-159. 3. Hermawan Ag. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 4. Kumar A. Optimizingantimicrobal therapy in sepsis and septic shock. Crit care Journal. 2009;25(4):733-51 5. Levy MM, Fink Mp, et all. International Sepsis Definition Confrence. Crit Care Med.2009;31(4):120-56 6. Reynar. K. Sepsis Sindrome: new insight in to phatogenesis and treatment. 2001: 50-56
24